THE POWER OF LOVE

Cast : EXO (12) and Others "ChanBaek X KaiSoo X HunHan"

Summary: Ketika cinta tak lagi memiliki makna dan keegoisan serta ambisi melebihi batasannya. Mungkin dengan setitik kepedulian maka cinta akan kembali berwarna meski jarak sudah terlalu jauh membawa pergi.

Rate: T

Genre: Romance, Hurt/Comfort

Disclaimer: Cast milik Tuhan dan FF milik author. Jika ada kemiripan, itu murni ketidaksengajaan.

Warning: Typos everywhere.


Mobil sedan hitam itu terhenti di jalan setapak, yang setiap sisinya dipenuhi pepohonan pinus tanpa daun. Seorang pemuda dalam balutan coat coklat serta celana kain hitam turun dari dalam mobil. Kedua kakinya yang terbalut converse hitam tanpa kaos kaki itu menapaki jalanan dengan pandangan menyapu sekeliling. Salah satu tangannya menyibak syal rajut berwarna hijau lumut yang melingkar di sekitar lehernya.

Tak ada yang berubah sejauh matanya memandang. Meski pepohonan nampak lebih tinggi dan lebat dari terakhir ia berada disini, tapi setidaknya semuanya masih sama. Juga sebuah kediaman bergaya vintage yang berdiri kokoh di ujung jalan itu. Satu-satunya rumah yang tersisa setelah sekian tahun telah berlalu. Sebuah rumah berlantai dua minimalis yang didominasi warna putih dan coklat kayu. Nampak asap mengepul dari cerobong asapnya membuat pemuda itu mengulas senyumnya. Senyum penuh luka dan juga kerinduan.

Ruang kelas itu nampak penuh. Setidaknya ada sekitar dua puluh anak yang duduk manis di kursi masing-masing. Terlalu sibuk dengan buku catatan mereka. Kecuali salah satunya, seorang gadis mungil bermata bulat dan berambut hitam panjang yang nampak larut dalam kegelisahannya. Sesekali ia menggigit kuku jemarinya gelisah sebelum menghela nafas pelan sembari menutupi wajahnya.

Dia yang berada di ujung ruangan mampu menangkap bagaimana bahu mungil itu nampak bergerak tak nyaman, membuatnya tanpa sadar memiringkan kepalanya hanya untuk memastikan apa yang terjadi pada satu-satunya gadis paling rajin dan pendiam yang pernah ia kenal itu.

"Kau meninggalkan catatanmu?" Suara pria paruh baya dalam balutan jas rapi itu mampu membuat sang pemuda terduduk tegap. Cukup terkejut dengan apa yang ia dengar. Dan maniknya membola kala melihat bagaimana gadis itu mengangguk pelan sebelum tertunduk dalam. Menyesal.

"Kau sudah dua kali meninggalkan catatanmu. Ada apa sebenarnya Kyungsoo?" Sang guru menatap jengah pada sikap sang gadis yang nampaknya mulai mengacuhkan kewajibannya untuk mengerjakan tugas. Sementara Kyungsoo, gadis itu memilih menunduk, menyembunyikan raut wajahnya dan mungkin tangisnya karena bahu gadis itu mulai bergerak naik turun.

Sebuah tangan terjulur membuat perhatian seluruh kelas-kecuali Kyungsoo- beralih padanya. Dengan senyum penuh penyesalan yang terlihat dibuat-buat pemuda itu kemudian memandang sekeliling dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal seakan salah tingkah dengan seluruh tatapan itu.

"Ada apa Kim Jongin?" Suara berat sang guru membuat perhatian Jongin-sang pemuda- kembali focus pada punggung Kyungsoo sebelum menatap sang guru penuh keyakinan.

"Saya meninggalkan buku catatan Kyungsoo di rumah. Kami kemarin mengerjakannya bersama-sama."

Setelah situasi yang tidak terduga itu, Jongin dan Kyungsoo berakhir berlutut di luar ruang kelas mereka sembari memegangi kedua telinga mereka dan saling bungkam. Setidaknya setelah Kyungsoo berkata dalam sebuah gumaman "Seharusnya hanya aku yang dihukum." Dan disahuti Jongin dengan "Bersama lebih baik dari pada sendiri."

Mungkin setelah ini Jongin harus memeriksakan otaknya. Kim Jongin adalah satu-satunya siswa trouble maker yang terkenal sering membolos dan jarang mengerjakan tugas sekolahnya juga sangat acuh dengan sekelilingnya. Bahkan jika ada seorang nenek-nenek jatuh dihadapannya mungkin ia akan acuh dan melewatinya begitu saja. Tapi hanya karena seorang Do Kyungsoo, jiwanya seakan tertukar dengan jiwa malaikat yang entah terdampar di belahan bumi bagian mana.

Dan satu point penting yang Jongin ketahui setelah semua kejadian itu adalah Do Kyungsoo tidaklah semenyeramkan seperti bagaimana gadis itu selalu memandangnya. Tidak semenyebalkan seperti bagaimana gadis itu selalu menjawab segala pertanyaannya dengan cukup singkat. Do Kyungsoo itu adalah gadis baik hati yang setidaknya mampu membuat Jongin kenyang setelah perkenalan resmi mereka siang ini dihalaman belakang rumah Kyungsoo.

"Kau menyukai kimchinya?" Kyungsoo menghampiri Jongin yang duduk menikmati seporsi makanan yang sengaja Kyungsoo buatkan sebagai tanda terimakasihnya. Jongin menengadah dan tersenyum dengan mulut penuh makanan.

"Ini sangat enak." Jongin menjawab dengan antusias, mengabaikan bagaimana rona merah merambat menyentuh pipi gadis dihadapannya.

Dan berawal dari sana, entah itu Kyungsoo atau Jongin mulai merasa nyaman satu sama lain. Dan mulai terbuka dengan hal-hal yang mereka sukai atau tidak mereka sukai.

