.

.

Ada beberapa hal yang telah kulupa tapi kau membantuku mengingatnya. Saat aku mengingatnya kau malah menjauhiku. Tanpa sebab yang jelas kau melenyapkan diri dariku.

NARUTO BELONG TO MASASHI KISHIMOTO

warning : TYPO, Don't like don't read

.

COUNTDOWN

(menghitung mundur)

.


Terdiam cukup lama. Aku merutuki diriku. sore ini aku kesal. Aku bingung.

Aku melihat keluar jendela. Orang-orang berlalu lalang. Padat. Dan aku tidak tahu harus menunggu berapa lama lagi.

"Permisi," suara itu menarik perhatianku. Kubalik kepalaku ke asal suara itu. Huh. Pelayan itu cantik juga. tapi aku lebih cantik darinya. Tak lama lagi dia akan menawarkan menu di café ini. Dan aku tidak tertarik untuk makan sesuatu. Tapi leherku meraung kekeringan. Segelas air hangat mungkin cukup. Jika ada dalam daftar menunya.

"Air hangat," aku meminta dengan lembut. Aku gadis baik. Dan semua orang mengenalku sebagai gadis baik.

"Baik nona," pelayan itu pergi dan aku kesepian. Aku sudah lama menunggu dan dia belum juga datang. Aku kesal. Aku ingin pulang. Tapi aku telah memesan minuman. Ah, demi minuman aku akan menunggu lebih lama lagi.

Handphoneku bergetar. Sebuah pesan menarik perhatianku. Oh ini dari tuan yang kutunggu-tunggu. Aku mencoba tenang meskipun pipiku terasa sangat panas. Selalu saja seperti ini.

"Di sini macet"

Sangat singkat, padat dan tidak jelas. Macet. Dia di mana saja aku tidak tahu. Pokoknya aku sudah tidak tahan. Dari jam empat sore aku menunggu di café. Sekarang sudah jam.. empat lewat. Okay, aku berlebihan.

Suara pintu terbuka café membuatku berharap dia telah datang. Aku bodoh. Dia tak mungkin datang. Aku berbalik melihat pintu yang membelangiku. Seseorang masuk melewati pintu itu. Aku kecewa dan tertawa sendiri. Sudah kubilang jika itu bukan dirinya tapi masih saja aku mengharapkannya. Aku benar-benar bodoh.

Aku kembali melihat sofa empuk di depanku. Ah, aku seperti jomblo mengenaskan.

"Ini air hangatnya nona," aku kaget. Hampir saja aku memukul pelayan itu.

Aku mengangguk dan mengambil air itu. Dia pergi. Aku meminum air hangat itu sambil menatap orang-orang di balik jendela. Semakin sepi saja. Aku terus memperhatikan keadaan di luar jendela. Sampai perhatianku tertuju pada seseorang. Dia berjalan tepat di depan jendelaku. Aku menatapnya.

Dia menatap lurus ke depan. Aku melihat bola matanya.

Safir biru.

Aku melihat rambutnya.

Secerah matahari pagi.

Aku melihat pipinya.

Tiga goresan luka sayat.

Air hangat hampir mengenai bajuku jika saja aku tidak tersadar untuk mengejar pria itu. Aku ke kasir dan membayar air hangat itu. Aku berlari keluar. Sepertinya aku yang membatalkan pertemuanku kali ini. Biarkan saja. Aku lebih memilih menemuinya.

Dia belum jauh dari jangkauanku. Aku berlari mengejarnya. Dia tidak menyadariku. Ini kesempatanku.

Jarak kami hanya satu meter saja. Aku berteriak memanggil namanya. Dia berbalik. Dia terkejut. Dan aku lebih terkejut lagi. Astaga itu benar-benar dia.

Aku mendekatinya dan dia tidak bergerak. Dia masih terlalu shock untuk menjauhiku lagi. Aku tersenyum lalu menatap safirnya menyelam dalam birunya mata itu.

"Hai," sapanya. Aku berhenti. Dia menyapaku? Apa dia tidak melupakanku atau dia tidak mengingatku? Astaga ini berbeda sekali. Tidak. Ini konyol.

"Kau mengangetkanku-" fiuh dia mengingatku. Untung saja. "-Sebelumnya salam kenal, aku Naruto. Kau?" aku kaget. Aku menatap lama matanya. Dia tidak berbohong. Isu itu benar. Dia tidak mengingatku. Aku tersenyum. Haha. Jika aku menangis maka aku lebih bodoh dari orang bodoh. Ini bukan yang pertama untukku. Aku terbiasa dengan hal ini. Aku membiasakan diriku untuk kejadian ini. Dan kejadian ini benar-benar terjadi.

Aku berbalik aku tidak menjawabnya. Ada seseorang yang menungguku dalam café. Dia tidak penting sekarang. Dia tidak mengingatku. Buat apa aku mengenalkan diriku padanya. Ini membuatku muak.

