Detective Conan (c) Aoyama Gosho. No copyright infringements are intended. Nonprofit purpose, just for self-satisfaction. Standard warnings applied. Genres: Mystery; Friendship; Suspense Note: ini aneh, percayalah.
.
.
Dengan masih menggunakan seragam sekolah, gadis itu tersesat di tengah keramaian. Berjalan seorang diri sambil menjinjing pakaian Karate yang dikaitkan dengan tas biru berhias gantungan teripang. Kaki berbalut sepatu hitam yang dilangkahkan tiba-tiba berhenti, kemudian diam. Rona merah jambu pucat yang samar, muncul di pipi berkulit putih langsat. Bibir lembut berwarna kemerahan mengulas senyum tulus pada objek yang berdiri dalam jangkauan bola mata keunguan. Sapaan dengan tutur kata halus ia lontarkan ketika bertemu dengan anak perempuan yang sebaya. Seorang teman yang berasal dari sekolah yang sama; SMP Teitan.
Gadis itu menunggu respons dari lawan bicaranya, namun hasilnya nihil. Tak ada kalimat—disertai senyum—balasan. Anak perempuan itu pergi, berlari ketakutan sambil meneriakkan sebuah panggilan istimewa. Sebuah panggilan yang hanya dimiliki olehnya. Julukan yang membuatnya hanya bisa menunduk dan menahan tetes air mata yang pada awalnya ia takutkan menodai masa remaja yang menyenangkan.
"Ran—" Seseorang berteriak memanggil. Ia menyadari.
Ketika pandangan kedua bola mata yang berkaca-kaca itu dialihkan dari tanah kering dengan daun-daun yang berserakan, gadis itu bisa melihat ada anak laki-laki menghampiri, berlari bersama benda kesayangan bergulir di kaki, bola sepak berwarna biru-putih. Anak laki-laki itu berhenti di samping si gadis, "... ayo pulang bersama, Ran." katanya bersemangat, masih dengan kegiatan menggulir-gulirkan bola sepak dengan ujung sepatu.
Ran, gadis yang diajak bicara hanya menunduk lemah, enggan untuk menoleh pada anak laki-laki berbalut gakuran hitam dengan logo sekolah yang sama. Tangan Ran menggenggam erat tas sekolah. "Maaf ... Shinichi pulang duluan saja."
Shinichi menendang bola itu ke udara kemudian menangkap dengan kedua telapak tangannya. Ia mendekatkan wajahnya pada Ran. "Oi, oi ... Jadi, Mouri Ran sang juara turnamen karate Kantou itu masih takut dengan hal aneh yang bahkan tidak bisa diterima dengan akal sehat, ya?" katanya dengan nada mengejek.
Ran tidak menjawab.
Shinichi mengembuskan napas pelan. "Seribu kali pun Ran bilang begitu, aku tetap tidak akan percaya," jelasnya. Shinichi menjatuhkan lagi bola sepaknya, kemudian kembali menggulir-gulirkannya dengan ujung sepatu. "Jadi, Ran tidak perlu khawatir."
Ran masih menundukkan kepala. "Kau tidak akan bisa lari dari kenyataan, Shinichi!" masih mencoba meyakinkan kembali, suaranya melemah.
Shinichi menghentikan gerakan kakinya. "Tapi aku detektif." Ia sedikit tersenyum. "Bahkan Ran sendiri yang mengatakan; dapat mengetahui isi kotak sebelum membukanya, itulah detektif. Itulah Kudou Shinichi—yang Ran kagumi, benar?"
"Tapi detektif bukan Tuhan!" Ran menjawab pertanyaan Shinichi dengan berteriak. Air mata yang terbendung itu perlahan mengalir, Ran mulai menangis. "Tapi Shinichi bukan Tuhan!" sengal napas, "... kalau aku terus bersama Shinichi, suatu saat—aku akan melihat waktu kematian Shinichi."
.
.oOo.
.
