Disclaimer : Dynasty Warriors milik KOEI. 'The Everlasting Guilty Crown' dan 'Last Song' milik EGOIST dan pencipta lagu. OCs milik saya dan saya hanya menyusun alur.

Warning : Penulisan abal, gak sengaja OOC dan typo. Ling Tong x OC (An Shu). Chapter ini adalah side story dari The Blue Butterfly : Last Song.

-xxx

To The Place Where I Belong

Chapter XX

Wonders

-xxx-

I can hear this song coming to me.

All of you who have nowhere to go,

Hope is in your hearts

When you overcome the night of sadness,

I am sure you will come out

Holding the strength to live on.

-The Everlasting Guilty Crown - EGOIST-

-xxx-

Asap hitam yang berasal dari kapal yang terbakar mengotori langit malam. Tak seorang pun yang peduli dengan keindahan sinar keperakan dari bulan penuh. Kecuali, dia.

Mata emasnya meratapi lurus kearah bulan, takjub akan keindahan bulan. Ia tahu bahwa ia sedang berada di medan perang namun tetap saja ia tidak mau mengalihkan perhatiannya. Angin berhembus tenang, namun kulit putihnya bagaikan pualam itu terasa amat panas akibat puluhan kapal yang terbakar.

"Kenapa salju masih belum turun?" gumamnya.

"Shu...! Shu! Oi!"

Perempuan itu akhirnya mengalihkan pandangannya, kini berpindah kearah pria bertubuh tinggi dengan rambut diikat ekor kuda. Ia mengenggam sanjiegun dengan kedua tangan. Gadis itu yakin, dari tatapannya sudah jelas pria itu marah. Dia tersenyum paksa untuk meringankan suasana.

"Ahaha. Maaf~ Jadi, ada apa?" tanya gadis yang dipanggil Shu tadi. Ia mengusap kepalanya sambil tertawa malu.

"Bukan 'ada apa', bodoh. Kau sudah tahu bahwa kita berada di medan perang tapi kau masih sempat melamun?" Pria itu menghela napas kesal.

Gadis itu tertawa pelan. "Hm~ Gongji cemas, ya?" sahutnya sambil menghampirinya.

"Ya, aku cemas..." jawabnya. Kini nada suara pria yang dipanggil Gongji alias Ling Tong itu menurun. Mata coklatnya berpindah ke tubuh gadis itu. Terdapat luka horizontal yang cukup parah di lengan kiri dan betis akibatan sayatan pedang atau mungkin tombak.

"Kau ingin aku istirahat?" tanya gadis yang bernama lengkap An Shu. Sepasang mata pria itu langsung berpindah ke manik emas miliknya. Shu yakin jawabannya adalah 'ya' tapi... "Aku bercanda. Mana mungkin hanya karena luka kecil ini aku langsung mundur 'kan?" Shu kembali tertawa. "Nah, lebih baik kita harus keluar dari sini atau kita akan mati terbakar."

"Seharusnya aku yang berkata begitu."

Mereka berdua pun bergegas mencari jalan keluar dari kapal. Shu mengikuti Ling Tong dari belakang, kini matanya tertuju kearah syal kuning-oranye di leher pria itu.

"Padahal sepanas ini, Gongji tidak merasakan panas sedikit pun ya? Aneh." ucap Shu.

"Tidak... Tubuhku rasanya ikut terbakar. Kalau begitu kau saja yang pakai." katanya sambil membuka syal kemudian melemparnya pada Shu.

"Eeeh. Tidak mau." keluh Shu.

"Berhenti bertingkah seperti anak kecil dan pakailah. Lagipula itu milikmu 'kan?"

"Lho? Gongji lupa kalau dulu aku memberikan ini padamu?"

"Baiklah. Maksudku 'buatanmu.'"

"Hm hm." Shu mengangguk. "Apa boleh buat~ Aku akan memakainya." Sambil berlari, ia memasangkan syal di lehernya. Ia menghela napas, "Tidak kusangka syal yang kubuat panjang sekali..."

"Tapi kau terlihat manis kok." ucap Ling Tong sambil melirik kebelakang dan tersenyum simpul.

