Halo! Purinsha kembali hidup dan seperti biasa, akan meramaikan fandom naruto Indo dengan fic yg....hahahaha...jelek? Ya sudahlah, fic ini kubuat karena aku memang suka hal begini! Gelap, sadis! Owh yeah! XD

Untuk yg gak biasa dengan fic gore tidak disarankan baca fic ini, resiko tanggung sendiri lho ya :P

Satu hal lagi, karena aku orang yg sangat sibuk *dilemparin batu sama pembaca* jadi kalau fic ini peminatnya sedikit yah....paling ujung-ujungnya hiastus :D

Terus, karena updatenya random, ada baiknya masukin alert aja *itu gek kalau mau baca terusannya*, soalnya diupdatenya fic ini tergantung review dan mood aku sih XD

Pairingnya adalah NaruGaa dan slight KakaIru. Tapi, yaoinya gak kental banget kok, dan aman dari lemon, dijamin! ^_^b

Jadi, para fujoshi, jangan ngarep ya! XD *dibakar

Segitu aja kali ya? Ya udah deh...

Warning: AU, Dark, Gore, Miss Typo (haha, soalnya aku gak pernah ngecek tulisanku), hints for Yaoi

Disclaimer: Yaelah, semua udah pada tau kan?


Sinful Soul

Naruto POV

Darah dan jeritan. Aku melihat dunia hitam kelam dimana tangisan dan raungan terdengar seperti kekal di sana. Aku tersenyum, aku merasakan sensasi menakjubakan di dadaku. Aku melihat tanganku yang berlumuran darah namun aku tidak takut sama sekali. Sebaliknya, aku merasa sangat senang! Tangan ini berlumuran dengan dosa, tapi aku tidak takut. Ayolah, manusia itu pasti akan mati bila saatnya tiba. Dan mempercepat kematian seseorang itu bukan sesuatu yang spesial kan?

Apa bedanya mencabut nyawa seseorang dengan menginjak rumput liar? Kan sama-sama membunuh....

Aku tahu aku gila. Namun sayangnya aku tidak memiliki keinginan untuk mengubah diriku.

Inilah diriku.

Inilah diriku yang paling kelam dan gelap....

Aku terbangun dari tidurku yang sama sekali tak lelap. Mataku terasa berat namun hatiku berteriak agar untuk segera terbangun agar tidak telat sekolah. Namun, yah....sebenarnya sih telat juga tidak apa-apa, paling cuma disuruh berdiri di koridor saja.

Lagipula lebih baik bila aku meneruskan peran sebagai "anak bodoh" di sekolah.

Aku tersenyum sinis dan segera terbangun dari tempat tidurku. Aku menggosok rambutku sampai poniku jatuh berantakan dan meregangkan tubuhku sedikit.

Saatnya untuk memulai hari penuh kebohongan yang lainnya.

Aku segera menepuk pipiku agar pikiran gelap itu tidak membayangi kepalaku terlalu lama. Aku tidak bisa membiarkan wajahku menjadi terlalu serius.

Karena aku adalah Uzumaki Naruto yang selalu ceria.

Hah....ceria...andai mereka tahu yang sebenarnya....

Ayolah Uzumaki! Jangan biarkan wajah palsumu hancur begitu saja setelah kau bangun susah payah selama bertahun-tahun!

Aku mendesah lagi. Rasanya lelah setiap hari harus selalu meyakinkan diri seperti ini. Aku selalu harus bersikap sebagai Uzumaki Naruto yang ceria, bodoh, tulalit, easy-going, bertemperamen tinggi, pejuang keras dan mudah bergaul. Melelahkan bukan? Tapi itulah 'topeng' buatanku.

Topeng yah, semua orang pasti memakai topeng. Topeng adalah sebuah sandiwara yang selalu kau gunakan di dunia nyata. Aku tahu, semua orang memakai topeng.

Termasuk aku.

Ya, aku seorang Uzumaki Naruto yang ceria....

Dibalik topeng itu aku hanyalah.....

Seorang psychopath yang sedang mencari jati dirinya.....

