すれ違った俺たち
Surechigatta Oretachi
(Kita yang Berselisih Jalan)
presented by Ryuu Dearu
Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi
November Rain © Gun 'n Roses
Warning : OOC, typo, MxM, Teikou Junior High, semi-AU, twoshot
This is another one presented by me thought I don't finish my first chapter for Kataomoi Akashi Version yet. I'm so sorry, minna... *bows* But, still I hope this one can be good enough to make your day better.
...
~o0HAPPY READING0o~
...
Seperti baru saja terbangun dari mimpi buruk, Kise menarik diri, melepas tautan bibir mereka. Miliknya dan milik Akashi. Seakan ia melakukannya tanpa kesadaran penuh.
"Maafkan aku... Akashicchi... Aku..."
Akashi sendiri... kaget? Tentu saja. Pemuda lust red itu sama sekali tak mengira hal seperti ini akan terjadi. Seharusnya ia memaki Kise, memarahinya, atau setidaknya langsung beranjak pergi tanpa memedulikan pemilik golden orbs itu. Namun, alih-alih melakukan ketiganya, Akashi justru menarik si pirang ke dalam pelukannya. Bisa ia rasakan ketegangan tubuh yang lebih besar darinya itu. Ya, Kise mematung dengan mata terbuka lebar. Ia bahkan tak dapat membalas dekapan sang pemilik manik ruby itu.
"A-Akashicchi, apa yang―"
"Diamlah sebentar."
Akashi mengeratkan dekapannya saat Kise meronta. Masih dalam posisi yang sama― Akashi yang menenggelamkan diri di ceruk leher sang matahari dan Kise yang semakin terbuai oleh aroma khas milik Akashi― mereka mencoba menghentikan waktu, meski hanya bagi keduanya.
~o0o~
When I look into your eyes, I can see a love restrained.
But darling when I hold you, don't you know I feel the same?
~o0o~
Kise menyusuri trotoar sepanjang jalan menuju stasiun dari sekolahnya, Teikou Junior High. Ia tak sendiri meski keheningan melekat erat padanya. Pemilik langkah kaki lain yang seirama dengan bunyi sepatunya yang sengaja diseret tampak heran melihat gelagatnya hari ini.
"Hari ini kau pendiam, Kise. Ada apa?"
Si pemilik nama yang disebut tampak tersentak. Seketika, Kise berhenti melangkah lalu menoleh pada pemuda onyx di sebelahnya.
"Nandemo nai'ssu yo, Senpai. Shinpai shinaide," (Tidak ada apa-apa kok, Senpai. Jangan khawatir)
Senyum palsu itu lagi. Kise tahu ini salah. Tapi, ia tak punya pilihan. Tidak. Sebenarnya selalu ada pilihan bagi orang yang mau memilih. Dan nyatanya, Kise memilih jalan ini. Jalan kepura-puraan, jalan kebohongan. Hubungannya dengan Kasamatsu kian menjemukan, namun ia tak pernah bisa mengungkapkannya secara langsung.
"Sou ka?" (Begitu?) Kasamatsu bergumam rendah.
Mereka meneruskan kembali langkah masing-masing. Suasana pun kembali hening. Dan Kise, ia kembali larut dalam dimensinya sendiri. Menatap aspal dengan raut datar seperti sebelumnya. Memang, ini bukan seperti dirinya.
~o0o~
Wed, 13-12-11 02:15PM
from : Kasamatsu Senpai
subject : none
Nanti kujemput seperti biasa
-―-―-―-end-―-―-―
Kise menutup flip ponselnya. Percaya atau tidak, ia tahu, pemuda bersurai merah itu sedang memerhatikannya dari bangku seberang. Ia membenahi posisi duduknya, mencari posisi yang lebih nyaman. Kemudian, seperti tidak terjadi apa-apa, ia kembali meneruskan obrolan serunya yang sempat terpotong dengan teman-temannya.
