Authors Note:

Berhubung Yuuri dan Yuri punya nama yang mirip, maka untuk ff ini, saya akan menggunakan Yura, untuk nama panggilan Yuri Plisetsky.

Disclaimer : Yuri on Ice not mine

Rage by Cyancosmic

Warning: AU, Fem!Yuuri, Fem!Yurio, OOC, 1st pov

.

.

.

Enjoy!

Yura : Arrival

5 years ago:

"Yura!"

Aku mengangkat selimut yang menutupi kepalaku untuk melihat si gadis gemuk dengan pipi tembam yang mengenakan kacamata. Ia menggerakkan kepalanya ke kanan, kiri, memastikan bahwa tidak ada yang melihat kedatangannya sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Di tengah kegelapan ruang kamarku, gadis keturunan Asia itu mengendap perlahan mendekat pada ranjang.

Melihat sikapnya, mau tidak mau aku pun menyingkapkan selimut yang selama ini menutupi kepalaku. Dengan menunjukkan ekspresi mengantuk, aku berkata, "Untuk apa kau ke sini, Yuuri? Sekarang sudah lewat jam tidur yang ditentukan Yakov, tahu?"

"Sst!" Ia menempelkan telunjuknya di bibir, mengamati kawan-kawan lain yang sekamar denganku, memastikan bahwa gadis-gadis lain tidak ikut terbangun. Begitu Yuuri merasa bahwa mereka masih terlelap dalam mimpi, ia pun menatapku dan berkata, "Ikut aku sebentar, Yura! Ada yang mau kutunjukkan padamu."

"Apa yang mau kau tunjukkan?" Aku berkata dengan nada jengkel melihat sikapnya di saat kantuk begitu kuat memengaruhiku. "Ini sudah larut malam. Yakov pasti akan menghukummu kalau ia melihatmu keluar dari kamar di jam selarut ini."

Yakov, pria tua galak yang kusebut-sebut daritadi adalah pria yang menguasai panti asuhan tempatku dan Yuuri dibesarkan. Seperti yang sudah kukatakan, ia sangat galak, juga disiplin terhadap anak-anak di panti asuhan. Ia membuat banyak aturan dan juga hukuman bagi siapa pun yang melanggarnya. Kebanyakan hukumannya tidak menyakitkan, tapi cukup menyebalkan dan menurunkan harga diriku, maksudku, siapa yang suka mengenakan bando bertelinga kucing di saat makan bersama, atau mengangkat satu kaki dan berdiri di koridor di ruang belajar?

"Aku tahu, Yura," Yuuri pun menjawab, "Tapi kau akan kesal kalau melewatkan ini. Bukankah kau pernah bilang bahwa kau tidak ingin melewatkan tayangan tentang Victor?"

Pupil di mataku langsung melebar, kantukku pun lenyap begitu mendengar nama itu disebut. Victor, Victor Nikiforov, pewaris dari perusahaan raksasa Nikiforov yang bergerak di bidang finansial, merupakan pemuda tampan yang pernah kulihat di muka bumi. Melihat sosoknya, rasanya aku bisa membayangkan sebuah tempat yang cocok untuk pemuda sepertinya. Sebuah tempat yang damai laksana surga dipenuhi dengan orang-orang seperti dirinya yang tengah memegang harpa. Malaikat elok, rupawan dan baik hati, itulah sosok Victor di mataku.

"Ada tayangan tentang Victor?"

Yuuri mengangguk bersemangat mendengar antusiasme dalam nada suaraku. "Tayangan ulang. Dia diwawancara saat sedang mengunjungi panti asuhan di kota sebelah. Gosipnya, perusahaannya memang menjadi donatur khusus untuk panti asuhan tersebut."

Tak menunggu lama, aku pun merangkak keluar dari ranjang. Menyampirkan selimut di bahuku, aku pun bergegas menuju pintu. Sedikit tidak sabaran, aku menoleh ke arah Yuuri yang masih tertinggal di belakang. Lalu aku berkata padanya, "Cepat, Butadon! Kau tidak mau terlambat 'kan?"

Gadis yang lebih tua delapan tahun dariku itu mengerjap-ngerjapkan mata, melihatku sudah berdiri di depan pintu, dengan berlari di tempat, seperti anak perempuan yang tak tahan ingin buang air. Ia pun memamerkan senyum manis yang menjadi andalannya, sebelum akhirnya ia membuka pintu kamarku dan berjalan mengikutiku.

