"Miss Vainamoinen, jalan anda terlalu cepat," ujar manajernya dengan nada sedikit keras. Gadis Finlandia yang bernama Tiina Vainamoinen tersebut cuek saja sambil menenteng tas besar yang kemungkinan berisi pakaian-pakaian siap pakai. Ia tidak akan mengatakan kepada manajernya kemana ia akan pergi, tentu saja ia tidak akan mengatakan. Bisa-bisa manajernya marah-marah kepadanya tanpa alasan. Manajernya yang berkebangsaan Estonia tersebut terlalu kuatir dengan Tiina, tentu jika sampai manajernya tahu ia pergi bersama pria. Pulang-pulang ia akan dimarahi habis-habisan hingga Tiina mimpi buruk karenanya.

"Miss Vainamoinen! Kau dengar apa kata-kataku!" bentak sang manajer kehabisan kesabaran. "Aku ingin kau kembali."

Tiina menoleh dan menjulurkan lidah pada manajernya. Siapa juga yang mau mendengar jika dengan nada marah-marah seperti itu, lebih baik ia kabur dibandingkan selama liburan ia menderita dibawah teriakan manajernya yang sok galak itu. "Dengar, aku ingin bersenang-senang dan ini sedang libur. Tidak ada pekerjaan untuk dua minggu ini bukan?"

"Miss Vainamoinen!" gerutu manajernya kesal. "Kau seorang artis, bersikaplah dengan elegan!"

Tiina menatap manajernya yang berkebangsaan Estonia itu dengan tatapan usil. "Aku sedang off duty, jadi biarkan aku bersenang-senang dalam dua minggu ini."

Selesai Tiina mengatakan hal itu, ia langsung berlari meninggalkan manajernya tanpa beban. Bukan apa-apa, kali ini ia ingin benar-benar bebas dalam dua minggu ini. Pasalnya ia ingin menghabiskan waktu dengan seseorang yang ia cari sejak dulu. Hampir di setiap waktunya, Tiina memikirkan orang itu hingga ia hampir gila karenanya. Setiap memikirkannya, hati Tiina berdesir kencang dan tubuh Tiina dirambati panas dingin yang amat sangat. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh terhadap pria Swedia yang bertemu dengan Tiina di gedung aula. Ciuman pria Swedia itu membuat Tiina seperti di langit ketujuh. Tampak dingin diluar tetapi hangat di dalam, sama seperti ketika Tiina masih kecil.

Dulu Tiina merasakan bahwa Berwald lebih mirip seperti ayah bahkan Tiina merasa takut kepadanya karena ia berpikir Berwald akan membunuhnya hidup-hidup akibat kenakalannya di masa kanak-kanak. Sebenarnya, itu merupakan kesalahan Tiina sendiri karena Tiina tidak menurut di hutan sehingga Tiina hilang di sana dan ditemukan Berwald. Berwald bermaksud menolongnya tetapi Tiina sudah salah sangka terlebih dahulu dan berusaha kabur sehingga ia terjatuh. Di luar dugaan, Berwald sama sekali tidak seperti apa yang ia pikirkan, berbeda 180 derajat. Pria itu menolong Tiina agar sampai ke rumah dan mengobati luka-luka di tubuh Tiina.

Tetapi sekarang, ia bukan merasa takut kepada Berwald—melainkan ada hasrat tersembunyi untuk memiliki Berwald di dalam dekapannya. Hasrat yang tidak terkendali. Karena setiap Tiina mengingatnya, seperti ada sesuatu yang tumbuh di dalam diri Tiina. Bunga yang bermekaran di dalam hatinya yang paling mendalam. Berwald selalu berada di dalam mimpinya hampir setiap malam. Mimpi indah dan liar, membayangkan dirinya menjadi milik Berwald sepenuhnya. Mungkin ini adalah ide gila, tetapi Tiina sama sekali tidak bisa mengenyahkan hal itu sedikit saja.

Mungkinkah ini yang namanya cinta?