Hal-hal tidak menyenangkan terjadi pada hidup Mouri Ran semenjak memiliki kemampuan aneh yang menurut sebagian itu orang luar biasa. Kemampuan yang Ran dapatkan semenjak tersadar dari tidur panjangnya, hampir merubah seluruh jalan hidup. Menjungkirbalikkan mimpi-mimpi indah yang—entah sengaja atau tidak—pernah ia tulis dalam buku catatan untuk dibaca oleh dirinya di masa depan. Hal itu meneror. Membawanya ke dalam rasa takut tak berujung. Memaksanya untuk lupa pada sesuatu yang penting. Membuatnya setengah gila karena tatapan intimidasi dari mereka yang seakan memaksa untuk mati.
Demi apapun, Ran juga tidak ingin melibatkan diri dalam hal-hal seperti ini.
—seperti saat guru musik mereka yang bernama Matsumoto Sayuri itu masih menjadi bagian dari sekolah.
"Matsumoto-sensei ... Senin depan, tepat pukul 09.21 pagi," Ran menarik napas, "... A-anda akan pergi."
Orang yang mereka panggil Matsumoto-sensei itu menggeram. Wanita itu melemparkan kertas-kertas partitur yang diletakkan di atas meja pada Ran yang berdiri sambil menggenggam tangannya di dada. Gemeretak samar terdengar dari gigi-gigi putih yang berderet rapi. Kaki kurus menahan tubuh yang bergetar, kemudian tiba-tiba kehilangan tenaga hingga tak sanggup berdiri. Ran terjatuh, duduk bersimpuh dengan kedua kaki terlipat. Kedua bola mata keunguan terpaksa dikatup karena rasa takut. Bulu mata lentik melembab karena cairan yang keluar dari celah kelopak terkatup. Pipi berwarna putih langsat, basah karena kristal air mata telah meleleh dengan sempurna.
Gadis itu menangis.
Kertas terlarang dikeluarkan oleh tangan kurus dari laci meja kerja. Pena diraih untuk membuat tanda tangan di sisi kanan bawah. Stempel dihentakkan keras ke atas kertas tipis dengan tinta merah. Dan dengan resmi, Matsumoto-sensei memberi Ran libur—secara paksa.
Sekali lagi, demi apapun, Ran tidak ingin melibatkan diri dalam hal-hal seperti ini.
Ran tidak ingin terlibat dalam berita kematian Matsumoto Sayuri yang berembus kencang di antara murid-murid, adalah akibat kutukan. Seberapa jelas pun media merilis berita bahwa putri dari Inspektur Matsumoto Kiyonaga—yang merupakan atasan dari Mouri Kogoro saat masih di kepolisian—meninggal dunia akibat kecelakaan di tol dalam kota, mereka tidak akan percaya.
Ran merasa miris, pada dirinya, pada teman-teman bodohnya dan pada gurunya yang berpulang tepat satu hari sebelum pertunangan.
Tak bosan merepetisi. Demi apapun, Ran tidak ingin melibatkan diri dalam hal-hal seperti ini.
—seperti pada hari saat siswa-siswi berhamburan keluar kelas. Setelah jam pelajaran olahraga dengan bimbingan Gorilla-sensei itu berakhir tepat pada waktunya.
"Sonoko, jangan lewat lapangan baseball lagi, kau bisa terluka."
Itu kata Ran kemarin sore, sepulang sekolah.
Tapi peringatan yang telah disampaikan saat senja itu tak didengarkan. Kini kedua bola mata keunguan itu harus terpejam lagi. Enggan untuk melihat darah menetes dari celah perban milik gadis ceria berambut coklat yang duduk tak jauh darinya. Dengan langkah timpang, Sonoko menghampiri Ran. "Ran, dengar! Araide-sensei memperbolehkanku melepas perban ini dua hari lagi," kata Sonoko sambil tertawa. "Aku hebat kan, bisa sembuh cepat?"
Ran hanya mengangguk.