~o0o~
"Ano saa... minna, saki ni kaeru'ssu," (Hei... teman-teman, aku mau pulang dulu'ssu)
"Eh? Kise kun tidak pulang bersama Akashi kun?" Kuroko bertanya.
"Mmh, hari ini aku tidak bisa... Maaf ya, Akashicchi..." Kise memejam erat, melipat kedua tangannya ke depan dan membungkuk dalam-dalam.
"Tak apa. Cepatlah. Dia sudah menunggumu."
Inilah yang ingin Kise hindari. Ekspresi itu... nada itu... datar. Di saat seperti ini, entah kenapa, kepingan sewarna ruby itu terlihat sangat menakutkan. Itulah mengapa ia tak sanggup membohongi perasaannya lebih lama lagi. Kise akui, ia telah jatuh hati pada pemuda itu, sahabatnya sendiri. Di sisi lain, ia juga tak ingin mengecewakan kekasihnya, Kasamatsu Yukio. Maaf... kata itu yang selalu ia ulang berkali-kali dalam hatinya. Namun, ia pun tahu, berapa kalipun ia meminta maaf, itu tak kan pernah cukup. Jika ada dua pilihan, itu bukanlah pilihan yang sanggup ia pilih. Antara menyakiti sahabatnya, atau mengecewakan kekasihnya. Yang pasti, satu kesalahan yang telah ia lakukan, ia telah mengkhianati keduanya.
~o0o~
Nothing last forever and we both know hearts can change
And it's hard to hold a candle in the cold November rain
~o0o~
"Nani ga attandesuka, Akashi kun?" (Ada apa, Akashi kun?)
Sejenak, Akashi menghentikan langkahnya, begitu pula pemuda baby blue yang saat ini berjalan beriringan dengannya. Namun, tak lama kemudian mereka kembali beranjak, meninggalkan jejak-jejak tak terlihat di trotoar jalanan menuju stasiun.
"Betsu ni..." (Bukan apa-apa, hanya saja...) ujar Akashi, menggantung kalimatnya. Pandangannya masih terfokus pada ujung-ujung sepatunya yang bergerak bergantian menapaki bumi.
"Kise kun to kenka shite imasuka?" (Apakah kau bertengkar dengan Kise kun?)
"Kenka tte iu wake janai kedo na..." (Dibilang bertengkar juga tidak sih...)
Kuroko menelengkan kepalanya, tampak berpikir namun sejurus kemudian wajahnya sarat akan kebingungan. Tampaknya ia tak dapat menarik kesimpulan dari jawaban Akashi yang setengah-setengah itu.
"Na, Tetsuya..." Pemilik surai merah itu kembali bersuara. "Jika seorang teman menciummu, apa itu berarti dia menyukaimu?"
"Sou kamoshiremasen." (Mungkin saja)
"Meskipun setelah itu dia sendiri yang menarik diri darimu dan berusaha kabur?" Kali ini nada Akashi sedikit mendesak.
"Wakarimasen. (Aku tidak tahu) Tapi, tidakkah sebaiknya kau pastikan sendiri dengan bertanya padanya? Semua tak akan menjadi jelas jika kau hanya menduga-duga, Akashi kun." Pemuda expressionless itu berujar, membuat Akahi berpikir ulang. Ya, ia harus memastikannya.
~o0o~
Pagi itu Kise bangun pagi-pagi sekali, lebih awal dari biasanya. Sebelum berangkat menuju Teikou, ia ingin menjemput sahabatnya, Akashi Seijuurou. Sempat terbersit keraguan dibenaknya saat mengingat tatapan dingin dari pemuda bermata ruby itu beberapa waktu lalu, namun tekatnya untuk berbaikan dengan Akashi memaksanya untuk mengesampingkan itu. Entah kenapa, Kise tak pernah bisa berlama-lama bertengkar atau saling mendiamkan satu sama lain jika itu dengan Akashi.