Hiks. Aku sangat capek berjalan. Hiks.. aku baik-baik saja kan? Kenapa aku menangis? Ini sangat bodoh. Masa berjalan dua langkah dari tempatku berdiri tadi menuju café membuatku menangis. Tidak. Aku tahu apa yang terjadi padaku. Aku membalikkan sedikit kepalaku. Berharap dia masih di sana. Bodoh. Dia bahkan pergi. Buat apa aku menangis.

Sudah. Berhenti menangis. Hapus airmatamu. Semua akan baik-baik saja.

Aku berjalan mantap menuju café. Tuan telah menungguku dalam café.

Dia melihatku. Aku melihatnya. Aku berjalan pelan ke aranya. Membiarkannya jengkel.

Dia mulai menahan emosinya. Aku duduk perlahan berhadapan dengannya.

"Ya, aku akan jadi modelmu jika kau cepat datang atau kau menaikkan harganya," aku harus marah padanya. Beraninya dia membuatku menuggu.

"Haha.. gadis lemah dan terlalu lembut sepertimu berbicara sinis padaku. Apa ada setan yang berjumpa denganmu?" dia membuat lelucon yang memang benar-benar nyata.

"Ya," dia hanya tertawa. aku merasa kalah.

"Baiklah, tiga kali lipat. Setuju?" aku sudah terlanjur jengkel. Kuambil handphone dan tas kecilku. Aku pulang dan meninggalkannya meneriaki namaku. Aku tak mau ikut kontraknya. Dia menyebalkan sejak pertama kali bertemu.

Pikiranku hanya ingin pulang ke rumah. Atau kembali ke masa laluku. Haha.

...

Bangunan dengan arsitektur yang elegan. Seperti istana kekaisaran Jepang. Ini rumahku. Sudah turun-temurun keluargaku menempati tempat ini.

Aku menyusuri jalanan menuju kamarku. Aku melihat Hanabi bersama Ko-chan. Dia sedang menyiram beberapa bunga. Aku memberhentikan niatku. Aku menemuinya. Dia sangat manis di sore ini.

"Hanabi-chan!" seruku sangat manis. Aku anak manis dan semua mengenalku sebagai anak manis.

Hanabi berbalik. Menghentikan aktifitasnya dan tersenyum meremehkanku. Ini sering terjadi. Aku mengabaikan senyuman dan tatapan meremehkan itu. Aku tersenyum padanya. Aku baik. Tapi aku bukan gadis bodoh. Aku tidak akan melanjutkan percakapan sore ini. Aku berbalik meniggalkannya. Tak berkata apa-apa. Dia masih tidak peduli.

Menyusuri teras rumah dengan bunga-bunga lili di setiap ujung teras. Indah. Aku merawatnya dengan sangat indah. Aku menuju halaman beladiri. Sebentar lagi aku sampai ke kamarku. Ah, lihat itu Neji..

Dia melihatku. Mata lavendernya melihatku. Dia berkeringat. Dia lelah. Aku tidak peduli. Dia masih tidak peduli padaku. Aku lelah di rumah. Aku merindukan seseorang. Haha. Kami-sama ibuku sudah terlalu jauh untuk kurindukan. Aku gadis baik. Tapi aku tidak bodoh. Ibuku sudah tiada. Aku hanya akan semakin gila jika merindukan dan mengharapkan ibuku hidup di dunia.

Aku membuka kamarku pintu geser khas Jepang. Aku lupa nama pintu ini. Nanti saja aku mencari tahu. Aku lelah.

Aku merebahkan tubuhku di atas kasur, futon.

Ini abad duapuluh menjelang duapuluhsatu dan keluarga bangsawan tetap memakai futon. Tidak ini bukanlah lelucon tapi ini adalah kenyataan. Dan faktanya di samping futon terdapat kasur kig size. Fakta yang lucu. Aku melucu. Haha

Haa.. aku hampir saja menjadi model. Untung saja tidak. Aku seorang bangsawan. Aku anak pertama dari garis keturunan bangsawan. Aku akan menjadi pemimpin klanku, awalnya. Tapi ayahku yang memiliki rahang tegas dengan tatapan tajam itu tidak akan pernah menjadikanku pemimpin. Dia melihatku terlalu lemah. Dan aku tidak ingin menjadi pemimpin klan. Syukurlah.

Aku bangsawan. Bangsawan tidak seperti orang kaya lainnya. Kami tertutup. Aktivitas kami tidak terliput media. Kami sangat menjaga privasi kami. Dan kami bukan sekelompok orang yang mencari sensasi.

Aku tidak bisa membayangkan raut muka ayahku jika dia tahu aku telah menyalonkan diriku menjadi model. Mungkin dia akan marah. Tapi aku suka diperhatikan.

Hari ini aku ingin tidur. Malam jam Sembilan aku akan bangun.


Lelaki dengam mata biru safir itu berjalan menjauhi gadis aneh bersurai biru gelap. Dia sangat terkejut. Gadis itu memanggil nama seseorang. Tapi dia merasa kalau dialah orang yang dipanggil gadis itu.