Aku tersenyum, huh psychopath, bahkan aku sendiri masih tidak mengerti tentang diriku. Mungkin orang-orang di luar sana tak pernah memikirkan "apa sebenarnya aku ini?", mereka hanya menjalani hidup dengan berpegang pada sebuah alur. Sekolah, bekerja, menikah. punya anak dan melewati masa tua. Begitu kan?

Andai aku tidak mengalami pengalaman menyakitkan saat aku masih kecil mungkin aku akan menjadi seperti mereka. Seperti orang-orang yang tidak berarti itu....

Aku melangkahkan kakiku ke dalam kamar mandi di apartemenku, aku bisa melihat pantulan diriku di cermin. Seorang remaja laki-laki berambut pirang, berkulit sawo matang dan bermata biru. Di pipinya dihiasi buah "bekas cakar" pada tiap-tiap sisi. Sekilas nampak seperti anak remaja biasa tapi.....

Aku tersenyum sinis melihat mataku yang begitu gelap dan tajam. Rasanya sangat menyenangkan bisa melihat dirku sendiri tanpa topeng. Hal itu membuat aku tenang, meski aku selalu berbohong di luar sana namun setidaknya aku tidak berbohong pada diriku sendiri. Menyenangkan bukan? Aku percaya, di dunia ini hanya penuh dengan kebohongan, dunia ini merupakan sebua kompetisi berbahaya yang tersembunyi pada hati tiap-tiap manusia di dalamnya. Sekali kau membuka "sisi lemah"mu pada seseorang, maka orang itu bisa menghancurkan hidupmu kapan saja. "Topeng", "perlawanan", "persaingan", bagiku semua itu adalah arti dunia yang sebenarnya.

Benar begitu bukan?

Jangan pernah terbodohi dengan keindahan dunia ini, karena itu semua hanya kebohongan. Sekali merasakan apa itu penderitaan, tak ada yang mampu menghapusnya.

Begitu pula aku.

Aku cuma manusia tak berdaya yang tak mampu untuk menolak arus alur kehidupan. Karena itu aku berbaur dengan semuanya. Menciptakan topeng dan hidup sebagaimana mestinya.

Tanganku meraih keran dan memutar tuasnya, kedua telapak tanganku menyambut air yang mengucur dari dalam keran. Mataku dengan lirih melihat air di tanganku. Andai aku bukan terlahir sebagai manusia, maka aku tidak perlu mengalami hidup penuh kebohongan seperti ini.

Aku membasuh mukaku perlahan, sejenak pikiranku menjadi lebih tenang. Aku membasuh wajahku kembali, sekarang aku harus melupakan semua sisi gelapku dan semua pikiran beracun itu. Air kembali membasahi wajahku, lupakan semua kenangan buruk itu. Aku mematikan keran dan menatap kembali pantulan diriku di kaca.

Aku melihat seorang remaja laki-laki biasa menatapku balik, matanya cerah dan wajahnya terlihat sedikit nakal. Perfect! Inilah Uzumaki Naruto yang dikenal semua orang.

Saatnya untuk memulai hari baru penuh kebohongan kembali, ha....ha....ha.....

***

Gaara POV

Aku menatap jam alarm yang sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Aku menaruh jam alarm pada tempat semula dan beranjak dari tempat tidur. Aku merasakan badanku lemas dan kepalaku melayang. Efek karena aku tidak nyaris tidak pernah tidur setiap malam.

Aku menggosok mataku yang terasa berat, namun semua pandangan menjadi kabur. Gelap dan rasanya tubuhku melayang tanpa tujuan.

Dan di sana aku melihatnya. Aku membelalakkan mata berusaha menyakinkan kalau ini hanya halusinasi efek dari insomnia. Namun, tak ayal tubuhku gemetar, aku bisa merasakan betapa berat tekanan dari semua kenangan-kenangan menyakitkan kembali menghantam kepalaku. Aku meringis dan berusaha mencari sesuatu dalam sakuku.

Saat aku merasakan tanganku menyentuh sebuah benda logam tanpa pikir panjang aku segera mengelurkannya dan menoreh luka dalam pada telapak tangan kiriku. Rasa sakit menyerang dimana luka tersebut berada namun pandanganku kembali lebih jelas. Aku bisa melihat pemandangan kamarku lagi dan lega melihat bayangan orang itu sudah menghilang. Aku melirik luka di telapak tangan kiriku, darah segar mengalir dari luka gores yang panjang yang kubuat menggunakan pisau. Sensasi rasa sakit yang membuat mataku terbuka lebar dan pikiranku tenang sejenak.