"Hush..." An Shu memalingkan wajah karena tak ingin rona merah yang menghiasi pipinya dilihat oleh Ling Tong, tetapi pria itu menyadarinya dan tertawa. "K-Kita harus cepat keluar, aku yakin Tuan Lu Meng dan yang lain sudah keluar."

"Yah, itu semua 'kan salahmu. Kau malah melamun di tengah kapal yang sudah terbakar. Untung saja aku sudah menemukanmu lebih cepat."

"Hush!"

-xxx-

Sudah hampir satu jam mereka kesulitan mencari jalan keluar dari puluhan kapal. Bahkan tidak ada petunjuk atau prajurit yang datang menjemput mereka. Shu tidak mau menyusahkan Ling Tong, jadi ia berusaha untuk tidak mengeluh dan terus mencari. Mereka belum mau mati, mereka masih belum senang dengan kehidupan mereka-yang selalu berperang dan perdamaian sementara. Ia menatap ke punggungnya. Ia bisa mendengar sesakan nafas dari Ling Tong sehingga membuatnya merasa bersalah.

"Gongji..." Shu berhenti berlari.

"Ada apa?" Ling Tong membelalakkan matanya ketika tubuh Shu melunglai namun beruntung ia masih sadarkan diri, ia masih bisa duduk. Tetapi kedua tangannya melepaskan senjata emeici miliknya.

"...maaf. Ini memang salahku..." ucapnya setelah batuk akibat menghirup asap. Ling Tong yang sudah mengenalnya sejak ia berumur 10 tahun, tahu bahwa ia benar-benar merasa bersalah. Kedua matanya berkaca-kaca, bibirnya bergemetar, dan keringat sudah membasahi wajahnya. Ia menggenggam syal di lehernya erat.

"...Jangan dipikirkan. Ayo." Ia membantunya berdiri. "Naiklah ke punggungku."

Shu menatapnya sebelum menggeleng pelan dan tersenyum. "Tidak. Aku masih bisa kok..."

Ling Tong tahu bagaimana cara gadis itu untuk meringankan situasi, selalu tersenyum palsu dan menganggap semuanya akan baik-baik saja. "Jangan keras kepala, cepat..."

Shu menyimpan senjatanya dan kembali berdiri. "Tidak apa... Terima kasih sudah mau memaafkanku..." Ia kemudian berjalan cepat, ia kembali mencari jalan keluar. Namun langkahnya berhenti ketika Ling Tong memengang pergelangan tangannya dengan kuat. "Gongji, sungguh. Aku tidak apa..." Shu tertawa pelan sembari dengan lembut melepaskan genggamannya dan kembali mencari. "Ayo..."

"..."

Shu memaksakan dirinya untuk terus mencari. Jika Ling Tong membawanya, ia yakin itu akan membuat dirinya semakin merasa bersalah. "Gongji... lewat sini." ucap Shu tanpa menoleh ke belakang karena tidak ingin melihat raut wajah cemas di wajahnya.

'I've always thought,

It would be nice,

if someday I could tell you that

I love you'

"Ini...suara siapa?" gumam Shu.

'Say, if I confessed my love to you

I wonder

What kind of face you'd show me?

Please, tell me'

Karena penasaran ia langsung mencari asal nyanyian tersebut. Ia memaksakan kakinya untuk berlari. "Aku tidak tahu siapa itu tapi disana mungkin ada jalan keluar." gumamnya sambil tersenyum.

Langkahnya berhenti ketika sedari tadi ia tidak mendengar suara Ling Tong. Ia membalikkan badan. "Eh? Gongji...? B-Bohong, aku terpisah darinya..."

"Kau..." Sebuah suara lembut di belakang Shu mengagetkannya. Itu suara perempuan. "..." Wanita itu memiliki rambut yang sangat panjang berwarna merah yang menyapu lantai kayu kapal, rambutnya hampir menandingi warna matahari senja. Ia memiliki iris mata merah namun kantung matanya membengkak seperti ia sudah terlalu lama menangis. Namun ia memiliki seragam perang yang berwarna biru. Wanita itu berasal dari Wei. Tetapi tidak ada tanda bahwa dia akan menyerang Shu.

