Fire tahu masih ada fic Fire yang belum kelar, tapi Fire buat ini lagi karena keburu idenya ilang kalo nggak diketik… *bukkk*

Nggak nyangka bakalan balek lagi ke FFN padahal rencananya mau beberapa bulan vakum. Gatau ya..

Baiklah!

Fire harap fic ini nggak ngebosenin yah..

Title : Please Love Me, Hinata!

Pairing : Gaara X Hinata

Rated : T

Disclaimer : I do not own any of Naruto characters

Warning : gaje, aneh soro, Hinata OOC, dan sederet hal gaje lainnya

Oke!

Selamat membaca!


CHAPTER 1 : THE LEGEND AND THE CURSED

Hyuuga Palace..

Seorang pria paruh baya dengan rambut hitam panjang dan mata putih dengan sedikit semburat lavender yang memancarkan wibawa luar biasa tampak sedang berdiri di tengah sebuah kamar yang luar biasa luas serta sangat mewah layaknya kamar seorang putri raja dengan dominasi warna hitam. Di depannya terhampar sebuah permadani bulu berwarna hitam di mana di atasnya duduk seorang gadis muda dengan rambut dengan warna Indigo gelap nyaris hitam yang mencapai pinggangnya. Gadis misterius itu mengenakan kimono dan jubah berwarna hitam pekat, yang mana makin menambah kesan mistis pada gadis itu.

"Baiklah, putriku. Hinata, kau tahu tugasmu." kata pria paruh baya yang berdiri di belakangnya, yang diketahui adalah ayahnya, Hyuuga Hiashi. Dan dengan kalimat Hiashi tadi, juga diketahui nama gadis muda misterius yang duduk membelakanginya, Hyuuga Hinata.

"Hinata, aku tahu ini mudah bagimu. Hanya jaga Jinchuuriki itu saja dan membantunya, tidak lebih." Hiashi menekankan kata 'hanya' pada kalimatnya. Yang diajak bicara hanya diam membisu sambil tetap memejamkan matanya dengan wajah datar serta tenang.

"Hinata, dengan keadaanmu yang sekarang, bukan masalah bagimu menangani hal ini. Perlu kau ketahui, Hinata, Tsunade-sama sang Godaime Hokage sekalipun sudah kebingungan sendiri dalam menangani Jinchuuriki itu." Hiashi menambahkan, dengan harapan putri sulungnya itu akan merespon. Namun harapannya tak terkabul. Hinata tetap diam.

"Hinata, saat ini, di seluruh Negara Besar Ninja, hanya kau yang bisa. Tak ada yang lain. Dengan kemampuanmu yang bahkan sudah melegenda ke luar Negara Hi, hanya kau yang bisa diharapkan saat ini." kata Hiashi, menghela napas panjang dan mengusap jidatnya dengan frustrasi.

"Ayah." sebuah suara dingin sedingin es bersuara. Hiashi membeku di tempatnya. "Kau tahu, kan, Ayah. Sejak aku lahir, aku selalu ada di dalam Hyuuga Palace, berlatih sendiri, tidak masuk ke Akademi Ninja. Dan entah sejak kapan, ada rumor yang beredar." kata Hinata, masih tetap menutup matanya. Hiashi menghela napas. Rumor itu..

FLASHBACK

"Kabarnya ada seorang gadis dari keluarga bangsawan Hyuuga yang sangat kuat dengan kekuatan yang sangat tidak normal namun mengerikan! Dan amat sangat cantik! Aku penasaran seperti apa rupanya! Entahlah tapi kata orang dia tidak nyata! Hanya legenda!"

END FLASHBACK

Hiashi masih ingat betul saat dia mendengar ada seseorang bercakap-cakap dengan temannya, menggosipkan kabar burung yang tengah panas-panasnya waktu itu : tentang seorang pendekar wanita dari Klan Hyuuga, dengan kekuatan yang mengerikan dan kecantikan yang tiada tara. Pendekar wanita yang tak pernah diketahui rupanya. Hanya legenda.