Kise masih berdiri menyandar pagar rumah dengan dominasi warna merah bata itu ketika seseorang membuka pintu pagar, membuatnya berderit pelan. Mengangkat kepalanya, secara otomatis pemuda pirang itu tersenyum cerah seakan sedang berlomba dengan sang mentari pagi.
"Ohayou, Akashicchiii !"
Sementara itu, si pemuda lust red tampak melebarkan manik rubynya seolah tak menyangka. Dan...
"Sedang apa kau disini?" ...hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya.
"Heee...hidoi'ssu! Kenapa bertanya begitu?! Tentu saja aku menjemputmu untuk berangkat sekolah bersama, seperti kebiasaan lama kita..." Kise mulai merajuk.
Akashi tak kuasa mendenguskan tawa, "Ya. Kebiasaan lama, kan?" ujar Akashi, menekankan kata 'lama'. "Bukankah biasanya Kasamatsu yang menjemputmu? Kemana dia?"
Kise terhenyak. Ia tak pernah suka jika Akashi mengungkit hubungannya dengan Kasamatsu saat mereka sedang berdua. Entah bagaimana, ia merasa tak nyaman. Mungkin, karena sikap Akashi yang selalu berubah dingin padanya saat membicarakan itu. Kise sendiri tak mengerti mengapa Akashi bersikap demikian. Yang bisa ia simpulkan sementara ini adalah kemungkinan bahwa Akashi merasa tidak suka pada Kasamatsu yang selalu menyita waktu Kise sehingga waktu kebersamaan mereka berkurang.
"Akashicchi, bisakah kita tidak membicarakannya saat berdua?" pinta pemuda pirang itu. Ini jarang terjadi, namun kali ini nadanya terdengar serius.
"Kenapa?" Manik ruby itu mengarah lurus padanya, menyelami manik emas milik Kise. "Kau seperti ingin lari dari kenyataan, Ryouta."
"Bukan begitu... aku— hanya tak nyaman dengan caramu menyebut namanya. Aku juga tak mengerti mengapa kau sepertinya sangat membenci Kasamatsu senpai. Kurasa ia tak pernah melakukan sesuatu yang buruk padamu. Atau... kau cemburu padanya?"
Tidak mungkin. Kise menjawab pertanyaannya sendiri dalam hati. Karena ia tahu, perasaannya pada sahabatnya ini tak berbalas. Seorang Akashi Seijuurou tak mungkin menyukai seorang Kise Ryouta. Sejak awal hanya ada persahabatan di antara mereka. Persahabatan yang bahkan tak pernah mereka ikrarkan. Mungkin hanya Kise yang menganggap hubungan pertemanan mereka sedekat itu. Mungkin...
"Kalau itu benar, apa kau keberatan?" Akashi berujar rendah.
Kali ini Kise memandangnya lekat sebelum mengawali tanggapannya dengan senyum hambar. "Haha... Arienai'ssu. (Itu tak mungkin'ssu) Jangan bercanda dan meledekku karena ciuman tempo hari. Aku benar-benar minta maaf soal itu, Akashicchi. Aku tidak sengaja... aku tidak berpikir—,"
"Jadi, kau melakukannya tanpa maksud apa-apa? Kau hanya mempermainkanku?"
"Bukan begitu!" Tanpa sadar Kise meninggikan nadanya. Napasnya tercekat. Salah paham. Kau salah paham... Ia ingin menjelaskannya pada pemilik manik ruby yang masih menatapnya dingin itu. Namun lidahnya tiba-tiba terasa kelu.
"Aku... sebenarnya aku..." Kise menelan ludahnya susah payah. Kali ini ia pasrah jika Akashi membencinya dan memutuskan untuk menghindar darinya. "Akashicchi... bolehkah aku mengatakan bahwa aku menyukaimu?" Pemuda pirang itu menunduk dalam-dalam. Matanya panas, tenggorokannya terasa kering, tak urung dadanya berdebar tak keruan. Ia belum siap kehilangan...
