Komorebi

Disclaimer : Naruto ⓒ Masashi Kishimoto, Honey and Clover ⓒ Chika Umino

Genre : Friendship/Romance

Warning : Typo, OOC, etc

"Selesai."

Kata itu terlontar dari bibir Shimura Sai ketika melihat karya lukisannya yang entah keberapa, setelah selesai mewarnainya dengan cat gambar. Mahasiswa semester dua di universitas Konoha itu memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, agar dapat melihat lukisannya dari sudut pandang yang berbeda. Bola mata hitamnya menelusuri setiap jengkal lekuk demi lekuk goresan yang dibuatnya.

Sesosok gadis berambut panjang sedang berteduh di bawah pohon sakura yang sedang bersemi dalam lukisan yang dibuatnya kali ini.

Pemuda itu tersenyum kecil sambil menggaruk-garuk hidungnya yang tidak gatal.

Kira-kira apa pendapat Kakashi Sensei kalau melihatnya..

Tangannya yang tadi dipakai untuk menggaruk ujung hidungnya sekarang dipakai untuk mengusap dahinya.

Lebih baik aku coba dulu..

Pemuda berambut hitam legam dipotong pendek itu melirik jam putih kecil yang diletakkan di atas meja belajarnya, tempat dia meletakkan lukisannya.

Jam setengah delapan pagi. Kuliah masih dimulai dua jam lagi. Sebaiknya aku menyiapkan barang yang akan dibawa ke kampus.

Ketika pemuda itu sedang mencari cat warna hijau yang tiba-tiba hilang entah kemana, pintu apartemennya diketuk oleh seseorang dari luar. Karena kaget mendengarnya, alhasil kepalanya terantuk oleh kolong tempat tidurnya dimana ia mencoba melihatnya di tempat tersebut.

Pintunya kembali diketuk. Kali ini lebih keras.

Sai mengaduh kecil dan bangkit berdiri. Tak lupa ia menambahkan wajah kesakitan dan tangannya kembali mengusap belakang kepalanya yang menjadi sasaran kolong tempat tidur. Ia melangkah lebar-lebar dan membuka pintu dengan gerakan cepat. Wajah Sai tidak kaget lagi menemukan pemuda berwajah familiar di balik pintu apartemennya. Untuk sejenak, Sai melupakan rasa sakit di belakang kepalanya dan tersenyum kecil pada pemuda berwajah stoic yang seumuran dengannya.

"Selamat pagi, Sasuke-kun!"

Pemuda tampan namun tanpa ekspresi yang dipanggil sasuke-kun itu hanya mengucapkan "hn" sambil menyodorkan seplastik penuh tomat ke hadapan Sai. Meski agak kebingungan, Sai tetap menerima tomat-tomat itu.

"Tadi malam nenek Chiyo memberikan banyak tomat ini. Tidak akan bisa kuhabiskan sendiri." Gumam Sasuke seakan sudah tahu pikiran Sai.

Sai teringat dengan wanita setengah baya yang tinggal sendirian tepat di bawah apartemennya, yang suka tebar pesona setiap melihat mahluk Tuhan paling seksi seperti sasuke. Walaupun si nenek yang sudah menjanda hampir separuh hidupnya itu luar biasa genitnya, namun dia suka menghibahkan makanan enak pada Sasuke dan Sai.

"Terima kasih, tapi Naruto-kun bukannya juga menyukai to.."

"Dia membencinya. Diam-diam si dobe itu selalu membuang tomatku."

Sai tertawa kecil setelah mendengar ucapan Sasuke.

"Apa?"

"Perkataanmu sama seperti Naruto-kun padaku minggu lalu. Katanya kau juga selalu membuang ramennya."

"Tapi aku membuangnya tepat di depannya, bukan dengan cara licik yang dia buat itu." Kata Sasuke membela dirinya. " Lagipula ramen itu adalah makanan yang menjijikkan."

Melihat tampang sasuke yang makin cemberut, mau tidak mau Sai kembali tersenyum.

"Sasuke-kun tidak mau mampir dulu?"

"Tidak usah. Aku harus ke kampus lebih cepat. Ada beberapa lembar foto yang harus kuserahkan pada Genma Sensei."

Sai teringat bahwa ia juga harus berangkat lebih cepat ke kampus karena akan memberikan lukisannya yang baru saja kelar pada Kakashi Sensei.