Namun legenda itu adalah putri sulungnya sendiri, yang kini sedang ada di depannya dan duduk membelakanginya. Legenda yang nyata. Seorang wanita dengan kecantikan tiada bandingannya dan kekuatan yang juga takkan ada yang bisa menyaingi, hasil dari latihan dan isolasi selama 21 tahun lamanya di dalam Hyuuga Palace, jauh dari dunia luar. Namun demikian, Hinata bukanlah pendekar wanita dahsyat yang kuper. Malu-maluin banget kan kalo misalnya hebat tapi kuper. Ayahnya selalu mengajarinya semuanya tentang dunia luar, sehingga saat sudah tiba waktunya sang Hyuuga Heiress itu keluar dan menemui dunia luar, Hinata takkan dipermalukan karena kekuperannya.

"Kalau begitu, ini saat untukmu keluar dan menyambut dunia luar, putriku." kata Hiashi lembut. Hinata hanya diam membisu, lagi.

"Putriku, seluruh Negara Besar Ninja menunggumu. Godaime Hokage menunggumu. Jinchuuriki itu menunggumu. Menunggu keputusanmu." Hiashi mendekat dan meletakkan tangannya di atas bahu Hinata.

"Aku menunggumu, putriku." kata Hiashi dengan senyum tulus yang mengembang di wajahnya yang berwibawa.

Tanpa disadari oleh pemimpin Klan Hyuuga itu, sebuah senyum tipis yang nyaris tak terlihat mulai terukir di wajah jelita putri sulung yang paling disayanginya itu.

"Ayah, siapa Jinchuuriki ini? Jika sampai menyangkut Godaime Hokage yang bahkan mau repot mengurusinya, pastilah dia orang yang sangat penting, kan." tanya Hinata dengan nada dingin dan datar.

Hiashi menghela napas. Tak ada yang perlu disembunyikan lagi. Hinata memang pandai membikin kata-kata atau pertanyaan yang bahkan orang secerdas Hiashi pun terpojok dan terpaksa berkata jujur dan apa adanya. Hiashi mengelus lembut bahu Hinata.

"Sebenarnya.. Jinchuuriki ini.. dia dijual oleh desa Sunagakure.. desanya sendiri. Dia dijual ke Konohagakure dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Dia dijual karena alasan yang menyakitkan : karena dia merupakan suatu ancaman bagi desa Sunagakure. Di tubuhnya tersegel Shukaku sang Ichibi, Bijuu paling lemah namun yang paling haus darah. Dan.. selain sebagai Jinchuuriki, dia di Konohagakure sebagai seorang.. eksperimen." Hiashi gagap, takut akan reaksi Hinata.

"Eksperimen?" nada suara Hinata berubah mengerikan. Alisnya bertaut, satu-satunya bukti bahwa dia sedang dalam fase di mana sebuah perasaan asing bernama kemarahan merasuk ke dalam dirinya.

"Namun kukira alasan Sunagakure menjualnya cukup masuk akal. Pertama kali dia dibawa ke Konohagakure, dia mengamuk. Shukaku lepas kontrol. Aku dan yang lainnya, bahkan Godaime Hokage sekalipun, kerepotan untuk menahannya.", Hiashi menerawang, memikirkan kejadian mengerikan 7 tahun yang lalu saat Jinchuuriki itu pertama kali dibawa ke Konohagakure. Bahkan saat itu dia ingat Nara Shikamaru dan Sarutobi Asuma pun terluka saat berusaha menenangkan bocah malang dari Sunagakure tersebut.

"Dijual.. desanya sendiri? Dijual?" Hinata seakan mengabaikan kata-kata ayahnya barusan, menekankan kata 'dijual' pada kalimatnya dengan nada yang menakutkan. Tangannya terkepal secara diam-diam.

Hiashi menyipitkan matanya sedikit, memperhatikan perubahan nada suara Hinata yang jadi agak aneh. Marah, mungkin?

