Sebuah fic rekues akhirnya bisa kukerjakan... Dan ini membutuhkan waktu sangat lama--dari awal fic nyicilnya nyendat setengah mampus. Maklumlah, pelajar... *Sok sibuk*
Dan, Sakura, kuharap kau menikmatinya... :3
Dan satu lagi, ini kubuat twoshot. Habisnya waktu kutulis plotnya, dan ngetik bagian-bagiannya, ternyata kepanjangan buat dijadiin one-shot... =,=
****Rivière****
.
Bleach © Tite Kubo
-
A ShuuNemu fict--requested by Hinamori Sakura-chan.
.
.
Time for reading!
-
-
....
Bisakah sungai itu tetap cantik, jika tanpa kau dan aku yang mempercantiknya?
Tetapkah sungai itu mengalir jernih, tanpa tanganmu yang menjamahnya?
....
xxx
"Hoammh...." Hisagi membuka mulutnya lebar-lebar. Pagi di hari Senin memang begitu membosankan, apalagi kalau bukan rasa berat karena weekend telah berakhir, dan satu minggu yang penuh dengan sekolah, sekolah dan sekolah akan dimulai.
Hisagi tak dapat membuka matanya leluasa, tak lain karena rasa kantuk yang menggelayuti penglihatannya. Untunglah jarak antara rumah dan sekolahnya tak jauh, jadi ia tak perlu capek-capek berjalan.
Akhirnya sampai di depan gerbang sekolah. Sudah lumayan banyak siswa yang datang ke sekolah. Hisagi merasa sedikit beruntung--untuk kedua kalinya. Karena kelasnya berada dekat dengan pintu gerbang, jadi sebentar lagi ia bisa merebahkan kepalanya ke meja dan tidur kembali sampai kantuknya hilang.
Oke, pelajaran pertama adalah biologi, dengan guru yang ramah, dan sedikit trik, ia bisa tidur di kelas dengan tenang.
xxx
"Hisagi Shuuhei, kau tidak tidur, bukan?" tegur sang guru dengan nada yang biasa, dan tampak senyum kecil terpampang di wajahnya.
Hisagi dengan cepat mengangkat kepalanya setelah mendengar namanya dipanggil oleh sang pengajar wanita di depannya. Guru wanita berwajah lembut itu di wajahnya sama sekali tidak tampak aura kemarahan; mungkin disebabkan perangainya yang hampir tak pernah menunjukkan emosi.
"E-eh, ada apa anda memanggil nama saya, sensei?"
"Tidak apa-apa. Sensei cuma mau memberitahukan, besok kita akan mengadakan praktek lapangan untuk memeriksa pencemaran sungai di daerah tenggara kota."
Terdengar desahan bosan dari mulut Hisagi.
Sekolah Hisagi memang hanyalah sebuah sekolah biasa, berikut dengan kelas-kelasnya yang tidak terdapat pembedaan. Hanya satu yang istimewa dari sekolah itu, tak lain karena sekolah itu merupakan sekolah yang sering turut aktif dalam menjaga ekosistem, terutama di daerah sungai. Jadi ada jadwal rutin bagi siswanya untuk 'mengoreksi' keadaan sungai di kota. Akan tetapi, praktek lapangan ini hanya diikuti oleh lima siswa dari setiap kelasnya, hanya bagi yang benar-benar peduli keadaan sekitar.
Ini sudah kali kelima puluh satu Hisagi mengikutinya. Dulu, ketika awal ia masuk ke sekolah ini, ia begitu bersemangat--karena jiwanya terhitung jiwa pemuda yang peduli lingkungan. Tapi jika kegiatan itu dilakukan empat kali sebulan, dan rutin tanpa libur, siapa yang tak jenuh? Terkadang ia merasa sial; telah mengikuti kegiatan yang ternyata membuatnya cepat bosan tanpa bisa keluar lagi untuk jangka waktu tiga tahun!
Dua kata untuk menyikapinya--dalam hati Hisagi: terima nasib.
Memang termasuk pekerjaan mulia. Tapi jika seluruh sungai kota telah selesai dijelajahi, apalagi yang mesti dilakukan? Dan ia ingat, ini adalah kedua kalinya mereka mampir ke sungai satu-satunya di sisi tenggara kota tersebut.