"Bodoh." Akashi tiba-tiba memukul kepala kuning itu. Kise meringis meski pukulan itu tak seberapa.
"Aku tahu—," Kise berusaha membantah seraya mengangkat kepala, namun tangan Akashi yang masih bertengger di puncak kepalanya tak mengizinkannya mendongak.
"Kenapa kau harus meminta izin? Kau bebas untuk menyukai siapapun." Pemuda bersurai merah itu mengacak lembut helaian pirangnya.
Kise terpaku sejenak sebelum mencengkeram kuat pergelangan tangan pemuda mungil itu, menyingkirkannya dari puncak kepalanya lalu menatap manik ruby itu dalam-dalam. "Kau tak marah padaku?" tanyanya.
"Marah? Kenapa?"
"Iya... maksudku, aku menyukaimu. Suka dalam artian suka, bukan sebagai teman, sahabat atau..."
"Cukup. Kita sudah terlambat." Akashi melirik jam tangan digital yang melingkar di pergelangan tangannya lantas berjalan cepat, meninggalkan Kise di belakangnya.
"Mou... Akashicchiii, kau belum menjawab pertanyaanku'ssu yo!"
Pemuda pirang itu mengejarnya sambil merapal pertanyaan yang sama. Kau tidak marah? Kau tidak keberatan? Kau tidak akan menjauhiku, kan, Akashicchi?
~o0o~
Kise mematut diri di depan cermin, memastikan penampilannya tanpa cela. Ia tak mengenakan kemeja branded luar negeri atau sepatu kulit mengilat yang mendukung image kasualnya di depan kamera. Ia hanya mengenakan sehelai kaus yang nyaman dengan potongan lengan sepanjang siku dibalut mantel tebal merah kecokelatan, celana jeans yang sobek di beberapa bagian, dan sebuah topi baseball untuk melengkapi penyamarannya di Minggu pagi yang cerah ini. Ia sengaja mengosongkan jadwalnya karena sudah berjanji akan menemani Akashi membeli bola basket baru di sport center. Ia juga sudah berencana menyeret Akashi ke game center yang tak jauh dari sana sepulangnya nanti.
Seperti biasa, Kise menjemput Akashi, menunggunya muncul dari balik pintu kayu rumahnya lalu, secara otomatis, ia akan menyambut pemuda mungil itu dengan senyum merekah. Tak disangka, Akashi mengenakan pakaian senada dengannya. Sweater merah maroon dan celana jeans komprang selutut lengkap dengan sepatu kets. Imut, namun tak meninggalkan kesan kerennya.
Mereka menghabiskan waktu bersama seharian, seperti dulu. Rasanya sudah lama sekali mereka tak melakukannya. Semenjak Kise memiliki kekasih, Kise seolah selalu dikawal. Pergi atau pulang sekolah dengan Kasamatsu; hari Minggu kencan dengan Kasamatsu; pergi ke pemotretan diantar Kasamatsu; dan blablabla... dengan Kasamatsu... Kasamatsu... semua tentang Kasamatsu Yukio. Entahlah, apa ini bukan seperti memenjarakannya? Sampai sekarang pun Akashi tak habis pikir dengan itu. Apakah pacaran memang harus seperti itu? Akashi tak tahu. Ia tak pernah mengalaminya. Belum, mungkin. Dan perlu ditekankan disini, ia tak punya waktu untuk itu. Ia adalah seorang Akashi Seijuurou, pewaris kerajaan bisnis Akashi Group. Sebelumnya ia berpikir bahwa Kise sedang terpenjara, namun sebenarnya, dialah yang paling tahu apa arti kata 'terpenjara' itu. Ya, karena sejak ia dilahirkan―atau mungkin bahkan sebelum itu―ia tak pernah ditakdirkan hidup bebas memilih jalan yang ia inginkan. Beruntung, saat ini ia diberi kepercayaan untuk tinggal seorang diri (dengan pengawasan pengurus rumah tangga) di Tokyo demi pendidikannya dan meninggalkan sejenak kediaman ayahnya di Kyoto. Bagi Akashi, ini sudah lebih dari cukup untuk disebut bebas, mungkin.
