"KiBummie!" Tepukan keras di pundak kanannya membuat KiBum—yang sedang melihat keluar jendela pesawat—sontak menoleh terkejut. Kalau saja yang menepuk pundaknya itu bukan hyungnya, Kim HeeChul, umpatan kesal sudah dikeluarkannya.

"Ada apa, hyung?" kedua alisnya terangkat.

"Ayo turun."

"Huh? Turun?" kedua alis KiBum yang terangkat menjadi mengerut. "Kita kan masih belum sampai di Hawaii. Ini masih di bandara Bora-bora."

"Maksudku," HeeChul mengulurkan tangan kanannya dan menarik lengan kanan KiBum hingga berdiri. "Temani aku turun dari pesawat ini. Ada seorang sahabat lamaku yang menunggu di luar. Kajja!"

"Tapi pesawat yang akan membawa kita ke Hawaii ini akan berangkat—"

"Masih ada waktu 20 menit sebelum pesawat ini berangkat," potong HeeChul cepat. "Kita akan kembali lima menit sebelum pesawat ini take off."

KiBum mengalah. Daripada tenaganya terkuras percuma karena beradu mulut dengan hyungnya satu ini, lebih baik ia mengikuti kemauannya.

HeeChul tersenyum lebar begitu dongsaengnya akhirnya mengangguk dan berjalan lebih dulu menuju pintu pesawat. "Kau memang dongsaeng kesayanganku~" katanya, sembari meletakkan kedua tangannya di pundak KiBum. Mendorong tubuh yang beberapa senti lebih pendek darinya itu dari belakang.

Tanpa KiBum sadari, HeeChul menoleh ke belakang untuk memberi sinyal pada seseorang yang sejak tadi menunggu perintahnya.

_oOoOoOo_

Dari tempat duduk panjang di area bandara, KiBum menoleh pada HeeChul yang sejak tadi menjulurkan kepalanya tinggi-tinggi untuk mencari seseorang. Rambutnya yang diwarnai warna oranye tua bergerak-gerak mengikuti gerak tubuhnya.

"Aish! Mana sih dia? Katanya sudah ada disini sejak tadi." Untuk kesekian kalinya Kim HeeChul mendengus sambil menghentakan kakinya. Orang-orang yang berlalu di depan namja berwajah manis itu tak ayal menoleh untuk menatapnya.

"Ditelepon saja, hyung," KiBum yang sejak tadi mendengarkan lagu dari iPod nano-nya akhirnya bersuara. HeeChul berbalik dan menoleh.

"Ponselku tertinggal di pesawat, KiBummie…"

KiBum menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya sudah, ini pakai ponselku saja," tangan kanannya mengulurkan ponsel touchscreen-nya.

"Aku tidak hafal nomor telepon sahabatku itu," HeeChul meringis. KiBum menepuk dahinya.

"Tinggal 12 menit sebelum pesawat kita berangkat," KiBum memperingatkan setelah ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Akan lebih baik kalau sekarang kita kembali saja ke dalam pesawat, hyung."

"Tunggu sebentar. Sahabatku itu pasti akan segera datang!"

"Terserahlah." KiBum mengangkat bahunya. Sambil memasang headset di telinganya lagi, sepasang matanya terus menatap punggung hyungnya yang kembali menjulurkan kepalanya ke segala arah—kali ini ditambah sambil melompat-lompat. Namun, tiba-tiba HeeChul berhenti bergerak. Ia berbalik dengan wajah menahan sesuatu.

"A—duh…"

"Hyung, waeyo?" KiBum yang khawatir sontak berdiri—setelah melepas headset di kedua telinganya—dan mendekati HeeChul.

"KiBummie…"

"Ne?"

"Aku ke toilet dulu untuk buang air kecil."

Hening.

"Aish, kupikir terjadi sesuatu padamu, hyung." KiBum berdecak kecil.

"Kau tunggu di sini. Sahabatku itu memakai baju putih bergambar ikan hiu. Namanya JungMo. Aku segera kembali. Jadi jangan kemana-mana dan tunggu di situuu…!" seru HeeChul sambil berlari menuju toilet yang terletak lumayan jauh dari tempat KiBum berdiri.

KiBum mendengus. Kemudian kembali duduk di kursi kayu panjang sambil mendengarkan lagu dari iPod nano-nya lagi.

Volume lagu yang diputar maksimal dari iPod nano-nya membuat KiBum tidak mendengar pengeras suara di bandara yang memberitahukan pesawat yang akan membawa ia dan hyungnya ke Hawaii akan segera take off.

Sementara itu, di waktu yang sama, HeeChul tampak berlari menuju tangga pesawat dengan bibir mengembangkan senyuman karena melihat sang kekasih, HanGeng, sudah menunggunya di depan pintu pesawat bersama satu orang pramugari.

Namja berdarah Cina itu mengulurkan tangan kanannya ke arah HeeChul dan langsung di raih namja itu. Kemudian keduanya berjalan menuju tempat duduk di bagian belakang.