"Aku sering pulang larut karena menemani Ibuku bekerja di toko bunga. Dan itu yang membuatku selalu mengatuk jika berada di kelas." Aku Jongin suatu hari kala keduanya tengah berada di atap sekolah saat jam istirahat. Entah sejak kapan keduanya menjadikan atap sekolah sebagai tempat berbagi segala kisah mereka dan membuat keduanya menjadi lebih dekat.

"Aku ingin menjadi penyanyi suatu hari nanti, tapi karena larangan dari orang tuaku, aku tidak bisa mewujudkannya." Kyungsoo menghela nafas sejenak sebelum kembali tersenyum. Gadis itu mampu menutupi segala perasaannya hanya dengan sebuah senyuman, meski Jongin tak mampu di bohongi olehnya. Mungkin menjadi satu-satunya orang yang tak bisa dibohongi lebih tepatnya.

Dan hari-hari mereka selalu dilalui dengan gelak tawa, setidaknya Jongin mampu merubah sikap diam dan tertutup Kyungsoo menjadi pribadi yang lebih hangat lagi dan Kyungsoo mampu membuat sikap acuh Jongin perlahan berubah menjadi lebih peka dan perhatian, meski hanya padanya. Juga bagaimana protektifnya seorang Kim Jongin pada siapapun yang mengganggu Kyungsoo, bahkan ia rela meski berakhir babak belur setidaknya semua orang tahu bahwa dibalik sosok lemah Kyungsoo ada Jongin yang mampu melindunginya.

"Sejak kecil aku suka menari. Apa aku tidak pernah mengatakannya?" Jongin yang sore itu terlambat menemui Kyungsoo di kelas musiknya nampak menatapnya penuh sesal. Ia lupa mengatakan bahwa hari ini ia ada latihan untuk pertandingan dance minggu depan di Seoul.

"Kau bisa menari?" Kyungsoo menatap Jongin takjub. Pasalnya, selain Jongin hobby membolos –meski sudah tidak lagi- dan suka tertidur di kelas –hingga saat ini- selebihnya ia seperti remaja pada umumnya. Kyungsoo bahkan tak pernah tahu pemuda itu mampu menggerakkan tubuhnya dengan baik.

"Apa kau menghinaku? Ingin melihatnya?" Dan Jongin berubah menjadi sosok yang memiliki kepercayaan diri lebih setelah mengenal Kyungsoo. Karena gadis itu mampu membuatnya percaya bahwa ia bisa.

"Tentu saja."

Dan bagaimana tubuh Jongin bergerak mengikuti music ballad itu membuat Kyungsoo terpaku ditempatnya. Pandangannya tak pernah lepas dari sosok Jongin yang terus bergerak mengikuti rithme music, seakan jiwanya telah menyatu dengan alunan music itu.

"Kurasa kau akan memenangkannya minggu depan." Dalam perjalanan pulang bahkan Kyungsoo tak henti-hentinya mengatakan bagaimana hebatnya Jongin dalam menari. Dan segala pujian itu mampu membuat Jongin tersipu malu –untuk pertama kali dalam hidupnya- hanya karena sebuah pujian sederhana.

"Bolehkah aku meminta hadiah jika aku menang nanti?" Jongin menatap sisi wajah Kyungsoo yang memandang lurus kedepan. Kyungsoo nampak mengerutkan alisnya sejenak sebelum mengangguk. "Jadilah pacarku." Lanjut Jongin membuahkan delikan terkejut dari Kyungsoo.

"Dan aku akan memenangkannya untukmu." Jongin tersenyum jenaka kemudian kembali melangkah sekali lagi mengabaikan bagaimana rona merah di kedua pipi Kyungsoo kini nampak membakarnya dalam keheningan.

Langkah keduanya telah tiba di depan pintu pagar hitam rumah Kyungsoo. Dimana ada sebuah mobil sedan hitam terparkir disana. Mobil yang cukup familiar untuk Jongin, juga seorang pria paruh baya yang berdiri di sisi mobil.

"Ayah?" Gumam Jongin kemudian melanjutkan langkahnya diikuti Kyungsoo yang tak kalah bingung.

"Kita harus pergi, Jongin. Ibumu…" Ayahnya tak melanjutkan kata-katanya dan memilih masuk ke dalam mobil, sementara Jongin, pemuda itu nampak membeku ditempatnya. Antara pergi dan tidak. Sementara Kyungsoo, salah satu sisi hatinya mengatakan bahwa setelah ini semuanya akan berbeda, setelah Jongin benar-benar masuk ke dalam mobilnya, hidupnya akan berubah. Tak sama lagi.

Sementara Jongin, meski bibirnya menampik ia tak akan pergi namun hatinya cukup paham bahwa ini adalah saat terakhirnya. Tak akan ada lagi dirinya yang menatap Kyungsoo diam-diam di malam hari yang duduk di balik meja belajarnya, tak ada lagi dirinya yang berpura-pura tidur hanya untuk mendengar suara merdu Kyungsoo, tak ada lagi mereka yang akan menikmati senja di atas atap dengan celotehan panjang tak berujung. Tak ada lagi tentang mereka.

Dengan perlahan ia melangkah, mendekati pagar hitam yang nampak tertutup rapat itu sebelum dengan mengumpulkan segala keberaniannya ia menekan bel yang terletak di sisi pagar. Bahkan keadaan pagar juga bel rumah itu masih sama, masih seperti beberapa tahun yang lalu. Membuat Jongin kembali mengulas senyumnya. Ia merasa jantungnya berpacu keras, merasa bahkan lebih gugup dari pertama ia memasuki sekolahnya, dan itu semua sekali lagi hanya karena seorang Do Kyungsoo.