Berbeda denganku, dengan menyampirkan selimut di bahuku, aku berlari melintasi koridor yang menghubungkan kamar anak-anak dengan ruang audio visual yang ada di lantai satu. Berkat langkahku yang cepat, aku pun tiba di tangga dan mengendap-ngendap saat menuruninya. Di belakangku, Yuuri yang tak cekatan mengikutiku dan berjinjit bersamaku saat kami melewati koridor menuju ke ruang audio visual. Kami bergerak dengan hati-hati di ruangan ini, berhubung ruang audio visual berada dekat dengan kamar Yakov. Kami tidak ingin membangunkan macan yang sedang tidur.

"Yura…"

"Sst!" Aku merayap di dinding, menajamkan pendengaran di koridor yang gelap gulita itu. "Diam sedikit, Yuuri! Yakov itu bertelinga setan. Kalau kau bersuara, aku yakin ia akan mendengarmu."

"Tapi Yura…"

Aku mengabaikan ucapan Yuuri dan segera beringsut menuju ke ruang audio visual yang pintunya tak terkunci. Aku mengulurkan tangan, memutar gagang pintu dan menahan napas ketika mendengar pintu berdecit. Begitu tidak kudengar suara-suara yang mengindikasikan kehadiran Yakov, aku pun bergerak memasuki ruangan gelap itu dan menutup pintunya bersama Yuuri.

"Aku mendengar suara orang bicara," ucap Yuuri saat aku tengah menekan tombol power untuk menyalakan televisi, tanpa menyalakan lampu di ruangan tersebut. "Di ruangan Yakov."

Seperti biasa, aku tak pernah benar-benar mendengarkan Yuuri. Ucapannya hanya membuatku memberikan ekspresi sinis seperti biasa dan berkata, "Kau pasti salah dengar. Sekarang sudah pukul dua belas malam, Yakov pasti sudah tidur."

"Benarkah?" Yuuri terdengar ragu dan menoleh ke pintu. "Tapi sepertinya ia tengah berbicara dengan seseorang. Entah siapa."

"Karyawan lain mungkin?" Aku mencoba mengusulkan, walaupun sulit sekali membayangkan ada orang yang mau berbicara dengan Yakov di malam selarut ini. "Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Sekarang katakan padaku, di channel mana acara yang menayangkan Victor?"

"Channel 12," jawab Yuuri menjawab pertanyaanku.

Dengan segera, tanganku menekan remote TV, memindahkan channel menuju ke channel dua belas seperti yang dikatakan Yuuri. Menerima sinyal dari remote, layar televisi pun berpindah dan menampilkan gambar yang memang ingin kulihat. Sosok pemuda rupawan yang sejak tadi kusebut-sebut yang berada dalam sorotan kamera.

"Victor!" Aku mengucapkannya sembari mendekat pada layar televisi, seolah melakukannya mampu membuatku lebih dekat dengan idolaku itu. "Lihat, Yuuri! Dia menggendong anak kecil berambut hitam yang terserang penyakit kulit itu. Dia berani dan baik sekali, 'kan?"

Yuuri hanya tersenyum untuk menanggapi. "Iya, aku tahu. Yura sudah mengatakan padaku berulang kali bahwa Victor sangat baik."

"Memang baik!"Aku menegaskan ucapanku. "Kau tahu, Yuuri, dia pernah menyelamatkanku sekali. Di bukit belakang sana, waktu aku tersesat, Victor yang menemukanku. Victor Nikiforov pernah datang ke tempat ini, Yuuri!"

"Iya, kau sudah menceritakannya padaku ribuan kali," jawab Yuuri sembari tersenyum dengan sabar. "Sayang sekali, waktu itu aku sedang pergi sehingga tidak bisa melihat Victor langsung."

"Kau harusnya melihatnya!"Aku kembali berkata dengan penuh semangat. "Kau tahu, Victor sendiri yang mencariku waktu itu dan mengulurkan tangannya untuk mengambilku yang saat itu kotor dan penuh debu. Padahal ia memakai jas dan berpakaian rapi waktu itu, tapi ia tidak peduli."

"Iya, iya," Yuuri mengucapkannya lagi. "Victor memang pemuda yang baik."

"Memang baik!" Aku menyetujui ucapannya. "Victor!"

