An AkaFuri Fanfiction!
SeiKou Imagine!
A stupid story
By
A stupid brain!
LinD Present
.
THE DRAMA
.
Romance, drama, comfort
.
T (teen)
.
Multichapter
.
©Fujimaki Tadatoshi
.
Summary: Furihata Kouki terhadap Akashi Seijuurou dari perias wajah, lawan main, asisten pribadi, teman, kekasih, sampai pendamping hidup!
.
Warn: Typo(s) like an amoeba, OOC, OC, blurr story line, Boyslove! AU!
Enjoy this story, LeChi!
.
CHAPTER 1
.
"Ayumi, aku tahu tidak ada alasan untukmu menolakku," pemuda itu berucap angkuh. Seketika aroma kekuasaan menguar di udara.
"Menolakmu? Apa maksudnya?" si gadis justru terbingung dengan ucapan sosok laki-laki di hadapannya.
"Kau, jadilah kekasihku." Kendati nada dan ucapannya adalah perintah dan bukannya permohonan, tak lantas membuat rona merah enggan hinggap di pipi gadis itu. Semerah helaian rambut pemuda yang menginginkan dirinya untuk menjadi kekasihnya.
"Akamura-kun... Kau sungguh tidak romantis." Si gadis tersipu malu. Tangannya mengepal lemah dan memukul pelan dada pemuda itu, dengan sorot manja di matanya.
Dan kemudian mereka berpandangan, saling melemparkan senyum.
"CUT!"
Adegan selesai. Akashi Seijuurou menghela napas pelan dan segera menyingkir dari spot perekaman. Segera ia duduk di kursi santai, dengan sebuah payung besar yang melindunginya dari sengatan matahari. Tidak lama ada seseorang yang menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Dan aktor muda itu merasa belum mengenal orang ini.
"Kau, make-up artist baru?" Akashi bertanya dengan pandangan menyelidik dan menilai.
"B-bukan! Aku hanya menggantikan saudaraku yang berhalangan datang. A-apa anda keberatan, Akamura-san?" orang itu menjawab sambil menunduk, membuat helaian coklatnya menjuntai menutupi wajah.
"Kau memanggilku... Akamura?" Akashi berujar heran. Ternyata masih ada orang di dunia ini yang tidak mengetahui tentangnya. Apa tidak ada televisi di rumah orang ini?
"Bukankah nama anda memang Akamura Seishou? Nama lawan main anda memang Hanata Ayumi, 'kan?" Orang itu, si pemuda berambut coklat, kini mendongakkan kepalanya. Matanya yang beiris coklat berukuran kecil memancarkan kebingungan, oh, dan kepolosan.
"Bodoh. Namaku, iya, tapi hanya di dramaku saja. Lagipula terserah dia mau memakai nama asli atau tidak. Kau tidak tahu nama asliku?" Dan gelengan lugu yang membalas perkataan Akashi.
"Baiklah. Beritahu namamu." Kali ini anggukan lugu yang Akashi terima.
"Namaku Furihata Kouki." Senyum pemuda berambut coklat itu terkembang.
"Akashi Seijuurou," Akashi berucap singkat. Selanjutnya ia tampak merogoh isi dalam tasnya. Dan setelah sekian detik ia mengeluarkan tangannya dari dalam tas, dengan menggenggam sebuah gunting merah.
"I-itu untuk apa, Akashi-san?" Furihata bertanya takut-takut. Tanpa sadar kakinya mundur selangkah.
"Hm? Gunting ini? Aku sedang tidak bawa ponsel, dan tidak ada yang bisa aku mainkan selain benda ini," ujar Akashi dengan entengnya. Sementara Furihata sudah merinding disko sekarang. Tanpa sadar dia mundur selangkah lagi.
"Hei, Kau 'kan make-up artist sekarang. Kenapa malah berdiri disitu saja? Cepat selesaikan wajahku."
Furihata Kouki bergidik ngeri. Tapi toh ia cepat-cepat melaksanakan tugasnya. Daripada kena sambitan gunting, ia membatin pasrah.