"Siapa disana?" Sebuah suara wanita membuatnya mengerjap pelan. Terlalu ragu dan takut berharap namun terlambat untuk menghindar. Akhirnya ia memilih bergumam pelan.

"Kim Jongin."

Dan tak lama ia mendengar suara pintu dibuka diikuti sesosok wanita keluar dari kediaman itu.


Cahaya matahari menyusup perlahan menembus dinding kaca yang nampak berkilat pertanda sang pemilik benar-benar menjaga kebersihannya. Tirai berwarna putih tipis yang telah tersibak itu bergerak pelan tertiup angin yang berhembus melalui salah satu sisi jendela yang terbuka. Sementara seorang pemuda nampak tengah sibuk berdiri di depan kaca besar, mengikat rapi dasi hitamnya yang ia pasangkan dengan kemeja berwarna putih bersih. Sebuah jas hitam tersampir rapi di atas ranjang bersisian dengan tas kerjanya.

Kedua mata lebarnya menilik penampilannya sejenak, rambut hitam legamnya ia beri sedikit gel hingga tertata rapi menunjukkan dahi lebarnya dan kedua alis tebalnya. Hidung mancungnya dan bibir tebal kissablenya pun tak luput ia perhatikan. Selebihnya, pakaian kerjanya itu telah melekat sempurna di tubuh tegapnya. Jemarinya meraih arloji yang tergeletak diatas nakas hingga maniknya menangkap sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya, entah mengapa melihat semua itu seakan membawa perasaan hampa sekaligus merindu yang menerpa hatinya.

Ruangan redup dengan alunan music beat itu terasa semakin panas kala malam merangkak naik. Mungkin banyak orang yang telah terlelap dan terbuai dengan mimpinya namun tidak dengan beberapa orang yang malam ini lebih memilih mendatangi tempat ini, sekedar menghilangkan penatnya, atau mungkin memang menjadi tempat bekerjanya. Seperti salah satu gadis bertubuh ramping yang tengah melangkah dengan pakaian sexynya sembari membawa sebuah nampan di sebelah tangannya.

Wajah yang memiliki mata sipit bereyeliner dengan hidung mancung dan bibir tipis berpoles lipstick merah itu nampak cantik dan angkuh disaat bersamaan. Surai coklat madunya yang panjang ia ikat kuda dengan sebuah pita hitam sebagai pengikatnya dan sebagaian poninya menutupi dahinya.

Sementara disudut lain, pemuda jangkung dengan surai kelamnya yang ia biarkan sedikit berantakan itu tengah sibuk berkutat dengan beberapa tombol dan piringan, dia adalah seorang DJ yang sering mengisi waktu dan menyemarakkan malam-malam beberapa pengunjung di Moonlight club ini.

"Hei… Bukankah Park Chanyeol semakin nampak menawan malam ini?" Seorang wanita dengan pakaian yang tak kalah sexynya menyikut lengan sang gadis bersurai coklat madu yang masih sibuk dengan beberapa gelas kotor yang baru saja ia bersihkan dari salah satu meja.

"Benarkah? Aku merasa tak ada yang berubah darinya." Ia sedikit mengeraskan suaranya ketika menjawab. Ruangan benar-benar berisik oleh music dari sang DJ.

"Isshh… tentu saja, kau melihatnya setiap hari karena bekerja disini dan bertetangga dengannya." Wanita itu mencibir pelan sebelum mendekatkan wajahnya. "Benarkah kau tidak mencintainya, Byun Baekhyun? Aku ragu."

"Kau harus bertanya berapa kali lagi, Minseok? Aku dan dia hanya sebatas teman." Baekhyun menghela nafasnya lelah sebelum kembali mengantarkan pesanan minuman. Percuma meladeni sepupu jauhnya yang beberapa bulan sekali datang berkunjung jika sudah membahas tentang Park Chanyeol. Pemuda tiang yang menurut Baekhyun sangat berisik dan mengganggu karena ketika dia berada di sekeliling orang-orang, maka tawa dan pekikan kagum selalu menggaung.

Sementara Chanyeol, pemuda itu tengah memutar sebuah lagu mellow yang memang sengaja ingin ia dengarkan. Bukan karena suasana sempat memanas setelah music bertempo cepat itu menghentak ruangan, tapi lebih kepada hatinya.

Maniknya baru saja menangkap tubuh mungil itu melintas dihadapannya dengan gaya anggun seperti biasa. Bahkan tanpa sengaja iris mereka bersirobok dan tak lama saling melempar senyum tipis. Tapi jauh di dalam hatinya, Chanyeol meminta lebih. Bukan hanya sebuah senyuman tapi setidaknya sapaan atau mungkin sebuah teguran dan perbincangan lebih lama.

Mereka sudah saling mengenal lebih dari tiga tahun namun selama itu tak ada perbincangan berarti yang terjadi selain 'Selamat pagi.' 'Selamat malam.' 'Hati-hati.' Atau mungkin ucapan-ucapan umum seperti 'Selamat tahun baru.' Dan Chanyeol nyaris menyerah melihat tingkah cuek dari seorang gadis yang dalam hidupnya baru ia temui pertama kali. Byun Baekhyun. Yang sukses mendaratkan seorang putra pewaris CEO itu di dunia malam seperti ini. Beruntung Chanyeol juga sangat mencintai music, jadi bukan perkara sulit untuknya mengambil alih sebagai DJ pro di club ini, meski obsesi utamanya adalah Byun Baekhyun, yang masih mengacuhkannya. Meski mereka telah bertetangga dengan Chanyeol yang merengek meminta sebuah apartement pada orang tuanya.

Setelah music itu terhenti, Chanyeol memilih turun dari podium dan seketika music diambil alih oleh DJ lain. Pemuda jangkung itu melangkah melewati beberapa pasang yang menyapanya dan mungkin sebagian lainnya terkagum-kagum dengannya. Namun fokusnya hanya satu, sosok Baekhyun yang nampak bersitegang dengan seorang pria tinggi. Dan satu hal yang Chanyeol pahami diam-diam dari sosok Baekhyun, dia temperamental.

