A/N: Ini adalah fic kedua saya di fandom Vocaloid, silahkan dibaca… (_ _)

Len: Ha? Terus yang satunya dikemanain, nih?

B-Rabbit: Entahlah. =3= di tempat sampah kali, ya? =3= *dihajar reader*

Rin: Ngaco mulu, nih Author ==' terus ini fic tentang apa? *makan jeruk purut*

B-Rabbit: Kenapa lu makan jerut purut? ==' Bukannya jeruk Bali? *dihajar Rin FC* Nah, saya jelaskan, fic ini tentang— *disumbat pisang*

Len: Oi tidak seru kalau baru pertama udah ngejelasin Auhtor gaje! Sinting, lu! Dan—Astagafirullah! *sweatdrop* Apa-apaan fic ini! O.O Kenapa sampai 4500 kata, hah! Ini baru chapter satu, tahu! *gaplok Author*

Rin: What? 4500? Bakal capek, nih para reader yang baca! *ikutan sweatdrop* Lo itu buat fic atau buat kliping, sih!

B-Rabbit: Buat fic-lah~! Dan lagi-lagi kamu yang jadi tokoh utamanya Rin~! *senyum gaje*

Rin: *blush* m-masa' sih? Apa aku secantik itu untuk menjadi tokoh utama? *kepedean*

B-Rabbit+Len: ==' Ya udah, silahkan membacanya~ ^^

BloodStained Black Rabbit Present

A VOCALOID FANFIC

DISCLAIMER: Vocaloid © YAMAHA

[ Di saat kita mulai bertemu, cinta ini pun mulai tumbuh, tapi hanya waktu yang dapat memisahkan segalanya ]

Love, Disease and the Remaining Time

Created by: BloodStained Kagamine Len

Warning(s): Mengandung semi AU-GAJE-ABAL. Typo dan Misstypo bertebaran di dalam fic! Diharapkan memakai sabuk pengaman (?) saat ingin membacanya!

DON'T LIKE? DON'T READ!

Chapter 1: Prologue

Pagi yang indah di kota Tokyo. Cahaya matahari yang mampu menembus berbagai banda bening membuat gadis yang terlelap di kasur tidur miliknya itu terbangun paksa. Ia kemudian beranjak dari kasurnya, menuju ke kamar mandi yang terletak tidak jauh dari kasur berwarna Orange miliknya.

Memasuki kamar mandi, gadis berambut pirang itu segera membasuh tubuhnya dengan air hangat. Berbagai perasaan gerah karena baru terbangun dari tidur segera lenyap begitu setiap inci tubuhnya terkena air hangat yang mengguyur dari shower miliknya.

Memerlukan waktu yang tidak lama untuk gadis ini merasakan kesegaran yang disebabkan oleh air hangat dari shower kamar mandinya. Hanya berkisar lima belas menit, gadis yang akrab disapa Kagamine Rin itu segera menampakkan diri dari kamar mandi yang memang disengaja berada di dalam kamarnya. Rin kemudian melangkah menuju sudut kamarnya, di mana sebuah lemari berwarna orange – dengan berbagai stiker jeruk yang terpasang di pintunya – berdiri dengan kokoh. Lemari itu berukuran besar, mungkin ukurannya dapat dibilang dua kali lipatnya tubuh Rin.

Tanpa perlu berbasa-basi, Rin membuka lemari itu, mengambil sebuah seragam sailor dengan warna orange dan sedikit bercorak kotak pada bagian rok dan kerahnya. Seragam itu tidak semuanya berwarna orange – hanya pada bagian roknya saja yang berwarna orange – di bagian atas seragam itu, warna kuning pucat lebih terlihat dari pada warna orange yang diberikan oleh kerah seragam itu.

"Hm, seandainya bukan hanya bagian roknya saja yang berwarna orange." Keluh Rin sambil memperhatikan seragam yang digenggamnya. Rin memang kurang suka dengan warna itu – kuning – hanya saja, Rin tidak memiliki hak untuk memprotes. Bisa-bisa Rin dikatai sebagai wanita yang gila urusan kalau menuai protes hanya karena warna kuning yang sungguh tidak kontras di matanya.

Rin segera memakai seragam itu, setelah itu Rin mendekati meja riasnya yang dipenuhi akan pernak-pernik jeruk. Rin menatap sosok dirinya yang terpantul akan cermin itu – sosok gadis berambut blonde dengan manisnya terpantul di permukaan cermin itu – cermin memang tidak bisa berbohong, karena cermin memantulkan setiap benda dengan alaminya. Sosok gadis cantik, manis dan juga imut—itulah yang sering dikatakan orang lain saat melihat sosok Rin, tapi semua itu berbeda di mata Rin – saat dia sendiri menyaksikan dirinya yang terpantul akan kealamian dari cermin – di mata Rin, yang dia lihat adalah sosok gadis berambut blonde yang digerogoti akan penyakit. Penyakit yang sewaktu-waktu dapat membunuhnya dengan sadis. Rin tahu betul akan hal itu, dan dia tidak mau pusing akan penyakit itu.

