Annie Leonhardt bukanlah gadis yang suka ditaklukkan secara fisik—ia berkelahi dan tinju-tinju dari tangan kanannya selalu mendarat di titik vital kemudian menyebabkan ambruk dari lawannya—tapi Annie juga tidak suka ditaklukkan... dari hatinya.

Jujur saja, sampai sekarang usianya tujuh belas tahun, ia tak pernah 'jatuh cinta'. Ia pikir ia terlalu angkuh untuk cinta.

Mungkin perasaan suka pernah terselip di antara jendela hatinya ketika mata biru itu bertemu paras tinggi seorang Bertholdt, tapi tidak, ia tidak mencintainya, hanya suka berseliweran dari sana.

Annie tidak pernah berpikir soal cinta, entahlah, apa itu harus?

#

disclaimer: snk © hajime isayama
warning: fantasies, delusions, fluffies, future!AU, pirate!Armin, COMPLETE OOC sigh i swera to god
catatan: yea aruani! this is gonna be chaptered so i guess it'll take a pretty long break for the updates ye sorry guys you see im lacking of feels rn and ugh i think im gonna vomit because of my own diction anyway can you see me crying because of the chapter 51

#

Hujan menuntun Annie untuk berteduh di bawah sebuah toko yang sudah tutup dan membuat gadis itu menjumpai lelaki dengan pakaian bajak laut tengah tergeletak tenang di lantai, lelaki itu tak bergerak dan matanya terpejam—persis orang mati, begitu pikir Annie.

Setelah sejenak memperhatikan si pria-bajak-laut, konklusi membawa Annie pada pertanyaan bagaimana kalau ia benar-benar mati? Yang sebenarnya tidak terlalu dipusingkan oleh si gadis berambut pirang—karena, sungguh, ia hanya ingin cepat pulang dari sekolahnya, makan sup panas, lalu tidur.

Tapi...

Jarang-jarang Annie berempati pada seseorang, biasanya ia hanya merendahkan kelopak mata dan mengabaikan apapun di depannya, tapi sekarang... oke, si bajak laut ini wajahnya manis, rambut pirangnya cukup panjang dan kulitnya seputih porselen—seolah begitu mudah rusak.

Apa itu yang membuat Annie tertarik padanya?

"Hei," Annie memanggil.

Tidak ada jawaban, hanya suara tetesan air menabrak aspal yang menyahut.

"Kau," Annie kembali mencoba, suaranya kini sedikit lebih keras, "kau akan sakit jika kau tidur di sini."

Masih sama.

Annie berjongkok, menaruh lebih banyak perhatian pada lelaki yang sepertinya baru saja dari pesta kostum dan mabuk di jalanan—tapi, kenapa banyak lebam di pipinya? Apa ia dirampok? Apa ia dihajar preman-preman karena mabuk di jalan?

"Bangunlah, kau tampak menyedihkan." Annie mengelus wajah putih itu dengan jari telunjuk kirinya, pandangannya masih sama, tapi alis Annie tampak turun—menandakan ia mulai rileks dengan situasi yang ada.

Gumaman kecil perlahan keluar dari tenggorokan pria itu, dia masih hidup, bagus.

Annie menjentikkan jarinya ke pipi lelaki itu, menyadarkannya, "Bangun, bangun, dasar cowok menyedihkan."

Annie masih menjentikkan jarinya ketika perlahan kelopak mata itu terangkat, mata biru Annie menemukan keindahan biru muda yang berpadu dengan kulit putih si pria, mata itu berwarna biru, namun sedikit lebih gelap dibanding warna mata Annie—warna safir mengisi iris lelaki itu.

Cukup lama Annie memandangi lelaki itu hingga si bajak laut yang akhirnya seratus persen sadar itu menggerakkan bibirnya, membentuk kurva terangkat ke atas—ia tersenyum.

"Halo." Ia berujar di antara lebam pada kedua pipinya.