"Kau menumpahkan minumanku, Nona!" Pria itu membentak dengan bahasanya yang nampak kaku membuat Chanyeol –yang berada dalam jarak dengar- mengerutkan keningnya, antara penasaran juga merasa familiar.

"Dan aku sudah meminta maaf." Suara Baekhyun meninggi beberapa oktaf membuat Chanyeol harus mengasihani siapapun pria yang sudah mendapatkan bentakan itu, karena demi apapun, telinga Chanyeol bahkan hampir berdenging saat ini.

"Kau ingin melawanku?!"

Dan pekikan dari Baekhyun membuat Chanyeol bereaksi. Ia tidak suka melihat wanita disakiti oleh pria, terutama jika itu Baekhyun. Lengan mungil gadis itu ditarik oleh sang pria dengan cukup keras membuat Baekhyun meski nampak kesakitan namun tetap memberontak, dia gadis yang kuat.

"Hei…" Chanyeol menghampiri keributan itu. Keheningan langsung terasa, bahkan suara music pun terhenti. Dan Chanyeol harus menyesali semua tingkahnya mungkin, karena pria berlogat aneh yang telah melukai Baekhyun adalah sosok yang sangat ia kenal dengan baik. "Kris?" serunya tak percaya.

"Huh? Chanyeol?" Begitu pun pria tinggi berambut pirang itu, meski cengkramannya pada Baekhyun masih bertahan dan semakin kuat seiring gadis itu kembali memberontak.

"Isshh… lepaskan dia. Kau menyakitinya." Chanyeol, dengan nada dingin yang biasa ia gunakan kini menatap tak suka pada Kris. Namun pemuda itu memilih acuh dan kembali menatap Baekhyun kesal.

"Cepat ganti rugi…"

"Kris, hentikan. " Chanyeol meraih lengan Baekhyun yang berada dalam cengkraman Kris seraya menatap Kris tajam, penuh ancaman. Membuat pemuda itu mendengus sebelum melepas Baekhyun dengan hentakan yang untungnya gadis itu tidak sampai terjatuh karena Chanyeol buru-buru membantunya.

"Pergilah." Ucap Chanyeol pada Baekhyun yang sebenarnya tanpa diminta pun akan dilakukannya. Gadis itu langsung berbalik dan menghilang di balik kerumunan.

"Kurasa aku perlu bicara denganmu." Kris segera menarik Chanyeol setelah pemuda itu sukses mempermalukannya di depan umum hanya karena seorang gadis pelayan di sebuah Club malam.

Dan sepertinya Chanyeol harus berterimakasih pada seorang Kris Wu, yang tiba-tiba mengunjungi Korea setelah bosan dengan suasana Kanada dan China dimana ia lahir dan tumbuh besar. Karena setelah kejadian malam itu di Moonlight Club, Chanyeol dan Baekhyun menjadi lebih akrab. Tak hanya sebatas sapaan membosankan tapi lebih pada "Terimakasih malam itu. Seharusnya kau tak usah membantuku. Wajahmu sepertinya tidak baik-baik saja." Kalimat terpanjang yang Baekhyun ucapkan pada Chanyeol bahkan masih terngiang.

Dan Chanyeol berusaha menahan ekspresi wajahnya senormal mungkin dari tawa yang mungkin bisa saja langsung terlontar karena sungguh Kris meski memang memukulnya bukan karena perdebatannya dengan Chanyeol di Club tapi lebih pada ketidak sengajaan, dimana ketika Kris tahu Chanyeol jatuh cinta pada Baekhyun, pemuda blasteran itu langsung memukul mendorong Chanyeol karena terkejut dan berakhir dengan pipi Chanyeol berciuman dengan ujung ranjang yang sungguh tak ada lunak-lunaknya sama sekali. Seketika lebam menjadi pewarna baru diwajah putih Chanyeol.

Dan setelah melalui tiga bulan mereka menjadi cukup akrab. Chanyeol menjadi cukup mengenal siapa itu Byun Baekhyun. Dia gadis ceria penuh ekspresi dan mudah meledak-ledak meski kenyataannya semua itu nampak menggemaskan dimata Chanyeol. Baekhyun tinggal seorang diri sementara kedua orang tuanya berada di Jepang, namun ekonomi mereka jauh dari kata baik. Gadis itu memutuskan untuk kuliah dan dari pekerjaannya inilah ia bisa melanjutkan studynya.

Sementara Chanyeol, meski Baekhyun tahu pemuda itu sebenarnya bukan berasal dari kalangan yang sama dengannya, tapi ia berterimakasih karena Chanyeol tak pernah membahas masalah itu sama sekali. Dia selalu datang ke Club di hari-hari tertentu atau mungkin hanya untuk menjemput Baekhyun dengan alasan 'Gadis tidak baik pulang sendiri larut malam' atau 'Kita tinggal di gedung apartement yang sama, jadi tidak masalah jika pulang bersama. Anggap ini toleransi bertetangga.' Dan itu membuat Baekhyun terkesan dan semakin yakin Park Chanyeol yang dulu tak pernah ada dalam angan-angannya karena mereka jelas berbeda, kini diam-diam mulai mengisi hatinya.

"Aku harus melanjutkan studyku sebentar lagi bersama sahabatku, Kris. Kau ingat?" Pernah suatu malam Chanyeol menghampiri Baekhyun yang tengah berdiri di balkon kamarnya dengan pandangan sedih, tersedih yang pernah ditunjukan pemuda bertelinga peri itu.