Aku menyukainya. Aku menjilat darah yang mengalir di tanganku sedikit. Aku tahu ini gila, tapi aku senang menyakiti diriku sendiri.

Rasa sakit membuatku lupa betapa gelap dan kejamnya dunia ini bagiku. Kepalaku menjadi lebih ringan dan aku sadar kalau aku masih "hidup". Rasa sakit membuatku merasa nyata, ada dan memiliki arti. Terlebih rasa sakit bisa mengalihkanku dari semua bayangan gelap dari masa laluku yang kelam, bagus kan?

Setidaknya aku hanya menyakiti diriku sendiri dan tidak menyakiti orang lain, jadi bagiku ini bukanlah sebuah tindak kejahatan. Selama aku yang memegang kontrol atas semua rasa sakit ini bagiku semua akan baik-baik saja.

Semua akan baik-baik saja.....

Namun sebenarnya aku percaya suatu hal yang buruk akan terjadi karena kebiasaan burukku ini.

Aku mendesah, percuma memikirkan hal seperti itu sekarang. Lebih baik aku segera bergegas berangkat ke sekolah, aku masih harus mengatur pertemuan rapat anggota OSIS nanti siang.

Ya, meskipun aku ini seorang self-injury namun kenyataannya aku adalh seorang ketua OSIS.

Aneh.....

Namun, aku harus berusaha keras dalam hidup bermasyarakat, meski aku mengakui kalau aku ini antis-sosial namun aku harus bisa menjalani kehidupanku dengan baik

Setidaknya aku ingin menjalani kehidupan yang normal.

Setidaknya......

***

Naruto POV

Aku melangkah masuk menuju gerbang sekolah, senyum senantiasa terpulas di bibirku seakan aku baru menang lotre berhadiah milyaran. Aku menyapa dan melambaikan tangan pada anak-anak yang kukenal, aku pun membalas sapaan orang-orang yang mengenalku meski aku tidak mengenal mereka. Aku membetulkan posisi ranselku sedikit dan menatap ke depan.

Satu lagi hari yang penuh kebohongan indah.

"Naruto!" aku menoleh dan tersenyum melihat Kiba melambaikan tanganku dari kejauhan. Ia berlari mendekat padaku dan memukul pundakku.

"Tampaknya kau senang sekali, kau tahu? Kupikir senyummu itu begitu lebar sampai membelah wajahmu jadi dua," candanya. Aku hanya tertawa sambil memukul pundaknya pelan.

"Jangan ngomong ngaco, kau ini.....lupa minum obat ya?" sindirku. Kali ini Kiba yang meracau seperti anjing. Aku hanya bisa tertawa. Kiba memiliki kepribadian yang mirip denganku, tak heran kami jadi cepat akrab.

"Oh ya, hari ini aku dan teman-temanku mau pergi ke Karaoke, kau mau ikut tidak?" tanyanya. Aku menoleh padanya dan mengangguk. Kami sudah memasuki gedung sekolah dan aku segera menghampiri loker sepatuku berada. Loker sepatu milik Kiba berada jauh dari milikku karena kami beda kelas. Aku mengganti sepasang sepatu sketchku dengan sepatu indoor sekolah.

"Oi, Naruto! Jangan lupa! Sepulang sekolah janjian di gerbang ya!" teriak Kiba dan ia berlari menuju kelasnya.

"Iya..iya aku tahu," sahutku meski tidak yakin kalau Kiba bisa mendengarnya. Aku melangkahkan kakiku menaiki lantai 2. Kelasku ada di gedung sekolah sebelah barat di lantai 2. Sementara kelas Kiba ada di gedung sekolah bagian timur. Meski sebenarnya aku bingung, apa gunanya memisahkan satu angkatan di gedung yang berbeda, tapi yah, itu bukan urusanku.

Aku terus berjalan di koridor. Aku melihat keluar jendela, melihat langit yang cerah dan berwarna biru.

