Disclaimer: Semua tokoh yang terlibat Officialy—milik Christopher Nolan, dan untuk fic ini murni 100% milik saya
ENJOY READING
-Inception-
"Sial!" Arthur berlari menyusuri trotoar, guyuran hujan membuat pakaiannya basah. Meskipun kini tas selendang yang ia pakai ia angkat untuk menutupi kepalanya, air-air sialan itu tetap membasahi rambutnya.
Halte bus adalah tujuannya. Tujuan pulang dan tujuannya untuk berteduh sambil menunggu bus. Tapi niatnya seperti itu, yang ada halte sialan itu belum juga muncul di pandangannya. Dan dengan terpaksa, ia menepi disebuah toko yang telah tutup. Dilihat dari plang-nya, ia sangat yakin kalau itu adalah sebuah toko bunga.
Sangat terasa tidak nyaman bagi Arthur. Sepatunya terasa penuh dengan air dan pakaiannya menjadi lembab. Oh, ditambah kini tak ada satu kursi, bahkan sesuatu yang bisa ia duduki. Membuat dirinya berdiri seperti orang bodoh dengan pakaian yang bertambah berat.
Ia merogoh kantong celananya. Dan kantong penuh dengan air bukan sesuatu yang ia inginkan di saat situasi sialan ini, terlebih ia ingat kalau ponsel miliknya berada di kantong itu.
"Great!" ia menarik ponselnya, memandang benda kesayangannya meneteskan air di depan wajahnya.
Karena hujan ia menjadi sial seperti ini.
Ugh, ia benci hujan.
Arthur tahu hujan seperti ini tidak akan berhenti dalam waktu dekat, dan mungkin akan menghabiskan berjam-jam sampai ia bisa melihat langit cerah. Apa sudi dirinya berdiri kedinginan di sebuah toko tutup sampai ada seseorang yang kasihan yang menganggapnya pegemis dan memberikannya uang receh? Absolutely, no!
Dan seorang wanita melintas didepannya memberikan ide luar biasa. Menumpang dibawah payung seseorang bukan hal yang sulit, kan?
Tapi, kenyataannya, itu sulit. 5 orang melintas didepannya—yang tentu saja membawa payung, tidak memperdulikan keberadaannya. Oh, entah orang-orang itu yang memiliki gangguan telinga atau dirinya yang kini berubah menjadi hantu.
Ia yakin alasan pertama yang paling masuk akal.
Hingga seorang laki-laki dengan jas dan jeans melintas didepannya dan menawarinya untuk bergabung dibawah payung hijau terangnya.
Arthur melamun, bukan karena ia sedang memikirkan nasib sialnya, bukan juga karena warna hijau payung milik tuan baik hati didepannya yang terlihat mencolok.
Tetapi karena.. ah bahkan Arthur malu untuk memikirkannya—apalagi mengatakannya.
Tuan tersebut terlihat sangat... good looking.
Arthur tidak berani mengatakan tampan.
Oh, ia pikir ia telah mengatakannya.
"Apa kau baik-baik saja?" laki-laki itu menggoyangkan sebelah tangannya di depan wajah Arthur. Dan bukannya sadar dengan aksi laki-laki itu, lamunannya naik ke langit ketujuh.
"Tuan?"
"Eh, iya maaf, terima kasih."
Arthur tersenyum singkat sebelum secepat mungkin berdiri bersampingan dengan laki-laki itu.
Harum tiba-tiba masuk dalam indra penciumannya, dan tak butuh waktu lama baginya untuk menyadari kalau harum itu berasal dari laki-laki disampingnya. Harumnya terasa bukan main. Itu terasa seperti sesuatu yang menggelitik di hidungnya.
Bukan seperti serangga kecil yang bergerak-gerak di lubang hidung. Bukan itu.
"Sebelumnya, terima kasih tuan." Arthur tak tahu harus berbicara apa dalam keheningan itu, minus suara air hujan. 2 orang laki-laki berjalan berdua bersampingan di bawah payung di kala hujan dengan perilaku canggung bukanlah sesuatu yang tidak terlihat aneh dan tidak menarik perhatian bukan?
"Oh, tidak usah berterima kasih, lagipula aku juga bosan dan kupikir butuh teman ngobrol."
Tet tot.
Arthur skakmat. Ia terkenal di tempat kuliahnya dengan kecanggungan terhadap orang asing. Em, sebut saja kemampuan beradaptasi paling buruk.
Tak butuh waktu lama untuknya berpikir kalau teman mengobrol di situasi seperti ini bukan sesuatu yang cocok jika ia yang dipilih.
