Sebuah fic baru sebelum saya hibernasi selama bulan puasa. Mungkin? Ah, nggak tahu juga. Let's see later! #NggakJelas
Selamat membaca!
Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto. I don't take any material profit from it.
Pairing : SasuFemNaru
Rated : T
Genre : Family, friendship, drama
Warning : Gender switch, OOC, OC, typo (s)
Umur chara :
1. Naruto, Sasuke, Kiba, Neji, Sakura, Ino, Karin = 17 tahun
2. Kurama, Itachi, Geng Akatsuki = 18 tahun
3. Shikamaru = 19 tahun
4. Kakashi = 40 tahun
5. Minato, Kushina = 45 tahun
6. Mito Uzumaki = 67 tahun
Dandelions Promise
Chapter 1 : Murid Baru?
By : Fuyutsuki Hikari
Naruto menghirup udara di sekitarnya dengan rakus. Setelah dua belas tahun lamanya, akhirnya dia kembali menginjakkan kaki di Jepang. Gadis berusia tujuh belas tahun itu meninggalkan negara ini saat berusia lima tahun bersama sang ayah; Minato.
Perceraian kedua orangtuanya membuatnya harus meninggalkan negara kelahirannya dan pergi ke Amerika, negara tempat ayahnya lahir. Minato memang bukan orang Jepang asli, ibunya keturunan Amerika sementara ayahnya keturunan Jepang. Walau menyandang marga Namikaze, Minato berkewarganegaraan Amerika, begitu pun dengan Naruto.
Naruto memiliki seorang kakak laki-laki yang kini berusia delapan belas tahun, bernama Uzumaki Kurama. Sementara Naruto diasuh oleh Minato, Kurama diasuh oleh ibu mereka; Kushina di Tokyo. Sudah dua belas tahun juga dia tidak bertemu dengan kakak, ibu serta keluarga besar ibunya. Ah, Naruto tidak akan pernah dianggap oleh keluarga Uzumaki karena dia berbeda. Tidak seperti Kurama yang memiliki gen Uzumaki yang sangat kuat, Naruto memiliki gen Namikaze yang lebih dominan, hal itu bisa dilihat dari warna rambut dan warna bola matanya yang berbeda dengan keturunan Uzumaki lainnya.
"Sungguh, aku tidak menyukai senyumanmu saat ini," ucapan Shikamaru mengembalikan Naruto ke alam nyata dari lamunan panjangnya. Gadis itu menggembungkan kedua pipinya dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Apa maksudmu?" desisnya tajam dengan mata menyipit.
Shikamaru yang ikut berbaris rapi mulai berjalan pelan sambil menarik koper hitam miliknya dan memasukkannya ke dalam bagasi bus yang menjemput rombongan mereka yang berjumlah sepuluh orang. Pria itu kemudian membantu Naruto memasukkan koper merah miliknya ke dalam bagasi dan keduanya bergegas naik, masuk ke dalam bus dan memilih kursi kosong di bagian belakang bus. Rombongan itu akan berada di Jepang selama satu bulan untuk latihan gabungan antara pasukan khusus Amerika dan pasukan khusus Jepang.
"Hei... kau belum menjawab pertanyaanku!" kata Naruto lagi dengan suara rendah. Sesekali matanya melirik ke arah pelatih mereka yang kini berdiri di barisan paling depan untuk mengabsen anak-anak didiknya. "Shikamaru?!" panggil Naruto lagi, semakin tidak sabar.
Shikamaru menghela napas panjang, lalu memijat tengkuknya yang pegal. Perjalanan dari New York ke Tokyo cukup membuatnya lelah dan mengantuk saat ini. Dia hanya ingin tidur. Tapi hal itu tidak akan bisa didapatkannya jika dia tidak menjawab pertanyaan Naruto; teman, rival, sekaligus sahabat karib yang baru dikenalnya selama dua tahun. Shikamaru merupakan anggota muda pasukan khusus Jepang yang dilatih di Amerika, di kamp militer Nevada-lah keduanya bertemu dan berteman hingga saat ini.
"Aku tahu kau sedang merencanakan sesuatu," jawab Shikamaru, pada akhirnya mengutarakan isi hatinya. "Jangan mengerjapkan mata seperti itu!" olok Shikamaru tajam. "Aku tidak akan tertipu oleh wajah tidak berdosamu itu!" tambahnya dengan mimik serius.
