Levi Ackerman tahu tempat yang aman baginya untuk bersembunyi.

Melirik ke belakang, mendapati belasan Polisi Militer mengejarnya menggunakan 3D Manuver Gear terbaru dengan senapan di masing-masing tangan. Lebih canggih dari yang Pasukan Pengintai miliki. Namun masih memiliki kelemahan.

Menarik pelatuk, Levi mengubah arah 3D Manuver Gear-nya dengan melakukan tikungan tajam. Kabel baja pun keluar. Tertancap pada dinding beton rumah bangsawan 4 lantai. Tubuhnya terdorong ke depan oleh gas kencang yang keluar serta tarikan dari kabel 3D Manuver Gear miliknya.

Menarik napas sejenak, Levi berpegangan pada tiang tinggi yang tertancap. Mengambil dua buah pedang metal, ia menunggu lawannya mendekat. Dari jarak 10 meter, Levi bermanuver tajam. Mengarahkan pedangnya pada lawan dan merobek kulit perut 2 dari 7 orang yang datang. Pria itu kembali meluncur. Menusuk dada orang di belakangnya.

Ketika kedua pedangnya patah, Levi kembali mengambil 2 bilah cadangan terakhir. Ia berayun, melompat tinggi ke udara. Dari sudut matanya, ia bisa melihat belasan Polisi Militer yang akan menyergapnya dari segala arah. Levi terkepung, tak ada celah untuk kabur. Ia berpikir keras.

Levi turun ke bumi. Menghalau tembakan lawan dengan pedangnya sambil menggertakkan gigi. Ia berbalik, tak menyadari 2 peluru yang datang padanya dari sudut titik buta. Levi menunduk, menghindar. Peluru meleset sejengkal dari kepala. Namun satu buah berhasil menancap pada bahu. Pun lengan kiri yang tercabik ketika ia lengah memegangi bahunya.

Menggeram sebentar, Levi berhasil menjauh saat lawan sibuk mengisi ulang peluru. Ia kembali terbang tinggi. Berayun sepanjang rumah hingga mencapai pusat kota. Kemeja abu yang ia pakai mulai berubah menjadi merah tua. Darah dari bahunya menetes-netes ke bumi. Levi mulai bernapas berat.

Dirasa cukup jauh dengan lawan, Levi turun lalu lari secepat angin. Tubuhnya ia bawa melewati celah di antara dua rumah sempit berbau pesing. Pria itu mendecih, mengutuk siapa pun yang telah kencing sembarangan di sana. Levi jatuh terduduk di kubangan air kecil. Merobek paksa lapisan serat kain sekitar bahu. Dari kantong celana, ia mengambil sebuah sapu tangan yang langsung ditempelkan pada bagian tubuh yang terluka. Menekannya untuk mencegah pendarahan.

Levi melirik tabung gas 3D Manuver Gear. Berharap gas yang ia punya cukup banyak hingga bisa mencapai tujuan. Atau paling tidak tempat yang aman baginya bersembunyi. Diketuknya beberapa kali tabung tersebut untuk mengetes berapa banyak sisa gas saat itu.

Wajahnya menjadi semakin datar. Namun tekanan pada sapu tangan menguat.

Hanya tersisa sedikit. Ia membatin.

Levi menyandarkan tubuhnya pada dinding. Kepalanya mengadah dengan kelopak mata yang beberapa kali tertutup lelah. Dari kejauhan, kupingnya menangkap suara 3D Manuver Gear mendekat. Ia tak bersikap panik atau pun buru-buru pergi dari tempat itu.

Apa aku harus berlari hingga sampai di sana?

Baginya, berlari bukanlah hal yang sulit. Namun dengan keadaannya yang terluka juga menjadi incaran para Polisi Militer menjadikan opsi tersebut adalah pilihan yang buruk. Ia bisa saja mati karenanya.

Levi tak ingat seberapa jauh lagi jarak tujuannya. Kenangan masa lalu telah lama ia lupakan bersama potongan kecil kebahagiaan yang pernah dirasakannya. Pria itu bahkan lupa, kapan terakhir kali ia tertawa. Saat bersama Ibunya kah? Atau bersama sahabatnya? Ia tak pernah bisa mengingatnya.

Di atas sana, Levi melihat 3 anggota polisi terbang melewatinya. Mereka tak menyadari kehadiran pria yang sedang mengamati dari bawah.

Dengan sisa tenaga yang ia punya, Levi menegakkan diri sambil berpegangan pada apapun yang ada. Setelah dirasa aman, ia berjalan mengendap-endap. Keluar dari sana, Levi bersembunyi di kerumunan kota.

Levi mencoba berjalan santai, walau ngilu di bahunya masih terasa. Ia berharap warga lain tak menyadari kehadirannya. Atau mungkin merasa tak peduli sekali pun pria ber-3D Manuver Gear bersimbah darah berjalan di antara mereka.

