Dengan begini, aku dapat meraihmu, adikku.

"Naoya."

Aku menatap ke arah wanita berumur sekitar 30 tahun yang menatapku dengan air mata terus mengalir dari bola matanya. Di samping wanita itu, seorang laki-laki yang berwajah hampir mirip dengan ayahku tetapi lebih muda beberapa tahun darinya berdiri dengan mata sembab.

Tapi perhatianku tidak ke arah kedua orang itu. Seorang anak laki-laki yang berusia sekitar 3 tahun berdiri di belakang kaki ayahnya sambil menatapku takut, malu, dan penasaran. Dia memiliki rambut hitam kebiruan dan bola mata biru laut. Tangannya yang mungil memegang kain celana ayahnya seakan-akan benda itu dapat melindunginya dariku.

Kau tidak akan bisa lari dariku.

"Naoya, mulai sekarang kau akan tinggal bersama kami," kata bibiku sambil mengelus rambut perakku.

Ya, tentu saja. Seperti yang sudah aku rencanakan.

"Kaoru, beri salam pada kakak sepupumu. Mulai hari ini Naoya oni-san akan tinggal bersama kita. Ayo." Dengan sedikit paksaan, pamanku berhasil membuat Kaoru berdiri di hadapanku. Lalu dia pergi bersama istrinya ke arah kerabat lainnya.

Aku berlutut di depan Kaoru. Kedua tangannya saling bertautan dan pandangannya selalu terarah pada lantai. Aku tahu dia sangat takut padaku. Aku tahu dia ingin menangis. Tetapi aku melakukan hal ini untuk kebaikannya sendiri. Aku tidak ingin dia melakukan kesalahan seperti yang dia lakukan di kehidupan kami sebelumnya.

"Halo, Kaoru. Terakhir kali aku melihatmu kau sangat kecil."

Dan sangat rapuh.

Kaoru akhirnya berani menatapku dan menatapku dengan bola matanya yang besar. Senyum ragu muncul di wajahnya. Perlahan aku mengulurkan tanganku untuk menyentuh pipinya yang hangat dan lembut. Dia melakukan hal yang sama kepadaku.

"Oni-san punya warna mata aneh. Ibu, ayah, dan Kaoru berwarna biru."

"Itu karena aku albino."

"Albino? Apa albino juga membuat rambutmu memutih, oni-san?"

"Tentu."

Tangan kecilnya mulai membelai rambutku dengan sangat hati-hati seakan-akan dia takut akan melukaiku. Dia seharusnya mengkhawatirkan dirinya sendiri.

"Rambutmu sangat cantik. Dan lembut. Dan putih. Dan cantik," Kaoru terus-terusan memuji rambut dan mataku yang berbeda dari orang lain.

"Kaoru apa kau tahu apa yang baru saja menimpaku?"

"Hu-uh." Kaoru menatapku sedih. "Ibu bilang paman dan bibi tidak akan kembali. Ibu bilang oni-san sedih. Kaoru tidak ingin oni-san sedih."

Selalu memikirkan orang lain, huh, adik kecil?

"Apa kau mau membuatku bahagia?"

Kaoru menatapku penasaran. "Bagaimana?"

Serahkan seluruh jiwa dan ragamu, adikku.

"Kau harus berjanji untuk selalu menjadi anak baik dan menurutiku karena apapun yang akan aku lakukan itu untuk kebaikanmu sendiri. Kau berjanji?"

Kaoru hanya menatapku.

"Aku akan berusaha untuk menjadi kakak yang baik untukmu. Apa kau percaya padaku? Aku tidak akan membiarkan Dia melukaimu."

Walaupun ragu, Kaoru mengangguk dan tersenyum ke arahku. "Ya, janji."

Sekarang kau berada di genggamanku, Abel.