Setelah mendapatkan yang dicari di sport center, seperti rencana awal, Kise menyeret Akashi masuk ke dalam salah satu game center terbesar di daerah Shibuya. Pemilik iris madu itu mengajak Akashi adu three point di salah satu mesin game. Karena tak puas dengan hasil kekalahannya, Kise kembali menarik Akashi ke permainan balap mobil. Dan, lagi-lagi ia kalah. Belum jera, Kise melepas mantelnya―udara dingin bulan November seolah tak menjadi halangan baginya―dan menarik Akashi untuk terjun ke lantai dance dance revolution. Demi Tuhan, Akashi benci dengan game yang satu ini. Siapapun pencipta mesin permainan bodoh ini, Akashi ingin sekali melenyapkannya. Namun, karena tak tahan dengan rengekan maut dan air mata buaya Kise, akhirnya Akashi meladeninya dengan setengah terpaksa. Hasilnya? Mungkin sulit membayangkan seorang Akashi Seijuurou menari hip hop tapi, yah, pemuda jenius ini tak terkalahkan meski selisih poinnya miris bagi Kise yang bahkan telah mengeluarkan jurus copycatnya demi memenangkan game itu. Padahal, kalau dengan Kasamatsu, ia selalu menang dalam setiap permainan (kecuali dance dance revolution karena Kasamatsu tak pernah mau). Entah Kise yang memang jago atau Kasamatsu yang tak mau mendengar rengekan pemuda pirang itu. Tapi, Kise merasa bahwa pergi bersama Akashi lebih menyenangkan baginya. Meski ia tak pernah menang dalam setiap permainan, namun bersaing dengan Akashi sangatlah menyenangkan. Mungkin karena ia selalu bermain jujur tanpa ada niat mengalah karena kasihan padanya.
...
Tak terasa, hari pun beranjak sore ketika matahari mulai tergelincir turun dari singgasananya di langit.
"Sudah sore. Sebaiknya kita pulang." Pemuda lust red itu berujar.
"Tunggu! Masih ada satu lagi. Tunggu disini sebentar ya, Akashicchi !" Kise pun melesat pergi tanpa mendengar persetujuan Akashi. Akashi sendiri tak berniat menjawab, hanya menghela napas pasrah dengan tingkah hiperaktif temannya ini. Beberapa saat kemudian, pemuda pirang itu kembali dengan mendekap boneka kelinci berbulu putih yang memakai setelan jas lengkap dengan dasi kupu-kupu merah.
"Ini. Untuk Akashicchi." Disodorkannya boneka itu kepada Akashi yang tampak sudah lelah menunggu dan berakhir mendamparkan diri di sebuah kursi kayu dekat pintu keluar game center.
"Apa ini? Lagipula, kemana saja kau? Lama sekali." Protes Akashi ketus.
"Maaf... tadi kupikir bisa terambil dengan mudah, tapi ternyata susah sekali mendapatkan yang ini.. hehehe," ujar Kise beralasan.
"Kau mengambilnya dari mesin?"
"Uhm!" Kise mengangguk dengan senyum lebar yang masih melekat di wajahnya. Entahlah, ia terlihat seperti boneka porselen dengan leher pegas yang sedang manggut-manggut. Imut, membuat Akashi sekuat tenaga menahan senyum agar terlihat masih kesal dan marah karena dibuat menunggu terlalu lama. "Akashicchi tidak suka?" Manik emas itu membiaskan kekhawatiran.
Tak langsung menjawab, Akashi bangkit dari duduknya, menyambar boneka kelinci itu lalu berujar sambil lalu, "Suka, kok. Terima kasih," lalu berjalan meninggalkan Kise yang masih mematung di tempatnya. Namun, tak lama kemudian, Kise tersenyum senang dan berlari mengejar pemuda bermata ruby itu.