Hingga dari arah jam 3 terdengar seorang pria berteriak sambil menunjuknya, "Itu Levi anggota Pasukan Pengintai! Polisi Militer, cepat tangkap dia!"

Levi menatap kesal. Menyumpahi semua kata kasar yang ada dalam kamusnya. Dari pakaian orang itu seharusnya ia tahu dan lebih berhati-hati.

"Pemuja dinding sialan!" bisiknya.

Demi menghemat sisa gas yang dimilikinya, pria itu lari secepat mungkin. Levi mengambil senapan dari balik jaket, lalu menembakkannya ke arah Polisi Militer yang sedang mencari di mana ia berada. Tiga Polisi Militer tumbang sekaligus. Lawannya yang lain mencari sumber suara tembakan berasal. Saat berhasil menemukan, Levi telah berlari jauh dari jangkauan. Tak mau kalah, empat Polisi yang belum tumbang langsung mengejar.

Mereka mengarahkan lubang peluru padanya. Levi menengok singkat, tetap berlari lurus. Penduduk menjerit lalu terbirit-birit saat Polisi Militer mulai menembaki dari atas. Sebisa mungkin mereka menghindar dan bersembunyi walau sebenarnya tahu siapa yang akan menjadi sasaran tembak.

Jeritan nyaring menghentikan langkahnya. Levi menatap seorang anak perempuan berusia—mungkin—delapan tahunan sedang menangis ketakutan saat aksi tembak-menembak terjadi di atasnya. Dari pakaian juga rambutnya yang pirang, Levi bisa menebak jika anak itu seorang bangsawan. Ia tak berlari menjauh. Atau menghindar saat satu buah peluru akan mengenainya.

"Siapa pun tolong anakku!" orang yang diyakini adalah Ibu dari anak tersebut berteriak histeris.

Merasa tak tega, Levi memutar arah. Berlari mendekati anak tersebut. Tanpa menunggu jawaban, ia gendong Si Rambut Pirang, membawanya ke tempat aman.

"Awas!" wanita tadi kembali berteriak.

Levi melirik ke belakang. Membulatkan mata saat Polisi Militer mulai menembak. Secepat mungkin Levi menarik pelatuk. 3D Manuver Gear membawanya naik. Sia-sia. Ia berbalik, melindungi anak itu dengan punggung kokoh. Dua peluru berhasil mengenainya. Lengan juga kaki sebelah kanan. Ia merintih tertahan.

Goyah, Levi terjatuh. Ia mendekap anak itu semakin erat. Mereka berguling ketika mencapai tanah. Lagi, Levi merelakan tubuhnya remuk untuk melindungi Si Rambut Pirang. Anak itu menatap horor dan kembali menangis. Gemetar luar biasa dalam pelukan Prajurit Terkuat.

Levi kembali berdiri. Tertatih saat memberikan anak itu pada ibunya.

Bukannya ucapan terima kasih, namun tatapan marah sekaligus caci maki yang ia dapat. "Kembalikan anakku! Kalian Pasukan Pengintai tidak tahu diri!"

Ia mafhum. Sudah terbiasa dengan makian penduduk. Mengabaikan, Levi kembali terbang menjauh. Baru beberapa meter ia pergi gas dalam 3D Manuver Gear-nya habis. Tak ada cara lain, Levi membiarkan dirinya jatuh membentur tanah dengan keras.

Satu buah tembakan kembali menyerang tubuhnya. Ia tak menghindar.

Tubuhnya telah dipenuhi darah kental. Levi merangkak menuju dinding terdekat lalu duduk di atas kayu lapuk.

Menjelang kematian, Levi merasa waktu berjalan lambat. Matanya kian menutup. Kupingnya berdenging dan tak dapat mendengar apapun. Ia terbatuk, bersamaan dengan darah yang keluar dari mulutnya.

Ia tak menyesal jika harus mati di sana. Lagipula rekan sesama prajurit tak mungkin menolongnya. Setelah Pasukan Pengintai dibubar paksa karena dianggap tak berguna, para prajurit hidup berpencar. Mereka secara otomatis menjadi buronan yang harus ditangkap hidup atau mati. Sebagian besar mengikuti Hanji untuk kabur ke daerah Selatan. Levi menolak bergabung. Bertekad untuk memilih jalannya sendiri.

Erwin Smith secara berani menyerahkan dirinya kepada Polisi Militer karena merasa harus bertanggung jawab. Levi menyaksikan detik-detik kepala Si Alis Tebal terpenggal di tengah kota. Ia meninggal dengan terhormat.