"Aku akan ikut denganmu. Tidak keberatan kan kalau Sasuke-kun menungguku beberapa menit?" tanya Sai yang langsung mendapat anggukan dari teman karibnya itu. "Aku ingin menyiapkan peralatan kampus dulu."

"Jangan lama-lama." Sahut Sasuke melangkah melewati Sai, masuk ke apartemennya dan langsung mendudukkan dirinya di sofa empuk berwarna coklat susu.

"Naruto-kun sudah berangkat ke kampus?" tanya Sai di sela-sela menyiapkan barang-barang keperluannya. Rupanya pemuda itu sudah lupa sama sekali dengan cat malang yang tadi dicarinya.

"Tidak tahu." Sahut Sasuke memasang tampang tak peduli sambil mengangkat bahunya. "Si dobe itu tadi malam menginap di rumah Kiba."

"Oh ya, pantas saja aku mendengar kesunyian dari sebelah kamarku."

"Yaah." Kata Sasuke menimpali. Ia memejamkan matanya. Menyembunyikan bola mata yang berwarna hitam pekat. "Akhirnya setelah dua tahun untuk pertama kalinya aku bisak tertidur dengan nyenyak. Kalau ada si dobe, pasti berisik sekali."

"Menarik bukan?"

Sasuke mengerutkan keningnya tanda tak setuju dengan perkataan Sai barusan.

"Bukannya sangat menarik tinggal dengan orang yang karakternya sama sekali berbeda dengan kita. Naruto –kun bisa mengisi keceriaan dalam dinginnya hati Sasuke-kun dan kau bisa menenangkan sikap Naruto-kun yang-"

"Sama sekali TIDAK menarik. Yang kutahu aku benci hidup dikelilingi dengan kepala kuning yang kadar kegilaanya makin bertambah hari demi hari."

Sai memilih bungkam mendengar Sasuke memberi penekanan pada salah satu kata yang diucapkannya. Kalau Sasuke sudah berkata begitu, ia lebih baik diam dan berhenti menasihatinya tentang mensyukuri keberadaan Naruto di hidupnya.

Uchiha Sasuke. Pemuda tampan yang tinggal di apartemen sebelah kanannya, yang jarang tersenyum dan minim ekspresi betul-betul tak peduli jika menyangkut soal dobenya. Pertengkaran mereka berdua yang sering terjadi membuat Shimura Sai harus mengurut dada dan bertindak menjadi penengah sebelum apartemen ini menjadi puing reruntuhan.

"Jadi kemarin pulang dari kampus Naruto-kun langsung pergi ke rumah Kiba-kun?" tanya Sai memecahkan keheningan berdua. Dengan cekatan, tangannya memasukkan barang-barang ke dalam ransel biru dongkernya.

"Mana aku tahu. Ah.. Semoga dia tertabrak mobil saat pergi ke kampus supaya aku tidak usah melihat mukanya yang dobe itu."

Memang betul-betul sang maestro lidah tajam..pikir Sai menghela napas.

Sai mengambil sepatu sneaker putihnya dan tidak lupa mengambil kanvas berukuran sedang.

"Terima kasih sudah menungguku sasuke-kun. Ayo kita berangkat." Kata Sai sambil menepuk pundak Sasuke dengan pelan.

Sai kemudian mengambil kunci dari atas meja hiasnya dan keluar bersama Sasuke setelah menutup pintu.

"Maaf Sasuke-kun, bisa kau pegangi kanvas ini?"

"Hn."

Sai mengunci pintu kamar apartemennya dan memasukkannya ke dalam tas. Ketika berbalik, ia agak bingung melihat Sasuke berdiri diam bagai patung memandang lurus sesuatu yang ada di hadapannya sambil menghela napas kesal. Sai mengikuti arah pandangan Sasuke yang tertuju ke lantai beberapa meter di hadapan mereka.

Apa ada sesuatu yang menjijikkan di sana sampai tampang Sasuke-kun begitu? Muntahankah atau...

Sai mengerutkan kening.

Seorang pemuda berambut kuning cerah, kaos berwarna kuning dan celana training orange sedang tertelungkup di lantai tanpa bergerak. Matikah? Pingsankah? Atau hanya pura-pura saja? Bentuk rambutnya yang mengingatkan Sai akan buah berkulit tajam dan harganya yang selangit di Jepang serta kulit tannya yang terbakar sinar matahari sudah tidak asing lagi dari pandangannya.

