.
.
.
"Kataomoi"
Disclaimer: Semua chara Kurobas ada di tangan Fujimaki Tadatoshi-sensei, saia minjem doang buat mewujudkan imajinasi liar saia, .w.)/
Warning: OC, OOC, AU, word tak tentu, Ejaan Yang Diragukan, bahasa campuran, de-es-be-de-es-be~
Summary: Mempunyai cinta yang bertepuk sebelah tangan memang menyakitkan, apalagi jika orang yang kau sukai malah tidak tahu soal perasaanmu. Akankah kau mampu mempertahankan perasaanmu? Atau memilih untuk mencari cinta yang baru?/Kumpulan oneshots bersambung Kagami Taiga x OC/Reader/RnR?
.
.
.
"Kau masih memandanginya lagi?" sebuah suara yang familiar di telingaku membuatku menoleh ke belakang, menemukan sahabatku sedang berdiri berkacak pinggang tak jauh dariku.
Oh, dia sahabatku dan teman sekelasku, Kuroko Miho, sepupu Kuroko Tetsuya di kelas sebelah. Aku satu kelas dengannya dulu waktu SMP, tapi saat masuk SMA aku masuk ke kelas yang berbeda dengannya. Kalau sekarang sih, berkat penjurusan dan pengacakan kelas, kami bisa sekelas lagi.
Aku tersenyum kecil padanya, "Ah, Miho... kau mengagetkanku saja,"
Miho menghela napas mendapati respon lambanku, dia kemudian duduk di bangku sebelahku, ikut mengamati beberapa siswa yang lalu-lalang di koridor depan kelasku. Ya, di depan kelasku memang disediakan bangku panjang untuk nongkrong. Biasanya banyak siswa yang bergerombol menduduki bangku itu saat istirahat, tapi kalau pagi hari seperti ini yang mendominasi siswi. Kenapa? Hmmm, karena bisa melihat orang yang disukai lewat mungkin salah satunya? Ha ha
Kenapa aku bicara begitu? Yah, karena aku salah satunya.
"Nah kan, kau melamun lagi!" Miho kembali menyeru kepadaku, kedua tangannya sudah menarik pipiku saking kesalnya.
"Hwaa, sakwt tauh, Mihau!" Ucapanku keluar dengan mengenaskan, entah aku bicara apa aku sendiri malah tidak mengerti.
Miho tertawa setelah melihatku memegang pipiku saat dia melepaskan tarikannya. Mou, padahal sahabat sendiri malah disiksa...
"Sakit tahu!" protesku padanya, aku mencubit pahanya sebagai balasan. Miho langsung meringis, sedangkan aku tertawa iblis.
Aku kembali mengarahkan pandanganku ke arah siswa-siswi yang baru datang, kelasku memang bisa dibilang kelas strategis, dekat dengan kantin, kopsis, kamar mandi, dan yang paling penting dekat dengan tempat parkir. Karena itulah, teman sekelasku sangat bahagia dapat kelas di sini. Apalagi anak-anak yang bermasalah dan anak-anak yang punya orang yang ditaksir tapi beda kelas, soalnya kelasku sendiri jauh dari ruang guru atau kepsek, kalau buat yang punya orang yang ditaksir sih tentu saja karena dekat dengan tempat parkir 'kan?
Miho mentowel pipiku yang masih sedikit sakit karena tarikannya tadi, "Sudah kubilang kau tidak boleh banyak melamun 'kan? Kau tidak sadar apa kalau sekolah kita ini angker, masih saja suka melamun. Mau kerasukan, hah?"
Aku tersenyum tipis, "Enggaklah, lagian setannya enggak mau ngerasukin aku kali, buktinya aku selalu melamun tapi selama tiga tahun di sini juga enggak pernah kerasukan kok,"
Miho menghela napas pasrah, "Jadi, apa yang kau lamunkan hari ini? Jangan bilang soal ide cerita atau puisi, sudah basi,"
Aku tersenyum kecut, memang sih aku selalu beralasan setiap aku melamun. Tapi kali ini semua alasanku sudah kehilangan keefektifannya melawan Miho. "Yahh, biasa... galau kali?"