"Kau sebaiknya keluar dari sini." ucapnya lembut.

"Apa yang Anda bicarakan? Anda berasal dari Wei tapi masih tetap berada disini? Sudah gila ya? Mau mati!?" bentak Shu.

Wanita itu tersenyum. "Kau mungkin benar... tapi... aku sudah tidak memiliki tujuan hidup lagi."

"..." Shu menaikkan kedua alisnya dan mulutnya sedikit terbuka.

"Syal yang kau pakai itu bagus sekali. Tapi kurasa itu terlalu besar untukmu..."

Shu terdiam sejenak lalu menjawab. "Aku memang membuatnya sendiri tapi ini bukan milikku... ini milik seseorang..."

Milik Ling Tong, walaupun api yang sudah membakar seluruh kapal dan menimbulkan bau asap. Shu masih bisa mencium baunya dari syal tersebut.

Wanita itu tertawa pelan. "Orang itu sudah menjaga hartanya yang berharga dengan baik. Sedangkan aku... aku selalu saja ceroboh. Aku hampir meninggalkan 'ini', satu-satunya harta yang berharga." Ia membuka telapak tangannya, sebuah kalung dengan kupu-kupu biru. Kini tatapan matanya kembali sedih. Shu merasa wanita itu menganggap dirinya sendiri adalah beban.

"Kau harus pergi."

"Kau juga." jawab Shu.

Wanita itu menggeleng. "Sudah kubilang bukan? Aku tidak memiliki tujuan hidup lagi-"

"Itu tidak benar! Kau tidak seharusnya membuang nyawamu! Orang yang kau sayangi sedang menunggumu diluar sana!"

"Kau juga kan? Tidak usah peduli kan diriku. Aku 'kan musuhmu."

"Walaupun kau musuhku tapi kau juga manusia biasa! Apa kau tidak peduli dengan mereka!?"

"Aku tidak pantas hidup bersama mereka. Aku sudah menjadi beban bagi mereka semua."

"Itu salah! Aku akan membawamu keluar apapun caranya!" Shu berjalan cepat menghampirinya.

Wanita itu kembali tertawa pelan. "Kau orang yang tidak mau mendengarkan orang ya. Dan juga keras kepala. Tapi itu juga ada baiknya..." Shu terdiam. "Pergi. Kumohon. Kau juga jangan membuang waktu hanya karena menasehatiku. Walaupun kau bersikeras, tubuhku sudah tidak bisa bergerak, sudah melampaui batas... Kalau kau terus disini kau tidak akan bisa keluar."

"Tidak!" Shu mengenggam tangannya. "Kau harus sayangi nyawamu! Aku benci orang yang membuang nyawanya, karena itu-"

Ucapannya terpotong, wanita itu mendorongnya dengan sekuat tenaga sehingga Shu terjatuh. Kayu-kayu yang terbakar berjatuhan didepan wanita itu. "Lihat? Tian tidak mengizinkanmu untuk membawaku keluar sana. Aku mengerti perkataanmu tapi ini adalah takdirku."

"Tidak!" teriak Shu.

"Aku akan mendoakanmu agar kau dan dia selamat. Semoga perjalanan hidupmu lebih baik daripada diriku. Kau sangat baik, bahkan aku ini musuhmu masih saja bersikeras ingin membawaku pergi. Dan kau bahkan menangis untukku. Terima kasih. Andai aku terlahir kembali, aku ingin mengenalmu lebih jauh. Nah... sampai jumpa."

Kayu yang terbakar semakin banyak yang berjatuhan, kini Shu tidak dapat melihat wanita itu. Shu menangis terisak dan menutup wajahnya. "Bodoh. Wanita bodoh!" Shu menyeka air mata dengan punggung tangannya. "Bodoh, mana mungkin aku bisa selamat. Gongji pasti sudah selamat. Apa aku juga mati disini...?" Shu memegang syal miliknya dengan kukuh dan menutup mata.

"Shu! Shu! Dimana kau!?"