Astaga..benar juga..Pikir Sai sambil menepuk kepalanya.

Kenapa dia bisa lupa pada sahabat karib yang selalu menemaninya dalam suka dan duka?

"Itu kan Naruto-kun! Bukannya yang sedang pingsan di sana itu Na-NARUTO-KUN PINGSAN!"

"Enggak usah berwajah horor gitu, Sai."

Tanpa mengindahkan perkataan Sasuke, Sai langsung berlari ke arah seonggok mahluk kuning yang tergeletak tak berdaya di lantainya. Ia langsung membalikkan tubuhnya dan menepuk-nepuk pipi tan si mahluk kuning.

"Astaga! Apa yang terjadi padamu, Naruto-kun? Naruto-kun!" Sai kemudian menoleh kepada Sasuke yang kelihatannya senang dengan keadaan sekarat Naruto saat ini. "Tolong bantu aku, Sasuke-kun."

Dengan terpaksa Sasuke melangkah ke arah mereka berdua. Saat melihat wajah Naruto, pemuda itu menghela napas dan mendecakkan lidah.

"Si dobe ini bukan pingsan."

Sai yang panik ingi berkata sesuatu pada Sasuke, tapi Sasuke memberi tanda padanya agar melihat wajah Naruto.

"Ramen."

"Naruto-kun?"

Sai memandang wajah Naruto selama beberapa detik dan tiba-tiba merasa malu karena sudah salah sangka. Kenyataannya sahabatnya itu..

"Groook...Ramen sayang..."

Mengorok sambil mengigau tentang makanan favoritnya.

"Ti..tidur?"

"Aho.."Gumam Sasuke kesal dan mencubit pipi kanan pemuda berambut kuning itu. "Ayo bangun usuratonkachi."

.

.

.

Untuk kesekian kalinya Sai menganga kaget saat melihat Uzumaki Naruto memakan ramen instannya dengan kecepatan super cepat (satu menit dua cup ramen, saudara!)

"Ma..makan dengan perlahan, Naruto-kun."

Pemuda berambut jabrik itu meneguk kuah ramennya dan menyambar segelas air putih di atas meja kemudian meminumnya sampai tandas tak tersisa.

"Rekor baruku makan dua ramen dalam semenit!" seru Naruto tersenyum lebar, memamerkan sederetan gigi putih yang agak kontras dengan wajahnya yang terbakar sinar matahari. "Teme, kau juga boleh ikut lomba ini kalau mau, mungkin memecahkan rekor dengan makan tomat. Aku tidak ingin kau menghabiskan ramenku." Katanya pada Sasuke yang duduk di sofa empuk di kamar apartemennya.

"Aku tidak akan seidiot itu sampai mau mengikuti cara makanmu." Sahut Sasuke menatap tajam pada Naruto yang jadi naik darah karena mendengar omongannya.

"TEMEEEE!"

Suara Naruto serak-serak basah yang melengking falls membahana di seisi kamar apartemen Uzumaki Naruto dan Uchiha Sasuke.

Sai menepuk jidatnya. Lagi-lagi kejadian yang sama terulang setiap hari. Teriakan Naruto dan omongan sadis Sasuke adalah makanan wajib setiap pagi,siang dan malam. Dia sedikit agak terhimpit di antara dua pemuda yang sifatnya bertolak belakang.

"Sudah jangan bertengkar lagi.." kata Sai yang sudah dua tahun bekerja menjadi penengah hubungan mereka yang tak pernah akur, tapi anehnya masih tinggal dalam satu apartemen. "Naruto-kun kenapa sampai tertidur begitu?"

Naruto yang mendengar pertanyaan Sai mengalihkan pandangan dari death glare Sasuke dan meringis lebar. "Mengenai hal itu, waktu di rumah Kiba,aku.."

"Kenapa?"

"Ah, lebih baik tidak usah diceritakan, Sai."

"Takut menceritakannya karena kau berulah pada Kiba?"

"Aku enggak berulah tahu!" Seru Naruto menolehkan kepalanya cepat ke arah Sasuke dengan wajah sangar. "Aku hanya mengintip kakak perempuan Kiba mandi! Hanya itu!"