Maka langkah pertama yang Furihata lakukan adalah mengelap keringat pada rupa Akashi yang, jujur ia akui tampan. Dengan penuh kehati-hatian, karena takut pada Akashi serta guntingnya, Furihata mengelap keringat yang membanjiri wajah aktor muda berambut merah itu. Sesekali matanya mencuri pandang pada Akashi, dan selalu berakhir dengan dirinya sendiri yang merasa ketakutan. Sebab Akashi akan selalu tahu dan balik menatapnya sambil mengayunkan gunting.
"Kau... lumayan menarik. Lihat," Akashi berujar dengan seringai misterius.
CKRIS (sfx gunting)
"Guntingku saja tertarik padamu." Aktor muda yang sudah paten dengan label absolute itu memandang geli Furihata yang sudah gemetar ketakutan dan pupil matanya yang kian mengecil. Dan yang paling menghibur adalah ekspresi make-up artist baru itu saat menatap helaian rambut coklatnya yang secara dramatis jatuh perlahan ke tanah. Korban gunting Akashi. Yang entah sudah urutan keberapa.
'Hiii...! Seram, seram, seram! Renai...! Cepatlah sembuh dan kembali mengerjakan pekerjaanmu!' Furihata membatin miris. Dalam lubuk hati paling dalam dia mendoakan Renai, sepupunya, agar cepat pulih dari sakitnya agar dia tidak perlu menggantikan gadis itu lagi. Karena sungguh, ia menderita tekanan batin disini. Dan tidak seperti hukum fisika, ia hanya bisa diberi aksi tanpa bisa memberi reaksi. Kira-kira seperti itu, hanya bisa pasrah.
"Hei. Kau belum selesai dengan wajahku," Akashi berujar dengan nada datar. Matanya yang berlainan warna memindai sosok di dekatnya yang hanya bisa mematung dan menatapnya dengan pancar ketakutan dan keluguan. Seperti anak kecil. Oh bukan, seperti chihuahua. Ya, sepertinya cocok dengan Furihata Kouki.
"B-baik, baik!"
Pemuda bersurai sewarna imitasi tanah itu gelagapan. Tubuhnya gemetar gugup dengan latar belakang suara jantungnya sendiri yang berdegup tidak karuan. Dengan perlahan dipoleskannya wajah rupawan Akashi dengan bedak. Tidak butuh waktu lama atau pun riasan wajah lainnya. Selain karena permintaan Akashi pribadi, tanpa bedak pun wajah Akashi sudah sangat sesuai dengan karakter Akamura Seishou yang ia mainkan. Angkuh, berkuasa, intimidasi, dan... menyeramkan. Untuk kata terakhir Furihata menambahkan sendiri.
Polesan terakhir. Furuhata menghela napas lega dan segera beranjak dari sisi kanan Akashi, meninggalkan posenya yang agak membungkuk saat membenahi bubuhan bedak pada wajah aktor yang mainannya gunting itu.
Akashi hanya diam memperhatikan Furihata yang dengan segera pergi setelah merampungkan tugasnya. Iris heterochromenya tak berhenti memindai sosok pemuda itu hingga hilang dari pandangan, tertutupi manusia lain yang berlalu-lalang.
ΠLinDΠ
"Akamura-kun, benar kau tidak keberatan untuk mengantarku pulang? Rumah kita tidak searah, 'kan?" Ayumi, yang kini menjadi kekasih dari Akamura Seishou, menanyakan kembali keputusan pemuda itu untuk mengantarkannya sampai ke rumah. Memang benar mereka sepasang kekasih, tetapi gadis itu juga takut merepotkannya.
"Tidak sama sekali. Aku akan memastikan kau sampai dengan selamat," Akamura menjawab dengan senyum tipis yang terbit di wajahnya. Digenggamnya tangan kiri gadis itu sebentar, lalu mulai melajukan mobil mewahnya dengan perlahan.
"Kau sungguh perhatian, Akamura-kun. Terima kasih," si gadis bertutur lembut sambil tersipu malu dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
Akamura tidak membalas, hanya membiarkan keheningan bersemayam di mobil itu.
Selang beberapa saat, hingga seruan CUT terdengar nyaring dari sutradara lewat pengeras suara. Seketika Akashi menepikan mobil yang dikendarainya untuk proses shooting tadi. Lawan mainnya, Hanata Ayumi, yang memang berperan dengan nama aslinya itu, tersenyum formal padanya sebelum turun dari mobil.