Hisagi cuma bisa berdoa, semoga ada satu hal yang bisa membuatnya bersemangat lagi dan berhenti merutuki keputusannya dulu.
xxx
Suasana sungai ini masih sama di mata Hisagi, lingkungan yang tak berubah--sama dengan memorinya yang terbentuk beberapa bulan lalu ketika sampai di sini.
Hisagi melompat turun dari mobil. Dan langsung menuju tepi sungai.
Airnya terlihat masih terliha agak normal--menurut matanya yang mengantuk, ia ingat ketika terakhir ia datang ke sini, airnya masih lebih jernih. Bukan perubahan besar yang signifikan, pikirnya.
Sampah juga, tidak banyak. Dua orang pun cukup untuk membersihkan ini semua.
Tapi hidungnya mencium bau yang kurang sedap....
"Semuanya, berkumpul!" seorang senior berteriak memanggil kesepuluh orang juniornya.
Hisagi lagi-lagi menguap. Ah, udara segar alam terbuka pun tak sanggup membuka matanya lebih lebar dan menaikkan grafik semangatnya.
"Menurut cerita para warga di sekitar sini, pada tengah malam hingga dini hari sering ada orang yang membuang limbah semacam cairan yang berbau tidak sedap. Mereka terganggu, karena sungai ini adalah pemasok air untuk kegiatan sehari-hari mereka. Jadi, seorang siswa sekolah kita yang kebetulan tinggal di daerah sini melaporkan pada pihak ekstrakurikuler kelingkungan."
"Jadi tugas kita apa, senpai?"
"Menguji kadar limbah di sini, lantas berusaha mencari penetralnya dan memberitahu pembuang limbah itu solusi yang lebih baik daripada membuang di sungai ini."
Memangnya kita punya alat untuk mengujinya? Hati Hisagi mencelos.
"Dan, untuk membantu kita dalam memulihkan ekosistem sungai ini seperti semula, kami sebagai pengurus mengundang seorang ahli biokimia lingkungan. Mungkin akan datang sebentar lagi," sang senior mengangkat tangannya, untuk memastikan pukul berapa yang tertera di jam tangan hitamnya.
Barisan secara otomatis bubar. Tertinggallah Hisagi yang kebingungan karena niatnya yang sedang tidak pada waktunya. Malas--aliasnya.
Dan ia memilih untuk duduk di tepi sungai itu, menunggu sang tamu yang dinanti oleh pihaknya.
xxx
"Nah, semuanya, ini adalah ahli biokimia yang saya katakan tadi. Beliau bernama Kurotsuchi Mayuri. Tuan, silahkan perkenalkan diri anda."
Aneh! Itulah kesan pertama yang diungkapkan Hisagi dalam hatinya ketika pertama kali melihat orang itu.
"Namaku Kurotsuchi Mayuri. Dan aku ingin kalian bekerja sama dengan baik untuk hal ini," ucap laki-laki itu singkat. Dan tanpa basa-basi segera menuju tempat yang harus ia teliti.
Hati Hisagi sedikit kecewa. Sebagai laki-laki yang normal tentu ia mengharapkan si ahli biokimia tersebut adalah seorang gadis cantik yang baru saja menyelesaikan studinya, cerdas dan berpenampilan prima sebagai seorang wanita yang berpendidikan dan berdedikasi tinggi.
Ah, itu cuma khayalan. Terkadang harapan tak bersesuaian dengan kenyataan--hal yang harus dipelajari Hisagi mulai saat ini.
Beberapa murid--termasuk Hisagi mengikuti langkah Mayuri, membuntut di belakangnya.
"Hmm... Sepertinya tingkat pencemaran di sini belum seberapa. Nemu, ambilkan peralatanku!" perintah Mayuri pada seseorang.
Dan, dengan cepat seorang gadis keluar dari mobil, membawakan sebuah kotak berukuran sedang dan memberikannya pada Mayuri.
Beberapa aktivis lingkungan muda itu terkagum-kagum melihat si gadis yang baru muncul itu.
Perawakan yang ideal, wajah sederhana yang terliha manis, rambut hitam memanjang yang dikepang rapi--menjulur ke punggung-- menambah keanggunannya. Tapi, raut wajahnya mengatakan bahwa ia adalah tipe yang pendiam.
Hisagi memandang gadis itu lekat-lekat. Ia berada di samping gadis itu, membuatnya sedikit tak mengenali.
"Iya atau bukan?" Hisagi terus-terusan memandang wajah sang gadis. Berusaha memutar isi kepalanya, menggali ingatan dari tumpukan memori yang ada.
