Double Agent
A The Mortal Instruments Fanfiction
Written by Gokudera J. Vie
The Mortal Instruments © Cassandra Clare
Warning: Reverse!Canon and Slash
# # #
Seorang gadis dan seorang pemuda menari mengikuti hentakan musik seperti halnya para puluhan pedansa lain di lantai klubmalam. Bedanya,tarian si gadis tampak luwes sedangkan tarian si pemuda tampak canggung. Gerak tubuh si pemuda seolah menunjukkan bahwa dia tidak terbiasa berada di tempat semacam Pandemonium, klub malam tempatnya dan sahabat perempuannya menghabiskan waktu saat ini.
Nama kedua remaja tersebut adalah Simon Lewis dan Clary Fray. Mereka berdua sudah lama bersahabat dan sering menghabiskan waktu bersama, tak terkecuali akhir pekan. Entah kenapa gadis semanis Clary belum juga mendapatkan kekasih, namun alasan Simon Lewis sudahlah sangat jelas, karena pemuda itu menyukai sahabat perempuannya tersebut. Sayangnya, pemuda berambut ikal dan bermata cokelat tersebut belum berani menyatakan perasaannya.
"Simon!"
Simon merasakan guncangan ringan pada lengannya, membuatnya tersadar dari lamunan.
"Ya, Clary?" Tanya pemuda berkacamata tersebut, menyibak rambut pendeknya yang lengket ke dahi.
Ekspresi gadis berambut merah tersebutt ampak tidak yakin, secara tidak sadar juga mengencangkan pegangannya pada lengan Simon, sedikit membuat pemuda tersebut meringis kesakitan.
"Ada apa?" Tanya Simon dengan nada suara sedikit ditinggikan, mencoba mengalahkan suara speaker yang keras."Kau baik-baik saja, kan?"
Mata Clary melirik ke arah gudang belakang. Simon mengikuti tatapan tersebut dan tidak melihat hal aneh apa pun yang bisa membuat seseorang panik atau di mata Simon hanyalah sekumpulan kabel-kabel menganggu dan pintu 'khusus staf'.
"Well, Clary, kalau kau merasa tidak enak badan, aku tidak keberatan kita pulang lebih awal," ujar Simon, diam-diam merasa lega andai hal tersebut menjadi kenyataan. Jujur, dia sudah merasa cukup sesak berada di tempat itu sekarang.
Tatapan Clary langsung terarah kearahnya. Pandangan mata hijau gadis itu seolah menganggap Simon aneh. Simon hanya mengedikkan bahu dan menunjuk gudang belakang Pandemonium yang memang tidak ada apa-apa, setidaknya di matanya memang demikian.
Clary memutar bola matanya dan melepaskan pengangannya pada lengan Simon. Gadis itu kemudian berlari meninggalkan si pemuda ikal tanpa mengatakan apa pun, menabrak pedansa-pedansa lain dengan tubuh mungilnya dan menghilang ke balik kerumunan.
Simon menghela nafas."Great!" umpatnya.
Kesempatan untuk mengajak Clary berduaan dan menyatakan perasaan kepada gadis itu lenyap sudah sekarang. Dengan gusar Simon menarik diri dari lantai dansa dan berjalanke bar, menempatkan dirinya di antara seorang pemuda mexico dan remaja asia berambut pelangi penuh glitter.
Setelah memesan soft drink, Simon menjelajahkan tatapan matanya mengitari Pandemonium, tepatnya ke arah gudang belakang, berusaha memastikan keberadaan sahabatnya. Hanya saja, saat itu secara tidak sengaja tatapannya bertemu dengan mata keemasan si pemilik rambut warna-warni yang memandangnya seolah Simon adalah orang bodoh.
"Nak, kau menghalangi pandanganku," kata si pemuda berambut warna-warni. "Sebaiknya kau cari tempat lain atau lebih bagus lagi segera pulang," tambahnya sarkastis.
Mulut Simon agak ternganga mendengar ucapan tersebut. Abaikan panggilan 'nak' tadi, ini pertama kalinya Simon diperlakukan setidak hormat itu. Untuk beberapa detik, pemuda ikal itu membeku sampai dia merasakansebuah tepukan ringan di pundaknya.
Simon berjingkat dan menoleh, menatap pemuda mexico yang tengah memandangnya sebal.
"Magnus Bane," ucap si pemuda mexico, tatapan matanya beralih ke arah Magnus, si pemuda dengan rambut pelangi kerlap-kerlip. "Tidak seharusnya kau berbicara dengannya," lanjutnya mendorong badan Simon agak ke belakang, dengan kekuatan yang Simon akui mengejutkan, agar bisa saling bertatap muka dengan Magnus.