"Ekh? Bukannya hari ini hari Rabu? Gawat! Kan aku ada piket!" jeritku secara bodohnya baru sadar. Aku segera mempercepat laju langkahku dan bergegas menuju kelas. Namun, saat berbelok di tikungan koridor aku menabrak sesuatu sampai jatuh terjungkal ke tanah.

"Aduh....," ringisku merasa pinggangku sakit sekali. Aku menengadahkan kepalaku dan sadar siapa yang kutabrak.

Sang Murid Sempurna, Ketua Osis, Sabaku no Gaara.

Aku tersenyum sinis saat ingat nickname orang yang kutabrak. Gaara adalah murid teladan yang selalu dijuluki "sempurna" oleh para guru dan para murid. Dibandingkan dengan siswa bandel dengan otak pas-pasan sepertiku benar-benar berbeda kasta. Kasarnya, seandainya diibaratkan, dia itu golongan bangsawan sementara aku rakyat jelata.

Tapi, karena sekolah ini sekolah yang adil dan memandang hak asasi manusia, maka rakyat jelata sepertiku bisa sekelas dengan seorang bangsawan seperti dirinya.

Aneh ya?

"Oh, maaf!" kataku setelah lama melamun. Aku segera berdiri dan menepuk-nepuk celanaku yang kotor karena debu. Kulihat Gaara terduduk di lantai, sejak kutabrak tadi ia tidak bergerak. Hanya terdiam, duduk di sana tanpa suara.

"Anu, Gaara, kau tidak apa-apa?" tanyaku khawatir. Aku membungkukkan badan dan mengulurkan tanganku, berniat membantunya berdiri. Ia menengadahkan kepalanya dan menatapku dengan matanya yang dingin. Ia tidak menyambut uluran tanganku dan berdiri dengan tenaganya sendiri. Aku pun menarik kembali tanganku, merasa jadi orang bodoh.

"Kalau jalan hati-hati, kau bisa melukai orang lain bila berlari di koridor seperti tadi," tagurnya dengan nada datar. Dengan raut wajah nervous, aku hanya bisa tertawa ironis sambil menghaturkan kata maaf

Ia membetulkan posisi dasinya yang agak mirip dan saat itu aku baru sadar kalau tangan kirinya terbalut perban. Ia tampak sadar kalau tatapanku tertuju pada perban putih yang ada di tangan kirinya. Aku menatap matanya dan ia hanya membalasku dengan tatapan dingin.

Aku hampir ingin menampar diriku sendiri saat sadar aku nyaris membiarkan topengku pecah di sini. Aku berteriak pada diriku sendiri untuk tetap tenang.

Ada sesuatu pada diri orang ini yang berbeda.

Tapi, sekarang bukan saatnya untuk memikirkan hal itu.

"Luka itu....apa kamu tidak apa-apa?" tanyaku dengan nada khawatir. Sebuah pertanyaan yang hanya perwujudan dari sopan santun yang standar.

"Tidak apa-apa, aku terjatuh kemarin," jawabnya. Sebuah jawaban yang standar pula.

Ia pun berjalan melewatiku. Aku sadar mataku masih terpaku padanya. Namun, aku segera mendesah dan mencubit pipiku sedikit.

"Ini bukan saatnya untuk melepaskan topengmu, Uzumaki Naruto," bisikku pada diriku sendiri.

***

Naruto POV

Aku segera meraih gagang pintu dan menariknya terbuka. Kulangkahkan kaki masuk ke dalam apartemenku yang sepi dan hampa. Aku membuka sepatuku dan melipat kaus kaiku masuk ke dalamnya. Dengan pelan aku pakai sandal rumah dan berjalan menuju kamarku.

Satu lagi hari yang penuh kebohongan.

Aku tahu, seharusnya aku menolak ajakan Kiba untuk ke Karaoke. Mengahmbur-hamburkan uang dan waktu hanya untuk menyanyikan lagu. Belum lagi aku harus terus memasang topeng ini setiap saat. Aku mendesah dan aku berjalan masuk ke kamar mandi. Aku melihat di pantulan cermin, diriku dengan topeng yang mulai retak.