"Kau sudah menitipkan tas-tas KiBum di pusat pemberitahuan di bandara seperti yang aku suruh?" tanya HeeChul begitu keduanya telah duduk bersisian di kursi pesawat.

HanGeng mengangguk sambil memasang sabuk pengaman begitu sang pramugari memberi instruksi lewat pengeras suara.

"Kau yang terbaik!" HeeChul meraih wajah sang kekasih dan memberinya hadiah ciuman di bibir. "Dengan begini liburan di Hawaii nanti hanya akan dihabiskan kita berdua~"

Pesawat akhirnya lepas landas dan meninggalkan pulau Bora-bora, serta—KiBum.

_oOoOoOo_

'Dear KiBummie… Mianhae hyungmu ini harus meninggalkanmu sendirian di Bora-bora. Sebenarnya liburan kali ini sudah hyung rencanakan untuk berduaan saja dengan kekasih hyung. Tapi karena eomma menyuruh kita berdua pergi ke Hawaii sekaligus mengunjungi halmoeni kita, hyung sudah bisa membayangkan kalau kita hanya akan terkurung di rumah halmoeni tanpa bisa bebas keluar. Karena itu, seminggu lagi hyung akan menjemputmu dan kita akan pulang ke Seoul bersama. Kau tidak perlu khawatir karena hyung sudah meminta tolong JungMo untuk menjemput dan mengantarmu ke resort. Oh ya, berbagai fasilitas yang kau mau juga bisa kau dapatkan di tempat itu (berterima kasihlah pada kekasih hyung karena semua fasilitas selama seminggu kau akan tinggal di Bora-bora sudah dibayarnya). Jaga dirimu baik-baik~′

Begitulah isi text yang masuk di kotak pesan KiBum. Kedua matanya membelalak dengan mulut ternganga. Jadi selama seminggu ia harus tinggal sendirian di pulau yang tidak dikenalinya ini? Serius?

Dengan bahu bergetar menahan kesal, KiBum menyentuh tombol hijau di layar ponselnya dan menempelkannya di telinga.

Dua kali. Empat kali. Sepuluh kali. Namun telepon diujung sana tidak diangkat sama sekali oleh HeeChul. KiBum tidak percaya kalau hyungnya (tega sekali) merencanakan hal ini. Kalau memang hyungnya itu tidak suka terkurung dirumah halmoeni mereka di Hawaii, HeeChul dan kekasihnya kan bisa kabur setelah pesawat landing di bandara Hawaii. Dan bisa membiarkan dirinya pergi sendiri ke rumah halmoeninya.

KiBum ingin sekali berteriak sekeras-kerasnya sekarang. Benar-benar frustasi karena hyungnya tidak mengangkat teleponnya. Saat KiBum akan menegakkan tubuhnya lagi, setelah mengambil headsetnya yang terjatuh, ia tidak menduga begitu seseorang yang berjalan melewatinya tidak sengaja—atau memang sengaja—menabrak lengannya hingga membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terjerembap. Ringisan panjang keluar dari bibirnya begitu kedua lututnya menyentuh lantai. Tangan kirinya yang sedari tadi memegang iPod nano-nya terlepas dari genggaman hingga beberapa bagian benda itu tercecer. Rasa sakit yang dirasakan kedua lututnya seketika menghilang begitu melihat benda pipih pemberian kekasihnya itu hancur. Dan sedetik berikutnya KiBum langsung mengangkat wajahnya untuk melihat siapa orang (kurang ajar) yang menabraknya.

Sepasang mata KiBum langsung tertuju pada seorang namja bertubuh tinggi yang memakai kemeja berwarna biru tua yang sewarna dengan celana jinsnya—karena hanya namja itu satu-satunya yang berjalan disekitar KiBum.

"Hey, you!" teriak KiBum dengan menggunakan bahasa inggris—karena tahu bandara ini sebagian besar dipenuhi oleh orang asing. Sambil berdiri dari tempatnya jatuh—dan meraih iPod nano-nya yang sudah hancur—KiBum mendekati namja yang lebih tinggi beberapa senti darinya itu, yang masih berjalan membelakanginya.

Merasa dipanggil, namja itu akhirnya berhenti melangkah dan menoleh. Setelah melihat ke sekeliling kalau tidak ada orang lain selain dirinya, tangan kanannya melepas kacamata berlensa cokelat dan menatap KiBum dengan dua alis terangkat. "What?"

KiBum tertegun. Rasanya dia pernah melihat wajah itu di… majalah yang isinya orang-orang sukses yang menceritakan high life-nya, keluarganya, dan lain-lain. Kalau tidak salah namanya Choi SiWon, anak pertama dari seorang direktur sebuah perusahaan dagang Jepang, sekaligus pemilik dari salah satu supermarket terbesar di Korea, Hyundai Department Store, kata KiBum dalam hati.