Eren, Bocah Raksasa, ditahan dan menjadi milik kerajaan. Tubuhnya diteliti setiap hari. Tangan dan kaki dipotong, perutnya disobek, tak diberi makan juga minum berhari-hari, tubuhnya banyak dimasuki benda asing, disuntik banyak cairan berbahaya.

Namun ia tetap hidup. Layaknya raksasa, luka yang ia dapat berangsul pulih dengan cepat.

Mikasa Ackerman ditahan di penjara bawah tanah karena dianggap berbahaya. Ia tak diberitahu sedikit pun informasi tentang keadaan Eren.

Sedangkan Armin ditangkap oleh Polisi Militer. Mereka memeras otaknya untuk mengungkapkan rahasia raksasa, apa saja yang ia ketahui tentang dunia luar juga berbagai macam strategi berperang.

Levi membuka mata perlahan. Mengintip Empat Polisi yang terlihat menjulang di hadapannya. Menahan sakit, ia mengigit bibir bawah kuat-kuat. Kondisinya memprihatinkan; lengan kanan, kaki kanan, bahu, betis kiri terkena tembak, juga lengan kiri yang sobek oleh gesekan pisau. Tak menutup kemungkinan beberapa tulangnya retak atau mungkin patah karena sempat terjatuh dari ketinggian.

"Kau tidak bisa kabur lagi," suara tawa, "tubuhmu sudah seperti ini. Untuk apa kami susah payah memenggal kepalamu nanti? Dibiarkan juga akan mati dengan sendirinya."

"Bedebah," Levi bersuara pelan.

Orang yang lainnya menyaut, "Ho, sudah mau mati masih saja berkata seperti itu." Satu tendangan mendarat pada tulang pipi kirinya. "Di mana sopan santunmu kepada atasan, huh?!"

Levi menggeram pelan. Pipinya membiru seketika. Suhu tubuh menurun, detakan jantungnya melambat. Ia berdelusi melihat setitik cahaya terang.

"Sudah cukup. Akan merepotkan jika kita membawanya dalam keadaan hidup." Pistol yang sedari tadi digenggamnya ia arahkan tepat pada jantung Levi. "Lebih baik kita eksekusi dia di sini."

Levi pasrah. Pandangannya memburam. Sakit ditubuhnya sudah tak dapat lagi ia rasa. Detik-detik hukuman mati dimulai, mereka yang di sana dapat mendengar suara retakan. Belum sempat mencari sumber suara, kayu yang menjadi alas Levi untuk duduk patah menjadi dua bagian. Ia terjatuh. Masuk ke dalam lubang yang dalam.

Di dalam sana, tubuhnya membentur belasan kardus yang tersusun rapih. Levi mencoba membuka mata dan mencerna apa yang baru saja terjadi.

Menatap ke atas, mendapati langit tinggi berlapis tanah kotor. Ia mengedarkan pandangannya. Terdapat permukiman kumuh, debu menempel di mana-mana, juga minim cahaya.

Ah, ia mengerti sekarang. Levi telah sampai pada tempat tujuannya.

Kota Bawah Tanah.

Terhuyung-huyung, Levi berjalan dengan tubuh bungkuk menahan rasa sakit. Ia menyusuri perumahan. Tak peduli dengan jejak kaki berdarah yang ditinggalkannya.

"Seingatku, ada di sekitar sini..." gumamnya.

Ia menyusuri berbagai gang sempit dengan preman penjaga di setiap sudutnya. Mereka tak berniat menyerang, apalagi menolong. Hanya memerhatikan pria itu berjalan sebelum akhirnya tumbang pada terowongan kecil.

Melirik ke kanan, Levi tahu tempat itu. Sebuah tangga yang pernah ia pakai untuk bersantai dengan teman sesama preman. Menengok ke kiri, kedua matanya membulat. Levi memaksakan diri untuk bangkit dan kembali berjalan secepat yang ia bisa. Dalam hati, ia tak menyangka bisa sampai di sana.

Levi telah pulang.

Rumah yang telah lama ia tinggalkan. Setelah bertahun-tahun pergi, kini ia kembali seorang diri. Tak bersama kedua sahabat, atau teman seperjuangan yang dipercayanya selama menjadi prajurit. Ia hanya pulang membawa harapan yang telah pupus.

Gagang pintu yang telah berkarat membuatnya berpikir berapa banyak debu di dalam sana. Memaksa masuk, Levi membuka pintu dengan sedikit mendobrak yang ternyata tak terkunci. Ia akan sangat heran jika barang miliknya masih utuh setelah bertahun-tahun ditinggal dalam keadaan tak dikunci.

Levi masuk ke dalam. Langsung ambruk di lantai dengan darah yang keluar semakin banyak. Kupingnya kembali menangkap suara nyaring.

Jeritan seorang wanita.

"Siapa kau?!"