"Kyuubi,"

Apa itu namanya? Dia bergumam tidak jelas. Dia berjalan. Mengambil earphone dan menenangkan pikirannya.

Hari ini akan menjadi hari terburuknya. Biarkan dia terkejut untuk pembukaan kejadian terburuk.

Hari ini dia akan berlatih lagi. Ini abad dua puluh manjelang dua puluh satu. Siapa yang percaya bahwa sihir itu ada? Tidak ada sama sekali. Penyihir itu hanya sebuah dongeng untuk anak kecil. Itu tidak nyata, awalnya. Tapi itu nyata bagi pria bersurai kuning ini.

Dia akan menemui gurunya. Guru yang selalu saja membaca buku mesum buatan kakek tua berambut abu-abu panjang.

Perjalanannya masih jauh.


Tubuhku sangat panas. Aku tidak nyaman. Aku ingin bangun dari tidurku. Tapi aku sangat malas sekarang.

Aku mendengar langkah kaki seseorang. Itu langkah kaki ayahku. Bohong jika aku tidak mengenalinya. Langkah kaki yang sangat cepat dan terdengar pelan sekali. Itu ayahku sekali.

Dia membuka pintu geser itu. Dia melihatku. Dia cemas untuk kedua kalinya.

"Hinata.. ini lebih parah daripada sebelumnya," aku tersenyum kecut. Pasti aku akan memuntahkan darah lagi.

Hidungku mengeluarkan darah lalu aku memuntahkannya juga.

Ayahku panik tapi dia tidak akan memanggil siapapun. Ini rahasia antara kami bertiga saja. Beserta Tuhan tentunya.

Aku delapan belas tahun. Dan tetap saja aku seorang gadis malang yang membutuhkan peringai seorang ayah.

"Kau harus bisa melewatinya," dia tidak peduli padaku. Dia membiarkanku. Dia mencemaskanku.

Akh! Rasanya terbakar. Aku butuh air. Aku ingin merendamkan diri. Aku melihat cahaya merambat lurus memasuki kamarku. Benar ini bulan purnama.

Aku menutup rapat-rapat bibirku. Aku tidak akan menangis. Ini perintah.

Mataku panas. Ayahku melihat perubahanku. Aku mengangkat kepalaku ke atas. Aku membuka mataku sebesar mungkin. Sakit. Perih. Mataku seperti terputar-putar. Aku tahu. Mataku menjadi amethyst.

Ayahku melihat perubahanku. Aku yakin dia sudah tau. Dia bersikap biasa.

Sekarang jam sepuluh malam. Diluar perkiraan. Aku tidak tahu ini akan terjadi. Aku ingin latihan jam Sembilan malam.

Aku menundukkan kepalaku. Tubuhku menggigil hebat. Ini hipotermia di musim panas. Sungguh lucu sekali.

Ayahku tidak membantuku. Hanya melihat pergerakanku. Menunggu saat-saat terburuknya.

Aura gelap menguar dari tubuhku. Ungu gelap. Ayahku merasakannya. Matanya berubah. Urat-urat timbul di samping matanya. Pupilnya mengecil dengan urat-urat mata. Mukanya tetap datar. Sungguh pintar menyembunyikan kecemasan.

Aku Hyuuga dan hanya aku yang seperti ini. Entah ini adil atau sebuah celaka.

Aku harus kuat. Aku akan membuktikan jika aku tidak selemah itu. Demi ibuku.

Aku akan berubah. Mungkin menjadi harimau putih dengan aura ungu gelap di sekitarnya. Ayahku membacakan beberapa mantra. Menghilangkan aura gelapku.

Dia tahu. Dia sangat tahu jika aku sangat berharga. Lebih berharga daripada bulan purnama bagi pawang-pawang di luar kediamanku.

Aku memiliki ekor yang sangat indah sekaligus menyeramkan. Aku terkejut. Aku merasa ringan.

"Otou-sama..tubuhku terasa ringan," aku mengadukan tubuhku. Aku berkeringat. Aku lelah sekali. Futonku sepertinya terbakar. Kakiku tidak bisa bergerak. Aku menundukkan kepalaku. Aku ingin tidur lagi. Sungguh aku muak.

Ayahku berkeringat. Dia membaca mantra. Aku merasakan hal buruk akan terjadi.

Aku menutup mataku menahan sakit. Aku berteriak sekuat mungkin. Aku tidak dapat menahan ini. Tanganku meremas… ah ini dimana. Tanganku meremas, ini bukan kain futon kamarku.

Aku membuka mataku. Ini di mana?

Rumput dan kunang-kunang mengitari tubuhku. Rasanya nyaman. Aku berdiri.

Aku terkejut, aku menjadi harimau putih.


TBC

Terimakasih telah membaca. Chap pertama dengan kalimat patah-patah!. Eeh... chap ini jg sudah dire-make! Banyak yang salah. Hoho. Ya namanya juga manusia :v


REVIEW! :v


Updet terserah saya :v


Netto. 1631