Sejak Rin masih kecil – kira-kira berumur tujuh tahun – tubuh Rin sudah diagnosa oleh dokter terkena penyakit Leukimia Limfositik Kronis. Saat itu Rin memang belum mengerti apa pun, dan bahkan Rin masih dengan polosnya menyatakan kalau dirinya baik-baik saja dengan penyakit itu. Tapi semenjak Rin menginjakkan kakinya di bangku SMP, Rin mulai paham betul akan keadaannya. Keadaannya tidak bisa dibilang baik dengan membawa penyakit itu, karena Rin tahu kalau penyakit itu semakin lama semakin membunuh tubuhnya sendiri – Rin pun telah diagnosa oleh dokter tidak akan bertahan lama, hanya berkisar kurang dari sepuluh tahun saja –

Wajah Rin yang tadinya memancarkan kesedihan kini berubah menjadi cerah – meski dengan paksa – di pantulan cermin. Senyuman manis terlekuk di bibir mungilnya—bibir yang bersih dari dosa.

"Ayolah Rin, kau harus semangat." Ucap Rin seraya tersenyum. Senyumannya sungguh terlihat hilang. Ya, semakin lama, senyuman dari Rin semakin menghilang. Semakin waktu berjalan, senyuman dari Rin hilang perlahan-lahan – itu semua karena penyakit yang membuat umur Rin semakin memendek disetiap detik berlalu.

Rin kemudian meraih jepitan rambut miliknya yang terletak di permukaan meja berwarna orange itu. Dengan perlahan-lahan, Rin memasang jepitan itu di poni yang sedikit menutupi mata aquamarine miliknya. Rin terlihat manis akan jepitan itu—oh dan tidak lupa juga dengan pita berwarna putih yang selalu Rin pasang di pucuk kepalanya – sebuah pita putih yang khas dari sosok Kagamine Rin.

Tap!

Rin berjalan meninggalkan kamarnya dengan langkah yang cukup sempoyongan. Langkah kaki Rin sungguh lamban – seperti seekor semut – bahkan sampai memakan waktu hampir lima menit untuk membawa berat tubuhnya sendiri menuju ke ruang makan.

"Selamat pagi, Rin!" seorang pemuda berambut dark blue menyambut kedatangan Rin dari kamarnya. Pemuda itu adalah Kakak Rin, Kagamine Kaito. Dia adalah satu-satunya keluarga Rin – dan juga seperti orang tua kandung di mata Rin – bukannya Rin tidak punya orang tua, hanya saja orang tua Rin bekerja di luar negri; Ayah Rin bekerja sebagai penulis Novel detektif di Inggris, sedangkan Ibu Rin bekerja sebagai penata rias artis di Paris. Sungguh sedikit waktu yang mereka miliki untuk memperhatikan keadaan Rin dan Kaito. Kaito saja kadang berpikir kalau orang tuanya telah lama meninggal, saking lamanya dia tidak pernah melihat tampang kedua orang tuanya sendiri.

"Selamat pagi, Kak!" balas Rin yang berusaha untuk tersenyum. Rin kemudian duduk di samping Kaito yang sedang menikmati es krim kesukaannya.

"Ini sarapanmu, hari ini sarapan kita adalah… TARAAAA! Telur dadar!" seru Kaito yang terlihat sungguh bangga akan hasil masakannya. Padahal yang dia masak hanyalah telur dadar yang gosong di beberapa titik. Rin yang melihat semangat Kaito hanya tersenyum lembut dan menerima telur yang terbilang –err gagal itu.

"Terima kasih, Kak." Ucap Rin seraya berterima kasih. Rin dengan senangnya memakan telur yang berhiaskan kegosongan itu – meski sebenarnya Rin merasakan kalau telur itu sedikit asin dan pahit – bahkan Rin menghabiskannya. Sungguh hal yang luar biasa. Setelah menghabiskan sarapan paginya, Rin akhirnya meninggalkan rumahnya.

Kagamine Rin's POV

"Terima kasih, Kak." Aku menikmati sarapan yang dibuatkan Kak Kaito untukku. Meski pun rasanya agak asin dan pahit, tapi aku menghabiskan semuanya – itu semua karena aku menghargai usaha Kak Kaito untukku – setelah menghabiskan sarapanku, aku memutuskan untuk berangkat ke sekolah, namun sebelumnya aku dihentikan oleh Kak Kaito.

"Rin tunggu!" aku menoleh dan mendapati sosok Kak Kaito yang tengah berlari ke arahku. Aku hanya mengernyitkan dahi. "Kau lupa obatmu!" seru Kak Kaito. Kak Kaito menyodorkanku sebuah botol kecil yang sangat kuyakini adalah obat.

Aku menerima botol yang berwarna biru gelap itu. "Terima kasih, Kak," ucapku dengan senyuman. "Aku pergi, ya?" aku segera berlalu dari hadapan Kak Kaito. Aku tidak menoleh sedikit pun, yang kuberikan hanyalah lambaian tangan lemahku saja. Ya, aku tahu kalau sekarang ini Kak Kaito memandang punggungku dengan tatapan iba – tatapan yang seakan-akan menangisiku yang mungkin akan kembali dengan hanya membawa nama saja – aku benci ditatap seperti itu.