"Hmm…" Bukan Baekhyun acuh. Lidahnya terlalu kelu untuk berucap, sementara dadanya terasa penuh sesak dan jika ia berucap satu kata saja ia yakin akan menangis saat ini.

"Kau akan melupakanku?" Chanyeol menatap sisi wajah cantik Baekhyun yang nampak memandang lurus kedepan dengan perasaan yang cukup berantakan. Mimpinya adalah belajar di tempat Kris berada sudah hampir terwujud, jika ia berhasil ia bisa membawa Baekhyun hidup lebih baik bersamanya, tapi meninggalkan Baekhyun setelah mereka cukup dekat seperti ini juga membuat hatinya terasa berat.

Baekhyun menggeleng pelan sebelum menatap iris Chanyeol dalam.

"Kau terlalu sulit untuk dilupakan, Chan." Ucap Baekhyun setelah berhasil menguasai emosinya. Ia tersenyum tipis sebelum Chanyeol merengkuhnya, mengusap surai coklat madu yang untuk pertama kalinya ia biarkan tergerai.

"Biarkan rambutmu tergerai seperti ini. Kau terlihat lebih cantik jika seperti ini." Lirih Chanyeol membuat Baekhyun semakin erat memeluknya, menenggelamkan wajahnya di dada bidang Chanyeol, meremas kaos belakang Chanyeol dan terisak disana.

"Tunggu aku, hmm…" Gumam Chanyeol yang hanya dijawab sebuah anggukan pelan dari Baekhyun.

Dengan gerakan cepat, Chanyeol membuka laci mejanya dan menemukan sebuah kotak biru tergeletak di dalamnya. Menghela nafas sejenak, Chanyeol meraihnya. Membuka pelan kotak itu dimana ada sebuah cincin yang sama persis dengan yang tengah ia kenakan. Sepasang cincin couple yang sengaja ia pesan sebelum kembali ke Korea.

Chanyeol segera menyimpan kotak itu di dalam jasnya sebelum bergegas pergi. Ia perlu kekantor pagi-pagi sebelum menemui gadis itu, yang selama beberapa tahun ini telah menyita pikirannya dan nyaris membuatnya menyerah mengejar mimpinya.

Setelah dua hari tiba di negaranya, Chanyeol langsung meminta Kris mencarikan keberadaan Baekhyun. Dan seharusnya Chanyeol paham ekspresi Kris hari itu, dimana pria pirang itu memberikan secarik kertas alamat Baekhyun tinggal –sebuah apartement mewah- dengan ekspresi ganjil yang tidak biasa. Karena kini tepat di depan gedung apartement Baekhyun tinggal, Chanyeol, dengan sebuket bunga mawar merah di tangan dan jangan lupakan cincin pasangan yang ia sematkan di salah satu tangkai bunga mawarnya, justru melihat pemandangan yang seakan meremukkan hatinya.

Kris benar Baekhyun tinggal di apartement ini, karena gadis mungil itu nampak melenggang keluar dari sebuah mobil sedan putih, dengan dress selutut berwarna baby blue yang amat sangat pas untuk tubuh langsingnya, sebuah high heels berwarna senada menghiasi kaki jenjangnya yang indah, dan rambut coklat madunya tergerai indah dangan poni menutupi dahinya. Gadis itu sungguh amat sangat mempesona –selalu- dimata Chanyeol.

Dan bagaimana gadis itu memeluk seorang pria tinggi yang tak kalah meraih tubuhnya mesra, melingkarkan lengannya di pinggang Baekhyun posesif sebelum keduanya berpisah dengan sang pemuda kembali masuk ke dalam mobilnya dan meluncur pergi mampu membuat Chanyeol tercenung. Diam ditempatnya cukup lama hanya untuk memproses apa yang baru saja ia lihat. Hingga disatu titik ia sadar, ia sudah lenyap. Entah sejak kapan tapi yang pasti posisinya benar-benar telah tergantikan. Terlupakan mungkin.

Dan setelah buket itu terlepas dari genggamannya, Chanyeol memilih berbalik, melangkah lebar setidaknya berharap secepat mungkin enyah dari tempat itu. Mengabaikan sosok mungil yang mematung di belakangnya dengan pandangan terkejut, terutama kala maniknya menangkap buket mawar beserta sebuah cincin yang menggelinding pelan menubruk ujung high heelsnya. Punggung itu, ia masih cukup kenal namun entah mengapa enggan rasanya kedua kakinya melangkah atau mungkin bibir tipisnya berucap hanya untuk menahannya sejenak. Dan ia memilih memungut dua benda yang tergeletak mengenaskan di tanah sebelum masuk dan mungkin terlelap dalam tangisnya.


Ruangan berukuran 7x7 meter itu nampak suram. Bahkan mungkin udara terasa sangat pengap disana. Sebuah jendela tampak mengabur dengan debu yang menempel dan melekat di kacanya, membuat cahaya samar-samar menyusup masuk, menerpa dinding lembabnya yang mulai mengelupas dan nampak tak terawat. Kotor. Sebuah ranjang single berada di salah satu sudut, menempel pada dinding yang –meski sedikit samar karena usang- berwarna baby blue. Juga sebuah selimut tipis yang tak kalah usangnya terlipat diatas ranjang, berdebu. Sebuah meja belajar berada di sudut lainnya.

Namun keadaan ruangan itu berbanding terbalik dengan keadaan seorang pria tinggi putih dalam balutan jas hitam rapinya. Rambut coklat terangnya ia tata rapi dengan belahan pinggir meski saat ini sudah sedikit tersibak angin. Wajah dengan rahang tegas itu tak berekspresi, membuat wajah tampan itu terkesan dingin, juga bagaimana kedua manic coklatnya menatap, begitu tajam dan menusuk, penuh intimidasi.