"Hoi!" seseorang menepuk bahu Hisagi. Membuat pemuda itu harus menghanyutkan pikiran sebelumnya dan menggantikannya dengan keterkejutan.
"Kau mengagetkanku saja! Kenapa?"
"Kau tertarik dengan gadis itu?"
"Cih. Dasar kau. Aku cuma merasa pernah mengenalnya. Sudah, sudah. Bantu saja tuan itu! Aku mau cari tempat buat tidur!" Hisagi mendorong temannya, dan mengendikkan dagunya pada Mayuri yang sibuk mengambil sampel air sungai.
Dan Hisagi pun kabur, mencari pohon yang rindang untuk tempatnya bersandar, memuaskan rasa kantuknya.
"Nemu, bawa ini. Tes dulu, baru sampaikan hasilnya padaku."
"Baik, ayah," Nemu, gadis itu menerima kotak yang diserahkan Mayuri, lantas membawanya ke dekat pohon untuk memperoleh datanya. Tempat yang teduh memang bagus untuk meneliti barang seperti ini, bukan?
xxx
Hisagi baru saja akan memejamkan mata, ketika ia mendengar derap langkah agak terburu-buru menghampiri tempat persembunyiannya.
Hisagi menoleh.
"Kau?" tanyanya pada yang barusan datang.
"Ya?" tanya orang itu. Ekspresi datar.
"Siapa namamu tadi?" Hisagi berbalik, dan membatalkan niat tidurnya.
"Nemu."
Hisagi tak langsung menjawab, hanya memperhatikan lagi Nemu lekat-lekat.
"Rasanya... Kita pernah bertemu sebelumnya ya?"
Nemu mengalihkan perhatiannya pada Hisagi. "Kita pernah satu sekolah di sekolah menengah," ucapnya datar--lagi.
"Ah! Iya, iya!! Betul! Kau yang dulu berhenti sekolah pada tingkat kedua, bukan?"
Nemu mengangguk. Tangannya menggoyangkan tabung erlenmeyer, tak peduli pada Hisagi yang memandangnya dengan tatapan 'nostalgia'. "Aku berhenti karena ayah memintaku untuk jadi seorang ahli biokimia yang langsung belajar padanya."
"Oh... Begitu...." Hisagi mengangguk.
Nemu mengarahkan tabung di tangannya ke arah datangnya cahaya matahari, lantas mencampurkannya dengan bahan kimia asing. Hisagi masih memperhatikannya. Lantas Nemu mengambil pipet tetes, dan menyerap cairan itu. Kemudian menaruhnya di kaca kecil--kaca untuk preparat.
'Krokk!!'
'Buagh!'
Nemu menjatuhkan semua yang ada di tangannya ketika ia menyadari ada seekor katak yang melompat ke arah bahunya, dan hampir saja ia berteriak jika Hisagi tidak menyingkirkan binatang itu.
"Ah...." belum sempat Nemu mengucapkan terima kasih, ia mengaduh mendapati tangannya yang terluka karena kaca preparat yang pecah--ketika semuanya jatuh dan tak sengaja dipegangnya.
"Eh, tanganmu berdarah," Hisagi merogoh saku celananya. "Ini, kupinjamkan. Pakai untuk menutup lukamu."
"Tidak usah, terima kasih," Nemu membongkar kotak yang barusan dibawanya.
Hisagi cuma diam, dan membiarkan gadis itu mencari apa yang diinginkannya. Beberapa menit, hanya dihabiskan Nemu untuk membongkar sampai hampir mengeluarkan semua isinya.
"Bagaimana? Kau menemukan yang kau cari?"
Nemu cuma menggeleng singkat. Oke, gadis yang satu ini memang pelit bicara.
"Pakailah ini. Setidaknya tutup dululukamu. Jika dibiarkan terbuka dan terken bahan-bahan kimia, bisa jadi gawat," Hisagi menarik tangan Nemu, dan melilitkan saputangan itu ke bagian yang terluka.
"Te-terima kasih...."
Nemu meneruskan pekerjaannya. Mengurus sampel air sungai tersebut, ini-itu yang cuma bisa diperhatikan Hisagi dalam pandangannya. Karena sesungguhnya, ia tak terlalu mengerti tentang hal tersebut. Meski ia termasuk salah satu aktivis lingkungan, ia bukanlah seorang ahli biokimia seperti Nemu yang hafal pengerjaan dan penelitian soal bahan kima.