Kugenggam botol yang berukuran kepalan tangan itu – botol kecil penyelamat hidupku – ya, aku menikmatinya. Aku sungguh berterima kasih akan botol kecil ini – botol kecil yang menambah detik kehidupanku – karena tanpa botol berisi obat-obatan ini, aku tidak akan bisa bertahan lama untuk hidup.

Aku menahan tubuhku yang mulai bergetar – sesuatu yang hangat mulai membanjiri pelupuk mataku – aku terlalu rapuh kalau mengenai penyakitku sendiri, seakan-akan aku tidak mampu melawannya yang merupakan dinding takdir untukku.

"RIN!" seseorang menepuk pundakku, dengan cepat aku menyeka air mata yang hampir saja membanjiri pelupuk mataku. Aku hanya menoleh dan menangkap sosok gadis berambut hijau tosca yang berdiri di belakangku. "Selamat pagi!" serunya dengan keceriaan yang menggebu-gebu.

Aku tersenyum, "Ya, selama pagi, Miku." Ucapku dengan senyuman. Miku hanya memperlihatkan sederet gigi-giginya padaku, kemudian senyumannya itu berubah saat melihat sesuatu yang aku genggam – obat – botol kecil itu.

"Hm.. Rin? I-itu…" Miku menunjuk-nunjuk botol yang aku genggam dengan jari telunjuknya. Aku tahu apa maksud Miku, dan aku memakluminya.

"Ini obatku, Miku." Jelasku yang dengan cepat memasukkan botol berwarna biru itu ke dalam sakuku. Kulihat raut wajah Miku berubah seketika – tidak ada lagi deret gigi penuh keceriaan darinya – yang ada sebagai ekspresinya saat ini hanyalah wajah yang penuh perasaan tidak enak.

"O-oh…" Miku bergumam. "K-kalau begitu kita ke sekolah, yuk!" Miku menggandeng lenganku – menyeret berat tubuhku dengan semangatnya yang menggebu-gebu – kami berjalan dengan riang menuju ke sekolah, hingga gerbang sekolah kami pun mulai terlihat dari kejauhan.

' Akhirnya sampai! ' batinku berucap lega. Jujur saja, aku tidak kuat terlalu sering berjalan. Karena biasanya saat aku kelelahan, aku pasti akan ambruk dan tidak sadarkan diri.

Kami pun segera berjalan bergandengan memasuki kelas. Sebenarnya perjalan tidak terlalu jauh dari pintu gerbang – hanya memakan waktu lima menit saja – hanya saja aku mulai merasa lelah?

"SELAMAT PAGI!" Miku membuka pintu kelas kami dan berteriak sekeras-kerasnya. Para siswa yang berada di dalam kelas tersentak kaget, namun mereka membalas ucapan Miku.

"Selamat pagi, Hatsune, Kagamine." Beberapa suara mulai menggema dari berbagai sudut – mereka membalas ucapan selamat pagi dari Miku – aku hanya tersenyum merespon, sedangkan Miku cengar-cengir tidak jelas.

"Ayo, Rin!" ajak Miku, aku hanya menurutinya. Baru beberapa langkah, aku mulai merasa aneh akan diriku.

Kepalaku pusing…

"Eh? R-Rin?" Miku menoleh padaku. Aku hanya mampu menopang tubuhku yang terasa berat di meja terdekat.

Pandanganku juga semakin tidak jelas… Ukh, aku kenapa?

"K-Kau tidak apa-apa, Rin?" Miku terbelalak kaget.

Tubuhku mulai sempoyongan, tubuhku terasa ringan…

"Kagamine, kau kenapa!" aku merasakan panggilan lain yang menyebut namaku. Tadinya hanya Miku yang memanggilku, tapi sepertinya teman-teman yang lain juga menyebut namaku.

Bruk!

Semuanya gelap—kegelapan melukis semua jarak pandangku.

Hei, apa aku telah mati?

Normal POV

Iris aquamarine itu terlihat sedikit demi sedikit dari balik kelopak mata Rin. Semakin lama, kelopak mata itu memperlebar jalur pandang iris aquamarine itu dengan perlahan-lahan. Terbukanya kelopak mata itu – beserta iris aquamarine yang mulai nampak – sudah memperjelas bahwa sekarang ini Rin mulai sadarkan diri.

"I-ini di mana…?" tanya Rin lemah. Namun tidak ada jawaban akan pertanyaan itu, hingga membuat Rin beranggapan bahwa dia telah mati. ' Ah… jangan-jangan aku sudah mati? ' tebak Rin. Sedikit memastikan akan keadaannya, Rin segera mengucek kedua matanya – agar penglihatannya semakin jelas – setelah pandangannya semakin jelas, Rin mulai yakin kalau dia masih hidup. Tuhan masih memberikannya kesempatan untuk hidup.