Sesaat keadaan apartemen itu menjadi senyap. Ini merupakan kejadian yang langka mengingat mahluk hidup yang maniak warna kuning sering menjadi biang keributan tinggal di dalamnya. Melihat palm face Sai, Naruto tersadar akan omongannya dan dan kembali nyengir kuda.

"Bukan hanya otakmu yang dobe tapi ternyata mesum juga."

"Bisa diam enggak sih teme! Yah karena aku masih pengintip pemula, jadi ketahuan dengan cepat. Hampir saja aku dijadikan dadar telur sama kakak Kiba yang super galak itu, tapi keberingasannya tidak sanggup mengalahkan Kaa-chan dong."

Dan bukannya malu, pemuda itu menceritakannya dengan luar biasa bangga.

"Sudah bisa ditebak aku diusir dari rumahnya. Yang PALING menyedihkan adalah dompetku ketinggalan di rumah Kiba. Terpaksa Naruto-kun yang malang ini harus jalan kaki dari tadi malam dan seperti yang kalian lihat tadi,aku sekarat di koridor."

"Bukan sekarat tapi yang kulihat tadi kau bermimpi mesum dengan ramenmu." Kalau ini sudah pasti Sasuke yang ngomong.

"Naruto-kun yang malang.." gumam Sai dengan penuh simpati sambil menatap Naruto bagaikan melihat anak anjing yang kehujanan atau kehilangan induknya. " Kalau tidak keberatan biar aku saja yang pergi ke rumah Kiba-kun untuk mengambil dompetmu. Aku khawatir kakaknya akan makin murka kalau melihatmu datang."

"Kau memang malaikat penolongku, Sai-kun sayaaang.." Seru Naruto riang dan melompat dari kursinya untuk nemplok ke pundak Sai. Namun acara bermesraan NaruSai harus dihentikan setelah mereka melihat Sasuke mengambil ranselnya dan melangkah menuju pintu kamar.

"Mau kemana teme?"

"Tentu saja ke kampus. Malas melihat adegan semi yaoi yang kalian buat."

"Adegan yaoi? Maksudnya apa?" tanya Sai yang masih polos dengan dunia seme-uke, namun Sasuke sudah menghilang dari balik pintu sebelum sempat menjawab.

"Tunggu teme!"

Naruto berlari mengikuti Sasuke dan meninggalkan Sai sendirian di dalam sana.

"Ayo cepat Sai!" dan kepala durian itu muncul kembali dari balik pintu.

Ketika melangkah keluar, Sai harus dikejutkan oleh teriakan marah Sasuke karena Naruto sekarang sedang berusaha memiting lehernya. Sambil menggerutu Sasuke mengunci pintu apartemen miliknya dan Naruto.

" Lepaskan leherku, usuratonkachi!"

"Tapi aku rindu padamu, teme." Balas Naruto ngenyir sambil mengeratkan kedua lengannya pada lengan kokoh milik Sasuke. "Aku tahu kau sebenarnya cemburu karena tadi aku memeluk Sai. Iya kan, teme honey.."

"Jangan berkata menjijikkan begitu, bodoh!" Seru Sasuke berusaha lepas dari cengkaraman Naruto.

Sai yang melangkah pelan dari belakang, mengikuti kedua sahabatnya sambil tertawa geli.

"Teme, jangan injak kakiku!"

"Siapa suruh kau gelantungan di kakiku!"

Sai kembali teringat saat kedua pemuda itu pindah ke samping kamar apartemennya empat tahun yang lalu. Kamarnya yang selalu sunyi senyap seketika itu juga dipenuhi oleh suara amarah Sasuke dan canda tawa Naruto. Berkat keributan yang ditimbulkan mereka berdua, kadang-kadang Sai harus terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Tapi ia sama sekali tidak terusik atau menggerutu sekalipun. Karena sejak kedatangan mereka hidupnya yang selalu monoton itu berubah sudah.

Ia selalu bersyukur bisa bisa mengenal mereka..

Sai mengikuti kedua sahabatnya yang masih bertengkar untuk menuju stasiun kereta. Ia menyipitkan matanya karena merasa silau terkena cahaya matahari. Samar-samar terlihat langit biru dan awan putih yang berarak..