"...Gongji. Dia masih disini?" Kayu-kayu kembali berjatuhan, kapalnya akan runtuh. "...tidak. Aku belum mau mati... Gongji..." Shu mencoba untuk berdiri namun luka pada betisnya yang masih belum diobati membuatnya kesulitan berdiri. "S-sakit..." Tubuhnya melunglai, kesadarannya semakin menipis. "Maaf..."

"Shu... jangan tidur! Kau bisa tidur sepuasmu setelah kita selamat!"

An Shu membuka mata dengan perlahan, kulitnya masih terasa sangat panas. Ling Tong dan dia masih berada di kapal. Tubuhnya masih terlalu lelah untuk digerakkan.

"Gongji? Kukira kau sudah selamat..." ucap Shu pelan.

"Apa yang kau bicarakan? Mana mungkin aku bisa tenang dengan meninggalkanmu sendirian. Bangun dan naiklah ke punggungku."

An Shu tersenyum kecil dan mencoba untuk menggerakkan tangan dan kakinya untuk berdiri. Kedua tangannya lalu menyentuh kedua bahu Ling Tong lalu menyandarkan tubuhnya dipunggungnya. Kemudian pria yang rambutnya diikat ekor kuda itu mengangkat kedua kakinya dan berdiri lalu langsung berlari.

Kedua kelopak mata An Shu setengah tertutup, ia mengistirahatkan kepalanya di bahu kanan Ling Tong lalu mengeratkan pegangannya.

"...Hei. Kau masih bangun 'kan?"

Ling Tong mengira jawaban darinya 'Kau pikir aku sudah mati apa?', namun jawaban darinya hanyalah. "...um." Mereka kembali terdiam, kemudian Shu mulai bicara. "Maaf... aku sangat bodoh-"

"Kau sebaiknya berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Aku sudah lelah mendengar kata 'Maaf' darimu."

"Tapi aku sudah melakukan hal yang salah..."

"Jadi? Kalau aku menyelamatkanmu apa itu juga salah?"

Shu tertegun. "...Tidak. Tidak salah."

Ling Tong tertawa pelan. "Nah, tidak masalah 'kan? Kau juga orang yang sangat berharga bagiku termasuk mendiang ayah. Mana mungkin aku bisa diam dan menunggu kedatanganmu."

Shu tersenyum. "Sungguh? Aku senang. Terima kasih..." Ia menutup matanya dengan perlahan. Walaupun suara berisik api yang membara dan kayu yang berjatuhan namun ia bisa kembali tidur dengan nyaman di punggungnya.

-xxx-

"Kau terlambat, Ling Tong." seru Gan Ning dari kejauhan. Ling Tong hanya menghela napas kesal mendengar ocehan pria mantan bajak laut tersebut.

"Kau pikir mudah untuk mencarinya?" gerutu Ling Tong.

"Tapi syukurlah kalian berdua baik-baik saja. Bagaimana dengan keadaan An Shu?" tanya Lu Meng menghampiri mereka.

"Dia baik-baik saja. Untung saja tidak ada luka bakar di tubuhnya." jawab Ling Tong sambil melirik ke belakang untuk meyakinkan kondisi Shu. Dia masih tertidur dengan pulasnya. "Dasar, putri tidur. Bahkan punggungku dianggap tempat paling nyaman untuk istirahat." Ling Tong tersenyum kecil. "Ah, ngomong-ngomong. Apa perangnya sudah selesai? Mereka melarikan diri?"

"Ya. Walaupun begitu, kita sudah memenangkan perang ini! Wei sudah banyak kehilangan prajurit." jawab Gan Ning bangga.

"He..." Ling Tong manggut-manggut. Lalu ia memerhatikan keadaan teman sekaligus rivalnya, terdapat bekas darah di kepala dan di tepi bibirnya. Ling Tong mendengus. Gan Ning menyadarinya dan menatap lurus pada Ling Tong.

"Apa yang kau tertawakan?" tanya Gan Ning.

"Hmph, yaa kita menang. Tapi lihatlah dirimu, sepertinya kau terluka lebih parah dari yang kubayangkan."

"Tch. Musuh yang kulawan tadi sangat tangguh, bahkan wanita. Dia meremehkanku..."