"Dan Yura tergila-gila padanya," ucap Yuuri melihat tingkahku di depan televisi saat melihat Victor. "Kau memang gadis kecil, Yura."

Pipiku menggembung mendengar komentar Yuuri. Memang usiaku baru sepuluh tahun, tapi bukan berarti aku masih gadis kecil seperti yang Yuuri katakan. "Aku seorang gadis dewasa."

"Gadis dewasa," Yuuri mengangguk, enggan membantah. Begitulah Yuuri, selalu tersenyum dan tidak pernah marah pada siapa pun, termasuk aku. Yuuri juga baik, sangat baik, walaupun terkadang kebaikannya lebih sering membuatku kesal dibanding senang. "Gadis dewasa yang sangat mengagumi Victor."

"Victor memang pantas dikagumi!" Aku menjawab dengan keras kepala. "Dia idolaku."

Yuuri mengangguk lagi. "Idola dan juga pangeran impianmu, ya, Yura?"

Kali ini giliranku mengangguk. Lalu aku berkata, "Kalau aku sudah besar nanti, aku akan menikah dengan pria seperti Victor. Pria yang baik dan tampan."

Yuuri bertepuk tangan melihatku berdiri sembari mengepalkan kedua tanganku dengan penuh semangat. Lalu ia mengulurkan tangannya dan menyentuh kepalaku, "Semoga impian Yura jadi kenyataan."

"Pasti jadi kenyataan," ucapku tanpa sekalipun mengalihkan manik sehijau zamrud milikku dari layar televisi. "Aku ini cukup gigih!"

"Nah, kalau itu aku tahu benar," jawab Yuuri sambil mengusap rambutku. "Tetaplah jadi Yura yang seperti ini, ya, Yura?"

Aku mengerjapkan mata dan menoleh menatap ke arah Yuuri. Gara-gara ucapannya, aku sampai mengalihkan pandanganku dari Victor dan memandangnya, menembus manik cokelat yang terarah padaku. "Yuuri?"

Ketika aku mengerutkan dahi untuk bertanya, aku mendengar suara keras yang berasal dari ruangan di sebelahku. Bunyinya seperti suara petasan, namun lebih keras dan lebih menakutkan dibanding bunyi petasan dan kembang api yang biasanya kami mainkan. Mendengarnya, aku pun menutup telinga dan kepalaku menggunakan selimut yang kubawa.

"Yuuri," ucapku ketika melihat Yuuri memelukku erat dengan raut wajah khawatir, "siapa yang bermain kembang api pada jam segini?"

Gadis berwajah Asia yang memelukku itu mengerutkan dahinya. Ekspresinya membuatku tidak nyaman, terlebih ketika aku mendengar dua bunyi susulan dari suara kembang api tersebut. "Aku tidak tahu, Yura," katanya sembari mengeratkan pegangannya padaku, "tapi kurasa, ini bukan kembang api."

"Lalu apa?" Aku bertanya dengan bingung. Tak memikirkan kemungkinan lain selain kembang api. "Kalau bukan kembang api, bunyi apa ini?"

"Aku…tidak tahu," Yuuri menjawab dengan ragu. Namun tiba-tiba saja ia melepaskan pelukannya dan mematikan televisi, membuat kami berada di dalam keheningan dan kegelapan. Begitu ia selesai melakukannya, ia menarikku mendekat ke dinding dan kembali memelukku.

"Yuuri," ucapku begitu melihat gadis itu menunjukkan raut wajah yang tak biasanya. "Ada a…"

Mulutku ditutup dengan tangan Yuuri secara tiba-tiba. Aku hendak protes dan menyingkirkan tangannya, namun bayangan seseorang yang kulihat di jendela membuatku tidak jadi melakukannya. Aku hanya bisa terdiam dengan tangan mencengkeram kaus Yuuri erat-erat. Aku takut.

Siapa itu? Tidak ada karyawan laki-laki di panti asuhan kami. Kebanyakan karyawan di panti asuhan hanya ada perempuan, kalau pun ada laki-laki, hanya ada anak-anak panti yang baru berusia sepuluh tahun atau lebih sedikit. Tidak ada yang setinggi dan sebesar orang yang baru saja menunjukkan sosoknya di depan ruang audio visual.

Begitu orang itu berlalu dan suasana kembali hening, Yuuri pun melepaskan pelukannya padaku. Dengan waspada, gadis Asia itu mendekat pada pintu dan menggenggam tanganku. Ia memutar gagang pintu, memastikan bahwa tidak ada orang yang lewat, sebelum akhirnya ia mengendap-endap keluar dari ruangan dengan aku yang mengikutinya kali ini.

