Disclaimer : Boboiboy © Monsta Studio, Sebenarnya © Akasuna no Yumi

Warning : AU, Elemental Siblings, gaje, OOC, typo(s)


"Kak Haliiiiiiiiii"

"Berisik!"

"Kak Haliiiiiiii– mmpph"

Dengan kejamnya Halilintar menyumpal mulut adiknya yang berisik dengan potongan roti yang 'agak' besar.

Halilintar mendengkus, "masih mending kusumpelin roti mulutmu itu."

Taufan mau tidak mau harus mengunyah rotinya kemudian menelannya.

"Hehe... Kak, bantuin aku ngerjain PR fisika dong!"

"Ga mau."

Taufan cemberut, "ayolah kak. Kak Hali baik deh, hehe."

Halilintar mendelik pada adiknya yang tengah nyengir. Halilintar heran, kenapa anak ini selalu nyengir sih. Seperti tidak pernah ada sedih-sedihnya sama sekali.

"Kak Hali, plissss."

Menghela napas lelah, Halilintar memutuskan untuk membantu adiknya yang kurang ajar itu.

Satu jam dihabiskan Halilintar untuk membantu Taufan mengerjakan PR. Demi apapun, Halilintar menyesal untuk membantu Taufan. Adiknya itu cukup bebal dalam menghitung. Selama membantu adiknya, Halilintar menahan diri untuk tidak membuang Taufan ke laut.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Nah kan, Gempa sudah pulang dengan membawa dua kantung plastik yang Halilintar yakini sebagai belanjaan bahan makanan. Sebagai kakak yang baik, Halilintar membantu Gempa membawakan belanjaannya ke dapur dan dibalas ucapan terima kasih olehnya.

Saat kembali ke ruang tamu, Halilintar tak melihat Taufan. Mungkin dia di kamar, pikirnya.

Halilintar membereskan alat tulis Taufan dan berniat untuk mengembalikannya. Sebenarnya Halilintar ogah pergi ke kamar adik pertamanya, tetapi sebagai kakak yang baik (lagi), dia melakukannya.

Kebetulan pintu kamar Taufan terbuka sedikit, sehingga Halilintar tak perlu repot-repot mengetuknya. Baru saja tangannya terangkat untuk membuka pintu, ia melihat Taufan sedang duduk di ranjangnya dengan membelakangi pintu. Entah apa yang dilakukannya.
Halilintar berniat untuk mengintip sebentar.

"Hahaha..."

Halilintar melotot. Alat tulis adiknya ia remat. Halilintar menelan ludahnya susah.

"Hehe, akhirnya..."

Kali ini jantung Halilintar berpacu lebih cepat. Masih dengan mengintip adiknya, Halilintar memikirkan semua kemungkinan yang sedang terjadi pada adiknya.

Apakah Taufan menjadi gila karena otaknya tak sanggup menampung semua rumus yang diajarkan olehnya?

Atau jangan-jangan... Taufan kesurupan!

Halilintar menggeleng kencang. Mana mungkin anak seperti Taufan kesurupan, yang ada malah setan yang kesurupan adiknya.

Kemungkinan terakhir. Halilintar ragu untuk mengatakannya.

"Jangan-jangan... Itu bukan... Taufan?"

Mata merahnya dipaksa terbuka lebar, detak jantungnya semakin cepat, keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Halilintar berusaha untuk tenang tapi tak bisa.

Bagaimana ini?! Halilintar ingin pergi dari kamar Taufan tapi kakinya terasa kaku dan tak bisa digerakkan.

Puk

"AAAAAAAAAAAAAAA"

...

"AHAHAHAHAHA"

"Kak Taufan, udah dong. Kasian kak Hali."

Taufan masih tertawa terpingkal-pingkal hingga menggebrak meja makan. Gempa hanya mengembuskan napas dan setia mengelus punggung si sulung. Halilintar sendiri sedang menyeruput teh anget buatan Gempa dengan perlahan dan wajahnya masih pucat.