"Ya. Hanya karena alasan itu, Sunagakure menjualnya. Bahkan orangtuanya sendiri tidak mempedulikan anak itu. Dijual desanya sendiri serta orangtuanya, itu pasti sangat menyakitkan." Hiashi mengernyitkan dahinya, mengingat ekspresi takut dan sedih Jinchuuriki dari Sunagakure itu saat pertama kali menghadap Godaime Hokage di kantor Hokage Tower.

"Ayah, siapa nama Jinchuuriki ini?" tanya Hinata. "Siapa nama Jinchuuriki yang bahkan tak dianggap manusia oleh Sunagakure, desanya sendiri itu?" walaupun marah, matanya tetap terpejam dalam usahanya mengontrol emosinya yang mulai memanas.

KRERK KRERK KRERK

Terdengar suara menakutkan dari tulang yang berkeretak. Hiashi membelalakkan matanya sedikit kemudian memberanikan diri untuk melirik sekilas ke arah tangan Hinata yang tersembunyi di balik kain jubahnya. Walau tersembunyi, tampak jelas jari-jari lentik nan putih berujung cakar-cakar tajam itu sedang menegang dan mengeluarkan suara kertakan yang menakutkan. Tanda lain kemarahannya.

"Hinata.." mata ayahnya melembut saat menggumamkan nama putri kesayangannya. "Baru kali ini kulihat.. kau yang sama sekali tak pernah menunjukkan ekspresi sedikit pun.. menunjukkan kemarahanmu sampai seperti ini.. untuk orang yang bahkan tak pernah kau temui.. Hinata, apakah rasa marah dan perasaan lain telah masuk ke dalam hatimu?" kata Hiashi dalam hati sambil terus memandangi putrinya. Hiashi menghela napas dan menahannya.

"Ayah, siapa namanya?" tanya Hinata lagi. "Namanya.." Hiashi menghembuskan napas yang telah ditahannya tadi secara perlahan-lahan.

"Sabaku no Gaara dari Sunagakure, putra bungsu Yondaime Kazekage." jawab Hiashi dengan nada yang datar namun jelas mengandung keragu-raguan.

"Begitu." nada suara Hinata kembali dingin dan datar seperti semula, seakan tak terjadi apa-apa. Saat ini, entah kenapa hatinya mendidih, marah saat mendengar Jinchuuriki yang dijual dan tidak dianggap manusia oleh desanya sendiri bahkan oleh orangtuanya. Tangannya perlahan terkepal erat.

"Ayah, aku sudah memutuskan." Hinata tiba-tiba berdiri, tangannya masih terkepal menahan amarah yang semakin membuncah di hatinya sampai terasa sesak. Hiashi kaget saat putrinya tiba-tiba berdiri.

"Aku akan menerima tugas ini!" lanjut Hinata dengan nada yang penuh dengan kepastian. Kelopak matanya terbuka, menampilkan dua bola mata semerah darah yang menakutkan dan berkilat dengan sinar kemarahan.


Mereka mengikatnya hari ini. Ralat, setiap hari mereka mengikatnya.

Rantai cakra yang mengikat pergelangan tangannya ke tembok itu terasa sakit dan kasar di permukaan kulitnya. Rantai cakra yang sama dengan yang dulu digunakan untuk mengikatnya 7 tahun lalu. Saat dia masih 14 tahun, dia dikirim, dijual tepatnya, ke Konohagakure, desa yang menerimanya dengan tangan terbuka. Sel luas dengan dinding dan lantai yang seluruhnya berwarna putih berkilau itu terasa sangat dingin. Apalagi dengan keadaannya yang sama sekali tak mengenakan apapun selain celana panjang hitam dari kulit, dinginnya serasa menusuk tulang. Tak ada jendela. Hanya sebuah pintu. Kepala dengan rambut merahnya tertunduk lesu. Bahunya kelihatan sedikit gemetar dalam usahanya menahan rasa dingin yang makin menjadi. Terkadang dia berpikir, apakah di luar sana ada orang yang merindukannya, atau paling tidak memikirkannya. Dan setiap kali dia memikirkan itu, akan selalu ada satu-satunya perhentian sebagai jawaban atas pertanyaannya. Jawaban yang sangat menyedihkan.

Tidak ada.