"Memangnya aku merencanakan apa?" Naruto balik bertanya, begitu santai tanpa beban. Gadis itu mulai menyamankan diri untuk mencari posisi tidur. "Ck, aku malah memasukkan bantal berpergianku ke dalam koper," sungutnya pelan.
"Jangan mengalihkan pembicaraan!" bisik Shikamaru lagi. "Apa yang sedang kau rencanakan?" desaknya. "Hal gila apalagi yang akan kau lakukan kali ini?"
"Mau berbuat apa?" Naruto memalingkan wajah ke arah berlawanan.
"Aku tahu kau sedang berbohong!" desis Shikamaru penuh penekanan.
Naruto menghela napas panjang. "Kenapa aku tidak bisa menyembunyikan apapun darimu?" sekilas Naruto melirik ke arah Shikamaru.
Shikamaru hanya mengangkat kedua bahunya acuh. "Asal kau tahu, alarm tanda bahaya di otakku berbunyi nyaring saat ini. Dan itu pasti ada kaitannya denganmu!"
"Ck, alasan konyol macam apa itu?" Naruto cemberut dibuatnya. Gadis itu kemudian mengamati keadaan di sekitarnya sebelum kembali bicara, setengah berbisik. "Bukankah kita diberi waktu libur satu minggu sebelum latihan gabungan dimulai?"
"Ya," jawab Shikamaru pendek. "Lalu apa hubungannya dengan rencanamu?"
"Aku akan menggunakan waktu libur ini untuk mencari kakakku."
"Ap-?"
Naruto segera membekap mulut Shikamaru, matanya menatap takut ke depan, rencananya bisa gagal jika pelatihnya mengetahui mengenai rencananya. "Pelankan suaramu!" desis Naruto galak, sementara Shikamaru mengangguk, mengerti. Perlahan Naruto melepaskan bekapannya, kemudian menghela napas panjang. "Aku akan mencari kakakku," bisiknya lagi. "Ada sesuatu yang harus aku berikan padanya."
"Kau bisa mengirimnya lewat pos," cibir Shikamaru. Kenapa Naruto tidak bisa berpikir praktis di jaman serba modern seperti sekarang?
Naruto menggigit bibir bawahnya dan menunduk dalam, kebiasaan yang selalu dilakukannya saat gugup. Tangannya meremas celana latihan yang dikenakannya. "Aku harus memberikannya sendiri," bisiknya pelan. "Aku harus memberikannya secara langsung. Benda yang akan kuberikan sangat penting, Shikamaru."
Shikamaru hanya bisa menggelengkan kepala pelan saat melihat ekspresi sendu pada wajah sahabatnya ini. "Kau tahu dimana dia?" tanyanya lembut.
Demi Tuhan, Shikamaru benar-benar tidak suka senyuman lebar Naruto yang terarah lurus kepadanya. Apapun rencana gadis pirang itu, pasti akan merepotkannya. Itu pasti. Dan bagaimana bisa suasana hati Naruto berganti begitu cepat?
"Itu tugasmu untuk mencari tahu," Naruto kembali berbisik.
Shikamaru balas menatapnya tak mengerti. "Maksudmu?" tanyanya dengan kernyitan dalam.
Naruto menyipitkan mata dan menyikut pelan tangan Shikamaru. "Untuk apa kau dilatih menjadi hacker handal jika kau tidak mampu menemukan seseorang. Kau bisa meretas jaringan keamanan komputer Perusahaan Uzumaki, kan?"
"Kau gila!" Shikamaru melotot sementara Naruto menggelengkan kepalanya cepat. "Kau serius?" Naruto mengangguk cepat menjawabnya. "Aish... kau ini benar-benar menyusahkan. Coach tahu tentang hal ini?"
Naruto memutar kedua bola matanya dan mendengus pelan. "Kakashi akan menghukumku jika tahu aku akan pergi mencari kakakku. Dan- Awww...!" Naruto mengerang sakit saat Shikamaru memukul kepalanya cukup keras. "Hei, Nara. Kau mau mati?!" bentaknya cukup keras membuat beberapa kepala menoleh ke arahnya. Menyadari kebodohannya, Naruto hanya bisa tertawa gugup dan bergerak gelisah di kursinya.
"Kita belum sampai di kamp pelatihan dan kau sudah berniat membunuh rekan setimmu, Namikaze?" Kakashi berujar dingin dengan tatapan tajam terarah lurus pada Naruto.