Miho memutar kepalanya, "Masih mikirin dia?"
Aku tersenyum getir kali ini. Rasanya ingin sekali aku menertawai diriku sendiri, rasanya pathetic sekali sumpah...
"Kau masih bisa cerita ke aku tahu, kita udah sahabatan cukup lama, semua rahasiamu aman sama aku. Bukannya aku selalu begitu juga? Apa kau masih nggak memercayaiku?" tanya Miho serius.
Aku tersenyum menenangkan, "Tidak kok, lagian aku sudah menceritakan semuanya Miho, nggak ada hal lain lagi,"
Miho masih menatapku curiga, dia sepertinya tidak percaya dengan ucapanku. Seketika, senyumku mengendur, bukannya aku tidak percaya dengan Miho. Tapi apa yang kukatakan tadi memang benar kok, sudah tidak ada yang bisa kukatakan lagi pada Miho.
"Hmph, baiklah kuganti pertanyaanku... bagaimana perasaanmu sekarang? Saat ini? Dan kenapa kau duduk melamun di sini?" tanya Miho beruntun, aku sejenak memasang muka kaget.
"E-eh? Kenapa tiba-tiba...?" namun pandangan Miho tidak berubah, mungkin di matanya aku sedang terlihat sangat tidak baik? Ha ha, rasanya aneh ya? Bagaimana bisa seseorang yang bukan keluargamu malah bisa menyadari keadaan hatimu dibandingkan keluargamu sendiri...
"Aku tahu semua rahasiamu dan kau tahu semua rahasiaku, aku bahkan tahu perasaanmu yang tidak sahabatmu lain tahu, apa kau masih berniat membohongiku?" tukas Miho.
Aku tertawa kecil namun pahit, nyatanya aku memang tidak bisa lepas dari insting tajamnya bukan?
"Kau sudah tahu semuanya Miho, kau sudah tahu semuanya... tidak ada lagi yang bisa kucurhatkan," ucapku, sejenak aku mengarahkan pandanganku ke arah pintu keluar tempat parkir. Aku melihat temanku dari kelas sebelah melambaikan tangannya padaku, jadi aku membalasnya sebentar.
Aku kemudian menghadapkan diriku kepada Miho dan menatap kedua bola matanya, "Saat ini ada perasaan aneh di dadaku seperti biasanya, aku tidak ingin memikirkannya tapi tetap saja aku tanpa sadar melamun dengan membayangkan berbagai kejadian tidak masuk akal,"
Miho balas menatapku, aku tidak tahu apa yang dia temukan dari sorot mataku, namun dia tiba-tiba menepuk bahu dan kedua pipiku. "Hush, aku tahu kalau punya perasaan yang bertepuk sebelah tangan itu menyakitkan, kau juga tahu kalau aku juga punya 'kan? Kita senasib,"
Aku tersenyum getir dan memosisikan diriku dengan benar sekali lagi. Yah, unrequited love itu memang menyebalkan... menyakitkan... menyesakkan... dan kadang membuatmu menjadi seseorang yang dibenci karena bisa saja kau menjadi orang ketiga. Aku tertawa pahit dalam hati, rasanya ingin menangis tapi tak bisa. Menyebalkan sekali...
Tak lama kemudian, aku merasakan sikutan dari arah Miho, aku segera mengarahkan pandanganku ke arah yang ditunjuk Miho. Ah, orang yang kutunggu dan seharusnya kuhindari sudah datang...
Aku melihatnya keluar dari pintu parkir, aku melihat jam tanganku dan menyadari kalau sekarang sudah pukul setengah tujuh. Pantas dia sudah datang, aku sudah terlalu lama melamun di sini. Ah, sekolahku dimulai pukul tujuh tepat, kalau aku sih biasanya datang pukul enam atau lebih sedikit, soalnya aku tidak terlalu suka keramaian apalagi kalau harus dipandangi siswa-siswi lain karena berangkat siang.
Pemuda berambut merah bergradasi hitam itu berjalan dengan santai menuju ke arahku, lebih tepatnya sih karena kelasnya ada di samping kelasku, jadi dia harus melewati tempatku duduk dulu sebelum masuk ke kelasnya sendiri. Miho yang ada disampingku melambaikan tangannya pada pemuda itu, sedangkan aku sendiri malah menatapnya tanpa berkedip.