Tubuh tegap itu terdiam di tengah ruangan dengan pandangannya terhenti pada satu titik. Di sisi ranjang, dimana sebuah pigura berbingkai hitam itu terletak, ada dua wajah di dalam sana. Ia yang masih sangat belia bersama seorang gadis cantik dengan mata berbinar yang tersenyum bahagia. Foto lama yang mungkin ia sendiri akan melupakannya jika tidak berkunjung ke tempat ini.

Jemarinya merogoh saku celana kainnya, mencari handphonenya dan kembali membaca pesan yang tertera disana. Seseorang menunggunya di rumah ini. Seseorang yang entah siapa, tapi mengingat tempat ini adalah satu-satunya hal yang tak mungkin ia lupakan dari semua tempat mewah yang sering ia kunjungi, maka tanpa membuang waktu ia mengendarai sendiri mobil BMWnya kemari, hanya untuk mencari tahu, siapa seseorang itu.

Hujan. Sungguh gadis itu mengutuk beberapa kali dengan bibir bergemelatuk gelisah. Ia benci dingin dan benci ketika seseorang yang ia tunggu justru tak kunjung datang hingga malam tiba. Dengan gemetar, ia kembali menyapukan pandangannya kesekeliling. Halte bis telah sepi sejak sejam yang lalu dan sialnya, selain udara dingin, tempat ini sangat gelap. Ough… ia penakut, jika orang ingin tahu alasannya ia benci malam tiba.

"Maaf." Sebuah suara membuatnya terperanjat, nyaris berteriak jika maniknya tidak menangkap bagaimana wajah putih pucat itu tersenyum penuh penyesalan dihadapannya.

"Kau mengagetkanku." Semburnya kemudian menghela nafas lega. Yang ditunggu telah datang, dan itu tandanya ia bisa segera pulang dengan aman.

"Apa kau menungguku terlalu lama?" Tanya sang pemuda dengan wajah khawatirnya. Ia cukup paham bahwa gadis dihadapannya ini adalah penakut ulung.

"Apa satu jam itu waktu yang lama? Jika iya, kau benar. Itu sangat lama, Oh Sehun." Sang gadis mendengus tak suka setelahnya dan semakin nampak sebal kala Sehun –sang pemuda- justru tergelak. "Bagaimana kau bisa tertawa disaat seperti ini"

Poutan imut itu semakin membuat Sehun gemas dan akhirnya mencubit ujung hidung sang gadis yang langsung memekik protes. Hidungnya sudah cukup memerah karena dingin dan ulah Sehun semakin membuat hidungnya memerah, ia tidak suka terutama jika Sehun kembali mengatakan "Kau semakin mirip Rudolph."

"Oh Sehun, lebih baik kita cepat pulang atau kau akan di cincang oleh Ibuku."

"Baiklah Nona Luhan yang cerewet. Kita pulang." Sehun meletakkan sebelah tangannya dibahu mungil Luhan –Sang gadis- dan menggiringnya berlindung di bawah payung yang ia siapkan pagi ini, cuaca memang sudah tidak bersahabat.

Luhan hanya menggumam malas menanggapi sikap Sehun. Kekanakan namun ia menyukainya. Tidak jarang mereka bertengkar karena hal sepele, Sehun itu pembully ulung jika Luhan boleh berpendapat. Dan korban satu-satunya adalah dirinya. Gadis malang.

Sementara Sehun, tinggal sebagai anak tunggal dan ingin memiliki seorang saudara membuatnya selalu menganggap Luhan, orang pertama yang menjadi tetangga super manisnya itu sebagai bagian dari keluarga Oh. Meski Sehun akui, ia cukup takut jika berkunjung ke rumah Luhan. Kedua orang tuanya meski workaholic tapi sangat protectif terhadap putri semata wayang mereka. Dan itu cukup membuat Sehun yang terbiasa bebas di keluarganya menjadi kurang nyaman.

"Tidak Sehun. Aku tidak bisa keluar sekarang. Ibu ada di rumah." Pernah suatu hari ketika Sehun jatuh sakit dan kesepian, ia nekat menelpon Luhan memintanya menemani sang pemuda manja itu, namun seperti biasa, ia terlalu penurut pada kedua orang tuanya membuat Sehun menghela nafas kecewa.

Namun tak lama sosok cantik itu telah muncul diambang pintu dengan deru nafas terengah pertanda ia baru saja kabur dari pengawasan Ibunya demi Sehun. Pertanda betapa ia sangat peduli pada Sehun.

"Bagaimana jika aku sekolah di China?" Suatu hari Luhan bertanya saat mereka berdua berbaring di tanah berumput di sisi rumah Sehun. Langit sore yang berwarna jingga terkadang menjadi favorit keduanya jika tak berawan seperti ini.

"Maka aku akan mengikutimu." Sehun menjawab tanpa membiarkan jeda terjadi terlalu lama.

Hening sejenak sebelum kembali terdengar helaan nafas pelan dari Luhan. Sehun menilik gadis di sampingnya dengan dahi berkerut.

"Apa ada yang salah?" Tanya Sehun. Luhan menggeleng pelan, pandangannya kini bertemu dengan iris hangat Sehun.

"Seharusnya kau mengatakan 'Jangan pergi.' Kau tahu kan aku tidak suka berada disana." Luhan menatap Sehun berpura-pura kesal.

"Aku tahu kau tidak suka karena semua keluarga otoritermu berada disana, tapi jika ada aku, kurasa tak akan ada masalah." Sehun tersenyum lebar, merasa sedikit bangga dengan statusnya yang selalu mampu melindungi Luhan, meski tidak ada apa-apanya ketika ia berhadapan dengan kedua orang tua Luhan.

"Apa kau sedang menggombal?" Luhan mencibir Sehun sebelum tersenyum geli. "Tapi kau benar. Kurasa tak akan buruk jika kau bersamaku. Setidaknya kita telah mengenal lebih lama dari pada aku tinggal dengan keluargaku di China."