Hal terakhir yang diingatnya dari dunia luar yang dulu merupakan musuh sekaligus teman baginya adalah satu ingatan yang sangat menyakiti hatinya. Tidak hanya desanya… bahkan orangtua serta kedua kakaknya pun mengkhianatinya.

FLASHBACK

"Ayah! Tidak!" bocah Jinchuuriki dengan rambut merah itu berteriak ke arah ayahnya yang merupakan penguasa sekarang dari Sunagakure. "Kenapa kau melakukan ini? Aku putramu, kan! Kenapa kau lakukan ini? Kumohon! Beri aku kesempatansatu kali lagi! Kumohon, Ayah!" teriaknya lagi.

Ayahnya hanya tertawa dingin dan mengandung nada keji di suaranya. Dia tak peduli dengan putra bungsunya. Tak peduli dan tak akan pernah peduli.

"Jangan bodoh, Monster. Kau hanya beban. Dan ancaman pastinya, bagi Sunagakure juga demi keluargamu. Kami tak pernah menyayangimu. Tak pernah." kata ayahnya dingin, sedingin es. Kata yang digunakan ayahnya untuk memanggilnya sangat menggores hati putra bungsunya yang sudah dalam keadaan terpuruk itu.

Airmata membanjir deras di pipi Sabaku no Gaara, nama bocah Jinchuuriki berambut merah yang sedang dalam fase menyedihkan itu, saat dia berteriak-teriak frustrasi sambil meringkuk di atas lantai yang dingin. Samar-samar didengarnya suara langkah kaki yang terburu-buru, disusul suara bell pintu yang cukup keras.

"Itu mereka! Saatnya pergi, adikku yang bodoh!" Rei Temari, kakak perempuannya, berkata dengan senyum keji sambil berjalan cepat ke arah pintu untuk membukanya.

Dua pria kekar yang mengenakan jubah putih dan hitam masuk ke dalam rumah. Salah satunya, yang mengenakan jubah berwarna hitam, memiliki mata berwarna putih dengan sedikit semburat lavender. Byakugan. Ciri khas Klan Hyuuga. Mereka mencoba mengangkat Jinchuuriki yang sedang bergelung bagai ular di atas lantai, namun Gaara memberontak dan melawan.

Kedua dokter itu tak berkata apa-apa saat bocah malang itu jatuh kembali ke lantai. Sang Hyuuga menghela napas iba sambil menatap ke arah bocah Jinchuuriki di kakinya. Rekannya meliriknya. "Hizashi-sama, bagaimana?" tanyanya. "Ayo, Izumo." kata sang Hyuuga dingin.

Matanya terarah pada Jinchuuriki Shukaku dengan penuh rasa iba dan kasihan. Kemudian dia menarik alat suntik dari sakunya. Rekannya mencengkeram lengan Gaara dengan cukup kasar, kemudian sang dokter Hyuuga menyuntik lengan Gaara dengan cepat. Refleks, Gaara berteriak sangat keras karena rasa sakit yang menyerang lengannya tanpa ampun.

Kedua dokter itu mengangkatnya lagi dan menyeretnya keluar. Kali ini Gaara ingin berontak, namun tidak bisa. Saat mereka sampai di luar, mata Gaara melebar ketika dia melihat siapa yang ada di depan rumahnya. Berdiri di depan rumahnya, para dewan dan tetua Sunagakure, serta para penduduk desa. Mereka semua memandangnya dengan sorot mata benci.

Dan selanjutnya kalimat-kalimat yang seakan menusuk hatinya dengan ribuan pisau pun terlontar ke arahnya.

"Pergi kau, Monster!"

"Kau tak pantas ada di sini!"

"Mati sana!"

"Ayahku mati karena dirimu!"

"Kau tak pantas hidup!"

"Konoha masih baik mau menerima monster seperti dirimu!"

"Monster! Enyahlah kau bersama dengan monster itu!"

"Monster!"

"Monster!"

"MONSTER!"

Monster.