Ini adalah hal yang tidak biasa. Aku selalu menjaga agar topengku selalu terlihat sempurna, bila timbul retakan, aku tak ingin menanggung resiko saat topengku pecah di hadapan banyak orang.

Kepalaku sampai pusing karena aku harus mengerahkan tenaga ekstra agar tak ada yang tahu kalau topengku retak.

Karena aku adalah "Uzumaki Naruto, anak bandel yang selalu ceria, ramah, murah senyum, emosian dan mudah bergaul".

Lalu siapa diriku sebenarnya?

Siapa diriku di balik topeng ini sebenarnya?

Meski aku menanyakan hal itu tetap tak ada seorang pun yang menjawabnya.

Aku mendesah lagi. Aku menyalakan keran dan membasuh mukaku dari debu dan keringat. Aku masih ingat saat topengku retak.

Saat aku bertemu dengan Gaara.

Namun, hal itu tak menjawab apapun. Aku sering bertemu dan bertatapannya di kelas, hal itu adalah sesuatu yang tak bisa dihindari karena kami adalah teman sekelas. Tapi, aku tahu yang membuat topengku retak adalah dirinya.

Namun, mungkin ini juga karena diriku. Aku membiarkan hatiku yang paling gelap menyeruah keluar saat aku bertemu dengannya pagi ini.

Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku tertarik.

Aku menggelengkan kepalaku. Sudah sejak lama aku telah menutup diriku. Kupercaya kalau aku hanya "sendiri", aku tak membutuhkan orang lain. Hatiku membatu dan rasa simpatiku sirna, yang tersisa hanyalah topeng penuh kebohongan. Tak pernah sekalipun aku membiarkan seseorang mempengaruhi diriku, tapi mengapa.....

"Yang pasti luka di tangannya itu bukan karena jatuh, meski dijuluki sebagai murid yang sempurna tapi ternyata seorang Sabaku no Gaara bukanlah orang yang pandai berbohong," gumamku pada diriku sendiri. Aku meraih handuk yang tergantung di sebelah wastafel dan menghapus air yang mengalir di wajahku.

Semua orang memiliki topeng, termasuk si Ketua Osis itu. Dan kuakui, ia mengenakan topeng yang sangat langka kutemui.

Dan aku tak bisa mengatakan topeng macam apa yang ia kenakan dengan kata-kata.

Aku menoleh lagi pada cermin, kulihat topengku sudah runtuh dan mataku kembali menjadi gelap dan dingin.

Mata yang gelap. Mata yang mati dimana kau tak bisa temukan cahaya kehidupan di sana.

"Ia.....memiliki mata yang sama," gumamku lagi. Di balik topengnya yang dingin dan kuat, terdapat sepasang mata yang gelap sama seperti yang kumiliki.

Jadi, karena itu.....

"Ya sudahlah, meskipun ia juga memiliki mata yang sama denganku, itu sama sekali bukan urusanku," gumamku pada diriku sendiri.

"Kring....Kring...."

Aku terkejut melihat telepon rumahku berbunyi. Jarang ada yang meneleponku lewat telepon rumah, biasanya teman-temanku meneleponku lewat HP.

Aku segera meraih telepon dan mengangkatnya.

"Halo?" jawabku, berusaha mendengar suara siapa yang ada di seberang sana.

"Ah, Naruto?" aku kenal betul suara siapa itu.

"Kakashi-sensei?" tanyaku agak terkejut, lupa memakai nada bicaraku yang kencang dan cepat. Aku segera berdeham.

"Ada apa, Kakashi-sensei?" tanyaku lagi setelah memastikan suaraku sudah 'seceria' biasanya.

"Iruka...."

Aku mendengarkannya dengan seksama. Hatiku kalut namun kuusahakan untuk tenang. Setiap kata yang diucapkan oleh Kakashi-sensei kucerna baik-baik agar aku paham situasi yang sedang ia terangkan padaku. Hanya dengan nada bicaranya, aku tahu Kakashi-sensei sedang menyampaikan kabar buruk. Setelah ia selesai bicara aku hanya dapat menjatuhkan gagang telepon ke lantai.

Badanku gemetar karena emosiku meluap.