Naruto mengangkat kedua tangannya ke udara, dan mengibaskannya cepat. "Kami sedang bercanda, Coach. Biasa..." Kilahnya dengan senyum menipu. Gadis itu menghela napas lega saat Kakashi akhirnya kembali melihat ke depan dan bersiap untuk kembali tidur di kursinya. "Jangan tertawa!" desis Naruto jengkel pada Shikamaru yang terkikik geli.
Shikamaru berdeham, mencoba menghentikan tawanya dan kembali bicara. "Siapa yang mengijinkanmu untuk bersikap tidak sopan pada pelatih kita? Kau bahkan hanya memanggilnya dengan nama."
"Ayahku memanggilnya seperti itu," ujar Naruto membela diri. "Lagipula, kami sudah seperti keluarga."
"Ayahmu senior Kakashi-san, jauh lebih tua. Kau hanya anak bawang. Dan di sini dia pelatihmu, atasanmu, kau harus menghormatinya!"
"Terserah," balas Naruto tidak mau ambil pusing. "Yang jelas, aku ingin kau mencari tahu dimana kakakku sekolah agar aku bisa mencarinya."
"Kenapa kau tidak datang ke rumah ibumu saja? Bukankah itu lebih mudah? Kenapa otakmu selalu mencari jalan keluar yang sulit?" ejek Shikamaru sebal.
Naruto terdiam untuk beberapasaat. "Hei, aku tidak bermaksud menghinamu," Shikamaru kembali bicara. Ia kembali merasa bersalah saat melihat ekspresi sedih Naruto. "Baiklah, aku akan membantumu untuk mencari keberadaannya."
"Benarkah?" Naruto kembali ceria mendengarnya. Shikamaru mengumpat di dalam hati, jangan-jangan Naruto berakting untuk mengambil simpatinya. Sial! Kenapa aku tidak pernah belajar dari kesalahan masa lalu? Sesalnya di dalam hati.
.
.
.
"Bagaimana, apa kau berhasil menemukannya?" tanya Naruto yang kini mendobrak masuk ke dalam kamar Shikamaru tanpa permisi. Mereka sudah sampai di markas besar militer Jepang saat ini. Dan masing-masing personil mendapatkan satu buah kamar untuk ditempati selama satu minggu sebelum rombongan diberangkatkan ke Okinawa untuk latihan gabungan.
Shikamaru mendengus, "bisakah kau mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam kamarku?"
Naruto mengangkat kedua bahunya. "Sejak kapan aku melakukannya?" jawabnya tanpa merasa berdosa. Gadis itu mengambil sebuah kursi dan meletakkannya tepat di samping kursi Shikamaru. "Jadi?" tanyanya lagi, semakin tidak sabar.
"Ck, keluarga ibumu ternyata sangat kaya, Naruto. Bagaimana ceritanya hingga ibumu menikah dengan ayahmu yang hanya seorang anggota pasukan khusus?"
"Mungkin akal sehat ibuku dalam keadaan tidak sehat saat menikah dengan ayah. Dan ketika beliau sadar, dia akhirnya memilih untuk bercerai dengan ayah dan kembali ke keluarganya." Naruto menjawab tanpa beban, membuat hati Shikamaru mencelos karenanya. Ah, sahabatnya ini memang sangat tangguh. Atau pura-pura tangguh?
Hening.
Shikamaru kembali memfokuskan diri pada pekerjaannya. Jemarinya terus menari lincah di atas keyboard laptop miliknya. "Yosh... akhirnya aku mampu menjebol keamanan IT Perusahaan Uzumaki," Shikamaru berseru bangga setelah berkutat selama lima belas menit. "Ini dia..." Shikamaru terdiam sejenak, membaca riwayat hidup keluarga Uzumaki. "Kakakmu sekolah di Konoha International High School, kelas 3-1, dan tinggal di asrama."
"Perfect!" pekik Naruto senang. "Aku bisa leluasa mencarinya di asrama."
"Kau mau menyelinap masuk ke asrama pria?" Shikamaru bertanya dengan kedua mata melotot. "Apa kau sudah gila?"
Naruto hanya mengangkat kedua bahunya ringan dan menjawab santai. "Anggap saja ini sebagai latihan untuk menyusup ke lokasi musuh. Ah, jantungku berdebar semakin cepat saat memikirkannya."