Satu kata dengan dua suku kata yang terdiri dari tujuh huruf itu. Kata yang menghantuinya seumur hidupnya, kini dilontarkan tanpa ampun ke arahnya seperti rajaman batu. Hatinya sakit. Sangat sakit. Apakah dia tak diinginkan oleh siapapun? Benar-benar tak diinginkan oleh siapapun, bahkan oleh orangtuanya sendiri?

Gaara menjerit-jerit ketakutan seperti orang gila saat dua dokter yang berasal dari Konohagakure itu menyeretnya ke arah mobil van berwarna hitam pekat dengan lambang Konohagakure di pintu belakangnya. Saat harapan makin menipis, dia melihat seseorang!

Dia melihat Yashamaru!

"Yashamaru! Tolong aku! Kumohon! Jangan biarkan mereka membawaku! Yashamaru! Kumohon tolong aku!" seru Gaara ke arah adik ibunya itu.

Yashamaru melihat ke arah keponakannya dengan sorot mata dingin, saat kedua dokter Konoha itu mengikat tangan Gaara di belakang tubuhnya dengan rantai dan melemparnya ke dalam van dengan kasar, mengakibatkan lengan kanan Gaara terkilir. Gaara meringis saat lengan kanannya terasa terbakar.

Dia menoleh ke arah pamannya lagi, mengharapkan sesuatu. Namun segala kepingan pecahannya yang tersisa pun hancur lebur sepenuhnya saat dia mendengar jawaban Yashamaru.

"Tidak. Pergilah kau."

Mata Gaara melebar saat mendengarnya. Yashamaru pun mencampakkannya! Tepat saat pintu van nyaris tertutup, dia melihat Yashamaru, yang balas menatapnya dengan tatapan sedingin es.

Yashamaru kemudian mengakhiri kalimatnya, kalimat terakhir yang didengar Gaara dari dunia luar sebelum akhirnya selamanya dia berada di penjara khusus Konoha.

"Monster."

END FLASHBACK

Gaara menggigit bibir bawahnya yang kering dan pecah-pecah, mengakibatkan darah merah segar mengalir keluar dan perlahan menuruni dagunya. Sakit. Hatinya terasa sangat sakit. Sakit sekali. Setiap kali memori menyakitkan itu terbersit di benaknya, rasa sakit yang baru akan terhampar di atas rasa sakit yang lama, yang bagaikan luka lebar menganga di hatinya.

Saat dia tenggelam dalam pikirannya sendiri, dia mendengar suara langkah kaki yang mengarah ke ruang selnya. Sedetik kemudian, pintu selnya terbuka. Pintu selnya dilapisi segel dan cakra yang tak bisa disentuh dari dalam. Kabarnya segel dengan pola rumit yang jika dari jauh dilihat berbentuk naga yang ditempel di pintu selnya itu dibuat oleh salah satu anggota Klan Hyuuga. Seseorang dengan kekuatan yang sangat besar.

Gaara mengangkat kepalanya, ingin tahu siapa yang memasuki selnya. Poni rambut merahnya yang tumbuh semakin panjang setelah 7 tahun terikat di dalam sel itu menutupi mata kanannya. Bingkai hitam hasil insomnia yang melingkari matanya menjadi semakin besar dalam 7 tahun terakhir masa kurungannya ini.

Dilihatnya dokter muda tampan dengan rambut raven bermodel emo -yang menurut Gaara lebih mirip bulu ayam njegrik- dan mengenakan jubah dokter masuk.

Gaara menelan ludah, yang mana membuat tenggorokannya yang kering terasa terbakar. Di antara semua dokter yang menanganinya, dia paling tidak menyukai dokter muda yang diketahuinya bernama Uchiha Sasuke ini, yang selalu bersikap pongah dan sok cool, serta kadang-kadang bersikap kejam dan kasar terhadapnya.

"Hai." dokter bernama Uchiha Sasuke itu menyunggingkan senyum singkat sambil melambai ke arahnya. Sebagai respon, Gaara hanya terdiam sambil menatap tajam mata onyx Sasuke. Sudah berkali-kali sapaan itu menjadi rutinitas antara dirinya dengan dokter Sasuke, setiap kali Sasuke datang untuk mengeceknya. Dan sudah menjadi rutinitas pula Gaara hanya diam sebagai responnya.