Sedikit bersyukur, Rin mengepalkan kedua tanngannya di depan dada miliknya, matanya kembali terpenjam – merasakan berbagai sensasi dari angin sepoi yang memasuki ruangan kecil itu – seraya Rin berucap, "Terima kasih kau masih mengasihaniku, Tuhan." Ucap Rin. Perlahan-lahan, tanpa Rin sadari, lagi-lagi air matanya memaksa untuk merembes dari pelupuk mata Rin.

' Tenang, Rin! Kau… masih hidup sekarang ini! ' batin Rin berseru – mencoba agar dirinya tegar – tidak lama Rin berseru-seru di lubuk hatinya, seseorang muncul dan mengetuk pintu yang berada di sudut ruangan itu. Ruangan ini adalah UKS, tempat Rin sekarang berada.

Rin sedikit heran, dia hanya mampu menengadahkan kepalanya sambil menatap pintu. Rin tidak mampu bersuara banyak, karena kondisi fisiknyalah yang membuatnya enggan untuk mengeluarkan sepatah kata.

Ckrek! Pintu terbuka, dan muncullah sosok gadis berambut hijau tosca – Gadis itu adalah Miku, sahabat Rin – Miku terlihat membawa sebuah nampan yang berisi air mineral dan dua buah roti di tangannya.

"Rin?" Miku mendekati ranjang di mana Rin terduduk lemas. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Miku khawatir. Miku meletakkan nampan yang berisi makanan dan minuman itu di atas meja – ia tahu kalau saat ini Rin tidak ingin makan – kemudian Miku duduk di samping ranjang Rin.

Rin menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Miku… aku benar-benar takut…" ucap Rin lemas, sedangkan Miku hanya bertajuk heran.

"Takut kenapa, Rin?"

Rin memejamkan kedua matanya, tangannya menggenggam tangan Miku dengan kuat. "Aku sangat takut… aku takut…" air mata berlinang, membanjiri pelupuk mata Rin. Kemudian perlahan-lahan cairan bening itu menuruni pipi Rin.

"K-kau takut kenapa, Rin?" tanya Miku keheranan. Sedangkan Rin menunduk.

"Aku takut… rasanya aku sudah mati saat ini, Miku…" isak Rin yang kemudian menenggelamkan wajahnya di pelukan Miku. Miku tersentak kaget saat mendengarkan ungkapan Rin yang satu itu, namun Miku dapat memakluminya.

Miku tersenyum – paksa – dia kemudian mengelus puncak kepala Rin dengan lembut. "Tenanglah, Rin… kau tidak akan mati, kok." Ucap Miku lembut, setidaknya di satu ucapannya itu memunculkan sedikit harapan Rin.

Rin berusaha tersenyum, hingga sederet gigi-giginya terlihat. "Ya, aku tahu, Miku. Aku tidak akan mati." Miku yang mendengar ucapan Rin hanya tersenyum tipis.

"Oh ya, tapi –err bagaimana keadaanmu? Kau sudah baikan?" tanya Miku yang berusaha memaksa Rin untuk tidak berbohong saat ini..

"Tentu. Aku baik-baik saja, Miku. Aku bahkan sudah bisa ikut bela—"

BRAAAAAAK! Pintu terbuka dengan lebarnya sebelum Rin selesai berbicara. Hal itu berhasil sontak membuat Rin dan Miku kaget setengah mati, untung saja mereka berdua tidak mengidap penyakit jantung.

Suasana ruangan menjadi hening. Iris milik Rin dan Miku melebar secara bersamaan, mulut mereka pun terlihat menganga dan membentuk huruf 'o'. Setelah cukup lama keheningan menyelimuti mereka, akhirnya iris mereka mampu menggambarkan siapa sosok yang tengah berdiri di hadapan pintu itu dengan nafas yang tersengal-sengal.

"AKH! Kagamine Kaito!" pekik Miku saat otaknya sudah mampu membaca – dengan bantuan mata – sosok yang berada di depan pintu itu. Sedangkan Rin masih bengong di tempat.

"RIN!" Kaito berlari dengan cepat menuju Rin yang masih duduk di ranjang – dan Miku yang duduk di samping ranjangnya – wajahnya sangat pucat, toh dia sangat khawatir dengan keadaan Rin, adiknya. "B-bagaimana keadaanmu?" tanya Kaito tanpa memperdulikan sosok Miku yang hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya karena kehebohan yang ditimbulkan oleh Kaito.

"A-aku tidak apa-apa, Kak, cuma kelelahan sedikit…" jawab Rin agar Kaito tidak khawatir. Kaito menaikkan sebelah alisnya, matanya meneliti dalam-dalam mata Rin – memastikan apa Rin berbohong atau tidak melalui sorot matanya – tapi sepertinya tidak ada kebohongan yang tersirat dari iris indah itu.

"S-syukurlah kalau begitu.." Kaito menghela nafas. "Kalau begitu, Rin kau pulang saja hari ini." Saran Kaito tiba-tiba.