Magnus tertawa terhibur. "Raphael Santiago," sebutnya, yang sepertinya adalah nama si pemuda Mexico. "Kau jangan mencoba menghancurkan malam bahagiaku tanpa segala macam urusan sehubungan Tuan Sebastian dengan bertingkah seperti pengasuhku! Atau kuubah kau jadi tikus!" tangan Magnus bergerak kearah Raphael seolah sedang menaburkan sesuatu ke wajah sang pemuda mexico.
Tidak terjadi apa-apa, hanya sebuah keheningan yang akhirnya dipecahkan oleh tawa Magnus dan sebuah komentar, "Hanya bercanda," darinya. Raphael dengan kesal menepis tangan Magnus tersebut dan tidak segaja membuat punggung tangannya tergores kuku-kuku Magnus yang memang agak panjang dan meruncing, kalau tidak mau disebut tak manusiawi.
Simon tidak memperhatikan ketika setetes kecil darah Raphael jatuh dari ujung kuku Magnus ke dalam minumannya yang baru saja diantarkan sang bartender, mungkin karena begitu kecilnya tetesan tersebut hingga Simon tidak menyadarinya, dan meneguk segelas soft drink tersebut begitu saja. Sepertinya Magnus dan Raphael juga tidak menyadari kejadian tersebut karena mereka masih sibuk bertengkar, tepatnya Raphael marah-marah dan Magnus mengacuhkan kemarahan Raphael dengan melontarkan komentar-komentar menghina.
"Aaaaaaaahhhhhhhh!"
Tiba-tiba saja semua orang terdiam saat sebuah lengking jeritan terdengar, meninggalkan gaung musik memantul sebagai latar. Simon mengenali suara tersebut sebagai milik Clary. Pemuda itu bergegas menuju gudang belakang, asal suara tersebut berasal, bersama beberapa orang lain yang sekedar penasaran, salah satunya adalah penjaga pintu Pandemonium.
Pintu gudang telah terbuka dan Simon segera merangsek masuk ke dalam, merasakan dirinya menabrak sesuatu tapi tak dipedulikannya, dan mendapati sosok Clary yang tengah terduduk seorang diri di lantai dengan wajah pucat penuh horror tertunduk. Segera Simon dekati gadis itu dan memeluknya protektif, mengitarkan pandangan mengelilingi gudang yang kosong. Sepertinya mau tidak mau Simon memang harus memaksa Clary pulang, gadis itu sudah bertingkah aneh sejak tadi, mulai dari perihal simbol aneh yang dilihatnya pada papan nama Pandemonium dan sekarang mengenai masalah ini, seolah berhalusinasi.
Setelah meminta maaf pada penjaga pintu Pandemonium dan pengunjung yang lainnya, Simon setengah menyeret Clary keluar dari klub, tidak melihat sosok Raphael dan Magnus yang tengah memperhatikan dengan awas ke arah mereka berdua. Yang ada dalam pikiran pemuda berkacamata itu hanyalah memulangkah Clary sekarang juga.
Di luar gedung Pandemonium, sebelum Simon sempat memanggil taksi, Clary terlebih dahulu menepis tangan Simon yang memegangi lengannya. Gadis itu berbalik dan balik memegang kedua sisi lengan Simon, wajahnya keras dan menunjukkan kekeras kepalaan si rambut merah.
"Simon, kau harus percaya padaku!"
Simon menaikkan sebelah alisnya. "Apa pun tadi yang kau lihat, mungkin itu hanya halusinasi," katanya, menaikkan tangan kanan hendak mencoba memanggil taksi lagi.
Clary menarik tangan Simon yang tak sempat terangkat sepenuhnya tersebut. "Aku tahu apa yang kulihat," ujarnya keras kepala. "Aku melihat ketiga orang tersebut membunuh seseorang!"
Simon memejamkan matanya dan menghitung sampai tiga sebelum membuka mata. "Baiklah, aku percaya padamu. Sekarang kita pulang dulu, oke?" bujuknya.
Clary menarik tangannya dari tubuh Simon. Gadis itu menggeleng dan berekspresi kecewa. Dia tahu Simon tidak mempercayainya, sahabat lelakinya hanya berusaha menyenangkan perasaan Clary dan segera membawanya pulang. Tanpa mengatakan apa-apa, hanya sebuah decakan lidah kesal, Clary berlari pergi. Sekali lagi meninggalkan Simon sendirian, berdiri mematung sampai sosok Clary tak lagi terpantul di bola mata coklatnya.
Ketika Simon baru melangkahkan kaki kanannya, pemuda itu kembali berhenti tanpa sempat melangkahkan sebelah kakinya yang lain. Sesuatu seolah merobek dadanya, atau memang itulah kenyataannya. Karena saat Simon menunduk, dia menatap sebuah tangan berlumuran merah baru saja menembus rongga dadanya. Tangan siapa, Simon tidak tahu. Yang dia ingat setelahnya hanyalah hitam, gelap, dan dingin.
Seorang manusia bernama Simon Lewis baru saja bertemu dengan kematiannya.
To Be Continued