Kalian penasaran apa yang terjadi sebelumnya?

Jadi saat Halilintar masih mengintip Taufan, adik bungsunya tak sengaja melewati kamar Taufan dan melihat Halilintar yang berdiri di depan pintu. Gempa penasaran kenapa kakak sulungnya diam saja di depan pintu kamar Taufan. Kemudian Gempa menepuk pelan pundak kakak sulungnya yang kebetulan sedang parno.
Alhasil Halilintar berteriak dan melempar semua alat tulis Taufan. Untung saja alat tulisnya tidak mengenai Gempa.

"Kak Hali udah baikan?"

Halilintar mengangguk lemas. Gempa kembali mengembuskan napas. Taufan berusaha meredakan tawanya.

"Haha, lagian ngapain sih kak Hali ngintipin aku? Kepo ah, hahahaha."

"Berisik," Halilintar mendelik

Gempa menggeleng, "udah jangan mulai berantemnya. Kak Hali, maafin aku ya, tadi bikin kaget kakak."

Halilintar mengangguk singkat. Sebenarnya ia tidak terlalu mempermasalahkan kejadian saat ia ketakutan tadi. Ia hanya masih berpikir. Halilintar ingin bertanya pada Taufan tapi ia yakin adiknya pasti tidak mau menjawab.


Halilintar membereskan bukunya kemudian memasukannya ke dalam tas. Setelah itu ia berjalan menuju gerbang sekolah.

Memangnya ada apa di gerbang sekolah? Ada warung tidak jauh dari situ. Halilintar haus dan ingin membeli sesuatu yang segar. Dikarenakan Halilintar malas ke kantin, jadilah ia membelinya di warung depan sekolah. Sekalian pulang ke rumah.

Kerutan muncul di dahi Halilintar. Kedua matanya menyipit untuk melihat lebih jelas.

Itu Taufan!

Sedang apa Taufan di dekat gerbang? Biasanya setelah pulang sekolah ia keluyuran dulu. Mungkin menunggu teman setongkrongannya(?).

Halilintar melewati Taufan begitu saja. Baru saja ingin mengambil minuman dari kulkas warung, tiba-tiba ada yang menahan tangannya kemudian memeluknya.

"Kak Hali~"

Halilintar memutar bola matanya malas. Anak ini kenapa sih.

"Apa?"

"Pulang bareng, yuk!"

"Biasanya juga keluyuran dulu."

Taufan yang masih memeluk tangan kakaknya pura-pura terkejut. Taufan melebarkan mulutnya, "aku...aku tidak menyangka, kak Hali selama ini memperhatikanku!"

"Terserah."

"Ayo kak Hali, pulang bareng!"

"Ga mau."

"Ihh, kak Hali kok jahat sih?"

"Bodo amat."

"Ayo! Ayo!" Taufan menarik-narik tangan kakaknya

"Lepasin!"

"Ga mau, wleee." Taufan menjulurkan lidahnya, masih dengan menarik-narik tangan kakaknya.

"Ishh... Iya, iya!"

"Yeaay"

Setelah bersorak gembira, Taufan langsung menarik kakaknya dengan kasar. Yah, doakan saja Taufan tidak diapa-apakan oleh kakaknya nanti.

"Kak Hali, aku mau es krim!"

"Beli sendiri."

"Beliin!"

"Aku bilang, beli sendiri!"

"Kak Hali jahat, ah..."

Halilintar menoleh. Taufan memandang lurus ke depan dengan senyum kecil terpatri di wajahnya. Halilintar yang melihat itu entah kenapa merasa sedikit... Kasihan?

"Mau es krim rasa apa?"

Taufan menoleh,"rasa stroberi, kak."

Halilintar berjalan menuju tukang es krim kemudian memesan satu es krim. Setelah itu ia membayar pesanannya.

"Ini," Halilintar menyodorkan es krim

"Wah, terbaiklah."

Mereka melanjutkan jalan menuju rumah. Halilintar berjalan dengan tenang. Sedang Taufan berjalan sambil memakan es krimnya.