"Eh? Ta-tapi—"

"Pulanglah, Rin," Sambung Miku yang tumben-tumbennya memasang style cool. "Tidak usah pikirkan sekolah hari ini…" ucap Miku dengan sarannya. "Kalau pulang sekolah nanti, aku akan mengunjungimu, dan sekalian juga membawakanmu catatan hari ini. Oke?" Miku mengedipkan sebelah matanya ke pada Rin.

"M-Miku?" Rin terpaku sejenak.

"Nah, ayo Kak Kagamine! Bawa pulang dia!" perintah Miku. Dia sama sekali tidak sadar bahwa orang yang dia perintah sebenarnya berumur lebih tua darinya, hal ini membuktikan kalau sifat Miku itu –err seenaknya saja?

Kaito mengangguk – dengan polosnya – ke pada Miku, dan segera Kaito membawa Rin pulang. Mungkin dengan pulang dan sedikit beristirahat, kesehatan Rin dapat membaik.

.

.

.

Miku berjalan di koridor dengan sedikit lemas. Ya, dia masih khawatir akan keadaan Rin, dan juga dia dibuat khawatir karena dia tidak mengikuti tiga jam pelajaran kerena terus-terusan menjaga Rin. Oh, rupanya bukan hanya itu yang membuat Miku khawatir; yang membuat Miku khawatir adalah pelajaran Fisika yang sekarang telah berada di tengah jalan – apalagi gurunya terkenal galak – Miku sempat berpikir untuk bolos, namun rupanya gadis manis ini masih memiliki rasa tanggung jawab sebagai seorang pelajar, dan memilih untuk memasuki kelas dengan segera.

Ckrek! Miku memasuki kelasnya dengan tampang yang dibuat se –innocent mungkin, membayangkan kalau mungkin guru yang mengajarnya beranggapan kalau Miku nekat untuk membolos – meski sebenarnya tidak –.

"Hatsune Miku, ada apa denganmu? Kenapa kau terlambat dipelajaranku? Dan kenapa kau—" tanya guru itu dengan pertanyaan yang sungguh membuat telinga Miku berdenging, kesal.

"Ayolah, sensei… aku dari UKS untuk menemani Kagamine yang sakit.." Miku menjelaskan. Sekilas, guru itu mengernyitkan dahi.

"Kagamine?" guru itu bertanya-tanya, berharap agar dia mendapatkan penjelasan yang membuatnya mengerti terhadap gadis manis itu. Miku sedikit terbelalak, dia hanya bergumam 'o' karena menyadari 'keganjilan' dari penjelasannya sendiri. Miku kemudian memutar balikkan bola matanya – mencari sudut pandang lain untuk penjelasannya – dia hanya mampu menghela nafas, dengan sedikit memainkan rambut hijau tosca –nya. Miku menyadarinya, keganjilan dari ucapannya barusan tadi.

Ada dua Kagamine di kelas ini…

Dua marga yang sama, namun berbeda…

"Ah ya, maksud saya Kagamine Rin." Ucap Miku agar gurunya yang terkenal galak tersebut mengerti. Guru itu terdiam sejenak – berpikir – kemudian dia hanya mempersilahkan Miku untuk memasuki kelas. Tentu saja Miku bersorak girang, namun di dalam hati. ' Lucky! ' sorak Miku di dalam hati. Miku segera menuju ke bangkunya yang kosong, tanpa sosok Rin yang selalu menempati bangku yang kini kosong di sebelah Miku.

Sejenak Miku merasa kesepian. Miku tidak mampu berkonsentrasi penuh selama pelajaran berlangsung. Di kepalanya, dia terus memikirkan keadaan Rin, sahabatnya. Tatkala mata Miku mulai membendung cairan hangat, namun Miku menutupi cairan hangat itu dengan cara menyeka lajunya. Miku tahu betul akan keadaan Rin saat ini – digerogoti akan penyakit yang sewaktu-waktu dapat membunuhnya – tapi Miku hanya dapat diam, menyaksikan penyakit yang semakin lama semakin menggerogoti tubuh ramping Rin itu.

"Hatsune Miku! Jangan menghayal ditengah pelajaran!" tegur guru berwajah galak itu. Miku tersentak kaget, dengan cepat Miku melepas dirinya dari lamunan sementaranya.

"Ma-maaf, sen—"

BRAK! Pintu terbuka, menyebabkan Miku yang awalnya hampir terkena siraman rohani dari guru galak itu terselamatkan.

Siapa gerangan yang akan menerima kesialan Miku itu? Itulah hal yang Miku pikirkan.

"Kau! Kenapa lagi-lagi kau terlambat memasuki kelasku, hah!" bentak guru itu, tentunya bukan untuk Miku. Miku dan beserta anggota kelas itu mendongkak dan segera mengarahkan pandangannya pada objek siraman rohani dari guru itu.