Musim panas tahun ini begitu cerah..

.

.

.

Seorang gadis bermata lavender berdiri di dekat pintu kereta Shinkansen yang akan membawanya menuju kota kecil namun sangat padat dengan penduduk kotanya bernama Konoha. Ia terlihat begitu kepayahan karena harus berdesakan dengan orang-orang dari berbagai jenis kalangan yang juga ingin kembali memulai aktivitas di senin pagi awal juni ini.

Ia menutup kedua mulutnya. Berusaha menahan agar tidak muntah saat itu juga. Perutnya yang terbungkus cardigan yang berwarna ungu serasa dipukul-pukul oleh palu. Kebiasaan buruknya mulai terjadi lagi. Berada di antara kerumunan orang banyak di tempat yang sempit, bagai tak ada celah dan bagai tak ada ruang baginya membuatnya merasa seprti terkurung.

Kalau sudah begini, ia pasti menyesali perbuatannya mengapa menaiki kereta ini. Menyalahkan atas kebodohannya. Lebih baik dia naik shinkansen berikutnya yang datang setengah jam kemudian. Tapi tentu saja gadis itu tidak ingin membuat khawatir pamannya yang berjanji akan menunggunya di stasiun kereta tempat ia akan turun nanti. Hal yang paling tidak ingin dilakukannya adalah mengecewakan orang lain.

Ia memejamkan matanya. Dengan menutup mata, ia tidak akan melihat orang-orang di hadapannya dan mungkin dapat menghilangkan rasa mualnya. Gadis itu mulai membayangkan padang ilalang dengan semilir angin musim semi yang bermain-main di rambutnya yang panjang. Rumput ilalang yang hampir setinggi badannya terayun-ayun seakan ingin mengajak angin bermain. Ia mulai merasakan suatu kenyamanan saat pandangannya tertuju pada ilalang tersebut. Namun tiba-tiba ilalang itu melayang dan membentuk spiral. Lingkaran tersebut malah membuatnya makin mual. Belum hilang keterkejutannya, ilalang berbentuk spiral tersebut mulai mendekati tempatnya berpijak hingga ia segera membuka matanya. Padang ilalang digantikan oleh kerumunan orang lagi.

Percuma..

Bahkan khayalannya pun mengkhianati dirinya.

Di sela-sela rasa mualnya, gadis itu berpikir keras bagaimana caranya agar dapat menghilangkan rasa sesak di dada dan perutnya. Sesaat pandangannya tertuju pada jendela shinkansen yang ada di dekatnya, dimana ia dapat melihat pemandangan. Mungkin kaca tipis berwarna transparan itu dapat membantunya. Namun berhubung shinkansen adalah kendaraan modern yang bergerak melebihi kecepatan pesawat sekalipun, maka ia dapat melihat objek di luar jendela dengan hanya sekejap saja. Pandangannya tertuju pada objek berbentuk bola setinggi gedung yang terbuat dari besi berdiri kokoh membelah langit biru.

Bianglala..

Saat itu juga seraut wajah yang mirip dengannya terlintas dalam benaknya.

Kedua matanya melebar.

Ayah..

Sepotong kenangan ketika ia masih kecil menghinggapi dirinya, dimana ayahnya sering mengajaknya untuk menaiki lingkaran raksasa tersebut.

Kali ini perasaan nyeri terselip di hatinya.

Bianglala sudah digantikan oleh gedung-gedus pencakar langit.

Dan gadis itu makin merasakan mual lebih dari sebelumnya..

Ia menelan ludah. Air mata hampir jatuh dari sela-sela bulu matanya yang lentik itu.

Saya mohon tolonglah saya..

Wajahnya makin memerah, sebisa mungkin menahan dirinya untuk mengeluarkan sarapan pagi dari mulutnya, namun ia sendiri sangsi apakah ia bisa bertahan.

Kami-sama..

Gadis itu memutuskan untuk menyerah, siap untuk muntah dan berusaha menahan malu yang luar biasa saat orang-orang memandang jijik padanya. Namun kejadian itu tidak terjadi, ketika ia merasakan seseorang berdiri tepat di hadapannya. Begitu dekat sampai tubuh mereka hampir bersentuhan.

Eh?