"Yuu…"

Yuuri menempelkan jemarinya lagi di bibir, memintaku untuk tak bersuara. Mematuhinya, aku pun mengatupkan kembali mulutku dan berjalan mengikuti tuntunannya. Bersama-sama, kami menyusuri koridor dan menuju ke ruangan yang berada di ujung dari ruangan tersebut.

"Itu ruangan Yakov," bisikku saat menyadari ke mana kami melangkah. "Kau mau apa, Yuuri? Aku tidak mau menerima hukuman karena ketahuan berkeliaran di larut malam."

Kali ini Yuuri tak menjawab. Mengabaikan ocehanku, Yuuri menarikku menuju ke ruangan yang masih terang benderang sekalipun malam sudah larut. Gadis yang lebih tua dariku itu berjongkok di bawah jendela ruangan dan mengendap-ngendap menuju ke pintu. Begitu melihat pintu yang tak tertutup sepenuhnya itu, Yuuri pun membawaku mendekat.

Tidak ada suara seperti sebelumnya. Ruangan itu hening, sangat hening. Hal ini membuat Yuuri menggerakkan kepala, berusaha mengintip dari celah pintu. Ia bergerak-gerak, berusaha mendapatkan gambaran yang pas dan akhirnya berhenti. Selama beberapa saat, Yuuri hanya mematung sehingga akhirnya aku menggerakkan tangannya.

"Yuuri?" Aku berkata sembari memanggil namanya. "Yuuri?"

Gadis yang lebih tua dariku itu tak menjawab. Ia hanya menatap celah di pintu dan terdiam di sana. Melihatnya, aku pun menjadi tidak sabar sehingga aku mengguncang-guncang tangannya dan mulai memanggil namanya yang lain. "Butadon? Gendut? Yuuri? Yuuri?"

Masih tetap tak dijawab juga. Apa sebenarnya yang dilihat Yuuri hingga mengabaikan panggilanku. Merasa diabaikan, aku pun akhirnya mengambil sikap. Yuuri sangat fokus pada celah di pintu itu, tapi apa yang dilihatnya hingga tak mendengar panggilanku? Apa ada sesuatu di kamar Yakov? Kalau ada, aku ingin tahu apa itu.

Tanpa bisa dicegah Yuuri, aku menyelinap di antara gadis itu dan celah di pintu. Kudorong pintu itu sampai terbuka dan saat itu aku hanya bisa terdiam saat menyaksikan pemandangan yang ada di hadapan mataku. Yuuri mencoba menarikku tentu saja, ia mengulurkan tangan, tapi aku terlalu jauh darinya. Ia ingin menghampiriku, menutup mataku, namun aku sudah terlanjur melihatnya, aku terlanjur mengetahuinya.

"Ah…," ucap pemuda berambut abu yang mengenakan setelan jas yang sama dengan yang kulihat sebelumnya di televisi. Di tangannya, ia memegang sebuah handgun sementara satu tangannya yang lain dimasukkan ke saku celananya. Melihatku dan Yuuri di belakangku, ia hanya tersenyum, senyum rupawan yang awalnya kupikir merupakan senyum seorang malaikat. Lalu ia berkata, "Ada seorang peri kecil."

"Vic…tor?" Aku bertanya, aku masih bertanya. Ya Tuhan! Untuk apa lagi aku bertanya. Aku sudah tahu, aku tahu bahwa di hadapanku adalah Victor Nikiforov. Kenapa aku bertanya lagi untuk memastikan siapa dirinya?

Ia menganggukkan kepalanya mendengar namanya dikenali olehku. Sepatu pantofel yang dikenakannya berbunyi tuk tuk saat menghampiriku. Ia pun berjongkok di hadapanku, menaruh satu tangannya yang memegang handgun di atas kepalaku dan berkata, "Kenapa kau belum tidur, peri kecil?"

Aku tidak berani menjawab. Mulutku kaku dan tubuhku tidak bergerak. Apa ini? Apa mataku tidak salah lihat? Kenapa Victor ada di sini? Bukankah seharusnya ia ada di kota sebelah? Kenapa ia malah ada di panti asuhan ini? Kenapa ia malah ada di ruangan Yakov, dengan sang pemilik ruangan duduk membelalakan mata dengan kepala berlumuran darah dan sebuah lubang di dahi? Kenapa ia ada di sini?