Pemuda berambut blonde dengan ponytail –nya yang menjadi ciri khas darinya berdiri dengan style cool – memasukkan kedua tangannya di dalam saku celananya – di depan pintu. Wajahnya cukup tampan – bahkan lebih dari kata cukup – sampai-sampai di sekolah ini, 90% anak perempuan nge –fans berat dengannya – dia kemudian berjalan menuju guru yang sedari tadi memasang wajah sangar itu.

"Kagamine! Sudah berapa kali kau terlambat di pelajaran saya! Apa kau tidak tahu kalau kelakuanmu itu sangat tidak sopan!" guru itu berkacak pinggang. Mulutnya terus mengomel tidak jelas ke pada pemuda yang sedari tadi sesungguhnya tidak mendengarkan omelan guru itu. "Kagamine, kau dengar tidak!" ucapnya tegas – malah lebih dari kata tegas – hingga membuat para siswa bergidik akan aura hitam yang muncul tiba-tiba.

Seluruh kelas menjadi hening, bahkan Miku pun ikut terpaku melihat guru itu. Namun ekspresi berbeda diberikan oleh pemuda itu, dia malahan—

"Ng, maaf? Apa yang anda bilang barusan?" pemuda itu – lebih tepatnya pemuda yang bernama Kagamine Len – bertanya dengan wajah yang seakan-akan tidak bersalah. Seluruh kelas hanya bisa sweatdrop, dan ternyata, sedari tadi kedua telinga Len tertutup akan sebuah earphone yang berukuran kecil. Pantas saja dia tidak mendengarkan omelan guru – yang sudah berbusa-busa itu – yang terus mengomelinya dari tadi.

"Grrr…. K-Kagamine L-Len…?" aura hitam menyembur dari guru itu, para siswa mau pun siswi segera mengungsi ke tempat yang aman – di sudut kelas – agar mereka selamat lahir dan batin.

"Ya, sensei?" Len memasang wajah yang sungguh tidak bersalah – lagi – padahal, kelakuannya ini sungguh terbilang tidak sopan.

"CEPAT KELUAR DARI KELASKU!"

"KYAAAAA!"

"UAAAAAA!"

Berbagai jeritan terdengar dari kelas itu – kelas di mana Miku sekarang berada – baik laki-laki mau pun perempuan semuanya berhamburan ke luar kelas, padahal bukan mereka yang diusir oleh guru itu. Ternyata, tujuan mereka berhamburan keluar kelas bukan karena mereka budeg, tapi ternyata tujuan mereka berlarian kerena mereka ingin 'selamat'. Ada apa ini?

GRATAK! BRAK! BUK! BUK!

Sebuah meja siswa terpental sejauh lima meter keluar dari kelas. Rupanya guru itu semakin stress hanya karena satu siswa saja – Kagamine Len – hingga hampir seluruh barang-barang dari kelas itu terpental jauh keluar dari kelas. Untung saja semua siswa telah keluar terlebih dahulu.

"KYAAA! B-bagaimana ini?" ucap seorang gadis yang dikenal bernama Lily. Dia memasang wajah pucat pasih, mengingat pemb*lutnya (?) masih berada di dalam kelas. "M-Miku!" panggilnya yang kemudian berlari ke arah Miku.

"Yeah, ada apa, Lily?" tanya Miku sok penyanyi rap. Yah, mumpung dia lagi suka-sukanya dengan lagu beraliran rap. "Whats up women?"

"Ah begini, seluruh pemb*lutku berada di dalam mejaku. Dan –err kau tahu? Mejaku… dilempar oleh sensei…" bisik Lily sambil menahan rona merah di wajahnya. Miku hanya menaikkan sebelah alisnya.

"Whatto dowith me?" kali ini Miku masih memakai bahasa Inggris. ' J-jago sekali dia bahasa Inggris? ' pikir Lily yang tanpa ia ketahui, Miku sebenarnya menyembunyikan sebuah alfalink dan kamus di balik punggungnya.

"J-jangan memakai bahasa Inggris dong! Mentang-mentang nilai bahasa Inggrisku rendah!" omel Lily sambil berkacak pinggang. "Hei, Miku, ambilin dong 'itu'ku di dalam kelas." Pinta Lily dengan puppy eye. Miku menoleh sejenak, awalnya dia berniat membantu Lily, namun semua niatnya surut begitu milihat gurunya yang sudah seperti seekor 'King Kong' yang mengamuk.

"Um.." Miku menelan ludah, "Tidak mau, ah~" Miku memasang headset yang entah dari mana dia dapat.

"Uaaa~ Miku jahat!" Lily memasang puppy eye yang sungguh tidak menumbuhkan nurani Miku. Miku hanya memasang tampang C.U.E.K pada Lily. Tatapannya seolah-olah berkata bahwa 'Itu urusanmu!'

Tidak lama guru itu mengamuk, seorang Pembimbing datang dari ruang kepala sekolah – sepertinya dialah Kepala Sekolah di sekolah ini – wajahnya penuh akan kekhawatiran akan keselamatan murid-muridnya sendiri.