...
Langit telah gelap. Matahari telah bersembunyi di belahan bumi yang lain. Kini hanya cahaya lampu-lampu kota yang meramaikan suasana kehidupan Tokyo. Saat ini, Akashi dan Kise sedang duduk berhadapan dengan meja kayu berpelitur di antara mereka, sedang menunggu pesanan mereka diantar. Restaurant itu cukup berkelas namun tak semahal yang biasa dikunjungi Akashi biasanya. Tadinya, Kise bersikeras tak ingin makan di tempat semahal ini―oh, ayolah. Untuk ukuran seorang Junior High, makan di tempat seperti ini terlalu berlebihan, bukan?―namun Akashi memaksanya. Akhirnya, tanpa banyak perlawanan, Kise pun setuju setelah Akashi berkata dengan tegas, "Ore ga harau kara, damatte tsuite koi." (Aku yang akan membayarnya, jadi, diamlah dan ikut saja)
Tak lama, pesanan pun datang. Seorang pelayan dengan seragam khas bernuansa hitam putih itu menghidangkan dengan hati-hati sebuah steak hot plate untuk Akashi dan sepiring spaghetti carbonara untuk Kise. Makan malam ini akan lebih terasa romantis jika ada dua gelas tangkai berkilau yang diisi sedikit cairan anggur pekat, namun karena usia keduanya yang masih belia, mereka belum diijinkan untuk itu. Sebagai gantinya, sang pelayan menghidangkan dua gelas jus buah untuk mereka.
"Itadakimasu," Mereka mengucapkannya hampir bersamaan, meski dengan nada yang berbeda. Akashi mengucapkannya dengan nada rendah seperti biasa, sedangkan Kise dengan suara lantangnya yang kelewat semangat. Namun, detik berikutnya, gerakan tangan pemuda pirang itu berhenti memutar garpu di atas sendoknya―untuk menggulung untaian spaghetti―ketika mendapati ponsel di saku celananya bergetar. Meletakkan sendok dan garpunya, ia memusatkan perhatian pada ponsel itu.
Akashi mencoba untuk tak ambil pusing dan masih berusaha fokus dengan irisan dagingnya, namun itu tak bertahan lama.
"Kasamatsu?" Pemuda bersurai merah itu bertanya tanpa tedeng aling-aling, namun masih berusaha menyembunyikan nada tak suka dalam suaranya.
Kise tak benar-benar menjawab, hanya bergumam mengiyakan dan memandangnya sambil lalu sebelum mengalihkan pandangannya lagi ke ponsel itu. Sekarang, Akashi benar-benar berhenti memotong dagingnya, memandang Kise lekat-lekat dan berkata, "Pergilah."
Kise mengangkat wajahnya, menatap Akashi dengan raut terkejut.
"Tapi, Akashicchi..."
"Tak apa. Aku bisa pulang sendiri setelah menghabiskan ini." Ujar pemuda bermata ruby itu berlagak santai.
"Kalau begitu, aku akan kembali lagi kesini setelah menyelesaikan urusanku. Bisakah kau menungguku?"
Akashi tampak ragu, namun akhirnya ia menjawab, "Ya. Cepatlah kembali."
~o0o~
Kise sampai di sebuah taman tak jauh dari stasiun Shibuya. Meski penerangan di area taman agak temaram, Kise berhasil menemukan sosok pemuda raven yang tengah duduk termenung di atas ayunan. Pemuda pirang itu segera mendekat pada kekasihnya.
"Senpai, sedang apa disini?"
Pemuda bermata onyx itu mendongak begitu mendapati suara yang tak asing baginya. "Kau sudah datang?" Kemudian, Kise dapat menangkap senyum lelah di pemuda itu. Senyum yang dipaksakan. Pemuda yang lebih tinggi itu segera mengambil duduk di ayunan sebelahnya. "Ada apa, Senpai ? Apa terjadi sesuatu yang buruk?" Kise bertanya, nada simpati itu murni dari hatinya.