"L-lepaskan dia!" Yuuri di belakangku, berkata dengan suara gemetar.

"Ah!" Pemuda berambut kelabu dengan iris biru itu menunjukkan senyumnya saat melihatku. Lalu ia berkata, "Masih ada seorang lagi."

"Lepaskan dia!" Yuuri mengulangi kata-katanya, kali ini lebih mantap. Ucapannya kali ini membuat Victor mengangkat tangannya dariku dan berjalan mendekat pada Yuuri. "A-a-a…"

"Kau lebih dewasa, kau pasti paham apa yang kau lihat," ujar Victor sambil mengarahkan handgun yang ia pegang pada Yuuri. "Seharusnya kalian berdua tetap tidur dan terlelap di balik selimut kalian."

Yuuri mundur, selangkah demi selangkah ketika melihat handgun yang diarahkan Victor padanya. Ia menatap handgun itu dengan waspada, sementara aku berbalik dan mengikuti keduanya. "Kenapa… kenapa kau membunuh Yakov?"

Pemuda berambut kelabu itu menggerakkan kepalanya sedikit, "Aku tidak punya kewajiban untuk menjelaskannya padamu."

"T-tapi…"

"Aku juga tidak punya alasan untuk beramah-tamah denganmu," ujar pemuda itu sembari tersenyum. "Mungkin di lain kesempatan, aku akan tergoda untuk menunjukkan sikap laki-laki yang baik padamu, tapi tidak pada kesempatan ini."

"Apa maksud…"

Yuuri tidak menyadarinya, tapi aku tahu apa yang akan dilakukan pemuda ini. Maka itu, begitu pemuda itu menarik pelatuk, aku segera berlari, meninggalkan tempatku, menyongsong keduanya. Aku menubruk Yuuri dengan segera dan langsung menjatuhkan gadis itu tepat sebelum peluru ditembakkan dan melubangi pintu, tempat kepalanya berada sebelumnya.

Gadis Asia yang kudorong itu jatuh terjerembab dan kaget, namun ia segera menguasai kekagetannya dan bangkit berdiri. Tanpa banyak bicara, ia langsung mendorong pintu dan menyeretku bersamanya. Bersama-sama, kami berdua berlari bagai orang kesetanan menuju ke pintu belakang, berpikir bahwa kami pasti akan mati bila berhenti.

Untungnya, saat itu tidak ada orang yang mengejar kami. Kami berdua berhasil keluar dari panti asuhan, berlari di hutan yang ada di belakang panti. Kami menoleh sejenak, untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang akan menangkap kami. Namun saat kami melakukannya, aku tahu bahwa itu kesalahan besar.

Hanya sekejap mata, setelah kami berlari ke luar, kobaran api menyala dan menghanguskan panti perlahan-lahan. Dari kejauhan, aku dan Yuuri hanya bisa ternganga. Kami ingin kembali, ingin menyelamatkan teman-teman kami yang masih berada di sana. Tapi, kedua kaki kami enggan untuk melakukan hal yang sudah kami ketahui dengan benar. Kami gemetar, kami tidak berdaya, kenyataan bahwa kami baru saja berhasil bertahan hidup membuat kami lebih takut daripada apa pun.

Kami takut, sangat ketakutan. Yuuri menangis sembari memelukku, sementara aku menatap kobaran api tanpa berkedip sekalipun. Aku menatapnya, mengingat semua rasa takutku, mengingat semua peristiwa yang terjadi dan menguncinya rapat-rapat di dalam memoriku. Sebagai ganti rasa takut, sesuatu berkobar di dalam diriku. Sesuatu yang belakangan kukenali sebagai amarah.

.

.

.

Present time, February 20xx

"Yuuri!" Aku mengangkat selimut yang masih menutupi gadis berambut hitam panjang yang bergelung di dalam selimutnya itu. "Yuuri! Bangun!"

Gadis yang kini telah berusia dua puluh tiga tahun itu tidak bergerak saat mendengar ataupun merasakan guncangan yang kuberikan di tangannya. Dengan damainya, gadis yang mengenakan piama berwarna biru bergaris itu melingkarkan kedua tangannya pada guling di dekatnya dan tidur dengan air liur menetes. Melihatnya, kejengkelanku pun segera bangkit dan aku pun menggerakkan kakiku, menendang gadis itu.