"Kau bisa terkena masalah besar, Naruto!" ujar Shikamaru mengingatkan. Oh, kenapa dia merasa menyesal karena membantu gadis pirang itu. Ini bisa menjadi masalah besar jika Naruto sampai tertangkap basah.
Naruto menepuk bahu kanan Shikamaru dan menjawab mantap. "Aku tidak akan tertangkap. Aku sudah terlatih, ingat?"
"Aku punya perasaan buruk tentang ini," Shikamaru menggeleng pasrah.
"Jangan bersikap berlebihan, Shika!" Naruto tertawa renyah. "Ah, satu lagi." Ujar Naruto kini dengan ekspresi serius. "Aku mengatakan pada Kakashi jika aku akan ikut pulang ke rumahmu untuk liburan sebelum latihan dimulai. Tolong katakan alasan yang sama padanya!"
"Kau benar-benar gila?!" bentaknya marah. "Kau bisa menjebloskan kita berdua ke dalam masalah. Apa kau lupa hukuman yang kita terima saat pelatih memergoki kita berlatih senjata tanpa ijin?"
"Bagaimana aku bisa melupakannya?" sahut Naruto datar.
"Kau tidak bisa melupakannya dan kau masih berani melakukan sesuatu yang berbahaya?"
"Tidak akan terjadi apa-apa, Shika. Aku janji!"
Shikamaru menjambak rambutnya, frustasi. Kenapa dia harus memiliki sahabat seperti Naruto? Apa kesalahannya di kehidupan sebelumnya hingga dia harus dipertemukan dengan gadis keras kepala macam Naruto?
"Tiga hari!" bentak Shikamaru, suaranya kering karena putus asa. "Aku akan memberimu waktu selama tiga hari atau aku akan menjemputmu secara paksa, mengerti?"
"Aku menyayangimu, Shika!" teriak Naruto yang melayangkan sebuah kecupan singkat di pipi Shikamaru dan memeluknya erat.
Shikamaru memberontak, melepaskan diri dari pelukan Naruto dan melap bekas ciuman Naruto dengan punggung tangannya. "Jangan membuatku takut!" pekiknya sungguh-sungguh. "Bulu kudukku merinding akibat ulahmu," tambahnya lagi seraya memperlihatkan bulu-bulu tangannya yang meremang akibat ulah Naruto.
"Aish... kau benar-benar tidak sopan!" ujar Naruto pura-pura tersinggung.
.
.
.
Keesokan harinya, Naruto mempersiapkan diri untuk memulai rencananya. Gadis itu mempelajari sistem keamanan sekolah dan mencari titik yang luput dari pengawasan kamera pengintai. Ia tersenyum penuh kemenangan saat menemukan titik aman untuk menyusup. Well, memanjat tembok setinggi tiga meter bukan hal yang sangat sulit untuknya.
"Aku akan menyusup nanti malam," gumamnya pelan. Naruto menarik dalam topi yang dikenakannya untuk menutupi muka, dan berbalik untuk menunggu waktu yang tepat untuk menyusup masuk ke dalam sekolah yang terkenal dengan sistem keamanan tinggi.
Tepat pukul sepuluh malam, Naruto memulai aksinya. Dengan gerakan cepat dia bergerak masuk dan mulai mencari asrama putra. Sesekali dia membuka peta sekolah yang diberikan Shikamaru padanya. Hah, memiliki sahabat seorang hacker memang sangat membantu, pikirnya senang.
Naruto menyembunyikan diri dibalik sebuah pohon saat telinganya menangkap suara langkah kaki yang berjalan mendekat ke arahnya. Benar saja, dua orang pria berseragam keamanan berjalan mendekat ke lokasinya untuk mengecek keamanan.
"Aku tidak tahu bagaimana murid-murid itu selalu saja berhasil keluar asrama setiap harinya. Padahal kita sudah mengecek keadaan dengan sangat teliti," keluh salah satu pria itu.
"Kita harus mencari tahu jalan yang dipakai mereka untuk menyelinap keluar dan masuk. Bagaimana bisa mereka tidak terdeteksi sementara kamera pengawas dipasang disetiap titik di sekolah ini? Mengesalkan!"
Naruto mengintip saat suara kedua pria itu terdengar semakin jauh. Jadi bocah-bocah di sekolah ini sering menyelinap keluar, huh? Ck, dasar nakal! Batinnya sambil berkacak pinggang. Ia lalu mengedarkan pandangannya pada gedung asrama yang menjulang di depannya. Mulutnya ditekuk ke atas saat ia menemukan salah satu jendela kaca kamar yang terbuka. Aku menemukan tempat untuk bersembunyi malam ini, batinnya senang.