Sudah kubilang bukan? Manusia itu selalu begini

***

Naruto POV

Aku berlari sepanjang lorong rumah sakit. Aku bahkan tak peduli kalau topeng yang kukenakan masih jauh dari sempurna namun sayangnya hal itu bukan yang penting sekarang.

Karena, Iruka-sensei, waliku yang setidaknya masih kupercaya dari lubuk hatiku yang paling dalam mengalami kecelakaan.

Dan, meski Kakashi-sensei menjelaskan kalau Iruka mengalami kecelakaan mobil yang merupakan "murni kecelakaan mobil" namun setengah dari diriku tak percaya hal itu.

Setibanya aku di depan ruang gawat darurat aku melihat Kakashi-sensei yang terduduk di bangku yang disediakan khusus untuk orang yang menunggu. Aku berjalan menghampirinya, menggunakan waktu yang tersisa untuk mencoba menyempurnakan topeng yang kugunakan.

Setelah kurasa topengku sudah lumayan sempurna aku membiarkan dirkku yang paling gelap tertidur.

Meski aku yakin tak akan sepenuhnya berhasil pada saat seperti ini.

"KAKASHI-SENSEI!" jeritku dengan panik. Ya Tuhan! Iruka-sensei kecelakaan! Bagaimana itu bisa terjadi!? Ini pasti sengaja, ya ini pasti sengaja! Atau mungkin ini cuma April Mop? Atau ini cuma mimpi? Tak mungkin satu-satunya waliku, Iruka-sensei kecelakaan!? Tidak mungkin!

"Naruto, jangan berteriak di rumah sakit!" tegur Kakashi-sensei dengan nada gemetar. Dari matanya aku tahu ia sama paniknya dengan diriku.

"Kenapa? Bagaimana bisa?" tanyaku dengan tubuh gemetaran, aku mengampirinya dan menggoncang tubuhnya. Aku merasa sangat kesal, panik, takut, bingung, marah dan sedih pada saat yang sama. Aku merasakan tubuhku bisa meledak kapan saja.

"Iruka....kecelakaan mobil saat ia dalam perjalanan pulang," jawabnya lirih. Aku memandangnya dengan tatapan tak percaya.

"Bagaimana kecelakaannya?" tanyaku masih dengan nada tinggi.

"Jalanan licin karena baru saja hujan turun, ban mobil Iruka tergelincir dan mobil pun tak bisa dikendalikan, akhirnya....mobil Iruka menabrak pembatas jalan dan terpental karena kecepatan yang sangat tinggi," jelas Kakashi-sensei. Aku melihat mantan guru SDku yang biasanya selalu ceria dan tampak tenang terlihat begitu terpukul dan depresi.

"Mobil Iruka jatuh terbalik dan terseret sampai kira-kira 20 meter dari tempat ia menabrak pembatas jalan," lanjutnya. Aku hanya bisa menggigit bibirku dan mengepalkan tanganku kuat-kuat untuk menahan amarahku.

Kecelakaan yang sangat....sangat dahsyat. Aku tak bisa membayangkan betapa kritis kondisi guru Iruka sekarang.

***

Naruto POV

Aku menatap computer dengan mata dingin dan gelap. Sudah sejak lama akhirnya Iruka-sensei dipindahkan ke ruang ICU, dokter bilang Iruka-sensei sedang mengalami koma dan berada dalam masa yang sangat kritis. Ia mengalami gagar otak dan banyak kerusakan organ dalam yang ia alami.

Kakashi-sensei, orang yang kutahu paling dekat dengan Iruka-sensei (karena mereka adalah sepasang kekasih meski mereka tak pernah mengakui hal itu secara terang-terangan) setia menunggu Iruka-sensei di luar ruang ICU.

Dan aku? Kini aku memiliki pekerjaan baru untuk dilakukan.

Orang kebanyakan mungkin menganggap kalau itu hanya kecelakaan biasa. Namun, aku ingin memastikan dengan caraku sendiri bahwa kecelakaan itu memang cuma kecelakaan biasa. Aku men-scrool window mencari berita kecelakaan yang dengan cepat menyebar di internet. Kupandangi baik-baik foto TKP yang terpampang di beberapa website berita. Aku mencermati dengan serius potongan-potongan berita yang tersebar di beberapa forum.