"Hey!" SiWon menjentikkan jarinya di depan wajah KiBum. Membuat KiBum tersadar dari lamunannya.

"Kau menghancurkan iPod nano-ku," kata KiBum setelah ingat kenapa ia memanggil namja dihadapannya.

"Kau orang Korea?" tanya SiWon sedikit terkejut begitu KiBum berbicara dengan bahasa dari tempatnya lahir.

"Ne. Dan kau menghancurkan iPod nano-ku," KiBum menunjukkan benda pipih berwarna hitam di tangan kanannya ke arah SiWon.

SiWon menoleh dan menatap benda itu, sebelum ia kembali menatap KiBum. "Kapan aku menghancurkan bendamu itu?"

"Kau tidak ingat tadi habis menabrakku hingga terjatuh?" raut wajah datar KiBum langsung berubah menjadi kesal. "Dan karena kau menabrakku, iPod nano-ku lepas dari genggamanku! Kau bahkan tidak menoleh dan terus berjalan."

"Oh," bibir SiWon membentuk huruf 'o'. "Lalu?"

Rasa kesal karena ditinggalkan hyungnya di pulau yang tidak dikenalinya ini menjadi pemicu dan KiBum akhirnya meledak. "Aku minta kau memperbaiki iPod nano-ku ini!"

"Sudah rusak parah begitu, mana bisa diperbaiki? Berapa harga benda itu?" SiWon bersikap santai sambil merogoh saku belakangnya untuk mengambil dompetnya.

KiBum menggeram. "Aku tidak memintamu untuk membeli yang baru. Aku memintamu untuk memperbaikinya!"

Selama lima detik SiWon menatap namja didepannya sebelum akhirnya berkata, "Araesso, mana benda itu?" setelah menaruh kembali dompetnya di saku belakang, ia mengulurkan tangan kanannya. Begitu benda yang telah hancur itu berpindah ke tangannya, SiWon berlalu dari hadapan KiBum. KiBum mengikuti kemana namja itu pergi dengan alis berkerut.

SiWon menghentikan langkahnya tepat di depan salah satu tempat sampah setinggi pahanya, kemudian ia menoleh dan menatap KiBum. "Sampah seperti ini, lebih baik dibuang saja," ucapnya sambil tersenyum—merendahkan—ke arah KiBum, dan menjatuhkan benda di tangan kanannya ke dalam tempat sampah. KiBum terperangah.

Setelah itu, SiWon berbalik sambil memakai kacamatanya lagi dan berjalan pergi. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Darah di dalam tubuh KiBum seketika mendidih. Kemarahan sudah sampai di atas ubun-ubunnya.

"YAH! BERHENTI KAU, CHOI SIWON!"

SiWon terkejut. Langkahnya kembali berhenti. Kenapa namja yang tidak dikenalinya itu bisa tahu namanya? Saat SiWon baru saja akan memutar tubuhnya, KiBum telah berdiri dibelakangnya dan memutar bahunya dengan kasar.

"KAU BENAR-BENAR BRENGSEK!" tangan kanan KiBum yang terkepal kuat langsung mengincar bagian pipi kiri namja itu. SiWon yang tidak menduga pukulan itu sontak termundur beberapa langkah ke belakang hingga akhirnya terjatuh—karena kerasnya pukulan KiBum. Kacamata yang dikenakannya juga ikut terjatuh dan pecah di salah satu bagian lensanya.

Dengan napas terengah-engah, KiBum berusaha menghirup oksigen disekitarnya. Sepertinya seluruh oksigen yang ada di dalam paru-parunya terserap karena pukulan itu. Sepasang matanya tidak menoleh sedikitpun dari SiWon—yang jatuh terduduk di dekatnya. Sementara SiWon, tampak memegang bekas pukulan KiBum sambil meringis kesakitan. Baru kali ini ada seseorang yang memukulnya seperti ini. Beruntung area bandara mulai sepi hingga keduanya tidak jadi tontonan.

"Jangan mentang-mentang kau dari keluarga chaebol yang bergelimpangan harta jadi bisa seenaknya menyelesaikan semuanya dengan uang! Apa kau tahu seberapa pentingnya bendaku yang kau buang di tempat sampah itu? Bagaimana kalau misalnya benda pentingmu juga dibuang ke tempat sampah? Apa kau tidak akan marah, huh?" Dalam satu tarikan napas KiBum mengeluarkan seluruh kemarahannya. SiWon yang bisa membaca situasi berusaha untuk tidak terpancing dan memilih diam menatap sosok yang berdiri dihadapannya.

Setelah menarik napas panjang, KiBum berbalik dan berhenti di tempat sampah tadi. Membungkuk untuk mengambil iPod nano-nya yang dibuang oleh SiWon di tempat itu. Lalu tanpa menoleh lagi, KiBum berlalu pergi dengan ekspresi yang menunjukkan ia masih marah. Meninggalkan SiWon yang terus menatap punggungnya hingga menghilang dari pandangan.

Tbc

Review ne kalo mau aq lnjt