.
.
.
Sasuke kembali ke asrama pada pukul sebelas malam. Salahkan saja Itachi yang memaksanya untuk membantu mengerjakan tugas OSIS yang menumpuk menjelang festival musim panas yang akan diadakan akhir bulan Juni nanti. Bolehkah Sasuke berteriak marah saat mendapati kakaknya asyik bermain kartu bersama Kurama dan anggota gengnya di dalam kamar, sementara dia harus menyelesaikan pekerjaan milik Itachi yang sejatinya masih menjabat sebagai ketua OSIS?
"Anggap saja latihan, Sas. Bukankah sebentar lagi akan ada serah terima jabatan dariku-padamu?" ujar Itachi menyeringai, tanpa merasa bersalah. Sasuke hanya bisa membanting pintu kamar Itachi tanpa mengatakan sepatah katapun setelahnya. Bertengkar dengan kakaknya sama sekali tidak berguna. Itu hanya akan membuatnya semakin kesal dan marah.
Sasuke mengernyit heran saat menatap tempat tidurnya. Kenapa posisi bantalnya berubah? Pikirnya tidak mengerti. Pemuda itu berjalan menuju jendela kamarnya yang terbuka. Hah, bagaimana bisa dia lupa menutup jendela, pagi tadi? Bagaimana jika ada penyelinap masuk? Pikirnya. Namun hal itu segera dienyahkan dari pikirannya. Ini lantai tiga, bagaimana mungkin penyelinap bisa masuk? Memanjat? Ck, tidak mungkin. Sepertinya dia sudah sangat lelah hingga berhalusinasi jika posisi bantalnya berubah.
Ia membuka dasi dan menyampirkannya asal di punggung kursi belajarnya. Dengan menyeret paksa kakinya, dia melangkah ke arah lemari pakaian untuk mengambil pakaian ganti dari dalamnya. Dia harus mengguyur tubuhnya dengan air dingin agar tetap terjaga. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikannya malam ini.
Naruto menyelinap keluar dari kolong tempat tidur saat Sasuke masuk ke dalam kamar mandi. Gadis itu membuka pelan pintu lemari dan kini bersembunyi di dalam lemari pakaian Sasuke, meringkuk di balik pakaian milik Sasuke yang tergantung di dalamnya.
Dua puluh menit kemudian Sasuke keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut setengah kering. Sebuah handuk tersampir di pundak kanannya. Lagi-lagi dia mengernyit dalam, kenapa selimutnya berubah posisi? Seolah-olah ada seseorang yang secara tidak sengaja menariknya dari bawah. Terkadang memiliki ingatan fotografis bisa sangat menganggu. Jantung Sasuke berdegup kencang karenanya. Mungkinkah benar-benar ada penyusup? Pikirannya mulai kalut, namun dia tetap berusaha untuk tetap tenang. Dengan gerakan cepat dia mengintip ke kolong tempat tidur. Helaan napas lega terdengar saat dia tidak mendapati apapun di bawah tempat tidurnya. "Aku pasti sangat lelah hingga berhalusinasi," gumamnya lagi tidak jelas.
Sasuke memaksakan diri untuk duduk di atas kursi belajarnya, membuka buku-buku pelajarannya dan mulai mengerjakan tugas sekolahnya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari saat tugas sekolahnya selesai dan ia pun pergi tidur.
.
.
.
Keesokan harinya sekolah digemparkan oleh teriakan Sakura Haruno. Gadis berambut pink itu berteriak panik saat kembali ke lokernya untuk mengambil seragam ganti. "Seragam sekolahku hilang!" teriaknya panik. "Ino, seragamku hilang!" Sakura menempelkan keningnya pada pintu loker miliknya.
"Mungkin kau lupa, Sakura. Mungkin kau menyimpan seragam sekolahmu di dalam tas di kelas," ujar Ino tenang.
Sakura berbalik lalu mengangkat kedua tangannya ke udara dan menjawab dengan nada tinggi, "apa kau lupa jika kita tidak kembali ke kelas setelah berganti pakaian olahraga? Apa kau sudah pikun?" Sakura mengerang frustasi. Tidak mungkin dia mengenakan pakaian olahraga di jam berikutnya. Bagaimana jika dia bau keringat?