Dorongan-dorongan itu lenyap seketika. Berbagai ragam aroma dari para penumpang tidak tercium lagi, digantikan oleh bau sinar matahari yang samar-samar menguar dari tubuh yang berdiri didepannya. Aroma yang membuat perasaanya tenang.

"Hei, kau tidak apa-apa?"

Ia mendengar suara yang menyelamatkannya dari desakan ataupun dorongan tersebut. Ia seperti merasa pemuda itu berusaha melindunginya dari kumpulan manusia tersebut. Demi dirinya, ia memakai tubuhnya untuk dijadikan tameng. Pertolongan yang terlihat kecil, namun membuat gadis bermata lavender itu merasa terharu sekaligus merasa tertolong karena rasa mualnya tiba-tiba menghilang saat pemuda itu datang.

" Ng, nona?"

Dengan perlahan, ia mendongak dan melihat rupa wajah malaikat penolongnya. Pemuda itu mengenakan kaos kuning dan celana training berwarna orange, terkesan santai dan sederhana. Rambutnya yang berwarna kuning terang (ia sangsi apakah warna rambutnya asli) mencuat ke sana-sini dan kulitnya kecoklatan terkena sinar matahari. Dilihat dari sudut manapun, gadis itu tahu tak ada yang menarik dari diri orang yang ada di depannya, namun ia harus menarik pikirannya tadi ketika melihat kedua mata pemuda itu yang membuatnya terbius. Mata itu berwarna langit biru yang cerah, sama seperti cuaca di pagi hari ini, mata yang meneduhkan hatinya dan membuat dirinya nyaman. Pemuda ini memang malaikat penolongnya. Gadis itu percaya akan hal itu.

Lalu pemuda itu menundukkan wajahnya, berniat melihat lebih jelas lagi perempuan yang sepertinya sebaya dengan umurnya dan yang tingginya tidak melebihi leher pemuda itu. Gadis yang kelihatan lembut dan rapuh.

Dan pandangan mereka bertemu.

.

.

.

"Se..sesak.."

Sai merasa sesak napas, karena begitu banyaknya penumpang yang memasuki shinkansen. Udara pun hampir tak bisa ia dapatkan dan untuk bergerak pun rasanya susah sekali. Sai menutupnya mulutnya dengan sapu tangan. Dalam pandangannya, orang-orang yang ada di sekelilingnya bagaikan ikan yang tertangkap jaring. Perasaannya makin tidak enak. Ia menatap sekeliling dan menemukan Sasuke yang berdiri di hadapannya beberapa meter sedang memandang sebal gadis cantik yang memakai seragam sailor SMA yang tak henti-hentinya berbicara pada Sasuke. Tiba-tiba gadis itu mengeluarkan ponselnya dan berkata sesuatu pada Sasuke. Sasuke membalas perkataanya hingga membuat wajah gadis itu memerah dan akhirnya menunduk malu.

"Korban feromon Sasuke-kun lagi." Gumam Sai tanpa sadar. Bukan hanya di apartemen, di shinkansen maupun di tempat-tempat umum lainnya, temannya yang satu itu selalu menjadi pusat perhatian lawan jenis (hingga sesama jenis). Wajah tampannya, kulitnya yang putih bersih dan rambut kerennya (namun menurut Naruto potongan rambut belakangnya seperti pantat bebek) membuat pemuda itu digilai hampir seluruh siswi di kampus, meski yang ditaksir tidak peduli ataupun tidak sadar akan hal itu.

Kasihan..

Makin lama Sai mulai membenarkan pernyataan Naruto yang mendklarasikan kalau Sasu-teme temannya sejak mereka berdua masih jadi embrio itu adalah seorang homo atau gay atau penyuka sesama jenis. Habisnya...

Seakan tahu kalau Sasuke yang sedang dipikirkan Sai, pemuda itu tiba-tiba melihat ke arahnya. Tanpa mempedulikan gadis berseragam sailor yang belum pantang menyerah untuk menarik perhatian Sasuke, pemuda itu memutuskan untuk lebih memilih berdiri di samping sahabatnya daripada waktunya selama berda di shinkansen harus dihabiskan bersama dengan cewek annoying. Sai Kemudian melihat Sasuke yang sedang susah payah berjalan ke arahnya melewati kerumunan orang-orang itu.

Terus terang Sai tidak pernah melihat Sasuke dekat dengan lawan jenis.