Putri dari salah satu orang terkenal itu mengabaikan rasa sakit di kaki kanannya. Sungguh baik. Meski Sonoko harus berjalan merambat pada dinding untuk sampai di ruang kelas, gadis itu tetap berusaha bersikap biasa pada Ran. Tak berubah sedikit pun, meski kemampuan yang aneh dan tak diinginkan itu telah menjadi bagian dari sahabat terbaiknya.
Sungguh. Demi apapun, Ran tidak ingin melibatkan diri dalam hal-hal seperti ini.
—seperti ketika Ran mencoba menghentikan anak laki-laki istimewa yang tengah berusaha keras memikirkan suatu pemecahan masalah dari kasus sulit dengan objek pengalihan berupa bola sepak.
"Shinichi!" Ran berteriak.
Shinichi menoleh ke sumber suara, melihat Ran berdiri di balik pagar pembatas lapangan upacara dengan lapangan sepak bola. "Ran, apa yang kau laku—"
"Shinichi dengar!" perintah gadis itu. Kemudian Ran berlari menghampiri Shinichi yang berada di tengah lapangan. "Shinichi, esok sore sepulang sekolah, kau akan menemukan sebuah kasus besar yang tidak bisa kau pecahkan. Kumohon—kumohon menyerahlah!" kata Ran sambil terengah-engah. "Jangan memaksa untuk terlibat karena—"
"Ran!" Shinichi memegang kedua pundak gadis itu, "kau pikir aku akan percaya hal-hal seperti ramalan?"
Ran mengalihkan pandangannya dari sorot mata tajam Shinichi. "Aku tidak pernah salah."
"Lalu, apa Ran bisa meramal hal yang akan terjadi pada diri Ran sendiri?" Bibir itu terkatup. Satu lagi peringatan diabaikan. Satu lagi pertanyaan dilontarkan tanpa bisa Ran balas dengan sebuah jawaban yang memuaskan. Satu lagi hal yang tidak diharapkan akan terjadi di sekitarnya. Hanya satu orang yang selalu menatap bola mata keunguan itu dengan tatapan yang begitu meyakinkan—ya, hanya satu orang, yang menatap dengan sorot mata yang seolah mengatakan; semua akan baik-baik saja.
Tentu saja.
Bukan karena harga diri yang begitu tinggi, hingga membuat anak laki-laki itu tidak mendengarkan kalimat yang disampaikan terbata-bata oleh gadis yang—bisa dikatakan—lebih rendah darinya dalam berbagai hal. Shinichi hanya ingin membuat Ran merasa diperlakukan layaknya gadis biasa.
Meskipun jerit tangis terdengar saat ramalan disampaikan. Meskipun Ran memohon dan berteriak hingga suara lembutnya menghilang. Meskipun Ran adalah gadis yang anak laki-laki itu kagumi. Meskipun Ran adalah orang yang Shinichi cintai. Apa yang bisa ia lihat dengan matanya, apa yang bisa ia hirup dengan hidungnya, apa yang bisa ia dengar dengan telinganya, dan apa yang bisa ia lakukan dengan kedua tangannya; itulah yang Shinichi percayai.
.
.oOo.
.
Bertubuh ramping, dan memiliki tinggi gadis SMP rata-rata. Rambut panjang sehalus sutra berwarna hitam pekat. Tutur kata bernada lemah lembut yang menyejukkan telinga. Wajah manis, cantik tanpa noda. Bibir berwarna kemerahan yang lembut dan tipis. Bulu mata yang tebal dan lentik. Bola mata keunguan yang bulat, besar dan jernih. Seperti itulah penggambarannya.