"Kak Hali,"

"Hm?"

"Terima kasih, ya."

Halilintar melirik Taufan. Sebenarnya anak ini kenapa sih? Ada yang aneh dari Taufan tapi Halilintar sendiri tidak tahu apa itu.

"Ya."


Laki-laki serba biru putih berjalan jinjit melewati ruang tamu yang gelap. Kepala ditengokkan kesana kemari untuk memastikan bahwa laki-laki itu aman.

Tapi sepertinya dewi fortuna sedang tidak berpihak pada Taufan.

Ctek(?)

Ruangan yang semula gelap menjadi terang.

"Dari mana aja kamu, Taufan?"

Mata Taufan terpejam erat dan ia mengembuskan napas perlahan. Tamatlah riwayatnya.

"Taufan!" Halilintar menuntut jawaban

"Da-dari emm rumah temen..."

"Oh ya?"

Halilintar mendekati adiknya kemudian mencubit pipi adiknya yang membuat Taufan meringis.

"Ah, sakit, kak..."

"Kali ini dengan siapa?"

"Ma-maksud kakak?"

Halilintar berdecak, "ga usah bohong kamu!"

"A-ak–"

"Luka lebam ini! Apalagi kalau bukan habis berkelahi!" Halilintar membentak adiknya

Taufan terdiam menatap kakaknya dengan terkejut kemudian Taufan menunduk.

"Kak Hali? Kak Taufan?"

Merasa terpanggil, keduanya menengok ke sumber suara.
Gempa mengucek matanya, suara Gempa pun terdengar baru bangun tidur.

Halilintar mengembuskan napas. Karena tadi ia membentak Taufan, adik bungsunya jadi terbangun.

"Gempa, sebaiknya kamu tidur lagi."

"Emm?" Sepertinya Gempa belum sepenuhnya sadar

"Kamu tidur lagi, Gempa."

"Hah?"

Ngek

Halilintar facepalm. Taufan cengo. Gempa masih linglung.

"Kak Taufan emm ngomong apa?"

"Hah? Aku ga ngomong apa-apa kok. Kak Hali tuh yang ngomong sama kamu." Taufan mengibas tangannya

"Oh, kak Hali? Hoaamm ada apa kak?" Gempa menguap

Halilintar memejamkan mata dan menetralkan napasnya yang memburu karena menahan amarah.

"Kamu–"

"Hoaam... Aku ngantuk. Aku tidur duluan ya, kakak sekalian."

Ngek

Halilintar facepalm part dua. Taufan cengo part dua. Gempa berjalan terhuyung menuju kamarnya.

Krieet

Blam

Pintu kamar Gempa sudah tertutup dengan sempurna. Bungsu Boboiboy kembali tidur, menyisakan dua Boboiboy lainnya yang masih berada di ruang tamu.

"Kamu tunggu sini!" Perintah Halilintar

Taufan hanya mengangguk singkat. Selama menunggu kakaknya yang entah sedang apa, Taufan mengelus wajahnya yang dihiasi lebam.

"Apa benar bahwa aku ti–"

Taufan tak melanjutkan perkataannya karena kakaknya telah datang dengan membawa kotak apa itu? Oh ya, jangan bilang bahwa Taufan akan diobati oleh kakaknya.

"Akan aku obati lukamu. Diam dan menurutlah!"

"Ga mau!"

"Taufan! Kemari! Mau kemana kamu?!"

Taufan berlari menghindari kejaran kakaknya. Mereka berdua kejar-kejaran mengelilingi sofa ruang tamu sambil berteriak. Semoga saja mereka tidak dimarahi tetangga karena berisik.

Setelah adegan kejar-kejaran yang akhirnya Halilintar bisa menangkap Taufan kemudian mengobati lukanya, kini sulung Boboiboy menginterogasi adiknya.

"Kenapa kamu berkelahi? Dengan siapa?"