Akashi pun segera enyah dari kendaraan itu, menghampiri kursi santainya lagi. Dan seperti Deja vu ia melihat Furihata Kouki, lagi, menghampirinya dengan tergesa-gesa.
"Akashi-san, anda kepanasan?" Furihata bertanya dengan satu tarikan napas.
"Kenapa kau selalu buru-buru begitu tiap menghampiriku?" Akashi mengernyitkan dahi.
"Dan k-kenapa Akashi-san s-selalu menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lain?" Furihata menjawab dengan berani yang sesungguhnya—
"Tidak ada bedanya dengan kau barusan."
—sama saja. Pertanyaan Akashi dijawabnya dengan pertanyaan pula.
"Apa?" Furihata Kouki dibuat melongo oleh Akashi.
"Hentikan tampang bodohmu itu. Cepat lap keringatku atau berikan tissuenya. Biar kulap sendiri." Pada kenyataannya Akashi merasa geli dengan ekspresi pemuda berpupil kecil itu. Dia hanya tidak ingin kelepasan, tertawa lebar atas sikap Furihata yang konyol, dan polos. Jika seorang keturunan Akashi sampai kedapatan melakukan hal demikian, hancur sudah image cool marga tersohor itu.
"B-biar aku saja, Akashi-san! A-anda cukup duduk disitu saja."
Tanpa berlama-lama, ugh... mungkin yang benar adalah, tanpa ingin berlama-lama (bersama Akashi) Furihata segera mengelap keringat aktor berhelai magenta itu dengan tissue. Habis ini tidak ada bedak atau apapun, karena shooting hari ini sudah selesai. Furihata bersorak riang dalam hati.
Ditelusuri lekuk-lekuk wajah Akashi dengan takut-takut. Selain karena Akashi menurutnya menyeramkan, aktor satu ini juga tidak berhenti menatapnya sedari tadi. Dan entah sejak kapan, manik dwiwarna Akashi begitu mempesonanya.
Mereka bertatap mata. Akashi masih dengan wajah datarnya dan Furihata dengan rona merah yang mulai menjalar di pipi. Sampai sang sutradara yang sedari tadi sibuk memberi instruksi ini itu pada staffnya untuk shooting minggu depan menghentikan kegiatannya.
Mata pria paruh baya itu menulusuri kejadian di depan sana. Artis dan penata riasnya sedang... apa kata yang pantas untuk mendeskripsikannya? Baginya ini bukan sekedar bertatap mata saja, tapi, ah! Menyelami diri dan kepribadian satu sama lain. Atau bisa juga, saling mencoba mengenal? Yang pasti, baginya, Akashi dan penata riasnya itu terlihat... serasi. Dan dibalik kacamata penglihatannya, terdapat sebuah kilat misterius di antara mereka berdua.
Sayangnya adegan tanpa naskah itu telah berhenti.
Furihata segera ingat daratan. Dengan gelagapan dia segera menyingkir dari sisi Akashi setelah sebelumnya membungkuk beberapa kali dengan badan gemetaran. Dan tidak membuang-buang waktu lagi untuk membereskan semua perlengkapan rias yang dibawanya, yang tentu saja milik Renai. Tanpa babibu lagi Furihata meninggalkan lokasi shooting. Berlari kecil sampai hilang dari pandangan.
"Akashi Seijuurou." Sang sutradara yang sedari tadi mengamati kejadian itu menghampiri aktornya.
"Oh, Hatoshi," Akashi menjawab cuek, menekuni aktivitasnya bersama gunting kesayangan.
"Kau... tetap saja tidak sopan pada yang lebih tua!" Kimura Hatoshi, sutradara drama Akashi, menggeram jengkel pada aktornya itu.
"Sudahlah, katakan saja apa maumu." Kali ini Akashi memilih untuk menggunting kertas scriptnya.
Kimura menenangkan dirinya sejenak sebelum berucap, "Kau tampak akrab dengannya, Seijuurou?"