Kali ini upayaku membuahkan hasil. Yuuri, si gadis berwajah Asia yang kutendang, jatuh dari ranjang yang ia tempati ke atas karpet di lantai. Merasakan karpet yang tak begitu empuk, Yuuri pun akhirnya mengangkat tubuhnya dan menggosok-gosok mata, menatapku. Wajahnya menunjukkan ekspresi protes, yang langsung kutanggapi dengan perkataan sarkas.

"Kau tidur seperti babi!" Komentarku saat melihatnya mengacak-acak rambut sendiri. "Cepat bangun, Yuuri! Kalau tidak kau terlambat nanti. Kau bekerja di shift pagi hari ini."

"Ngh," Yuuri berkata sambil menurunkan tangan dari rambut hitamnya, "kata siapa?"

"Kata siapa? Kau masih ngantuk ya, Butadon?" Aku mengucapkannya keras-keras dan menggebrakkan telapak tanganku pada dinding kamar yang memajang jadwal kerjanya minggu ini. "Apa gunanya kau tempel jadwal kerjamu besar-besar di dinding kalau kau tidak melihatnya? Dasar!"

Yuuri menguap dan ia pun bangkit dari posisinya. Ia berjalan dengan mata terpejam dan memelukku lebih dulu. "Ohayou, Yurachka."

"Jangan memelukku! Kau bau, Yuuri!" Aku menggeser kepalanya dan menjauhkannya dariku. "Argh! Jangan menciumku!"

Gadis yang sudah kehilangan beberapa kilo bobotnya itu tertawa saat mendengar ucapanku. Mengikuti perkataanku, ia pun melepaskan pelukannya dan melangkah melewati kamarnya. Bersama-sama, kami pun melangkahkan kaki menuju ke meja makan, tempat sarapan sudah kuhidangkan. Melihatnya, Yuuri pun langsung menarik kursi dan duduk di sana sembari mengambil sumpit.

"Miso sup lagi?" Gadis itu menatap kecewa begitu melihat hanya ada sup miso dengan kol dan nasi yang kusediakan. "Yurachka…"

"Ini akhir bulan, Yuuri!" Aku menjawabnya sembari mengambil mangkuk nasi milikku juga sumpit. "Lagipula semua barang kebutuhan naik, sementara gajimu tidak naik. Kau seharusnya protes pada manajermu, tahu! Aku juga sudah muak makan kol dan miso setiap hari."

Lagi-lagi, Yuri hanya bisa menanggapi ucapanku sembari tersenyum. Dengan caranya sendiri, ia menenangkanku dan menyesap sup miso yang kubuatkan untuk kami. "Yah, setidaknya kita masih punya kaldu miso, daripada tidak sama sekali."

Aku menatapnya selama beberapa saat, sebelum akhirnya aku berkata, "Yuuri, apa menurutmu sebaiknya aku bekerja sambilan juga?"

Mulut Yuuri berhenti mengunyah saat aku mengatakannya. Ia menatapku selama beberapa saat, sebelum akhirnya menelan makanannya. Begitu isi mulutnya sudah kosong, barulah ia berkata, "Kita sudah membahas ini beberapa kali 'kan, Yura?"

"Tapi…"

"Apa kau membutuhkan sesuatu lagi?" Yuuri bertanya padaku. "Sekolahmu bagaimana? Apa mereka akan mengadakan study tour lagi?"

"Bukan itu!" Aku menggebrakkan meja saat mendengar pertanyaan Yuuri. "Aku hanya… Aku hanya ingin membantu. Tidak harus kau seorang yang bekerja, Yuuri."

Yuuri mengerjap-ngerjapkan matanya selama beberapa saat, sebelum akhirnya ia tertawa kecil. Tangannya terulur dan ia mengusap-usap rambutku. Serius Yuuri! Aku sudah bukan gadis kecil seperti dulu lagi.

"Jangan khawatir!" Yuuri berkata padaku. "Aku masih sanggup."

"Sanggup apanya?" Aku membantahnya dengan spontan. "Kau baru pulang jam empat subuh tadi, dan jam enam kau sudah harus bangun untuk shift pagimu. Belum lagi pukul tujuh malam kau sudah harus berangkat kerja di tempat lain. Kalau begini terus, kau bisa cepat mati, Yuuri!"