Taufan mengembuskan napas sebelum menjawab, "dengan... Kakak kelas."

Halilintar mengeraskan rahangnya, "kenapa?"

"Ka-karena... Umm..." Taufan menggaruk pelipisnya

"Tunggu! Masih ada satu luka yang harus diobati."

"H-hah?"

Halilintar menarik kedua tangan adiknya. Punggung telapak tangan adiknya lecet dan sedikit mengeluarkan darah. Bagaimana bisa Halilintar luput dengan luka yang satu ini?

Tak ingin ada yang terlewat lagi, Halilintar memindai tangan adiknya.

"K-kak?"

Dibawah telapak tangan adiknya, tepatnya di bagian yang terlihat pembuluh darahnya, banyak goresan-goresan yang agak panjang. Halilintar yakin itu bukan luka baru karena tidak ada darah sedikitpun yang muncul dan ruam merah yang mengelilingi luka itu.

"Taufan, pergelangan tanganmu kena–"

Belum sempat menyelesaikan perkataannya, Taufan menarik tangannya. Halilintar yang akan marah mendongak dan terkejut melihat pemandangan tidak biasa dari adiknya.

Tak ada ekspresi wajah yang biasa Taufan sematkan. Kali ini wajahnya datar tanpa ekspresi, melebihi Halilintar sendiri. Tatapannya dingin dan menusuk. Kedua mata biru yang biasanya cerah kini redup.

Sangat bukan Taufan.

"Taufan?" Halilintar memanggil pelan adiknya

Taufan berlalu tanpa menjawab panggilan kakaknya.

Kriiet…

BLAM

Halilintar terperanjat. Adiknya menutup pintu dengan sangat keras hingga menimbulkan suara yang keras pula.

Halilintar mengatupka bibirnya. Pikirannya berkelana. Taufan terlihat sangat berbeda. Apa yang terjadi pada adiknya?

Halilintar mengembuskan napas perlahan. Tiba-tiba kepalanya terasa pening. Halilintar memijat pelan pangkal hidungnya.

"Apa yang terjadi sebenarnya?"


Hari ini adalah hari minggu. Dimana seharusnya Halilintar bisa bersantai. Nyatanya tidak. Kedua adiknya sedang pergi. Gempa mengerjakan tugas kelompok di rumah temannya hingga sore, sedangkan Taufan pergi entah kemana.

Sebelum pergi, Gempa berpesan padanya agar membereskan rumah. Setelah mendengar pesan itu, ingin rasanya Halilintar ingin mengamuk saja karena hari liburnya diganggu. Namun ia tak tega saat Gempa berkata sambil memasang senyum tak enak padanya. Ya sudahlah.

Halilintar merasa tak perlu membereskan kamarnya karena kamarnya cukup rapi. Dan Halilintar pun juga tak perlu membereskan kamar adik bungsunya karena ia yakin pasti kamar Gempa sangat rapi dan bersih.

Kamar Taufan. Halilintar menghela napas saat mengingat kamar adik pertamanya.
Dengan sangat terpaksa Halilintar membawa dirinya melangkah menuju kamar Taufan.

Krieeet

"HAH?!"

Rasanya Halilintar ingin mengubur diri saja dan tidak akan pernah kembali ke kamar adik pertamanya.

Kamar Taufan sangat amat jauh sekali dari kata rapi. Halilintar, itu pemborosan kata!

Halilintar tak bisa memikirkan lagi apa yang telah diperbuat oleh adiknya sehingga kamarnya bisa sangat kacau seperti ini.

Halilintar mulai memindai. Bantal dan guling berserakan dimana-mana, buku komik pun sama. Tempat sampah kecil sudah terisi penuh dengan rematan kertas. Bungkus makanan ringan serta remahannya nongkrong cantik di atas meja belajar Taufan. Seprai kasurnya tak beraturan.

Bagaimana bisa Taufan bisa betah dengan kamar yang seperti ini?!