"Maaf, tuan. Tapi aku sedikit memiliki masalah dengan cara berkomunikasi dengan—" ia menengok. Dan wajah itu membuatnya menelan ludah. "—orang asing." kini bersiap baginya untuk ditendang keluar dari lindungan payung hijau tuan yang baik hati itu.
"Oh, baiklah, mungkin kita bisa saling menjawab pertanyaan dari masing-masing untuk menghilangkan bosan ini. Dan, tolong jangan panggil aku tuan, itu terdengar tua. Panggil aku Eames." itu terdengar bodoh ditelinga Arthur, tentang menjawab pertanyaan dari masing-masing.
"Itu terdengar bagus." bagaimana pun ia tak bisa bilang sejujurnya dengan apa yang ia pikirkan, mana etika menghormati orang lain? Yang sudah diajarkan oleh orang tuanya? Jangan sampai laki-laki disampingnya beranggapan ia adalah anak yang gagal di didik orang tua.
Keheningan menyeruak di antara mereka. Seperti tiba-tiba ada yang melumuri mulut mereka dengan lem super.
"Oh maaf, namaku Arthur."
Here we go. Kecanggungannya muncul.
Belum hilang kecanggungannya barusan, situasi semakin menjadi aneh saat tiba-tiba Eames tertawa. Terdengar sangat aneh di telinganya.
"Maaf, emm.. Eames. Apa ada yang lucu?" pertanyaan itu terdengar sangat bodoh—bahkan bagi dirinya sendiri. Tapi, Arthur tak punya satu ide pun untuk mengartikan maksud tawa laki-laki beraroma harum itu.
"Tidak apa-apa, hanya saja kau terdengar lucu."
"Huh?"
"Baiklah, lupakan." kata Eames. Arthur tebak, kini laki-laki disampingnya itu sedang berpikir kalau dirinya bodoh.
"Kau tinggal dimana?" tanya Eames, tetapi kurang beruntung karena sebuah mobil melintas di samping mereka, itu membuat suaranya tertutupi oleh riak air dan bunyi mesin yang cukup keras.
Arthur bahkan sampai tidak mendengarnya. Pendengarannya ternyata buruk, seburuk pendengaran neneknya. 30 cm bukan jarak yang jauh bukan untuk mendengar 3 kata saja?
Eames menunggu jawaban Arthur yang tak kunjung terucap. Dan sedikit kembali menunggu. Mungkin Arthur sedang mengingat dimana ia tinggal, meskipun itu tidak mungkin.
"Arthur?" kini Eames menyangka laki-laki muda disampingnya adalah seorang tuli.
"Iya?" ia menengok, dan... bukan timing yang pas karena kini ia berhadapan dengan wajah yang sebelumnya ia sebut good looking. Sekali lagi Arthur tak berani berkata tampan.
Entah kenapa kata good looking yang ia ucapkan membuat pipinya memanas.
"Kau tidak menjawab pertanyaanku."
"Huh? Kau bertanya padaku?"
"Iya."
"Maaf, aku tidak mendengar—"
"Tidak apa-apa, itu mungkin karena suara mobil lewat."
"Memang kau bertanya apa?"
"Emm, dimana kau tinggal?"
Arthur tergugup, ini bahkan terasa seperti laki-laki disampingnya itu akan berkunjung ke tempat tinggalnya nanti malam.
"Emm, beberapa kilometer dari sini." jawabannya terasa kurang... spesifik. Eames mengangguk, entah mengerti entah tidak.
"Oh maaf, dan dimana kau tinggal?" ada jeda cukup panjang sebelum pertanyaan ini muncul ke pendengaran mereka.
Laki-laki itu menahan tawa, tapi secepat mungkin menjawab pertanyaan Arthur yang memandang dirinya curiga.
"Belokan didepan, gedung apartemen berwarna coklat."
"Oh." Arthur pikir hanya itu yang bisa ia ucapkan.
"Sepertinya kau harus lebih spesifik lagi." Eames tersenyum pada Arthur.
"Huh? Maksudmu?"
Ia akui, wajah tampan Eames membuatnya sulit berpikir. Damn that gorgeous face.
"Emm... tentang dimana kau tinggal."
Arthur merah padam setelahnya.
"Umm, kau tahu gedung berwarna biru yang memiliki taman kecil dengan kolam dan sebuah patung manusia memegang sebuah koper?" Eames terlihat berpikir, tapi sedetik kemudian kembali sadar.
"Maksudmu, gedung Looper Corp.?"
"Ya. Gedung itu yang ku maksud. Aku tinggal di apartemen tepat diseberang gedung itu."
