Aku menarik napasku berat. Sebentar lagi, tangan-tangan besar nan kasar ini tidak akan lagi bisa kugenggam. Untuk selamanya.

Kulirik pemuda yang tidak kunjung bersuara di depanku. Rasanya banyak sekali pertanyaan yang ingin kuajukan padanya, tentang mengapa hubungan yang kuharap bisa berjalan baik ini bisa kandas begitu saja, tentang mengapa dia tidak mau menerima sedikitpun rasa cintaku yang tidak bisa lagi dibendung terhadapnya. Namun aku mengurungkan semua pertanyaanku demi tangis yang kutahan. Kami masih berada di muka publik, ia akan kerepotan bila aku menangis nantinya.

Ia tidak membalas genggaman tanganku yang bergetar, tidak juga melepaskan tangannya. Jemari-jemari panjang itu hanya membatu seolah menunggu untuk dilepas, namun untuk saat ini aku belum bisa melepasnya. Hari kemarin pemuda ini masih milikku; masih ada dalam jangkauanku, masih bisa kugenggam dalam tanganku, masih bisa kurengkuh dalam kecilnya pelukanku.

Ia berkata, semua telah selesai. Semua; kisah kami, hubungan kami, komitmen kami, rencana kami, janji-janji kami, dan cinta kami –atau cintanya. Mati-matian aku tidak berteriak dan memaksa ia untuk mengatakan alasan kuat dibalik perpisahan sepihak ini; aku hanya menerima dengan napas yang dihembus perlahan, ditarik dengan berat, dan bahu yang bergetar hebat.

Wajah tan nya terlihat pilu. Ingin sekali kutarik kepala pirang mirip durian itu kedalam pelukanku, mengatakan bahwa kami akan tetap baik-baik saja dan terus bersama. Tapi aku tidak bisa melakukannya, karena ia sudah menjaga jarak sebelum aku menyadarinya.

Pemuda pirang yang kucintai itu berusaha untuk terlihat tenang meskipun matanya melirik gelisah pada orang-orang sekitar. Aku tidak mengerti. Rasanya ingin lari saja. Aku tidak ingin hari sialan ini datang. Lebih baik aku kembali ke hari kemarin, kemarin, atau beribu kemarin ketika kami belum bertemu. Rasanya sangat sakit. Aku mencintainya, astaga. Sangat.

Dia mengalami depresi yang berat. Aku mengerti. Sangat mengerti. Tapi depresinya untuk memisahkan kami, tidak bisa kumengerti. Aku tidak ingin mengerti.

Sekali lagi kutarik napasku berat, mengucek mataku yang terasa sangat pedas dan panas. Bisa kurasakan dia menatapku dengan alis berkerut keras, namun kuabaikan karena bulir-bulir air terus berjatuhan dari mata. Aku terlalu sibuk menyeka.

"Hinata."

Sampai kapan suara berat itu akan memanggil namaku?

Dalam hati aku mendramatisir tiap pedih yang terasa. Merasa cukup kering, kusingkirkan lenganku dari wajah. Kuberikan ia senyum terbagus yang kupunya, tidak bisa membiarkan pemuda itu kian jatuh dalam depresinya.

"Aku mengerti, Naruto."

Aku tidak ingin mengerti.

"Tetaplah hidup."

Tetaplah hidup, hingga kita akan bertemu di suatu hari yang lain.

"Aku menyayangimu, sangat."

Rasanya seperti ingin mati.

"Sayonara, anata."

.

.

.

.

[ Untuk mu. Tetaplah hidup. Aku menyayangimu. ]

Hinata telah gagal.

.

.

.

.

.

.

Naruto (c) Masashi Kishimoto