Halilintar tidak mengerti lagi jalan pikiran adiknya.
Halilintar ingin menangis, sungguh. Membereskan kamar Taufan adalah cobaan terberat dalam hidupnya. Ya sudahlah, Halilintar tidak boleh banyak mengeluh. Nanti tugasnya malah tidak selesai dan ia tidak bisa bersantai.

Halilintar merasa kasihan sekaligus kagum pada Gempa yang setiap hari mengerjakan pekerjaan rumah.
Apalagi membereskan kamar Taufan. Dan saat ini Halilintar merasakan penderitaan Gempa.

Halilintar bingung ingin memulai dari mana. Setelah berpikir sejenak, ia memutuskan untuk mengosongkan tempat sampah.

Untung saja semua sampahnya hanya berisi kertas.

Srek

Satu rematan kertas terjatuh dari tempat sampah saat Halilintar mengangkatnya. Halilintar mengambil kertas itu kemudian membukanya karena penasaran.

'MATI SAJA KAU'

Deg

Apa Taufan yang menulis ini? Tapi tidak mungkin, tulisan adiknya tidak begini.
Halilintar curiga. Ia membuka semua kertas yang berada di tempat sampah.

'DASAR TIDAK BERGUNA!'

'MANUSIA SEPERTIMU TIDAK PANTAS UNTUK HIDUP'

Kebanyakan surat itu berisi menyuruh si penerima untuk mati dan juga ancaman.
Mata merah Halilintar berkilat, ia berusaha menahan amarahnya.

Halilintar tidak peduli jika ia tidak bisa bersantai di hari liburnya. Yang penting ia harus membongkar semua yang disembunyikan oleh Taufan.

Halilintar membuka laci meja belajar adiknya. Tidak ada apa-apa. Kemudian ia menggeledah lemari Taufan. Hanya ada baju berantakan. Halilintar baru akan menutup pintu lemari tetapi diurungkan karena ia melihat sesuatu.

Halilintar mengangkat potongan kain yang tidak rapi, mungkin bekas robekan. Disitu ada bercak darah. Halilintar meremat kain itu.

Halilintar membuka laci lemari Taufan dan ia sangat terkejut oleh apa yang ditemukannya.

Sebuah silet dan buku apa itu? Sepertinya buku diary.

Napas Halilintar memburu. Halilintar mengambil silet dan buku itu. Ia mengantungi silet dan melempar buku itu ke sembarang arah kemudian melanjutkan penggeledahannya.

Halilintar mengusap keringat yang mengalir di pelipisnya. Benar-benar gila. Sebenarnya adiknya itu kenapa?

Halilintar memungut kembali buku yang tadi ia lempar ke sembarang arah kemudian menaruhnya di atas meja nakas samping ranjang tidur adiknya.

Halilintar melanjutkan kembali acara membereskan kamar Taufan.

...

Halilintar tepar di atas sofa ruang tamu. Kedua matanya kosong, menerawang jauh.

Taufan sangat aneh. Semalam Halilintar memergoki tangan Taufan yang dihiasi luka sejak entah kapan. Lalu pagi ini ia menggeledah kamar adiknya dan menemukan kertas ancaman, kain dengan bercak darah, silet dan buku diary.

Halilintar mulai memasang-masangkan kejadian tidak mengenakkan yang mungkin saja terjadi pada adik pertamanya itu. Tanpa sadar kerutan muncul di dahinya.

"...Li?"

Apa mungkin Taufan melukai orang yang mengirimnya surat ancaman?

"Kak..."

Apa mungkin Taufan sendiri yang menulis surat ancaman itu namun belum sempat mengirimnya ke si penerima? Lalu silet itu untuk melukai si penerima surat ancaman dari Taufan. Dan kain itu untuk mengelap darah yang menempel pada silet. Lalu bagaimana dengan buku diarynya? Ah, Halilintar memang belum sempat membacanya sih.

"KAK HALI!"

Halilintar terperanjat dan terjatuh dari sofa.

Gedebukkk

"Eh? Ma-maaf kak!"