Bahkan Haruno Sakura, idola kampus yang lumayan akrab dengan Sai, yang dipuja-puja oleh cowok karena wajahnya yang manis dan otaknya yang cemerlang malah diacuhkan oleh Sasuke. Jadi, tak apa-apa kalau dia curiga pada sahabatnya itu.

"Sai.."

Yang dipanggil, menoleh ke asal suara. Matanya terpaku pada warna mata onyx milik Sasuke.

"Rupanya ada yang tertangkap feromonmu lagi.."

Sasuke mengerutkan alisnya. Bingung mendengar perkataan Sai, namun sesaat ia mendengus kesal.

"Yang namanya cewek memang merepotkan."

"Kalau kuperhatikan, sudah beberapa kali gadis itu mencoba mendekatimu dan sepertinya ia sudah tahan banting karena kau terus menolaknya. Kasihan ."

"Sudah beberapa kali dia juga meminta nomor ponselku."

"Lalu?"

"Lalu apa?"

"Sasuke-kun memberikannya?" sebenarnya Sai sudah menebak jawaban Sasuke.

"Tentu saja tidak. Untuk apa memberikan nomor ponselmu pada orang yang tidak dikenal."

Sai tertawa kecil mendengarnya. "Kasihan gadis itu, Sasuke-kun. Padahal menurutku dia lumayan manis."

"Enggak peduli."

Sai menatap pemuda yang ada di sampingnya dengan perasaan geli. Ia sama sekali tidak sakit hati dengan apa yang dikatakan oleh si mulut bisa itu. Saat pertama kali mengenal Sasuke, pemuda itu merasa hatinya terus tertancap berulang kali, namun sekarang tentu saja ia sudah terbiasa. Sai tahu Sasuke selalu berkata yang sebenarnya karena dia hanya ingin orang yang berbicara dengannya mengetahui dirinya yang sebenarnya. Karena sikapnya itu, Sai selalu meminta Sasuke untuk melihat lukisan karyanya, menunggu sarannya dengan perasaan was-was atas apa pendapat Sasuke terhadap hasil karyanya. Kritiknya tajam dan apa adanya. Hal itulah yang membuat Sai terdorong untuk membuat lukisan yang sempurna.

Hari ini dia lupa memperlihatkan lukisan yang baru diselesaikannya tadi pagi pada Sasuke. Nanti akan diperlihatkannya saat mereka tiba di kampus nanti.

"Dobe mana?"

Sai kembali melirik Sasuke. Tumben Sasuke mencarinya. Belum beberapa jam, Sasuke sudah rindu pada dobenya. Cieeee..

Aku dari tadi tidak melihat Naruto-kun. Sepertinya saat naik kita terpisah dengannya. Mungkin dia ada di gerbong lain."

Sai memandang wajah-wajah di sekelilingnya. Mencari keberadaan sahabatnya yang satu lagi. Matanya meneliti satu persatu penumpang walau ia jadi pusing sendiri dibuatnya. Tapi ia tidak menemukan satupun si kepala jabrik warna kuning. Ia menyerah dan memutuskan untuk menyudahi pencariannya. Nanti dia juga akan bertemu dengannya di stasiun tempat mereka turun.

.

.

.

"Hei nona!"

Naruto melambaikan tangan kanannya di depan mata lavender milik si gadis karena dia terus termangu menatap mata biru Naruto seperti sedang memikirkan sesuatu. Si gadis tersentak kaget dan menundukkan wajahnya. Sepertinya malu karena tertangkap basah sedang meneliti wajah Naruto. Naruto menundukkan kepalanya serta memiringkan kepalanya berusaha melihat mata si gadis yang tertutup poni lebatnya.

Apa dia bisu? Atau mengira aku preman shinkansen? Padahal tampangku kan luar biasa kerennya! Kata Naruto dalam hati sambil mengusap-usap belakang kepalanya.

Naruto mengendus-ngendus wangi parfumm lavender yang samar-samar tercium.

Ah, parfumnya wangi lavender.

Matanya juga berwarna lavender.

Memakai baju warna lavender.

"Nona lavender!"

Gadis itu kali ini mendongak dan menatap mata biru cerah Naruto. Kali ini wajahnya menunjukkan kebingungan karena perkataan Naruto barusan.

Naruto menyeringai lebar.