"Staminaku cukup bagus," jawab Yuuri sambil mengambil kembali mangkuk dan sumpit yang sebelumnya ia tinggalkan. "Justru Yura yang kukhawatirkan! Apa jangan-jangan pertumbuhan Yura terhambat karena kurang gizi? Makanya sampai sekarang, tinggi Yura masih tetap pendek seperti dulu."

"Hanya karena kau lebih tinggi sepuluh senti dariku kau berani bilang begitu. Tinggiku ini normal, tahu!"

"Pada saat seusiamu, aku sudah lebih tinggi darimu," kata Yuuri, membanggakan tingginya. "Aku juga banyak minum susu saat itu, makanya tinggiku pasti melebihi…"

"Sialan kau, Yuuri!" Aku berkata sembari melahap kembali nasi dan kol gulung yang kusiapkan. "Lihat saja! Satu atau dua tahun kemudian, aku pasti akan menjadi gadis cantik yang lebih tinggi darimu. Lihat itu nanti!"

"Jangan terburu-buru, Yura!" Yuuri berkata sambil memakan juga bagian nasi dan kol gulungnya, "Aku menanti saat-saat itu dengan sabar."

Sedikit kesal, aku pun mengalihkan perhatian pada televisi yang memang kunyalakan untuk menambah keramaian di ruang keluarga. Aku cukup paham bahwa inilah cara Yuuri untuk mengalihkan pembicaraan dengan cerdik. Lagi-lagi, ia berhasil mengelak untuk memberiku izin. Sekalipun aku keras kepala, aku tahu bahwa memaksanya terus-terusan tidak akan membuahkan hasil yang baik.

Menyadari hal itu, aku pun memutuskan untuk mencari kegiatan lain. Aku menatap ke layar dan tanpa sadar mengubah posisiku, menuju ke televisi. Sembari melahap kol gulung, aku pun memerhatikan dengan intens channel yang tengah kutonton.

"Eh Yura," ucap Yuuri ketika perhatianku tengah beralih ke layar televisi. "Kau tahu, belakangan ini ada gosip yang kudengar dari beberapa orang di bar."

"Gosip apa?" Aku bertanya sembari menggigit kol. Benar-benar alot.

"Katanya, orang itu akan datang ke Jepang," ucap Yuuri dengan suara pelan, hampir terdengar mencicit di telingaku. "Kemungkinan besar, ia akan tinggal lama di Jepang berhubung perusahaannya sedang melakukan ekspansi."

"Orang itu siapa?" tanyaku, tidak punya bayangan, siapa 'orang' yang dimaksud Yuuri dalam pembicaraan ini. "Apa aku mengenalnya? Seseorang yang punya perusahaan yang sedang melakukan ekspansi itu apa mau membantu kita supaya tidak makan kol terus setiap hari?"

"Yura," ujar Yuuri. "Orang itu…"

Belum selesai Yuuri bicara, televisi menayangkan gambar seseorang yang sudah kukenal dengan baik. Tanpa perlu menyebutkan namanya, aku sudah mengenali sosoknya yang berjalan sembari menyeret kopor. Sekalipun mengenakan kacamata hitam untuk menutupi irisnya yang berwarna biru, rambut kelabu Victor Nikiforov tidak semudah itu dilupakan.

"Victor…," ujarku getir saat menyadari siapa yang dimaksud Yuuri. "Dia rupanya."

Yuuri mengangguk, "Di bar beredar gosip yang menakutkan, semuanya karena kedatangan pemuda itu. Semua orang di bar berpendapat bahwa kedatangannya ke Jepang, bukan berita baik, Yura."

Aku tahu. Kedatangan orang ini memang berarti bencana. Bencana bagiku, juga Yuuri yang telah mati-matian melarikan diri dari Rusia hingga ke Jepang. Sudah lima tahun kami tidak mendengar kabarnya, siapa yang sangka bahwa lima tahun kemudian ia akan muncul dan berada di Jepang. Seolah-olah, ia ingin mengatakan bahwa tidak ada gunanya melarikan diri, pada akhirnya, ia akan menangkap kami.

"Aku sudah sering mengatakan ini," ujar Yuuri saat melihatku yang sudah tak punya selera untuk menghabiskan kol gulung, "tapi begitu pulang sekolah, sebaiknya kau segera kembali ke apartemen, Yura. Aku khawatir mereka mengincar gadis sepertimu."