"Hmm… aku bahkan sudah mengenalmu sejak kau masih berusia 7 tahun, sedangkan kakek dan nenekmu mungkin sudah tidak melihatmu lagi sejak saat itu." Sehun mengerjap penuh keyakinan membuat Luhan kembali tertawa.

"Berhentilah berkelakar Sehun. Perutku melilit karenamu." Luhan berucap disela tawanya sementara Sehun menatap geli pada sahabatnya itu.

"Perutmu melilit karena kau kebanyakan tertawa, kenapa menyalahkanku? Aku sedang tidak melucu tapi kau terus tertawa." Sehun mendengus keras pertanda ia tersinggung. Ia sudah benar-benar serius ketika mengatakan semuanya sementara Luhan malah menganggapnya berkelakar. Oh Nona Lu yang cantik, kenapa dia susah sekali peka?

"Baiklah maafkan aku." Luhan menepuk lengan Sehun pelan sebelum membawa dirinya duduk di atas rerumputan. "Tapi meski kedua orang tuaku memaksaku kembali kesana, aku tidak akan mau." Ucapan Luhan mau tak mau membuat Sehun bangkit. Duduk disisi Luhan dan masih bungkam. Membiarkan gadis itu mengeluarkan segala keluh kesahnya.

"Mereka yang memaksaku mencintai negara ini, jadi jangan salahkan aku jika sekarang aku lebih memilih berada disini." Luhan menatap Sehun yang masih setia memandang wajah imut itu dalam. "Dan karena ada dirimu." Lanjutnya membuat Sehun melebarkan matanya terkejut. Luhan memang sudah sering mengucapkan bahwa ia betah berada di Korea karena Sehun, tapi sore ini cara Luhan mengucapkannya berbeda dari biasanya. Mau tak mau membuat Sehun merasa untuk pertama kalinya gadis itu menganggapnya sebagai seorang yang cukup berarti dihidupnya, bukan sekedar seorang teman dan tetangga.

"Aku akan selalu melindungimu." Sehun berujar juga berjanji dalam hati.

Dan setelah semua hari mereka lalui dibangku sekolah, tiba hari dimana untuk pertama kalinya Sehun melihat Luhan menangis dengan sebegitu menyakitkannya. Selama lebih dari sepuluh tahu pemuda itu mengenal Luhan, ia tidak pernah melihat gadis itu menangis bahkan ketika ia harus rela melawan rasa takutnya pada ketinggian dan juga hantu. Dan siang ini, gadis itu tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya dimana Sehun sedang menyiapkan segala keperluannya untuk mengikuti tes universitas kemudian menangis dalam dekapan Sehun. Sehun cukup terkejut dengan segalanya begitupun Ibu Sehun yang biasanya melihat Luhan sebagai sosok ceria tiba-tiba menangis terisak tanpa sebab.

"Ada apa Luhan?" Sehun untuk kesekian kalinya menepuk bahu mungil itu sebelum akhirnya Ibu Sehun yang mengambil alih dengan mengusap rambut Luhan lembut seraya menyerukan namanya pelan. Gadis itu, dengan wajah merah dan air mata membasahi pipinya berbalik, melepas pelukannya pada Sehun dan beralih memeluk wanita paruh baya yang sudah ia anggap Ibunya sendiri.

"Aku tidak ingin kembali ke China, Ibu. Aku..Aku tidak akan bisa kembali lagi jika sudah berada di China…" Luhan semakin mengeratkan pelukannya pada Ibu Sehun. "Aku tidak ingin berpisah dengan kalian."

"Tapi Luhan…" Ibu Sehun berusaha membuat Luhan agar lebih tenang. Ia mengusap punggung Luhan lembut sebelum mengajaknya duduk di tepi ranjang Sehun. Menyeka air matanya dan tersenyum lembut. "Ibu tahu kau sudah betah tinggal di Negara ini, tapi masa depanmu masih berada di tangan kedua orang tuamu. Mereka juga pasti sudah merencanakan masa depanmu dengan matang." Ibu Sehun mengusap punggung tangan Luhan sebelum beralih menatap putranya yang masih mematung ditempatnya, menatap Luhan meski ia yakin pikiran pemuda itu sudah entah berada dimana.

"Luhan…" Sehun berujar pelan, Luhan menengadah menatap Sehun dengan sisa air matanya. "Kapan kau akan pergi?"

"Besok pagi." Jawab Luhan, ia terlalu bingung dengan reaksi Sehun saat ini.

"Ikut aku." Sehun meraih tangan Luhan dan membawanya keluar dari kamar membuat Ibu Sehun memekik terkejut.

"Sehun, apa yang kau lakukan?" Ia tahu kedua remaja itu sedang jatuh cinta tapi ia tidak ingin ada masalah dikemudian hari.

"Ibu percaya saja padaku. Aku akan menjaganya baik-baik." Sehun tersenyum pada Ibunya sebelum meraih sweaternya dan menyerahkannya pada Luhan. "Pakailah ini, setidaknya kau harus tetap hangat hingga tiba di sana."

Luhan, meski bingung, gadis itu terlalu percaya pada Sehun. Membiarkan pemuda itu membawanya melalui pintu belakang dan naik ke atas sepeda motor Sehun.

"Luhan…" Sehun memecah keheningan setelah keduanya tiba di tepi sungai Han. Beruntung sore ini suasana disana sangat sepi. Sementara Sehun yang baru saja tiba dengan dua minuman kaleng menatap Luhan khawatir. "Aku tidak akan membawamu kabur dari kedua orang tuamu, aku hanya ingin mengatakan kau tak perlu khawatir jika benar-benar pindah kesana. Karena seperti yang aku katakan, aku akan menemanimu di China."