"Akhirnya kau menatapku juga.."

Si gadis merasakan wajahnya panas sampai ke telinga, ia begitu malu sekaligus tersentuh. Baru kali ini ada orang yang memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Benar-benar tidak sopan tapi membuat hatinya tertawa.

Lavender.. bunga kesukaannya..

Kenapa tiba-tiba si malaikat memanggilnya begitu? Apa karena matanya berwarna lavender?

Naruto menyeringai makin lebar saat melihat wajah si gadis memerah.

Manis.

Itulah satu kata yang terbersit di benak Naruto.

"Maaf ya.." Naruto mulai membuka pembicaraan setelah sekian lama mereka terdiam.

"..."

"Kau pasti menganggapku preman atau maniak karena sudah bersikap tidak sopan padamu."

"..."

"Dari tadi aku terus melihatmu. Kau sepertinya sedang sakit ya?"

"..."

"Apa masih sakit?"

Kali ini gadis berambut panjang sepinggang itu menggeleng pelan.

"Oh syukurlah!" Naruto menghela napas lega.

Wajah gadis itu makin memerah. Penyebabnya bukan karena malu atau salah tingkah, namun ia berusaha keras untuk mengucapkan sesuatu pada malaikatnya. Tapi ia sama sekali tidak bisa. Jangankan mengucapkan satu huruf, menatap mata biru itu kembali, ia tak berani. Kebiasaan buruk yang selalu ingin dihilangkannya selain berada di tempat yang ramai, yaitu mulutnya serasa terkunci dengan rapat jika bertemu dengan orang yang baru dikenalnya.

Dan membuat hatinya berdebar dengan amat keras.

Biasanya sih tidak separah ini. Ia bisa mengucapkan sepatah dua kata walau hanya terbata-bata. Tapi entah kenapa otaknya jadi 'blank' saat bertemu dengan pemuda yang baik hati ini. Satu katapun tak ada yang bisa diucapkannya, padahal dia sudah merangkai kata-kata dama benaknya.

"Wajahmu makin memerah tuh! " Seru Naruto khawatir. "Kalau tidak keberatan, aku akan mengantarmu ke rumah sakit terdekat. Kita akan turun di stasiun berikutnya. Bagaimana?"

Si gadis kembali menggelengkan kepalanya lebih kuat.

Sekarang Naruto merasa agak aneh dengan gadis yang baru dikenalnya.

Pintu otomatis terbuka saat shinkansen telah berhenti tepat di sebuah stasiun Penumpang-penumpang yang sudah menunggu di stasiun ini memasuki shinkansen hingga membuat penumpang kembali berdesak-desakan. Naruto menggerutu karena orang-orang yang baru masuk membuat tubuhnya terdorong makin jauh dari pintu kereta dan sekaligus menjauhkannya dari gadis itu.

Nona Lavender!

Naruto terkejut ketika tangan kanannya digenggam erat oleh seseorang. Tangan bak porselen putih yang begitu mulus. Naruto memandang satu persatu wajah penumpang dan ia melihat si nona lavender yang bahkan nama aslinya belum ia tanyakan sedang menggenggam erat tangannya. Dengan erat seperti tidak ingin melepasakannya. Gadis itu memberanikan diri untuk menatap mata Naruto dengan pipinya yang ranum memerah. Dan gadis itu membuka mulutnya.

"Te-terima kasih. Anda baik sekali.."

Suaranya begitu lembut dan kecil. Sama seperti dugaannya. Naruto terpana, diam akan perkataan dan tatapan gadis itu. Dan 'gadis misterius' itu melepaskan tangannya pada Naruto. Tubuh Naruto kembali terdorong ke belakang, makin menjauh darinya. Perlahan-lahan tubuh gadis itu menghilang ditelan lautan manusia. Hilang dari pandangannya. Naruto melihat sekelilingnya. Bersusah payah agar dirinya tidak terjatuh akibat desakan tersebut. Ternyata di dalam shinkansen perlu perjuangan untuk bertahan hidup juga.

Naruto menjijitkan kedua kakinya untuk melihat keberadaan si gadis yang membuatnya makin penasaran.

"Apa dia akan baik-baik saja?"

"Te-terima kasih. Anda baik sekali.."

Naruto tersenyum lebar.

Nona lavender pasti baik-baik saja..