"Ha, bahkan kalah dengan wanita. Memalukan..."

"Berisik!" bentak Gan Ning.

"Sudah cukup kalian berdua! An Shu akan bangun jika kalian terus bertengkar!" bentak Lu Meng sambil memukul kepala Gan Ning.

"Ugh! Kenapa hanya aku yang dipukuli, pak tua, padahal dia yang mulai-"

"Siapa yang 'pak tua', bodoh!?" jawab Lu Meng.

"Tuan Lu Meng, kecilkan suaramu..." ucap Ling Tong. Lu Meng lalu mengurut pelipisnya dan menghela napas untuk menenangkan diri.

"Ah! Itu dia An Shu!" seru seorang gadis berambut coklat terang yang diikat side-tail bersama kakaknya. "Dia tidak apa 'kan, Ling Tong?" tanya Xiao Qiao.

"Ya. Tidak apa."

Lalu setitik salju turun diatas kepala Ling Tong. Satu persatu salju tersebut berjatuhan dari langit. Ling Tong baru sadar syalnya dipakai oleh An Shu. Kini udaranya terasa dingin.

"Ngh..." An Shu menyondolkan kepalanya di leher Ling Tong sehingga terasa menggelitik.

"Oh. Sudah bangun?"

"...um. Soalnya aku mendengar suara Xiao Qiao..."

"Eh!? Apa aku membangunkanmu?" tanya Xiao Qiao cemas.

"Aku hanya bercanda kok." sahut An Shu diiringi tawa pelan. Xiao Qiao menggembungkan kedua pipinya.

"Tapi syukurlah, kalian berdua selamat." Da Qiao menghela napas lega.

"Hehe. Aku ceroboh, maaf sudah membuat kalian khawatir. Gongji. Turunkan aku."

"Ng? Kenapa?"

"Kok malah bertanya. Aku INGIN turun."

"Tidak. Kakimu masih belum diobati jadi tidak." jawab Ling Tong.

"Ehh, tapi sudah tidak sakit lagi kok!"

"Sungguh?" tanya Xiao Qiao sambil menyentuh betisnya dengan telunjuk.

"S-SAKIT! Apa yang kau lakukan!?" bentak Shu.

"Oh. Ternyata masih sakit. Shu masih saja tidak mau jujur." ucap Xiao Qiao tertawa.

"...ukh." Shu terdiam.

"Nah. Kalau begitu, aku akan mengobati kakimu dan pulang. Permisi." ucap Ling Tong mengundurkan diri.

"T-Tunggu dulu! Aku bilang turunkan aku! Hei, Gongji!" bentak Shu sambil menepuk bahunya.

"Berisik."

"...uh." Shu terdiam. Lalu matanya tertuju kearah langit. "Akhirnya saljunya turun!"

"Yang benar saja. Jadi kau melamun di kapal hanya untuk menunggu salju turun?"

"T-Tepat sasaran..."

"Ya ampun..."

Shu memandang pria itu dengan wajah rona merah. Bibirnya tertutup rapat. Kedua tangan berpindah ke syal dilehernya. Ia membuka syal tersebut agar bisa berbagi.

"Hangat?" tanya Shu.

"Oh ya. Sangat... Bahkan tubuhmu juga terasa hangat. Rasanya jadi-"

"T-Tubuhku!?" Shu mendorongnya agar dadanya tidak bersandar di punggungnya.

"A-Apa? Aku tidak bermaksud aneh! Kenapa kau malah menganggapku seperti orang mesum!?" bentak Ling Tong.

"T-Turunkan aku! Jangan sentuh aku! Uwaaa! Siapa saja tolong aku!" pekik Shu sambil menggerakkan kakinya.

"Oi oi! Jangan bergerak! Leherku...sesak!" bentaknya lagi. Lehernya tercekik akibat Shu yang mengikat syal dilehernya terlalu erat. Salju yang tak terhitung jumlahnya turun mengalihkan pandangan mereka berdua. Kedua mata mereka meratapi langit malam dengan hujan salju. Mereka tidak merasa dingin sama sekali berkat kehangatan yang mereka bagikan bersama. Shu memeluk leher Ling Tong erat dan menyembunyikan wajahnya.