"Kalian semua pulanglah!" pintanya. Para siswa hanya mampu membulatkan iris mereka, namun seketika—

"YAAA-HAAA!" kegaduhan terjadi lagi – kali ini para siswa yang berbuat – para siswa segera mengambil tas mereka masing-masing di dalam kelas, sementara guru setengah gila itu diamankan oleh Kepala Sekolah. Miku pun ikut bersorak senang, dan dengan bahagianya Miku beranjak dari kelasnya – meski sebelumnya Miku mengambil dulu tas miliknya –

"Dan kau, Kagamine Len, ikut saya."

Tap! Miku berhenti berjalan, Miku menoleh sejenak ke pada asal suara itu – di mana sang Kepala Sekolah sedang memberi perintah ke pada si biang kerok masalah, Len Kagamine – Len hanya memasang wajah datar, dan kemudian dia mengangguk pelan.

' Padahal aku sedikit bersyukur karena kami bisa pulang cepat..' pikir Miku sambil memandang si biang kerok itu – Kagamine Len – karena tidak ingin ambil pusing, Miku kemudian mengubah langkahnya menjadi lari dengan kecepatan yang tidak bisa dibilang rendah.

Kagamine Rin's POV

Tok! Tok! Tok!

Aku mengangkat wajahku, memandang pintu yang berada cukup jauh dari tempat tidurku. Aku tidak mampu berucap banyak selain; "Silahkan masuk."

Pintu terbuka seketika, muncullah Kak Kaito dari balik pintu. Kak Kaito kemudian berjalan menuju kasurku. "Bagaimana keadaanmu, Rin?" tanyanya. "Kenapa kau tidak meminum obatmu? Kau lupa lagi?" lanjutnya. Aku sedikit menunduk, aku tidak mungkin menjelaskan kalau fisikku tidak mengizinkanku untuk bergerak sedikit pun untuk meraih obat. Aku tahu, kalau seandainya aku mengatakan hal yang sebenarnya, Kak Kaito pasti akan semakin cemas padaku, dan semakin mengasihaniku.

"Maaf, aku lupa, Kak Kaito." Ucapku berbohong. Entah sudah berapa kali aku membohongi Kak Kaito soal penyakit ini yang semakin parah. "Oh ya, dari mana Kakak tahu kalau aku ambruk di sekolah?" kini aku balik bertanya.

"Tentu saja dari temanmu yang berambut hijau itu," Kak Kaito duduk di sudut kasurku, senyuman terurai di wajahnya. Sebuah senyuman yang penuh akan kebohongan. "Dia mengirimkan e-mail padaku, katanya kau ambruk lagi." ucapnya.

"Eh? E-mail? Memangnya Kakak tukaran alamat e-mail dengannya?" tanyaku sedikit tersentak. Kak Kaito hanya mengangguk. "K-Kapan? M-Miku tidak pernah bilang padaku?" lanjutku. Memang Miku tidak pernah cerita akan hal ini – kalau dia telah tukar-tukaran alaman e-mail dengan Kak Kaito – tapi… kok dia tidak cerita, ya?

"Hehehe," Kak Kaito tertawa bangga, "Sebenarnya sudah lama kami tukar-tukaran alamat e-mail, tapi sengaja dirahasiakan darimu!" Kak Kaito mengacak-acak rambutku dengan perasaan gemas. "Maaf, ya! Soalnya aku khawatir kalau kau ambruk tiba-tiba." Kak Kaito menangkupkan kedua tangannya di depan dada, seraya dia meminta maaf.

"Tidak apa, toh ini juga suatu kebahagiaan untuk Miku." Ucapku tersenyum tipis. Kak Kaito yang mendengar ucapanku hanya menaikkan sebelah alisnya, reflek aku segera menutup mulutku sendiri dengan telapak tangan. "M-maksudku kebahagiaan untukku! Toh, Kakak datang kerena mendapat e-mail dari Miku 'kan? Haha." Seruku dengan asal-asalan, yang penting Kak Kaito tidak curiga bahwa—

Sebenarnya Miku naksir dengannya…

Ting! Tong! Ting! Tong!

"Ada tamu rupanya." Kak Kaito beranjak dari kasurku, meninggalkan kamarku yang bertema akan jeruk dan warna orange. Sepertinya ada tamu. Tidak lama setelahnya, terdengar langkah kakinya yang menuju ke kamarku.

"Aku datang, RIIIN!" sosok Miku muncul, dan membuat sweatdrop. Bagaimana aku tidak kaget, Miku hampir saja membuat jantungku jatuh ke bagian perut.

"M-Miku? K-kau bolos?" tanyaku terbelalak. Miku hanya menaikkan sebelah alisnya.

"Mana mungkin, Rin! Kami disuruh pulang cepat, karena lag-lagi guru Fisika kita, tuh –err gilanya kambuh." Jelas Miku sambil mengangkat kedua bahunya. Aku sedikit tertegun mendengarnya.