"Kami kalah dalam pertandingan hari ini."
Jawaban itu seolah menampar Kise keras-keras. Ya, hari ini―siang tadi―diadakan pertandingan babak semifinal tingkat nasional yang diikuti seluruh Senior High di Jepang. Kasamatsu meminta Kise untuk datang menonton pertandingannya namun di hari sebelumnya Kise terlanjur berjanji akan menemani Akashi ke sport center jadi dengan terpaksa ia menolak ajakan Kasamatsu. Sekarang ia merasa bersalah. Seharusnya ia berada disana tadi. Datang ke gedung olahraga, memberinya semangat dan membawakan air minum untuknya di sela waktu istirahat pertandingan. Kise merasa kekalahan Kasamatsu kali ini disebabkan olehnya.
"Maafkan aku... gara-gara aku tidak bisa datang... senpai jadi..." Kise menunduk dalam-dalam. Tak ada sahutan dari Kasamatsu, namun sesaat kemudian, Kise bisa merasakan kelembutan tangan Kasamatsu yang membelai helaian pirangnya.
"Kau tidak perlu minta maaf. Ini bukan salahmu. Aku sendirilah yang kurang becus sebagai kapten Kaijou," ujar pemuda mungil itu sambil mengulas senyum tipis. Senyum yang membuat dada Kise terasa semakin teriris. Semakin melihatnya, semakin membuat Kise ingin memeluk pemuda itu. Ada suatu dorongan yang membuatnya ingin melindungi sosok yang sedang rapuh di hadapannya. Seketika itu juga Kise melakukannya, beranjak meninggalkan ayunan yang bergoyang karena pergerakannya yang tiba-tiba lalu mendekap pemuda raven itu lembut.
~o0o~
Lilin di meja makan telah padam. Para pengunjung restaurant satu per satu telah meninggalkan kursi mereka, namun tidak dengan Akashi. Pemuda bersurai merah itu masih disana, duduk bergeming. Semua makanan dan minuman yang terhidang di mejanya masih seperti sedia kala. Masih sama seperti saat Kise meninggalkannya. Steak yang baru seperempat teriris dan spaghetti yang setengah tergulung di garpunya namun terhenyak begitu saja, tak sempat dimakan. Akashi menatap highball glass yang berisi jus di atas meja seolah gelas itu sedang melakukan pertunjukan tari yang menyita seluruh perhatiannya, walau sebenarnya isi kepala merah itu melayang jauh. Jauh menembus dimensi waktu, menarik dirinya kembali ke masa lalu. Kita hanya perlu mengganti latar belakang cerita ini, memundurkan waktu, menggeser tempat kejadian, dan... poof! Hal ini terulang lagi. Bagai lingkaran dejavu yang tak pernah berakhir. Kise meninggalkannya di tengah waktu yang seharusnya mereka lalui bersama. Terlebih, dengan alasan yang sama; demi orang itu. Kasamatsu Yukio. Akashi hanya bisa tersenyum miris saat mengingat posisinya. Posisi mereka. Dirinya yang hanya sebagai sahabat, sedangkan Kasamatsu Yukio sebagai kekasih si pemeran utama. Semua ini berawal dari setahun lalu, ketika Kise tiba-tiba memutuskan untuk menjalin hubungan dengan kapten Tim Basket Kaijou Senior High.
Suatu hari, ketika orang tua dan kakak-kakak Kise tak ada di rumah, mereka memutuskan untuk mengerjakan PR bersama di rumah Kise. Namun, baru dua-tiga nomor soal matematika terjawab, Kise mendapati ponselnya bergetar dan sejurus kemudian ia mengatakan pada Akashi bahwa ia harus pergi untuk menemani Kasamatsu ke perpustakaan kota. Saat itu ia juga berkata...
"Tunggulah sebentar. Aku akan segera kembali,"
Lalu ia pergi.