Tak ada yang bisa Hisagi lakukan--selain diam. Niatnya untuk tidur buyar, dan keinginan untuk membantu teman-temannya di sana menghilang begitu saja, menguap karena sebuah objek baru di hadapannya ini.
Hei, kenapa ia jadi memperhatikan gadis ini?
Entahlah. Tapi saat ini pandangan Hisagi tak beralih dari Nemu. Gadis pendiam dengan seribu satu kemisteriusan yang ia pendam dalam wajah manisnya.
"Kau baik-baik saja?" suara Nemu memecahkan khayal Hisagi.
"E-err... Ya...."
"Aku akan menyerahkan ini pada ayah untuk diteliti lagi. Aku pulang dulu...."
"Ha? Secepat ini?"
"Tidak ada lagi yang harus dilakukan selain menelitinya di laboratorium. Terima kasih bantuannya hari ini," Nemu membungkuk formal, dan secara tak sengaja Hisagi mengikutinya.
Dan Nemu pun pergi menjauh. Hisagi ingin melanjutkan tidur lagi. Tak ada hal yang bisa ia lakukan lagi--tepatnya hanya malas. Padahal teman-temannya sedang bekerja keras di tepi sungai sana--tanpa ia pedulikan.
xxx
"Hisagi, saya harap kali ini kamu ikut membantu, tidak seperti kemarin."
"Ya."
"Aku tidak menerima jika kau hanya mengatakan 'ya'. Aku berharap kau benar-benar melakukannya."
"Ya."
"Bisakah berhenti mengatakan hal yang sama beberapa kali?"
"Mungkin," Hisagi menguap.
Ukh, semangatnya benar-benar drop. Mungkin ia perlu sedikit penyegaran--lagi.
"Sekarang, bekerjalah."
"Hng... Iya, iya...." Hisagi menggaruk bagian belakang kepalanya, berjalan menyusul beberapa orang yang mulai memunguti beberapa sampah yang hanyut di sungai.
"Apa hari ini ia datang lagi, ya?"
Ups, Hisagi mengatakannya. Ia... Mencari dan mengharapakan Nemu untuk datang kembali?
Hisagi memendarkan matanya ke sekeliling. Di depannya, sudah ada beberapa orang. Hanya akan mengganggu jika ia ikut-ikutan di tempat ini. Dan ia memutuskan berbalik, mencari tempat yang agak sepi--dan tentunya jauh dari para senior.
'Blugh!!'
"Maaf, maaf, aku tak sengaja... Nemu?!"
Nemu tak menjawab.
"Sejak kapan kau ada di belakangku?" Hisagi mengulurkan tangannya, membantu Nemu berdiri.
"Baru saja."
"Ada apa lagi? Masih perlu sampel?"
"Ya. Yang diambil kemarin tak sengaja kubuang tadi malam."
"Oh. Hn... Tanganmu luka lagi?" Hisagi menunjuk ke punggung tangan Nemu--yang lagi-lagi berdarah.
"Ini? Mungkin waktu aku jatuh tadi," Nemu sedikit memutar lehernya, melihat ke tempatnya jatuh barusan. Patahan ranting pohon dengan tenangnya mencuat di situ, menyisakan sedikit bekas merah yang samar-samar.
Hisagi dengan cepat segera merogoh saku celananya. "Tunggu sebentar."
"Tidak usah," ucap Nemu juga merogoh saku bajunya. Dan mengeluarkan kain persegi berwarna putih yang terlipat rapi.
"Eh, itu saputanganku bukan?"
Nemu mengangguk, dan membalutkannya pada punggung tangannya. "Kupinjam sekali lagi."
"Eh... Ya, silahkan, pakailah," senyum Hisagi.
"Dia menyimpannya...."
- To Be Continued -
Maaf, kalau ada typo!
Habisnya, tanganku sakit, dan terpaksa pake keyboard wireless karena kalo ngetik di keyboard lappie ga enak, kerasa sakitnya. Dan masalahnya, keyboard wireless itu tombolnya keras, kadang-kadang bisa keselip, jadi kemungkinan keberadaan typo-nya lebih besar... TT^TT
Haah...
Silahkan tunggu chappie berikutnya. Terima kasih atas baca apalagi reviewnya... \^,^/
.
P. S. : Judulnye bahasa Perancis. Artinye sungai. (sejak kappan daku jadi orang betawi?)
.
.
.
R-E-V-I-E-W-?