"Sehun…" Kedua mata berbinar Luhan kini penuh dengan air mata dan Sehun tidak menyukainya. "Aku… Aku takut…"

"Kemarilah." Sehun membawa Luhan kedalam pelukannya dan mengusap surai kelam Luhan lembut. Ia sendiri bahkan tidak percaya jika bisa mengejar gadis itu ke China dan bertemu dengannya, tapi ia tahu Luhan membutuhkannya. Selalu.

"Kau sudah mendaftar untuk kuliah…"

"Aku akan membatalkannya. Sudahlah. Sekarang yang harus kau lakukan adalah menjadi putri Lu yang baik. Hmm? Setelah semua ini selesai aku akan menemuimu disana, menemanimu menjalani hari-hari membosankanmu disana."

"Hmm… baiklah." Luhan seperti biasa, terlalu percaya pada kata-kata Sehun meski hati kecilnya sedikit meragukan hal itu. Bukan tentang ucapan Sehun tapi tentang mampukah mereka bertemu lagi nanti? Dengan keadaan seperti ini.

Selepas hari itu, Sehun dengan senyum penuh lukanya melambai pada Luhan dan keluarganya meski kedua pasangan pria dan wanita itu tidak sedikit pun menatap wajah Sehun dan keluarganya. Tapi sungguh ia sudah mengatakan pada Luhan agar ia tidak menangis sedikit pun. Karena Sehun benar-benar tidak akan datang menemuinya jika gadis itu menangis saat ini. Dan sepertinya gadis itu menurut, terbukti ia masih mengulas senyumnya sebelum masuk ke dalam mobil sedan hitam. Tak lama mobil itu telah lenyap dari pandangan Sehun, begitu pun cahaya yang selama ini menghangatkannya. Dunia Sehun terasa berputar balik selepas hari itu. Meski berulang kali Sehun memperingatkan dirinya sendiri agar bertahan, tapi itu tidak semudah bagaimana ia berucap.

Dan segalanya semakin terasa rumit kala Ibunya justru jatuh sakit, Sehun benar-benar terpaku di negaranya selama tiga tahun tak mampu pergi kemanapun. Dan tepat dihari dimana seharusnya ia benar-benar terbang ke China menemui Luhan, Ibunya pergi. Meninggalkannya dalam kerapuhan yang semakin mendalam. Segalanya benar-benar tak sesuai ucapanya ketika merengkuh Luhan. Ia kehilangan aksesnya menemui gadis itu, bahkan dalam dunia maya sekalipun. Gadis itu seakan lenyap ditelan bumi.

"Kau harus bisa mengurus perusahaan jika memang ingin bertemu dengan Luhan. Keluarga mereka adalah pebisnis handal. Kau paham maksudku? Buat mereka bertekuk lutut dihadapanmu, nak." Sehun masih ingat bagaimana Ayahnya, satu-satunya semangat hidupnya selalu berucap kalimat yang sama kala Sehun nampak kehilangan pijakannya ketika samar-samar rasa rindu pada bayang-bayang Luhan masih membekas. Dan diantara rasa rindu yang kian menyiksa itu, Sehun masih berusaha untuk menemukan keberadaan Luhan meski sekali lagi selalu berbuah kegagalan.

Sehun dan Ayahnya sudah pindah ke Seoul setelah kepergian Ibu Sehun dan itu membuat Sehun terkadang merasa takut jika suatu hari Luhan datang berkunjung ke rumah lamanya di Busan. Membuat pemuda itu bersikeras tidak akan menjual rumah itu demi apapun hanya untuk berharap agar gadisnya kembali menemuinya suatu hari nanti disana.

Sebuah ketukan pintu terdengar membuatnya beralih dan dengan sedikit mempercepat langkahnya menuruni undakan kayu sebelum meraih kenop pintu. Hatinya cukup berdebar kala pintu terbuka dan menampakkan siluet seorang wanita, mungkin seusia dengan Luhan-nya tengah berdiri di depan pintu dengan senyum berdimple. Dia sangat manis.

"Kau Oh Sehun?" Suaranya lembut. Mengingatkannya lagi pada sosok Luhan. Pria tinggi itu mengangguk cepat. Terlalu berdebar karena sekali lagi segala yang ada pada gadis ini terlalu familiar dengan Luhan. "Aku Zang Yixing. Sepupu Luhan. Kau mengingatnya?" Yixing melanjutkan kalimatnya semakin membuat Sehun terpaku ditempatnya. Tidak salah lagi semua ini ada hubungannya dengan Luhan.

"Ya. Aku mengingatnya." Sehun nyaris tercekat ketika berucap. Jantungnya benar-benar berpacu cepat saat ini. Bahkan tangannya berkeringat dingin. "Ada apa?"

"Syukurlah kau mengingatnya dan tidak pindah rumah. Aku bisa kesusahan jika sampai tersesat di Negara ini. Luhan menitipkan ini untukmu." Yixing nampak sibuk dengan tas selempangnya sebelum mengeluarkan sebuah amplop kecil dan menyerahkannya pada Sehun. "Kurasa kau sahabat terdekatnya selama di sini. Datanglah dua pekan lagi. Dia pasti akan sangat senang." Yixing masih setia menatap wajah tampan Sehun yang nyaris menyedot segala atensinya.

"Apa ini?" Sehun mengerutkan kening seraya membuka amplop putih itu, beruntung tangannya tidak gemetar karena gugup.

"Undangan pernikahan."

.

.

.

TBC

Setelah sekian lama ketik hapus akhirnya jadi juga, bukan sesuatu yang bagus, tapi setidaknya aku mencoba tulis apa yang ada di pikiran aku semasuk akal mungkin meski kayaknya jatuhnya weird. Sedikit familiar sama beberapa mv maybe karena emang dapet idenya juga setelah bongkar file mv di laptop. Dan moga ada yang berniat –minimal- baca lah yah… review juga aku akan berterimakasih banget ^^