Tak butuh waktu lama sampai aku menaruh curiga di tempat Iruka-sensei bekerja.

Ya, sudah sejak lama Iruka-sensei beralih profesi menjadi seorang karyawan di sebuah kantor swasta. Karena beliau sangat tekun dan menakjubkan tak butuh waktu lama sampai Iruka-sensei naik jabatan hanya dalam waktu kurun beberapa tahun.

Itulah sebabnya aku bisa memiliki apartemenku sendiri sementara Iruka-sensei tinggal bersama Kakashi-sensei, gaji Iruka-sensei sepadan dengan jabatannya.

Aku menaruh curiga pada perusahaan tempat Iruka-sensei bekerja, Hiiragi Company. Aku mengakses website Hiiragi Company dan mencek beberapa hal. Aku melirik jam yang ada di sebelah computer. Jam setengah 12 malam. Sekarang pasti tak ada kegeiatan di perusahaan yang bergerak dalam bidang perekonimoan itu.

Aku mendesah dan meregangkan tubuhku. Aku tahu ada yang tak beres dengan perusahaan ini, namun aku harus bersabar sampai pagi agar bisa menghack jaringan data Hiiragi Company. Lagipula sekarang sudah larut, lebih baik aku pergi dari warnet ini dan kembali ke rumah sakit. Kakashi-sensei pasti masih menunggu Iruka-sensei di sana.

Dan mungkin, aku butuh sedikit istirahat.

Namun yang jelas, besok akan kutelusuri kasus kecelakaan Iruka-sensei ini.

Bukan kah sudah kubilang? Dunia ini penuh kebohongan? Dunia fana ini penuh dengan kompetisi kotor. Dan sayangnya, kejadian ini kembali membuka mataku pada kenyataan itu.

***

Gaara POV

Aku melirik telapak tangan kiriku yang terluka. Pagi ini aku begitu gegabah dan melukai diriku di tempat yang mudah dilihat orang. Benar-benar bukan sesuatu yang bagus untuk dilakukan. Seharian ini semua orang terus menerus bertanya ada apa dengan tangan kiriku dan terus menerus aku menjawab pertanyaan mereka dengan jawaban yang sama.

Lain kali aku harus lebih berhati-hati dengan hal ini. Aku harus memilih tempat dimana orang tak bisa melihat lukaku.

Aku meraih silet yang ada di pinggi wastafel. Kulihat pantulan diriku di cermin, begitu banyak luka dan memar yang tersembunyi dibalik pakaian tertutup yang selalu kukenakan. Aku menyugingkan sebuah seringai. Luka-luka ini membantuku lupa dengan semua masalahku dan masa laluku. Setiap sebuah luka ditorehkan pada diriku aku merasakan sensasi yang sulit dikatakan dengan kata-kata. Sakit, perasaan hidup yang semakin menguat, pikiran yang terasa dibelah dua dan juga lenyapnya segala beban yang ada di pundakku.

Tapi, meski aku senang menyakiti diriku bukan berarti aku senang disakiti oleh orang lain. Luka yang kubuat tak terasa sakit namun bila orang lain yang membuatnya, aku bisa merasakan jiwaku tercabik-cabik. Mungkin terdengar berlebihan, namun memang begitulah adanya.

Karena takut terluka, aku tak pernah membiarkan diriku dekat dengan orang lain. Aku tak ingin orang menyentuhku, aku tak ingin orang menyakitiku, aku tak ingin orang merasai diriku. Cukup hanya dengan mencintai diriku, aku sudah mengerti betapa manisnya hidup ini.

Tapi, sayangnya, sebagai manusia yang tak berdaya, aku tetap harus terus bersosialisasi untuk bisa terus hidup. Bersosialisasi berarti hidup di tengah masyarakat. Hidup di tengah masyarakat berarti tingginya resiko akan muncul seseorang yang akan menyakiti diriku.

Sakit. Tangis. Jeritan. Raungan. Meringis. Luka. Darah. Air mata. Api. Pisau. Tatapan dingin. Bisikan menyakitkan. Rintihan. Hentikan. Sakit. Sendiri. Kesepian. Aku ingin berhenti. Permohona. Tolong. Terjebak. Bunuh. Siksa. Perkosa. Curi. Hantam. Pukul. Tolong aku. Tendang. Sakit. Sakit. Sakit. Sakit. Sakit. Sakit. SAKIT!