Bagi aktor itu kata-kata Kimura merupakan sebuah pernyataan, berbanding terbalik dengan nada tanya yang dilontarkan pria paruh baya itu.
"Apa maumu?" Akashi melempar tanya.
"Aku merasakan sense berbeda saat kau bersamanya ketimbang saat bersama Ayumi. Ketika bersama dengan aktris itu, yang kurasakan hanyalah hambar. Mungkin berbeda jika yang melihat orang lain, tapi aku dan Ayumi merasakan hal yang sama. Kau lebih seperti melakukannya untuk kewajiban daripada menikmati peranmu.
"Berbeda dengan saat kau bersama make-up artist barumu itu. Kau lebih bisa berekspresi dan... lebih hidup."
Akashi menyimak dengan bosan.
"Ck! Lalu apa yang sebenarnya kau inginkan?" Rupanya Akashi tidak akan pernah bisa mengerti sifat sutradaranya yang selalu bertele-tele ini. Sejak dulu, bahkan, sejak drama pertamanya.
"Oke, oke. Kuminta kau untuk mengajaknya bermain di drama kita."
Akashi berdecih. "Kenapa harus aku? Lagipula peran apa yang akan dia dapat di drama ini? Dia bahkan tidak bisa akting, Hatoshi."
Kimura bersedekap. "Ketakutannya padamu 'kan, alami, Seijuurou."
"Apa?" Akashi sungguh heran akan tingkah sutradaranya.
"Aku hanya perlu akting ketakutannya saja, bukankah dia terlihat masochist? Tetap mau berada di dekatmu padahal kau pasti akan menyakitinya. Fisik dan mental. Akan sangat indah jika dia bermain denganmu."
Kimura Hatoshi positif gila, itu yang ada di pikiran Akashi.
"Hentikan kelakuan sintingmu, Hatoshi. Peran apa yang didapatnya dari akting tubuh gemetaran seperti itu."
"Astaga! Kau malah memberiku ide, Seijuurou! Ah, bagaimana dengan..."
Ekspresi Kimura sungguh membuat Akashi semakin yakin jika pria paruh baya itu sudah gila. Tersenyum mengerikan seperti psikopat dengan tatapan menggelikan. Namun, kata yang selanjutnya dilontarkan sutradara itu membuat si aktor berhelai magenta terkejut.
"Aku tahu kau itu orang gila, Hatoshi. Tapi aku sungguh tidak mengerti jalan pikiranmu." Mata dwiwarna itu memicing tajam.
"Hahaha. Ya, semua orang tahu bagaimana aku, Seijuurou," sutradara itu berkata sambil terkekeh. Akashi mengumpat dalam hati. Bergumam pelan mengapa harus Kimura yang menjadi sutradaranya.
ΠLinDΠ
Furihata Kouki berulang kali menghempaskan napas lega. At the last, setelah sekian jam ia berkutat di lokasi shooting, penderitaannya sudah berakhir. Besok dia akan bersantai di rumah sepanjang hari atau mungkin pergi bersama Fukuda dan Kawahara. Atau bisa juga dia akan menagih janji Renai yang akan membelikannya majalah basket edisi terbatas.
Furihata cengar-cengir sepanjang jalan saat memikirkannya. Hingga ia memutuskan menghentikan kegiatannya itu sebelum disangka orang gila.
DINN DINN (sfx klakson mobil)
Furihata menoleh. Tepat di sampingnya berhenti sebuah mobil mewah mengilap berwarna merah. Pemuda bersurai coklat itu memilih untuk cuek, merasa tidak mungkin ada orang kaya yang punya urusan dengannya. Ia lanjut berjalan kaki.
Tetapi rupa-rupanya mobil itu mengikutinya. Furihata melirik sedikit sambil berjalan, untuk kemudian malah berlari ketakutan. Bagaimana jika ternyata itu adalah penculik, atau perampok, atau penjahat kelamin? Pemikiran itulah yang berputar terus-menerus di kepalanya.
Namun secepat-cepatnya Furihata melarikan diri, masihlah kalah dengan kecepatan mobil. Oh, dia belum memikirkan kemungkinan itu, terlalu panik.
Dalam otaknya berputar gerigi imajiner, tanda dia sedang berpikir, mencari akal.