"Bagaimana keadaanmu hari ini? Hm?" tanya Sasuke datar. Sebuah kertas dengan papan clipboard hitam sebagai alas menulis ada di tangan kirinya dan bolpen di tangan kanannya.

Sasuke menuliskan sesuatu, lalu menoleh ke arah lawan bicaranya. Gaara hanya menatap dokter bermata onyx itu dengan tatapan kosong.

Sasuke pasti sudah tahu persis jawabannya. Rasa sakit sudah menjadi tradisi selama 7 tahun ini bagi si Jinchuuriki sehingga wadah Shukaku sang Ichibi itu tak mengkomplain atau mengeluh tentangnya. Dan setiap hari tak banyak kemajuan yang ada. Rasa sakit itu tak pernah hilang, sama setiap harinya, atau kadang-kadang malah menjadi makin parah.

Sasuke berdehem, lalu mengenakan kacamatanya. "Tak banyak kemajuan yang didapat." katanya dalam hati sambil memperhatikan kertas di tangannya. Dia menggigit ujung bolpennya seraya tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Sasuke melirik sekilas ke arah Jinchuuriki, yang dirantai dengan posisi tangan terentang yang dirantai di tembok dan kaki berlutut di lantai, yang tampaknya menderita itu. Sasuke mengernyit saat dia menangkap bekas-bekas luka cambukan dan goresan pisau di seluruh tubuh Gaara.

"Pasti itu sakit sekali., pikir Sasuke. Dia hendak mengatakan sesuatu lagi, saat dia mendengar pintu dibuka. Sasuke dan Gaara spontan melihat ke arah pintu. Sasuke melepas kacamatanya.

Di pintu berdiri Tsunade, sang Godaime Hokage. Wajah cantiknya terlihat sangat serius.

"Hokage-sama." Sasuke membungkuk hormat. "Apa yang membawa Anda ke sini?" tanya Sasuke, memasukkan kacamatanya ke saku jubah dokternya.

Tsunade menghela napas. "Sasuke, ada seseorang yang akan menggantikan tugasmu dan tugas dokter-dokter lain untuk menangani Gaara. Selama seminggu, kau dibebastugaskan. Baru setelah itu, kau dan beberapa dokter lainnya akan menjadi dokter yang akan membantu orang ini." kata Tsunade serius. Sasuke membulatkan matanya.

"Siapa yang akan menggantikan tugas kami selama seminggu?" tanyanya bingung dan terkejut.

"Kau tentu pernah mendengar tentang legenda pendekar wanita dengan kekuatan dan kecantikan tiada tara dari Klan Hyuuga yang kabarnya sudah menyebar ke seluruh penjuru Negara Besar Ninja?" tanya Tsunade.

"Uhm. Tentu saja." jawab Sasuke dengan senyum kecil.

"Nah, pendekar wanita itu bukan legenda. Dia nyata. Dan dialah yang akan menangani Gaara." kata Tsunade, yang mana membuat mata Sasuke makin melebar.

"Legenda itu nyata?" nada suara Sasuke meninggi, diikuti anggukan Tsunade.

"Namanya Hyuuga Hinata. Sebentar lagi dia dan Hyuuga Hiashi-sama akan datang. Tunggulah sebentar di sini." kata Tsunade.

Gaara yang mendengar seluruh percakapan itu hanya berdiam diri dengan banyak pertanyaan di benaknya.

Tak lama, terdengar suara Tsunade yang mengatakan, "Ah Hyuuga Hiashi-sama. Silahkan masuk.".

Gaara mengangkat mukanya. "Ah dia kan.. kakak kembar dari dokter Hyuuga Hizashi yang membawaku ke Konoha 7 tahun lalu." kata Gaara dalam hati.

"Terima kasih, Hokage-sama." kata Hiashi, masuk ke dalam sel dan melirik Gaara sekilas. "Nah putriku, itu Jinchuuriki-nya. Lihatlah dia." terdengar suara Hiashi.