"Tapi siapa yang berani mencuri seragammu?" Ino kembali bertanya.
"Entahlah," Sakura menjawab dengan suara serak, menahan tangis. "Pasti ada sesorang yang ingin menjahiliku. Apa mungkin Karin?" kedua mata Sakura melotot saat nama yang sangat tabu itu melintas di pikirannya. "Aku akan memberinya pelajaran!" ujarnya marah.
"Hei, belum tentu dia yang melakukannya," Ino menghalangi jalan Sakura dengan merentangkan kedua tangannya. "Jangan mencari masalah, Sakura!"
"Aku tidak pernah mencari masalah, Ino. Dia yang selalu mencari masalah denganku!" jeritnya kesal. Dan kantin sekolah pun diramaikan oleh perkelahian hebat antara Sakura dan Karin, siang ini.
Dilain tempat, Naruto melenggang tanpa merasa was-was karena seragam sekolah yang dikenakannya. "Aku akan mengembalikan seragam ini nanti," ia menepuk-nepuk rok di atas lututnya pelan. Gadis itu berjalan senormal mungkin melewati beberapa murid yang nampak tertarik melihatnya. Murid baru? Pikir murid-murid itu saat melihat Naruto yang terlihat asing.
Gedung barat lantai dua. Itu tempat yang dituju oleh Naruto saat ini. Ia baru saja akan berbelok naik ke lantai dua saat ada seseorang memanggilnya dari belakang. "Hei, kau? Tolong bantu ibu untuk membawa arsip-arsip ini ke ruang OSIS."
Naruto berbalik dengan kepala menunduk dalam, menyembunyikan wajahnya. Dia menerima map-map arsip itu tanpa berani mendongakkan kepala. "Apa kau murid baru?" tanya Kurenai penuh selidik. "Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Tadi kukira kau Yamanaka Ino," tambahnya lagi.
Jantung Naruto berdebar semakin cepat saat ini, bagaimana jika dia tertangkap basah? Oh, tidak!
"Kurenai-sensei?" panggil seorang guru pria dari arah belakang.
"Ya?" Kurenai membalikkan badan karenanya dan Naruto menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. "Hei? Tunggu!" teriak Kurenai keras saat sadar jika murid yang sedang diinterogasinya melarikan diri. "Kenapa sikapnya sangat aneh?"
"Ada apa?" tanya Asuma yang kini berdiri di samping Kurenai.
"Murid itu, apa kau pernah melihatnya sebelumnya?" tanya Kurenai seraya menunjuk ke arah punggung Naruto yang semakin menjauh. "Apa hari ini ada murid baru?"
"Murid kita sangat banyak yang berambut pirang, Kurenai-sensei." Jawab Asuma. "Dan seingatku tidak ada murid baru saat ini."
"Tapi aku yakin belum pernah melihatnya sebelumnya," ujar Kurenai serius.
"Mungkin hanya perasaanmu saja," balas Asuma. "Ah, aku hampir lupa. Kepala sekolah memanggilmu.
"Aku?"
Asuma hanya mengangguk pelan menjawabnya.
"Ada apa?"
"Haruno Sakura dan Uzumaki Karin kembali bertengkar hebat. Kau harus lihat kekacauan yang mereka buat di kantin siang ini."
"Woah... hebat sekali," keluh Kurenai sambilmemijat keningnya yang mendadak berdenyut sakit. Kenapa Sakura dan Karin tidak pernah bisa akur? Batinnya frustasi. "Baiklah, aku akan segera menemui kepala sekolah." Ujar Kurenai yang kembali melempar tatapan terakhir pada punggung Naruto sebelum berjalan menuju ruang kepala sekolah di gedung utara.
Mati! Mati! Mati! Umpat Naruto di dalam hati. Penyamarannya nyaris saja terbongkar. Riwayatnya bisa tamat, pikirnya sedikit takut. Naruto kembali berjalan dan kembali mengatur napasnya yang tersengal. Gadis itu melirik ke kanan dan ke kanan, mencari ruangan yang ditujunya. Kenapa gedung ini besar sekali? Keluhnya di dalam hati.
"Apa yang kau cari?"
Tubuh Naruto membeku seketika mendengarnya. Kenapa nasibnya harus begitu sial? Pikirnya di dalam hati. Perlahan dia membalikkan badan, menatap pemuda yang berdiri di depannya. "Aku mencari ruang OSIS," sahut Naruto kemudian dengan nada senormal mungkin.