Beberapa saat kemudian, ia akan muncul di hadapan Akashi, membuatnya bingung dengan arti kata 'sebentar' yang Kise maksud. Pemuda pirang itu akan membungkuk, menyatukan kedua telapak tangannya ke depan lalu dengan wajah memelas, ia akan berkata...
"Maafkan aku Akashicchi..."
Akashi marah... Akashi kesal... Tapi, ia tak pernah bisa membenci pemuda itu. Entah bagaimana, ia selalu berakhir dengan memaafkan Kise.
Di lain waktu, Akashi pernah dengan tergesa-gesa menyelesaikan revisi proposal kegiatan OSIS yang ia ketuai demi memenuhi janjinya datang tepat waktu di lapangan basket dekat rumahnya karena Kise mengajaknya one-on-one. Dan, ya, ia sampai disana pukul lima tepat, tak kurang tak lebih. Namun, tak ada seorangpun di lapangan kala itu. Matahari beranjak pergi menuju belahan bumi lain, meninggalkan guratan merah bercampur kuning di langit barat. Dada Akashi mencelos ketika ia akhirnya mengeluarkan ponsel dari tasnya untuk melihat aplikasi jam dan menemukan sebuah pesan belum terbaca...
Fri, 12-10-12 05:55PM
from : Ryouta
subject : Hontou ni gomen!
Akashicchi, aku benar-benar minta maaf. Aku tak bisa datang. Kasamatsu senpai sakit. Aku tak bisa meninggalkannya sendiri. Kita one-on-one lain kali saja ya? Gomeeeeeeennn'ssu [x/\x]
-―-―-―-end-―-―-―
~o0o~
So if you want to love me
Then darling don't refrain
Or I'll just end up walking
~o0o~
Kise berlari sekuat tenaga. Jarum jam dipergelangan tangannya hampir menunjukkan pukul sebelas. Ia nyaris bernapas lega ketika mendapati bangunan restaurant yang sudah mulai dekat. Kise berbelok, masuk ke bangunan bernuansa Eropa itu. ia bergegas menuju lantai dua, lantas manik madunya bergerak liar, mencari-cari sosok yang ia inginkan. Namun, ia tak menemukannya. Di sebuah meja kayu dengan dua kursi berhadapan yang terletak di balkon restaurant, disanalah ia seharusnya berada. Nyatanya, pemuda itu tak ada disana. Yang ia temukan hanya seonggok kantung belanja yang di dalamnya terdapat bola basket baru dan boneka kelinci berbulu putih yang mengenakan setelah jas. Pelayan restaurant tampak sedang membereskan apa-apa yang terletak di atas meja. Kise dapat melihat pelayan mengangkut sepiring steak dan spagetti juga dua gelas jus yang masih utuh. Detik berikutnya, pelayan itu menelengkan kepala sambil mengambil kantung belanja yang ia kira tertinggal.
"Ah, maaf... Itu milik temanku. Bolehkah aku membawanya?" Kise bertanya pada pelayan itu. Sang pelayan pun mempersilakan Kise untuk membawa kantung belanjaan itu bersamanya.
Kise melangkah gontai meninggalkan restaurant itu. Ia tahu, kali ini mungkin Akashi tak akan memaafkannya lagi.
~o0o~
Akashi tak tahu bagaimana ia bisa sampai disini. Ia tak ingat telah menaiki kereta atau taksi. Yang pasti, sekarang ia sudah berada di depan rumah keluarga Kuroko. Ia menekan bel sekadarnya. Tak ada jawaban. Ia menekan lagi. Hingga pada yang ke tiga kalinya, Kuroko Tetsuya muncul dari balik pintu.
"Akashi kun ?" Kuroko bergumam sambil mengusap matanya. Manik sewarna langit itu memandang Akashi bingung, seolah bertanya, sedang apa malam-malam disini?
"Bolehkah malam ini aku menginap disini, Tetsuya?"
To be continued...