Gadis itu ... bukanlah manusia istimewa yang diizinkan untuk melihat catatan Tuhan, apalagi merubahnya. Bukan juga gadis yang mempunyai bakat untuk bertanya pada orang mati. Gadis itu hanya menggunakan mimpi dan halusinasi sebagai perantara untuk mengintip masa depan. Gadis itu hanya melakukan perjalanan dalam gelap. Bukan, bukan seperti berjalan di area yang ia ketahui. Semuanya terlalu abstrak untuk dijabarkan. Terlalu sulit untuk dijelaskan. Jalanan dalam gelap berbentuk spiral, menuju sebuah titik di mana hal-hal yang bisa disentuh akan berubah menjadi serpihan. Jalanan hanya ilusi untuk membantu menjelajahi dimensi waktu, yang pada akhirnya akan menyesatkan dalam sebuah ruang yang tak dikenali.
Pancaran gelombang yang dihasilkan sebuah peristiwa di masa lalu atau masa depan muncul dari sebuah kedalaman—yang begitu dalam hingga tak terjangkau. Dalam sebuah kedalaman yang menyediakan sebuah jalan yang terlihat seperti sebuah dawai kosmik yang memotong spiral waktu. Yang terlihat layaknya lift yang melaju tegak lurus di antara tangga yang berputar— yang membuatnya nampak lebih cepat.
Seratus persen akurasi dari bukti setiap peringatan yang disampaikan. Hanya mengatup kelopak mata untuk berkonsentrasi dan membayangkan, seolah ada yang menggerakkan, seolah ada yang memicu, terkadang muncul yang tak diketahui pun diinginkan.
Ran sudah lelah.
Kalender, sebuah jam, serta siluet datang begitu cepat seperti kilat. Membantu untuk menjamah dimensi yang melebar dan menyempit begitu cepat. Luas tak terbatas.
Dialah sang pengembara.
Sang pembawa pesan.
Sang Indigo.
Meramalkan berbagai bencana dan hal buruk pada orang-orang di sekitar adalah bagian dari kemampuan. Salah satu hal yang melekat pada sosoknya adalah kematian. Hitam. Aroma darah. Hitam. Suasana yang berduka.
Ran adalah nama kecilnya. Mouri adalah nama keluarganya.
—dan 'pembawa sial', sebagian dari mereka, memanggilnya.
.
.oOo.
.
"Ah, itu, terima kasih sudah memperingatkanku."
"Aku hanya menyampaikan pesan," jawabnya sambil tersenyum ramah. Tapi tak semua, sebagian dari mereka—yang menganggap kemampuan itu sebagai hal yang luar biasa, berhasil ia lindungi. Hanya untuk mereka yang mau mendengarkan. Hanya untuk mereka yang mau mempercayai.
Wajah manis itu memasang senyum yang indah dan berseri-seri saat orang-orang mengucapkan terima kasih. Tapi, tatapan kosong yang menyiratkan kehampaan itu muncul kembali saat kedua tangan diulurkan, namun diabaikan. Meskipun kekaguman itu ada, tapi mereka tetap enggan berjabat tangan dengan gadis yang telah dikutuk. Mereka terlalu takut untuk merubah keberuntungan yang mungkin didapat dengan masa depan yang hancur menjadi kepingan tak berbentuk. Gadis itu hanya tersenyum pasrah, sama seperti yang selalu ia lakukan ketika mendapat perlakuan yang sama.
Sebenarnya, Ran mendapatkan kemampuan aneh ini tidak semenjak lahir. Ia mendapatkannya semenjak kelas 6 SD, sekitar dua tahun lalu. Saat sebuah kecelakaan yang ia alami, memaksanya untuk tidur di rumah sakit selama beberapa bulan. Saat itu, ketika Ran tersadar, ia menceritakan semua hal yang ia lihat dalam mimpinya. Pada Kogoro dan Eri, juga Shinichi. Tapi Ran selalu mengatakan hal-hal yang aneh—yang hanya bisa dibalas senyuman oleh orang-orang yang mendengarkan.
Hitam dan kematian. Hitam dan bencana. Hitam dan hal buruk.
Hitam.
Ran selalu melihat hitam.