Itachi sedikit membungkuk, mengamati wajah Naruto. "Kau murid baru?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat.
Naruto mengangguk cepat menjawabnya.
"Pantas kau belum tahu letak ruang OSIS," ujar Itachi lagi dengan senyum memikat. "Kau tinggal belok kanan," tambahnya.
"Begitu?" Naruto mengangguk pelan dan membungkuk kecil. "Terima kasih untuk bantuannya," ucapnya sebelum berbalik pergi.
Naruto melirik lewat bahunya, kenapa pria itu kini mengikutinya? "Kenapa kau mengikutiku?" gadis itu berhenti dan berbalik dengan cepat. Naruto menekuk wajahnya tidak suka sementara Itachi mendengus kecil dibuatnya.
"Karena aku ketua OSIS di sini," jawab Itachi tenang. Pemuda itu membuka pintu ruang OSIS dan masuk ke dalamnya dengan sikap bossy. "Letakkan arsip-arsip itu di sana!" ia menunjuk ke salah satu meja di sudut ruangan.
Naruto mendecih pelan, tidak suka akan sikap arogan yang ditunjukkan Itachi saat ini. Gadis itu berjalan dengan langkah panjang dan meletakkan barang bawaannya di atas meja yang ditunjuk Itachi dengan keras. "Tugas saya sudah selesai. Permisi!" ucapnya ketus.
"Aku belum selesai denganmu." Itachi melipat kedua tangannya di depan dada, menghentikan langkah Naruto. "Kau kelas berapa?" tanyanya dengan pandangan menusuk tajam.
"Memangnya kenapa?" balas Naruto tanpa rasa takut. "Kenapa kau mau tahu kelasku?"
"Berani sekali kau bersikap kurang ajar pada Itachi-senpai!" Neji yang sedari tadi diam kini buka suara, merasa terganggu oleh sikap menantang yang ditunjukkan oleh Naruto yang hanya murid baru.
"Tenang, Neji!" ujar Itachi dengan seringai kecil. "Untuk ukuran anak baru kau terbilang sangat berani, anak kecil." Cemoohnya.
"Apa kau buta?" teriak Naruto tidak terima. "Tinggi badanku seratus tujuh puluh centimeter dan kau mengatakan aku anak kecil?"
"Hei?!" teriak Neji lagi, marah. Pemuda itu menggebrak meja keras, berjalan memutar dengan cepat ke arah Naruto. "Jaga mulutmu!" tegurnya keras.
"Kenapa aku harus menjaga mulutku?" desis Naruto tidak suka. "Apa? Kau mau memukulku?" tantangnya, sama sekali tidak takut saat Neji mengepalkan kedua tangannya di kedua sisi tubuhnya.
"Kalau bukan wanita, aku pasti sudah memukul-"
Dan tanpa peringatan, Naruto membanting tubuh Neji ke atas lantai. Naruto memiting kedua tangan Neji ke belakang dan menahan tubuh pemuda itu dengan lututnya. "Kau pikir hanya karena aku wanita, aku tidak bisa menghajarmu?" Naruto mendesis, ekspresinya sangat menakutkan.
Sasuke, Kiba dan Kurama yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu hanya bisa membelalakkan mata melihatnya, sedangkan Itachi membeku di tempat, syok. Neji dihajar oleh murid wanita? Yang benar saja!
"Apa yang terjadi?" teriak Kurama kencang. "Lepaskan Neji!" perintah Kurama tegas.
Itachi dan Naruto menoleh ke arah Kurama. Dihiraukannya erangan kesakitan Neji yang terus meminta untuk dilepaskan. Naruto terlonjak, senyumnya mengembang saat melihat Kurama. "Akhirnya aku menemukanmu!" pekiknya senang, menatap lurus ke arah Kurama.
Kurama mengernyit heran, "apa aku mengenalmu?"
Rahang Naruto mengeras mendengarnya. Gadis itu menghentakkan kaki lalu berjalan penuh amarah ke arah Kurama dan menendang keras kaki kanan Kurama hingga pemuda itu berteriak keras, kesakitan. "Kau juga sama tidak bergunanya!" teriak Naruto kencang sebelum berjalan pergi meninggalkan lima orang pemuda yang menatap kepergiannya dengan kernyitan dalam.
"Siapa dia?" ucap kelimanya kompak.
.
.
.
TBC
#WeDoCareAboutSfN