Gempa yang panik membantu kakaknya untuk bangun. Wajah Halilintar menjadi sepet. Gempa tersenyum kikuk.

"A-aku–"

"Tidak apa."

"Eh?"

Satu alis Halilintar terangkat, "katanya kamu kerja kelompok?"

"Eh? Oh! Aku lupa bawa contoh makalahnya kak. Jadi aku balik lagi mau ngambil itu."

"Oh. Kamu udah sampai di rumah temen kamu tadi?"

"Udah, kak."

"Kok? Kan rumah temen kamu jauh semua."

Gempa mengerti maksud kakaknya, "oohh, ini, temen aku nganterin aku kesini pakai motornya."

Halilintar melotot ganas, "apa?! Mana ada anak SMP udah punya SIM?!"

"K-kak, tenang dulu," Gempa mengembuskan napas kemudian melanjutkan penjelasannya, "dari pada aku ke rumah jalan kaki? Terus balik ke rumah temen jalan kaki lagi. Jauh, kak. Capek juga, kak. Jadi temen aku nganterin sekalian. Biar ga bingung juga kesananya lagi."

"Tapi kan ga aman! Gimana kalau temen kamu itu ngendarain motornya ngebut terus ugal-ugalan hah?!"

"Ga kok, kak! Fang ga mungkin begitu."

"Oh, jadi Fang yang nganterin kamu?"

"I-iya, kak."

"Yaudah."

Ngek

Gempa tersenyum kikuk (lagi), "yaudah, kak. Aku mau ke rumah Fang lagi."

"Hmm."

"Oh iya, terima kasih ya kak, udah mau beresin rumah."

Ah, Halilintar ingat. Adik bungsunya pasti sering membereskan kamar Taufan. Pasti Gempa mengetahui sesuatu yang disembunyikan dari Taufan.

"Gempa! Tunggu dulu!"

Gempa yang akan membuka pintu rumah menoleh ke kakaknya. "Ya, kak?"

Halilintar mendekat, "kamu sering beresin kamar Taufan kan?"

Seakan teringat sesuatu, Gempa menepuk pelan dahinya, "oh iya! Aku lupa bilang ke kakak!"

"Apa?"

"Jangan membereskan kamar kak Taufan."

Halilintar diam sejenak, "kenapa?"

"Aku juga ga tau, kak. Tapi waktu itu kak Taufan sendiri yang bilang kalau jangan pernah membereskan kamarnya." Gempa mengangkat kedua bahunya

Halilintar termenung. Jadi selama ini Gempa tidak pernah membereskan kamar Taufan sama sekali. Itu artinya hanya dia yang tahu jika Taufan menyembunyikan sesuatu?

"Kenapa kak?"

"Tidak apa-apa."

"Ah, kakak udah terlanjur beresin kamar kak Taufan ya?"

"Ya."

"Yaudah deh. Kayaknya ga masalah, soalnya aku yakin pasti kamar kak Taufan berantakan. Jadi... Hehe..."

Halilintar mendengkus kemudian menoyor kepala adik bungsunya yang rajin ini.

"Aku tau maksud kamu."

"Hehe... Maaf ya kalau bikin kak Hali kerepotan."

"Tidak apa-apa. Ya sudah, jangan lama-lama, ada landak ungu menunggu di depan."

"Oke kak. Aku pergi lagi ya! Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Blam

Sepertinya memang hanya dirinya yang harus membongkar rahasia Taufan.

TBC

Hai? Halo?

Aku tau ini ff gaje, hehe. Bolehkan aku tiba-tiba ikut meramaikan event #BBBMonthlyChallange #SeptemBro ?

Err... ini kubuat two-shot. Besok last chapter ff gaje ini, muehehe. Emm... aku yakin, readers pasti bisa nebak endingnya, hehe.

Yaudah, daripada banyak cingcong, wkwk. Buat yang udah mampir, makasih ya. Kritik dan saran sangat diterima. Sampai jumpa di chapter terakhir, hehehe.