"Indah ya?" tanya An Shu.

"Ya..."

"Gongji..."

"Ng?"

"Terima kasih sudah menyelamatkanku. Kalau Gongji tidak datang aku pasti tidak bisa menemuimu lagi..."

"...ya."

"...Gongji, kalau misalnya aku tidak bisa diselamatkan lagi apa yang akan kau lakukan?"

Ling Tong menoleh. "Kenapa kau bertanya?"

"Andai kata. Aku hanya penasaran..."

Ling Tong kembali mengarahkan penglihatannya ke bulan. "Sudah jelas bukan?"

"Eh? Apanya? Tidak jelas sama sekali..." ucap An Shu kebingungan.

Ling Tong menghela napas panjang. "Aku akan terus mencoba cara apapun. Walaupun nyawamu sudah direnggut, rohmu akan dikirim ke surga atau bahkan neraka... tapi aku akan menarikmu lagi. Apapun caranya, aku tidak akan membiarkanmu mati. Masih ada banyak lagi yang ingin kuperlihatkan padamu. Kita bahkan belum sampai ke dunia yang damai..." An Shu dapat melihat kulit pipi teman semasa kecilnya itu memerah. Namun, dari nada suaranya terdengar serius, dia tidak sedang bercanda seperti biasa. Detak jantung gadis itu entah kenapa terasa sangat kencang dan keras, tapi ia menyukai perasaan aneh itu.

"..." An Shu tertawa kecil sembari mengeratkan pegangan pada leher Ling Tong. Rona merahnya sudah seperti tomat, matanya berkaca-kaca. Bibir An Shu yang sangat dekat dengan telinga Ling Tong, menangkap suara isakan tangis yang begitu kecil tapi hanya mereka berdua yang dapat mendengarnya.

"Oi. Kau itu tertawa atau menangis sih?" tanya Ling Tong.

"Dua duanya." jawab An Shu sambil tertawa.

"Dasar..." Mereka berdua saling tertawa. Walaupun keadaan dunia saat ini terus mengakibatkan penderitaan, tapi pasti ada saat dimana mereka bisa saling mengerti dan berbagi kehangatan. Walaupun hanya sebentar, itu sudah cukup bagi mereka.

"Gongji. Apa aku boleh tidur sebentar?" tanya An Shu pelan.

"Tentu."

Ling Tong kembali berjalan menuju perkemahan. Ia sudah terbiasa dengan Shu yang selalu ingin tidur, dia masih belajar tentang ilmu perang setiap hari. Karena itu dia mudah lelah. Tubuhnya yang kecil seperti Qiao bersaudara terasa amat ringan. Ia teringat kenangan mereka saat mereka masih anak-anak.

"Ling Tong, pakailah syal ini. Tapi sebagai gantinya jangan lupakan aku, ya!" An Shu yang berumur 9 tahun memberikan syal pada Ling Tong. Ia mengalungkan sehelai kain panjang yang berwarna kuning-oranye pada lehernya. Setelah memasangkannya, gadis kecil itu tersenyum lebar.

"Ya... Pasti."

"Rasanya nostalgia sekali ya..." gumam Ling Tong.

- xxx -

A/N : (Last edited on February 21) Lama tak berjumpa! Scarlet 'n Blossom hidup lagi! /plak

Seperti yang telah readers baca. An Shu itu teman Ling Tong semasa kecil dulu, osananajimi(?).

Oke, ciri-cirinya :

- Bermata kuning keemasan (amber)

- Rambut pendek sebahu agak bergelombang berwarna biru gelap.

- Tingginya 160 cm sama dengan Qiao bersaudara.

- Three sizes : B81/W57/H80

- Sifatnya ceria, kadang cara bicaranya berubah-ubah, dan kadang usil.

Untuk lebih jelas silakan cek di fb saya. Dan saya akan usahakan tamatin The Blue Butterfly : The Warmth of Life! Tinggal beberapa chapter lagi kok!

Baiklah, sekian dan jangan lupa review! Thanks for reading and reviewing!