Menakutkan....manusia itu sangat menakutkan. Aku bahkan takut pada diriku sendiri. Seandainya aku terlahir bukan menjadi manusia. Betapa mengerikannya manusia. Aku merasa harus terus menerus melukai diriku untuk meyakinkan kalau aku ini kuat! Aku kuat!

Aku menggelengkan kepalaku. Efek dari insomnia kembali datang, pikiranku labil dan emosi sering terguncang, aku sering melihat ilusi dan menjadi panik tiba-tiba.

Aku mendesah. Manusia sangat menakutkan. Tapi, mungkin diriku lah sebenarnya yang paling menakutkan. Seorang yang terkena insomnia yang depresi karena selalu dihantui dengan masa lalu yang kelam dan berakhir menjadi seorang self injury. Seseorang yang senang menyakiti dirinya sendiri.

Tidak, tunggu, aku tak tahu apakah diriku ini seorang self injury atau bukan. Untuk mengklaim seseorang yang mengalami gangguan jiwa seperti self injury, psychopath, ataupun paranoia harus melalui serangkaian tes medis dan pemeriksaan. Sangat merepotkan bukan? Karena itu aku tahu apakah diriku ini adalah seorang self injury atau bukan.

Banyak orang di luar sana yang sering mengata-ngatai orang psycho, paranoid dan sebagainya. Padahal sang psycho itu sendiri tak tahu apakah ia seorang psycho atau bukan.

"Gaara?"

Aku terkejut dan menjatuhkan silet ke lantai, aku hanya berhasil membuat luka kecil di pundakku sebelum pikiranku melayang tak karuan.

"Ya?" dengan pelan aku menjawab dari dalam kamar mandi di dalam kamarku.

"Kamu makan malam ingin makan apa?" tanya kakak perempuan yang tak lain tak bukan adalah Temari.

"Apa saja," jawabku datar. Aku mendengar kakakku menggumamkan sesuatu namun tak kupedulikan. Setelah ia pergi aku menarik napas lega. Aku membasuh beberapa lukaku yang masih baru dan membalutnya dengan perban. Setelah itu aku memakai kaos lengan panjang warna hitam dan melangkah keluar kamar mandi.

Waktunya untuk kembali ke dunia nyata. Pekerjaanku sebagai Ketua Osis sudah menunggu di meja belajarku.

Yah...seorang berpenyakit mental seperti diriku ternyata masih bisa memiliki kehidupan yang cukup normal ya?


Dan, sampai situlah!

Jika ada yang bertanya-tanya, apa itu self-injury, silahkan cari di google *dilemparin tomat sama pembaca*. Ok. Self-injury adalah sebuah penyakit mental dimana seseorang senang melukai dirinya sendiri, berbeda dengan masochist yang senang menyakiti diri sendiri demi mendapatkan kepuasan seksual, self-injury lebih seperti pelampiasan rasa stress dengan melukai diri sendiri atau pun 'menjaga' diri sendiri dengan menyakiti diri sendiri. Seorang self-injury senang menyakiti diri sendiri namun sangat takut bila dilukai oleh orang lain. Latar belakang munculnya penyakit mental self-injury itu sendiri bermacam-macam, di antaranya stress, masa lalu yang tidak bahagia, keluarga tidak harmonis dan sebagainya.

Segitu aja kali ya? Sayang, data self-injury dalam dikit banget sih :P

Kapan2 kucari, chapter berikutnya akan kujelaskan apa itu psychopath secara mendetail, jangan salah sangka. Ternyata, pengertian psychopath itu bener-bener beda dengan yang selama ini kita tahu lho ^_^

Jangan lupa! Reviewnya! Bila ada yg ingin menyumbangkan ide ataupun pertanyaan silahkan kirim lewat PM atau review. Bagi spammer juga silahkan, saya tidak keberatan, malah mungkin senang *dasar gila

R-E-V-I-E-W!

Jangan lupa, berlanjutnya fic ini ada di tangan anda, review sedikit farewel! XD *digebuk masa

Adios~ *terbang pake sapu sihir