"Oh.." gumamku, "Kenapa bisa? Ada yang memancingnya lagi?" tanyaku lagi. Miku hanya tersenyum, ia kemudian ikut naik di atas kasur orange milikku. Aku sempat sweatdrop, tapi setelah aku menerima tatapan mata Miku yang seolah-olah berkata; 'Aku ikut tidur, ya? Aku lelah." Akhirnya aku mengakhiri acara sweatdrop singkatku.

"HUAAA! Kasurmu nyaman sekali, Rin!" seru Miku sambil memainkan sprei orange kasurku. "Oh ya, kau tahu 'kan Kagamine Len?" tanya Miku sambil melipat tangannya di belakang kepalanya. Aku sedikit kaget mendengar nama itu, soalnya marganya sama denganku.

Aku mengangguk, aku tahu nama itu – Kagamine Len – lebih tepatnya aku tahu siapa dia sebenarnya. Pemuda itu – Kagamine Len – adalah pemuda yang terkenal paling nakal di kelas kami. Setiap hari kebiasaannya hanyalah mendengarkan musik melalui i-pod yang selalu dia bawa, dia tidak pernah sedikit pun memperhatikan penjelasan dari guru. Tidak pernah belajar dengan serius bukan berarti kalau dia bodoh, malah sebaliknya, DIA CERDAS! Nilainya adalah nilai yang paling tinggi di angkatan kami. Bahkan soal test Matematika yang berisi dua puluh nomor essay dia kerjakan hanya dalam waktu tiga puluh menit – malah kurang sepertinya – dia dikenal jenius, namun –err dia nakal. Kenakalannya itulah yang menyebabkan nilai rapornya turun drastis. Dan satu hal yang kuketahui dan juga dia ketahui, sepertinya dia—

—tahu akan penyakitku. Ya, selain Miku dan Kakakku, Kaito, sepertinya dia mulai curiga akan penyakitku. Aku tahu semua itu dari tatapannya padaku – tatapannya selalu mengarah ke padaku dengan pandangan curiga – dan bahkan dia pernah bilang sendiri di hadapanku bahwa; "Kau itu menggelikan, ya? Berusaha keras padahal tubuhnya sendiri tidak kuat." Setelah dia mengucapkan hal itu padaku, aku mulai tahu kalau dia sepertinya sudah tahu akan penyakit Leukimia yang kuderita, padahal semua orang tidak ada yang tahu – bahkan pihak sekolah pun tidak ada yang tahu akan hal ini – kecuali Miku.

Aku menghela nafas, kupaksakan bibir ini bergerak begitu mendengar namanya. "Ya, aku tahu Miku." Ucapku.

"Hm.. baguslah. Nah, dia itulah yang lagi-lagi mencari masalah. Sepertinya dia dibawa ke ruang guru untuk kesekian kalinya." Jelas Miku, aku hanya mengangguk mendengarkan penjelasan itu.

Aku hanya diam, mematung. Entah kenapa kalau mengingat pemuda itu – Kagamine Len – rasanya aku jadi ingin menangis. Bukannya dia punya masalah denganku, hanya saja aku merasa keberatan kalau seandainya dia sebenarnya tahu akan penyakit ini.

Ya, penyakit ini.. penyakit yang menggerogotiku. Sebenarnya aku tidak apa-apa kalau seandainya Tuhan berkehendak lain dan mengambil nyawaku melalui penyakit ini, hanya saja aku tidak ingin mati untuk saat ini, sungguh! Aku benar-benar tidak siap saat ini, karena sebelum aku mati, aku ingin terlebih dahulu merasakan—

—yang namanya cinta. Bagaimana debaran saat jatuh cinta, bagaimana sedihnya bila patah hati, dan bagaimana pula rasanya saat pergi meninggalkan orang yang kita cintai. Ya, itulah yang paling ingin aku rasakan. Setidaknya aku bisa bahagia dalam tidur abadiku bila seandainya aku memiliki seseorang yang mencintaiku apa adanya, tidak peduli akan penyakit yang kuderita.

Sejak aku mulai mengerti betul akan penyakit ini, aku sama sekali belum merasakan yang namanya 'Jatuh Cinta'. Aku tidak tahu rasanya sama sekali, dan entah kenapa hatiku selalu saja meronta-ronta untuk merasakan yang namanya cinta sejati.

Apa semuanya akan terjawab di sisa hidupku yang tidak banyak ini?

TBC

A/N: Hai semuanya~! Ini adalah fic kedua saya untuk meramaikan fandom ini~! XDD Maaf kalau lagi-lagi multichapter! Soalnya hanya ide untuk membuat cerita ini yang muncul! XDD

Dan… sekali lagi, saya masih pemula, dan tolong… beri saya masukan jika ada kesalahan di fic saya ^^

Dan untuk memperjelas, fic ini tidak mengandung unsur Shonen-ai/Shoujo-ai fic ini Straight! Mungkin saja ada yang menganggap saat melihat Rin meluk Miku ^^

Dan soal fic saya yang satunya, saya saat ini belum punya ide yang pasti. Yang jelas, saya tidak akan remove fic saya! XDD

Nah, Len, minta reviews sana!

Len: Banyak mau, loh! Mind to reviews? *puppy eye*