Yuuri selalu khawatir. Sejak kejadian itu, Yuuri selalu bersikap protektif terhadap segala sesuatu yang berhubungan denganku. Ia berubah, dari seorang gadis bulat seperti babi yang tak berdaya, menjadi nenek cerewet yang tak henti-hentinya mengingatkanku untuk segera pulang ke rumah bila malam tiba. Sikap cerewetnya, sungguh mengingatkanku pada Yakov.

"Kau terlalu khawatir, Yuuri!" Aku berkata sembari meletakkan sumpit dan mengambil sup miso, "Aku tidak selemah yang kau bayangkan."

Senyum lembut muncul di pipi Yuuri, lalu ia berkata, "Aku tahu Yurachka tidak lemah. Yurachka sangat kuat. Waktu itu pun, Yurachka yang mendorongku, menyelamatkan nyawaku."

"Kau masih menyebut-nyebut soal itu…"

"Makanya," ujar Yuuri sembari mengangkat mangkuk sup misonya, menangkupkan kedua tangannya di atas sup tersebut, "aku tidak ingin Yura kenapa-kenapa. Yura adalah satu-satunya keluargaku sekarang."

Aku terdiam dan memandangi kuah sup miso di hadapanku. Sejak peristiwa itu, aku sudah kehilangan ayah sekaligus saudara-saudara yang dibesarkan bersamaku. Aku kehilangan segalanya, kecuali Yuuri. Seperti Yuuri yang menganggapku sebagai keluarga satu-satunya, aku pun menganggapnya sebagai satu-satunya keluarga yang berharga. Aku tak bisa kehilangan Yuuri, sama seperti Yuuri yang khawatir kehilanganku.

"Kenapa kau harus mengatakan hal memalukan seperti itu sih?" Aku mengucapkannya sembari menyembunyikan wajahku di balik sup miso yang kuminum. "Cepat pergi kerja sana, Butadon bodoh!"

Yuuri lagi-lagi tertawa mendengar ucapanku. Ia meletakkan mangkuk sup miso yang telah habis dilahapnya dan beranjak dari kursi. Sebelum ia melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri, gadis itu pun kembali memanggil namaku.

"Ingat! Selalu kembali setelah pulang sekolah, ya!" Yuuri mengingatkanku. "Jangan bepergian ke mana pun! Sekarang sedang tidak aman!"

"Aku tahu, Yuuri!" Aku mengucapkannya sembari mengangkat piring dan mangkuk yang sudah habis isinya. "Aku bukan anak kecil berusia sepuluh tahun!"

Kali ini, Yuuri hanya menggumamkan kata 'Aku tahu' sebelum akhirnya ia masuk ke dalam kamar mandi dan mengurus dirinya di sana. Sementara itu, aku meletakkan mangkuk juga piring yang perlu dicuci ke atas sink dan membersihkannya. Begitu Yuuri mulai asyik dengan kegiatan mandinya, aku sudah selesai membersihkan piring dan bersiap mengambil tasku untuk pergi ke sekolah.

Aku mengenakan sepatu, bangkit berdiri dan bersiap membuka pintu ketika Yuuri keluar dari kamar mandi. Melihatnya di ruang keluarga, aku pun berkata, "Aku pergi dulu, Yuuri!"

"Hati-hati!" Yuuri membalas ucapanku. "Dan segera pulang!"

Kubanting pintu hingga menutup mendengar ucapan itu dikumandangkan berulang kali di telingaku. Aku berjalan dengan sedikit terburu-buru menuju ke tangga yang ada di apartemenku. Sembari berjalan, aku kembali ingat dengan peringatan Yuuri.

"Hmph!" Aku berkata sembari mendengus, "Kau naif, Yuuri! Memangnya anak SMA mana yang langsung pulang begitu kegiatan sekolah berakhir?"

.

.

.

t.b.c

Hello! Ini fanfic pertama saya di fandom YoI. Ide ceritanya ini muncul berkat Fujoshi desu yang berulang kali bilang pengen cerita tentang ini. Jadi di sinilah saya, mengacak-acak tokoh YoI dan memasangkan peran yang sesuai dengan chara masing-masing.

Semoga aja nggak ada karakter yang OOC ya, kalaupun ada, saya minta maaf T_T

Aniway, selamat membaca, dan semoga kalian menikmati pembawaan cerita dari sudut pandang Yurio. Oh, also, if you mind, please leave any review so I know there's someone who read this fic :D