"Benarkah? Aku bekerja di gedung itu." laki-laki itu kembali tersenyum.
"Kau.. bekerja di gedung itu?" tanya Arthur tak percaya.
Ini sebuah kebetulan yang, entahlah, menyenangkan mungkin?
"Ya." jawabnya.
Arthur mengangguk mengerti. Wajahnya seperti berkata aku-tidak-mau-memulai-pembicaraan-selanjutnya-kau-saja-yang-memulai.
Tapi sepertinya Eames juga tidak tahu apa yang harus dibicarakan, dan kemungkinan ada hubungannya dengan tangan kirinya yang bergerak-gerak tak nyaman, menyebabkan payung hijaunya bergerak-gerak.
Syukurlah Arthur menyadari itu.
"Um, kurasa tanganmu mulai pegal." Arthur memandang tangan Eames.
Laki-laki itu terkekeh, sebelum kembali mengulum senyum di wajahnya.
"Ya, kurasa."
"Aku akan memegangnya, kita bisa gantian." Arthur tersenyum. Kemudian mengambil alih pegangan payung dari tangan Eames.
"Terima kasih." ucap Eames, kemudian memasukan kedua tangannya pada saku jeans-nya.
Untuk beberapa saat keheningan kembali berada di antara mereka. Arthur sangat yakin dirinya ingin buka suara, tapi rasa canggungnya terlalu mendominasi.
"Sepertinya aku pernah sekali melihatmu." ucap Eames tiba-tiba. Arthur memandangnya tak percaya.
"B-benarkah? Dimana?" tanya Arthur, terlihat antusias.
"Umm, kurasa saat itu kau tengah membeli sebuah hotdog di depan gedung apartemenmu, dan kau marah-marah karena mereka kehabisan selada." ucap Eames, kemudian memandang Arthur sambil menahan tawa.
Seperti ada yang melempar balon berisi saus tomat, merah diwajahnya merembet sampai ke telinga.
Arthur malu bukan kepalang. Ia sangat ingat kejadian itu.
Saat itu, setelah jam kuliah selesai, ia pulang ke apartemennya. Skripsinya ditolak dosennya, dan perasaannya saat itu seperti sanggup membuatnya merobek beton dinding apartemennya, berkali-kali. Perutnya lapar, dan untuk sedikit mengganjal perutnya sampai makan malam, ia membeli sebuah hotdog di penjual pinggiran yang memang biasanya berjualan didepan apartemennya. Tapi si penjual berkata kalau ia kehabisan selada. Kalimat 'maaf kami kehabisan selada' seperti bahan bakar yang menyalakan amarah-siap-merobek-beton yang ada di pikirannya. Arthur memarahi si penjual itu. Ia sendiri sulit mempercayai kalau waktu itu ia akan marah seperti itu.
Tapi yang paling memalukan adalah saat dimana ia mengambil saus mustard dan menumpahkannya ke trotoar—
—membentuk kalimat fuck.
"Apa itu benar kau?" tanya laki-laki itu.
Pertanyaan sesederhana itu terdengar sangat menyulitkan ditelinganya.
"I- iya." jawabnya pelan. Ia yakin laki-laki disampingnya itu adalah salah satu dari puluhan orang-orang yang melihat kejadian ia memarahi tukang hotdog waktu itu.
Kemudian Eames tertawa. Arthur malu bukan main.
Setelah Eames berhenti tertawa, keheningan datang kembali.
Yang sepertinya, heningnya lebih dari sebelumnya. Terbukti, yang terdengar hanya langkah-langkah mereka yang berriak, lebatnya hujan, dan sesekali kendaaraan lewat di samping mereka. Atmosfer ini menciptakan perasaan tidak nyaman diantara keduanya.
"Emm, sepertinya langit semakin mendung." ucap Eames, dari ekspresi wajahnya Arthur tahu dia mencoba mencairkan keheningan yang terjadi.
Tapi, ternyata langit memang semakin mendung. Arthur menarik payungnya kebelakang mencoba melihat langit yang semakin menghitam. Dan sialnya, sebuah angin kencang berhembus menabrak mereka. Membuat payungnya semakin tertarik kebelakang. Hampir saja angin itu membawa payung tersebut, sebelum si pemilik mengangkat tangannya membantu Arthur menarik kembali payungnya ke atas kepala mereka.
Kejadian itu membuat Arthur gelagapan. Begitu juga laki-laki itu, meskipun tidak terlalu terlihat dari raut wajahnya. Dan untuk beberapa detik tak ada yang mengintrupsi, mereka mengakui dalam hati kalau mereka menikmati itu.