'Apa aku teriak saja? Eh, tapi malah seperti gadis korban sekuhara.'
'Atau aku pura-pura pingsan saja? Eh, tapi nanti aku malah dibawa lari.'
'Bagaimana kalau aku pura-pura jadi orang gila? Tapi nanti dilihatin orang, 'kan malu...'
Oke! Furihata dilema maksimal!
"Furihata... Kouki." Sebuah suara berdengung dramatis ditelinga si surai coklat. Dengan efek desau angin dan suara biola menyayat hati yang entah datang dari mana. Membuat seluruh badannya dilanda tremor mendadak.
Dengan lamat-lamat dia menoleh. Dan mata serta mulut membulat dengan tubuh mengejang menjadi pilihan reaksi tubuhnya atas apa yang ia lihat.
Akashi Seijuurou. Berdiri sekarang di hadapannya. Dengan gunting di tangan dan seringaian di bibir. Tanda kiamat kecil, bagi Furihata Kouki.
"A-kashi S-Sei-juurou... -san?" suara perias wajah dadakan itu terbata-bata. Sementara Akashi memandang remeh pada sosok yang ketakutan itu.
"Jangan berpikir untuk lari. Atau bahkan teriak. Pingsan? Mendadak gila? Jangan lakukan. Itu 'kan, yang kau pikirkan?"
"A-apa?" Furihata Kouki mulai berasumsi kalau sebenarnya Akashi itu cenayang.
"Hentikan pemikiran konyolmu." Akashi bisa mengetahui pikirannya lagi. Apakah asumsinya benar atau dirinya seperti buku terbuka yang mudah dibaca?
"Tentu saja mudah mengetahui apa yang kau pikirkan, Kouki."
Furihata ingin sekali menghilang dari dunia, rasanya. Apalagi setelah mendengar Akashi memanggil dengan nama kecilnya.
"Masuk," Akashi berkata sambil melirik pada mobilnya.
"T-tapi... A-aku akan... bertemu temanku! Iya! Dia menungguku di halte depan sana." Mata coklat itu melirik kesana-kemari, apapun selain Akashi.
"Hm? Kuantar." Furihata gelagapan. Apalagi melihat aktor bersurai merah itu berjalan kian mendekat padanya. Dan entah mengapa, tubuhnya tidak dapat digerakkan sedikit pun.
"T-tidak perlu repot, Akashi-san. Anda pasti orang yang sangat sibuk," Furihata mencoba menolak.
"Aku tidak repot. Malah kau yang membuatku menghabiskan waktu lebih lama hanya untuk mendengarkan alasan-alasanmu." Dan kini jaraknya dengan Akashi hanya tinggal satu langkah anak kecil usia balita.
"A-aku... T-tidak mau...?" Pemuda yang identik dengan warna coklat itu sebenarnya takut untuk menolak, tetapi juga tidak mau ikut dengan Akashi.
"Kau mau." Anak tunggal keluarga Akashi itu memutuskan sesuai kehendaknya. Ia menarik tangan Furihata dengan paksa dan memasukkannya ke dalam mobilnya. Setelah sedikit memberikan tatapan menusuknya pada orang di sebelahnya, Akashi segera menjalankan kendaraan mengkilap itu dengan perlahan.
Suasana dalam mobil begitu hening. Si tuan mobil tidak berniat untuk beramah-tamah, sementara si tamu pun terlalu takut untuk melakukannya.
Furihata Kouki melemparkan pandangan ke luar jendela sepanjang perjalanan. Sesekali tampak ia melirik ke Akashi, untuk kemudian mengalihkan pandang lagi, khawatir kalau-kalau pemuda bermanik heterochrome itu memandang balik.
Menit-menit berlalu. Terasa lama, padahal hanya berlangsung sampai menit lima. Mungkin akibat kecanggungan yang menguar di antara mereka.
Furihata merasakan mobil Akashi berhenti. Ia segera menoleh, mendapati si tuan mobil juga tengah menatapnya. Sorot mata merah emas itu seolah mengatakan 'Ada-yang-ingin-kau-katakan' padanya. Furihata meneguk ludahnya susah payah.
"Akashi-san, ke-kenapa berhenti di halte?"