Gaara langsung tertarik. Dia ingin tahu siapa 'Hyuuga Hinata' yang akan menjadi pengurusnya nanti. Seseorang masuk. Seorang gadis. Mata Gaara dan Sasuke membelalak begitu melihat gadis Hyuuga yang memasuki ruangan sel itu.

Gadis itu sungguh-sungguh cantik tidak ada duanya. Tak ada yang bisa dibandingkan dengannya. Matanya tajam menusuk dan merah seperti darah, berbeda, tidak berwarna lavender atau putih seperti mata anggota Klan Hyuuga yang lain. Wajahnya datar sedatar papan dan dingin sedingin es. Rambut Indigo gelapnya yang mencapai pinggang berkibar-kibar di belakangnya. Gadis itu mengenakan kimono hitam dengan jubah hitam di luarnya.

Sasuke memandangi gadis itu tanpa kedip. "Jadi ini.." batin Sasuke disertai senyum samar di bibirnya.

"Hyuuga Hinata."

Hinata melangkah masuk ke dalam sel dan berjalan ke arah Gaara. Gaara, Sasuke, Tsunade, dan Hiashi bisa merasakan aura yang dahsyat di ruangan itu, yang asalnya dari Hinata.

"Gadis ini.. sangat kuat!" kata Tsunade dalam hati.

"Ehem.. Hyuuga Hinata-sama, saya tinggalkan Anda sendirian. Permisi. Ayo Sasuke." kata Tsunade. Sasuke melirik Hinata untuk terakhir kalinya sebelum dia mengikuti Tsunade dan Hiashi.

BRAK

Terdengar suara pintu ditutup di belakang Hinata. Saat ini hanya ada mereka berdua. Hinata dan Gaara. Keduanya masuk ke dalam kesunyian.

Setelah beberapa menit dalam keheningan, Gaara merasa itu mulai tidak nyaman. Apalagi selama itu dia harus menunduk untuk menghindari tatapan mata Hinata yang begitu intens atas dirinya. Dia bukan teman bicara yang baik, tapi setidaknya dia mencoba untuk memulai percakapan.

"Hai." katanya dengan suara serak.

"Hai." tanpa diduga, Hinata membalas sapaannya. Dan entah karena alasan apa, hal ini berhasil membuat hati Gaara sedikit senang.

"Angkat kepalamu." kata Hinata tiba-tiba. Mau tak mau Gaara mendongakkan kepalanya, entah apa yang mendorongnya untuk menuruti perkataan Hinata. Dilihatnya mata merah Hinata sedang menatap tajam ke arahnya. Gaara melirik kiri kanan sebentar, tidak tahan akan tatapan tajam Hinata.

Hinata mendekat kemudian berlutut, membuatnya sejajar dengan Gaara. Rasa yang aneh dirasakan kulit bahu Gaara saat jubah Hinata yang berkibar menggeseknya. Gaara gemetar sedikit. Mata ruby Hinata tak sedetik pun lepas dari mata sea foam Gaara.

"Apa yang kau rasakan?" tanya Hinata datar. Menurut Gaara, suara Hinata misterius, menakutkan, namun di saat yang sama juga terdengar sangat indah.

"Sakit.." jawab Gaara lirih. Mendengar itu, Hinata tampak berpikir.

Kemudian Hinata berdiri. "Kutinggalkan kau sendiri dulu. Besok aku akan kembali. Saat aku kembali, aku akan tahu apa yang harus kulakukan terhadapmu." katanya sambil berbalik.

Gaara menatap punggung Hinata. Jubah hitam dan rambut Indigo gadis itu berkibar-kibar. Tiba-tiba Hinata berhenti. "Tidurlah." katanya tanpa menoleh. Gaara menyipitkan mata kanannya.

Tidur?

"Sabaku no Gaara." lanjut Hinata.

Pintu ditutup, dan Gaara kembali sendirian.

Sendirian.

Sekali lagi, di dalam ruangan putih itu.

-TBC-


Chapter 1: DONE!

I hope you like it..

Read and Review onegai?