Kagami Taiga, tinggi 190 senti dengan berat badan 82 kilogram, ace klub basket Seirin, dan bodoh. Dia tidak peka, tapi tipe setia. Kenapa aku bisa tahu? Tentu saja karena aku sudah mengamatinya, mengenaskan memang, tapi aku hanya selalu bisa menatapnya dari jauh.
Miho melambaikan tangannya kepada Kagami-kun dan tersenyum manis, "Pagi, Taiga-kun,"
Kagami-kun membalas lambaian tangan Miho dengan mengangkat tangan kirinya, "Pagi," balasnya. Tanpa sadar aku terus mengamati pergerakan pemuda itu, mulai dari caranya berjalan, penampilannya yang sedikit berantakan tapi masih memenuhi aturan sekolah, tasnya diselempangakan di bahu kirinya yang lebar, serta tatapan ngantuknya yang lucu.
"Oh, pagi juga untukmu..." sapanya lagi sebelum melewatiku dan masuk ke kelasnya. Eh? Barusan itu... dia menyapaku?
"Ahem, ahem, yang barusan disapa nge-fly nih? Jangan ketinggian entar jatuh sakit," goda Miho yang sedari tadi sepertinya masih mengamati gerak-gerikku. Mukaku langsung panas, aku memukul bahu Miho karena kesal dia terus-terusan menggodaku.
"Enak ya orang yang kau sukai satu sekolah dan deket sama kamu, kalau aku malah jauhnya bukan main," ucap Miho, aku tersenyum kecut.
"Bukannya malah enak kalau jauh ya? Setidaknya nggak banyak ketemu bikin cepet lupa 'kan? Nah aku? Ketemu tiap hari, kelas sebelahan, rumah searah–dia apartemen sih, tiap di gerbang sekolah papasan, entah di kantin, di perpus, ruang guru ngambil tugas, upacara, pengumuman di aula, walaupun nggak sering tapi entah gimana pasti deketan, siapa yang nggak frustasi malahan?" jelasku panjang lebar, Miho menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Sesering itu...? Bukannya itu berarti kalian jodoh?" Aku menggeleng menjawab pertanyaan Miho tersebut.
"Kami nggak jodoh, Miho. Lagian dia di sana juga pasti selalu sama Yuna," jawabku terus terang. Miho menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan lagi.
"Bukannya aku dengar mereka sudah putus?" tanyanya, aku menggeleng sekali lagi.
"Kata temanku mereka sudah balikan, aku sering melihat Kagami-kun mengantarnya pulang," jawabku, "Lagian rasanya hubungan itu cuma mereka yang ngerti, 'kan? Aku sudah nggak tahu lagi kapan mereka putus dan kapan mereka nyambung lagi,"
Miho menepuk kepalaku dan membawaku ke dalam pelukannya, "Kau tidak boleh nangis di sini, malu tahu dilihat teman-teman. Ayo masuk, bel udah mau bunyi,"
Aku mengangguk dan menyeka air mata yang sudah berada di pelupuk mataku, mengikuti Miho masuk ke dalam kelas.
"The furthest distance in the world is not between life and death, but is when I stand in front of you. Yet, you do not know that I love you,"
A/N:
Haluh penghuni fandom KnB! Saia author yang seneng banget keliling fandom dan ninggalin jejak tanpa pertanggung jawaban~ #dor
Chiao desu~
Hajimemashite, minna-san~
Hari ini saia coba debut dengan fanfic KagamixReader, ah, ato OC ya? Terserah deh, kan saia gunain first POV~ #hoi
Oh iya, soal quotes di akhir itu, saia lupa itu punya siapa, tapi itu bukan saia yang ngomong. Credit terbang buat yang punya quotes itu ya~
Yosh, intinya ini salam perkenalan saia~
Moga aja ada yang mau baca, kalo ada kritik, saran, pujian(?), kotak makan(?), surat cinta(?), bahkan sampai api(?), silakan layangkan ke kotak review yah~
Sampai jumpa di chapter berikutnya~