Semenjak saat itu, Ran selalu mendapat kilas peristiwa tentang hal-hal yang akan terjadi pada orang-orang di sekitarnya. Sekarang, sepasang bola mata keunguan itu sering mengeluarkan air mata. Namun Ran hanya mampu menundukkan kepala, menyembunyikan bukti kesedihan dalam lutut tertekuk. Membiarkan bulirnya mengalir membasahi wajah, kemudian jatuh dan mengering. Tidak berbekas—sama seperti kenangan manis bersama orang-orang yang perlahan mulai menjauh.
.
.oOo.
.
Hari itu adalah hari yang biasa. Tak ada yang istimewa. Sama seperti hari-hari sebelumnya—di mana Ran selalu merasa diasingkan. Merasa. Ya, mungkin itu memang hanya perasaannya. Karena pada kenyataannya, Ran sendirilah yang menjauhi mereka. Alasannya sederhana, Ran hanya tidak ingin menjadi orang pertama yang melihat sebuah kejadian tak diinginkan menimpa orang terdekatnya.
Ia berkaca dan menggumam betapa menjijikkan dirinya ini. Pantas saja orang-orang itu menjauh. Bahkan bayangannya saja tak mau merefleksikan tubuhnya di depan cermin.
Ketika matahari mulai tenggelam bersama gerimis, cahaya kemerahan memudar di balik awan kelabu, dan bulan beranjak naik bersama turunnya kilat kuning ke permukaan bumi, Ran merasakan dorongan kuat untuk melakukan suatu hal. Saat tangannya mencoba meraih pisau lipat yang ia letakkan di dalam laci meja belajar, Shinichi mengetuk jendela kamarnya. "Ran! Oi, Ran!" kata anak laki-laki itu sambil tersenyum lebar.
Ran terkejut, refleks mengembalikan pisau itu ke tempatnya semula dan segera menutup laci meja belajarnya. Ia sedikit berlari, membukakan jendela kamarnya untuk Shinichi. "Apa yang kau lakukan, bodoh? Di luar kan hujan."
"Outto—" Shinichi melompat masuk ke dalam kamar Ran. "Cuma gerimis," jawabnya santai sambil menepuk-nepuk bahu—membersihkan jaketnya dari daun basah dan bulir-bulir air yang menempel.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, maniak misteri."
"Oh, begitu kah?"
Hela napas terdengar, lelah.
Pergelangan tangan Ran digenggam. "Bagaimana kalau jalan-jalan sebentar, Nona Karate." Tak perlu menunggu jawaban, karena memang bukan tawaran. Itu paksaan. Karena nyatanya, sedetik kemudian, Shinichi menarik tangan lembut yang hangat itu—membawa Ran keluar kamar dengan berlari.
"Shi—Shinichi!" seruannya diabaikan. Anak laki-laki itu tidak menjawab apalagi menoleh. Akhirnya Ran hanya menggerutu dengan suara pelan, membiarkan tubuhnya ditarik arah yang belum ia ketahui. Ke sebuah tujuan yang samar, meski pada kenyataannya Ran bisa mematahkan tangan Shinichi kapan saja dengan kemampuan bela diri yang dimiliki.
Derap dua pasang kaki terdengar menggema ketika menuruni tangga di samping kantor detektif Mouri.
"Yo! Occhan!" Shinichi menyapa sambil melambaikan tangan saat melihat Kogoro dan Eri tengah bersiap makan di meja klien di kantor detektif yang kala itu pintunya terbuka. Kogoro bahkan hampir mati tersedak kopi ketika melihat bocah tengil itu berlari sambil menggandeng Ran keluar dari kamar dengan wajah tanpa dosa. Berlari menembus hujan yang jatuh memagari, kemudian menghilang di balik tembok Poirot Cafe.
"Ara-ara ... bocah detektif itu terlihat sepertimu ketika masih muda." Kogoro melotot kaget. Eri yang galak itu tiba-tiba bersikap lembut, sampai-sampai memasang raut wajah bahagia dengan pipi merona.
"Hah? Apa yang kau katakan, Eri?" tanya Kogoro dengan nada menggeram. Tangannya meremas koran dan form permohonan dari klien, yang tergeletak di meja. "Dari sisi mana kau melihat kalau bocah tengil-sombong-brengsek itu mirip denganku? Penjuru mata angin kesembilan?"