Bukan sebuah jawaban yang didapat, melainkan acungan gunting merah di depan wajahnya.
"Akashi-san... J-jangan—"
"Katanya kau berhenti di halte, ingin menemui temanmu."
"A-apa?" Furihata melongo. Lebih tepatnya takjub pada Akashi yang masih mengingat alasan spontan yang ia keluarkan demi menolak ajakan aktor itu tadi. Bahkan ia yang mengucapkannya saja sudah lupa.
"Tunggu apa lagi?" Raut wajah itu senantiasa datar.
"Aku... tidak jadi." Suara si surai coklat memelan pada dua kata terakhir. Bajunya sudah kusut ia pelintiri demi mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan kalimat itu. Sementara wajahnya sudah ia siapkan untuk menerima sambitan gunting yang hanya berjarak beberapa senti dari hidungnya.
"Furihata Kouki," Akashi bersuara. Yang dipanggil menatap takut-takut sambil mengatakan 'ya' dengan volume kecil.
"Bermainlah di dramaku. Tanyakan pada Kimura Hatoshi jika kau bingung."
Jangan tanyakan kekagetan Furihata, atau kebingungannya. Semua sudah tercetak jelas pada wajah yang kata orang ordinary itu.
"A-apa maksudnya?" Furihata mencoba mengkonfirmasi. Siapa tahu telinganya yang salah dengar.
"Sudah kukatakan padamu untuk menanyakan pada Kimura Hatoshi jika kau masih tidak mengerti," Akashi menjawab ketus sambil menjalankan mobilnya lagi.
"Sutradara itu?"
"Ya."
Furihata Kouki tidak sempat berpikir kalau semua ini hanya mimpi. Semua terlalu mengejutkan, dan reaksi tubuhnya terlalu nyata untuk disebut mimpi. Dihampiri aktor terkenal dan diajak untuk naik ke mobilnya? Kekagetannya sudah cukup besar untuk membangunkannya dari tidur jika memang itu adalah mimpi. Dan sekarang, ia diminta untuk bermain bersama aktor itu di dramanya?
Bencana. Furihata menganggap semua yang sedang ia alami sekarang adalah bencana, disaat semua orang akan menganggapnya sebagai anugerah. Furihata tidak terlalu tahu caranya mengumpat, tetapi yang jelas ia ingin sekali melakukannya sekarang. Disaat rasa syukur yang akan diungkapkan orang lain saat mengalami hal ini, Furihata malah ingin meneriakkan sumpah serapah, yang ia pelajari sedikit dari Renai.
Kemana rasa lega luar biasa yang ia rasakan tadi? Kembalikan pada Furihata, tolong. Bahkan malaikat di bahu kanannya turut berdo'a. Enggan mengkhianati jiwa raganya sendiri yang keadaannya sudah mengenaskan. Linglung sendirian di tengah hiruk-pikuk suasana kota Kyoto.
TO BE CONTINUE...
Yo! Perkenalkan, saya Lin, author baru di kapal AkaFuri #tiupterompet Saya tidak tahu apa yang mengilhami saya untuk ngepost ini Fanfic, karena biasanya cuma mejeng di file manajer aja. Saya masih ragu sebenernya, tapi yaudah sih ya, saya cuma mau ngeramein aja.
Oh ya, bagi pengetahuan saya yang masih cetek masalah perfilman, saya mohon maaf setulus-tulusnya. Saya tidak tahu banyak, tapi masih saya paksa buat. Lagian kenapa pula otak nggak bisa diajak kerja sama nurani. Saya jadi bener-bener ngebet bikin ni fanfic. Tapi baguslah, saya nggak jadi belingsatan sendiri mendem ini sendirian, setidaknya udah saya tuang sedikit. Dan saya bagi pada kalian #nyengir
Bagi yang udah mau baca, saya ucapin terima kasih. Saran, kritik, bahkan flame pun akan saya terima. Bagi saya itu menunjukkan kalau kalian perhatian sama saya. Karena saya orangnya maso, flame pun bakalan saya anggep hiburan, sesuatu yang saya sukai /slap
Oke, udahan cuap-cuapnya. Mohon bimbingannya~ Arigatou! #bungkuk