Menikmati adegan tangan-ketemu-tangan yang mungkin berlanjut mata-ketemu-mata. Lebih hebat lagi kalau ternyata sampai hati-ketemu-hati.
"M-maaf.. emm, Eames, k-kau mengenggam tanganku terlalu keras." Arthur mencoba berbicara senetral mungkin, tapi gerakan matanya dan getaran di mulutnya malah membuatnya semakin terlihat gelagapan.
"Oh, m-maaf." dan secepat mungkin laki-laki itu menarik tangannya.
Mereka berjalan lagi, dalam hening. Mereka sama-sama terdiam, mungkin sedang membodohi perbuatan yang menurut mereka bodoh. Meskipun beberapa kali mereka tersenyum. Tersenyum karena sentuhan itu.
Jika rasa senangnya diibaratkan, itu akan terlihat seperti hujan. Terus muncul, lagi dan lagi.
"Arthur?" laki-laki disampingnya itu berucap, meskipun sangat pelan, tapi Arthur mendengar itu.
"I- iya?" jangan salahkan dia karena menjadi gagap, salahkan pikirannya yang terus berputar di kejadian tadi.
Tapi, Eames malah menghentikan langkahnya tiba-tiba. Arthur mengerinyit bingung.
"Kenapa... kita berhenti?"
Eames malah tersenyum, jarinya menunjuk singkat kerumunan orang-orang didepan mereka. Arthur tak mendapatkan ide untuk mengartikan maksud laki-laki disampingnya itu.
"Kenapa dengan mereka?"
"Aku pikir kau berhenti disini." Eames kembali menunjuk kedepan. Beberapa orang menengok pada mereka, kemudian berpaling tak peduli. Tapi juga ada yang lebih lama memandangi, meskipun kemudian berpaling tak peduli juga.
"Astaga, aku lupa." Kenapa juga tujuannya pergi ke halte bisa sampai hilang dari kepalanya? Ia berlari beberapa langkah kedepan, sampai payung hijau yang melindunginya dari hujan berganti dengan atap-atap biru halte.
Sampai orang yang berdiri di sampingnya berganti dari laki-laki tampan dengan harum dengan ibu-ibu dengan belanjaan di tangannya.
Ia pikir mengucapkan terima kasih dan sampai jumpa akan mudah. Tapi ternyata, bahkan keduanya tidak tahu harus berbuat apa.
Jadi yang mereka lakukan hanya berpandangan, meskipun ada dinding dari guyuran hujan yang menghalangi mereka.
"Senang berkenalan denganmu, Arthur." Eames tersenyum di bawah payung hijaunya. Guyuran hujan bahkan tidak bisa menghalangi Eames melihat wajah Arthur memerah.
"Senang juga berkenalan denganmu, Eames. Aku harap kita bisa bertemu lagi."
"Baiklah." jawab Eames. Ia tahu itu adalah saatnya ia pergi, tapi ada sesuatu yang membuatnya enggan beranjak, bahkan untuk mengucapkan sampai jumpa.
"Emm, sampai jumpa." dan akhirnya kalimat itu keluar, meskipun Eames tidak menginginkannya.
Eames berjalan menjauh, hingga hanya terlihat payungnya yang menjadi sebuah titik hijau yang kontras dengan gelapnya langit.
Arthur tersenyum memandang titik hijau itu, sebelum menghilang berbelok di balik gedung-gedung.
Arthur bersumpah ia (sangat) tak ingin mengakhiri—entahlah, apa bisa ia menyebutnya kebersamaan? Pertemuan yang bahkan tak berlangsung selama satu jam?
Tapi meskipun begitu, Arthur sangat merasakan emosi yang bergejolak saat ia berada di samping laki-laki itu. Itu sesuatu yang langka baginya. Karena ia mengakui kalau dirinya sulit untuk menyukai—bahkan sekedar melirik seseorang.
Hujan dan laki-laki dengan payung hijau, ia akui adalah kombinasi yang sangat mustahil untuk ia lawan.
Dan terima kasih juga pada Eames, ia membuat hujan menjadi sesuatu yang tak akan terlupakan dari hidup Arthur.
-Fin-
Hahaha, lucu sekali saya menggunakan nama Looper Corp.. Entahlah, saat memilih nama perusahaan untuk cerita di atas tiba-tiba saya membayangkan saat Joe dengan Blunderbuss ditangannya.
The last, hope you Enjoyed ^^
Fri, 09/05/2013, 04:42 PM, Karawang, Indonesia