Pria tua itu berdiri dari kursi dan bersiap melabrak si bocah tidak sopan.
"Anata," sebuah kata disampaikan dengan begitu menekan. Eri kembali ke sifat asli. Wanita yang kembali tinggal bersama suaminya ketika Ran mulai mengalami kejadian aneh itu, memasang tatapan yang tak tergoyahkan.
Insting detektif Kogoro mengatakan kalau saat ini Eri sedang dalam mode siap bantai. Bibir dengan polesan berwarna merah terang itu kembali terbuka, kemudian bicara, "Duduk!"
Kogoro menegang.
"Baik."
.
.oOo.
.
Shinichi dan Ran berhenti di depan sebuah rumah besar dengan dua cerobong asap mengepul. Terdapat dua lampu taman berbentuk bulat dengan cahaya jingga yang berusaha untuk menyinari halaman luas dikelilingi pohon besar—tapi tetap saja membuatnya terlihat gelap dan menyeramkan. Ran menyembunyikan diri di balik punggung Shinichi. "K-kenapa kau membawaku ke sini, Shinichi?" Gadis itu memejamkan mata dan meremas jaket yang Shinichi kenakan. "... kau kan tahu kalau aku takut dengan yang seperti ini," lanjutnya dengan suara bergetar.
Anak laki-laki itu tertawa. "Ran jangan jauh-jauh dariku!" Shinichi mendekatkan bibirnya pada ujung telinga gadis itu dan berbisik, "—karena mungkin ... ada hantu."
Cubitan yang begitu perih hingga terasa ke ubun-ubun menghampiri pinggang Shinichi. Cubitan yang membuat laki-laki itu harus berulang kali mengucapkan maaf pada gadis bertenaga super yang masih menempel pada punggungnya.
Mereka melangkah—
—dan berhenti.
Berhenti di depan pintu besar dengan ukiran yang aneh. Shinichi mengetuk besi bulat yang terdapat di ornamen ular kobra berwarna emas, ke daun pintu. Dan ketika pintu terbuka, mereka disambut oleh seorang wanita tua berambut kepang yang memiliki tubuh tinggi dan besar. Bukan raksasa yang menyeramkan, wanita tua itu hanya ... terlihat lebih besar.
"Selamat datang, Tuan Kudou!" sambut si wanita tua berambut putih. Ia membetulkan posisi monocle dengan jari. Dahinya sedikit berkerut dan ekspresinya datar, tanpa senyum.
"Terima kasih, Baaya." Shinichi menjawab ramah. "Ah, ini temanku, Ran. Mouri Ran. Aku membawanya untuk bertemu dengannya."
"Mouri Ran?" Wanita tua itu bertanya memastikan sambil menautkan kedua alis—seolah berpikir keras. Dan pertanyaan itu dijawab dengan anggukan dari pemilik nama asli. Kemudian bola mata keabu-abuan milik wanita tua itu kembali menatap Shinichi, "Anda sudah tahu peraturannya kan, Tuan detektif?"
"Tenang saja, Baaya. Tuanmu telah mengizinkanku." Shinichi merogoh saku celana kemudian mengeluarkan ponsel dengan gantungan bola sepak. "... dan tentu saja aku punya bukti," lanjutnya sambil menunjukkan sebuah pesan singkat yang membuat wanita tua itu semakin memandang seram pada Ran dan Shinichi.
Wanita bermonocle itu diam, menimbang-nimbang keputusan yang akan diambil.
Ran berkeringat dingin. "S-Shinichi ... lebih baik kita pulang saja," ajaknya. Gadis itu memaksakan diri untuk tersenyum, "... lihat! Si Baaya itu sepertinya tidak suka dengan kedatangan kita, kan." katanya diiringi tawa renyah.
"Masuklah!"
"Eh—" Ran terkejut. "Tap—tapi—tapi ... Baaya!"
"Tenanglah!" Shinichi semakin mengeratkan genggamannya pada Ran. "Ran akan baik-baik saja selama bersamaku."
"Tsk, berhentilah bersikap sok keren!"
Mereka bertiga pun masuk ke dalam rumah. Ada lukisan-lukisan ala Mesir terlihat indah yang dibuat dengan cat warna biru. Sedikit samar, karena cahaya dalam ruangan itu redup sebab penerangan hanya dilakukan oleh lilin-lilin yang berjajar rapi di atas mangkuk perak dan beberapa lampu pijar. "Tenang saja, Ran!" Shinichi berbisik di dekat telinga gadis itu karena ia bisa merasakan salah satu tangan Ran yang semakin erat meremas pakaiannya. "Jangan takut."
Ran mengangguk terpaksa.
.
.oOo.
.
Sepuluh langkah.
Dua puluh langkah.
Berpuluh-puluh langkah.
Dan mereka sampai.
Berlapis-lapis pintu besi yang hanya bisa dibuka dengan kode-kode rumit yang tak Shinichi ketahui itu perlahan melebar—membuat jarak agar Shinichi, Ran, dan wanita tua yang dipanggil Baaya itu dapat masuk ke ruang rahasia, ke ruang terlarang, ke ruang yang diasingkan. Kemudian langkah mereka terhenti di depan pintu berhias garis-garis kuning hitam dan gerigi-gerigi yang siap berputar ketika Baaya memasukkan kode terakhir. Shinichi menundukkan kepala hingga helai-helai hitam yang kontras dengan warna tembok di tempatnya berdiri itu menutupi bola mata biru cerahnya.
Shinichi menggertakkan gigi-giginya karena ia menyadari apa yang akan dilihat. Merasakan betapa buruk dirinya karena tidak bisa membantu yang terkurung di dalam sana. Betapa buruknya Shinichi karena telah gagal untuk menyelamatkan masa depan yang berharga dari sebuah hal dalam ruangan yang bahkan tak lebih luas dari ruang perkumpulan petaruh pacuan kuda—tempat manusia-manusia bergelimpangan harta itu bertanding dan mengumpulkan dosa-dosa.
Pintu terakhir terbuka.
Mereka melihat gadis itu duduk dengan kaki terjulur lurus ke depan, lemas seolah tak bertenaga. Mereka melihat gadis itu menatap sesuatu dengan mata menghitam yang menyiratkan kehampaan—entah ia menatap rok berenda yang dikenakan, entah lantai, atau entah melihat tangannya yang mengepal di atas paha, mereka tidak tahu. Yang dapat diketahui dengan jelas hanyalah keberadaan tuan bunga matahari, nona rambut pirang, tuan kelinci, tuan panda, tuan anjing, nona lebah dan lainnya yang berserakan di sekelilingnya. Benda-benda yang selama ini selalu menemani dia. Boneka-boneka kusam yang berserakan dengan raut wajah kesedihan.
"Maaf, aku belum membereskannya selama beberapa hari terakhir," kata wanita tua itu, cepat, tanpa ekspresi.
Ran membelalakkan mata, tangannya mencengkram dada, merasakan sesuatu yang besar seolah memaksa keluar. Ran menggigit bibir, menahan rasa sakit. Tubuhnya mengeluarkan aura hitam yang semakin lama semakin pekat—memenuhi ruangan.
Gadis itu—
"—Aku?"
Shinichi dan Baaya tak bergerak. Ran jatuh. Memejamkan mata untuk tidur panjangnya yang tanpa akhir.
.
.oOo.
.
Di kantor detektif Mouri, setelah makan malam.
"Sayang, tadi kita bertengkar karena apa?"
Kogoro berdeham. "Sudahlah, kau terlalu banyak pikiran." Eri mengangguk setuju. Wanita itu memang kacau akhir-akhir ini. "Bagaimana kalau besok kita berziarah?"
"Ya. Aku merindukannya. Sangat."