"Ber—wald," gumam Tiina tanpa sadar, wajahnya memerah. Membayangkan dirinya dan Berwald berada di suatu tempat, memadu kasih di sebuah ruangan dengan nikmatnya. Mengapa aku tidak bisa berhenti memikirkan pria ini barang sedikit saja? Aku tidak boleh jatuh cinta padanya—ia tidak mungkin serius pada gadis bau kencur seperti diriku. Lagipula aku seorang artis dan model, cinta urusan kesekian. Aku benar-benar bodoh.

.

.

.

Siempre En Mi Corazon [Always In My Heart]

Hidekaz Himaruya © APH

Heineken Absolute © fanfiction

Pairing: Sve x femFin

genderbent, don't like don't read, AU series

.

.

.

Di suatu pedesaan terpencil yang tenang, terdapat sebuah villa yang menghadap ke sungai. Suasana di sana benar-benar tenang tanpa gangguan. Itu membuat seorang pria berusia empat puluh tujuh tahun dapat bersantai di kursi malas, menunggu seseorang yang selalu dicintainya nyaris seumur hidupnya.

Ya, cinta yang muncul belakangan. Cinta yang sulit dimengerti oleh kebanyakan orang. Suatu perasaan yang sulit dijabarkan melalui kata-kata sekalipun. Hanya hati yang menentukan akan jadi seperti apa nantinya perasaan itu berkembang.

Pria itu adalah Berwald Oxenstierna, seorang ahli interior terkemuka di Swedia. Banyak penghargaan yang pria itu telah raih dan seiring dengan kesuksesannya banyak wanita cantik dan muda mendekatinya hanya untuk berkencan dengan Berwald sekaligus (kebanyakan) dari mereka, memiliki niat terselubung untuk mengeruk harta kekayaan Berwald. Tentu saja hal itu membuat Berwald kesal dan hampir setiap hari ia selalu mengusir wanita-wanita yang datang ke rumahnya. Dan semakin ia melakukan hal itu, hasratnya terhadap gadis kecil yang telah beranjak dewasa itu semakin gila dan membesar.

Ia sudah berusia empat puluh tujuh tahun dan wajahnya masih terlihat seperti pria yang usianya sekitar pertengahan tiga puluh lima tahun. Berwald sendiri tidak yakin apakah ia harus menghabiskan hidupnya sebagai bujang lapuk yang kesepian. Wanita-wanita yang sering mendatanginya kebanyakan sama sekali tidak tulus kepadanya dan itu semua bukan keinginan Berwald. Ia mendambakan suatu hari ada seorang wanita yang kelak yang menjadi istri idealnya dan menerima dirinya apa adanya tanpa merasa takut.

Ia berharap gadis itu adalah Tiina Vainamoinen.

"Lama sekali," gumam Berwald dan menghela nafas panjang. Tentu ia berharap Tiina bisa datang untuk menghabiskan waktu bersamanya. Berwald mengerti pekerjaan Tiina sebagai model dan aktris sudah mengorbankan banyak hal, baik waktu, pikiran dan tenaga yang ada. Bisa menghabiskan beberapa jam dengan Tiina saja sudah cukup.

Kalaupun Tiina tidak bisa datang, itu sama sekali tidak apa-apa. Tetapi bersama Tiina-lah, ia merasa diterima apa adanya dan dipahami dengan baik. Itulah yang membedakan Tiina dengan wanita-wanita yang sering mendatanginya. Dari sekian banyak wanita yang mendatanginya, hanya Tiina seorang yang mampu menempati posisi teratas di hati Berwald terlepas gadis itu masih sangat muda sekali. Ia hanya bisa bertemu dengan Tiina dua hari sekali dengan waktu hanya tiga jam saja, terkadang jika mereka berdua sibuk akan sulit bertemu satu sama lainnya.

Tak berapa lama, seorang gadis datang sambil berlari secepat kilat dan hampir saja terpeleset ketika sudah mendekati villa yang akan ditempati mereka berdua. Untung saja Berwald segera menahan tubuhnya dengan erat. Jika tidak, mungkin Tiina akan terjatuh dan wajah cantiknya akan terluka. Itu kemungkinan terburuk yang bisa ia pikirkan.

"Ber—hosh—aku datang Ber!" kata Tiina ngos-ngosan sambil membawa ransel besar dengan wajah kelelahan. Ia habis berlari menghindari kejaran manajernya yang super nekad itu. "Maaf, aku lama sekali—moi."

Malaikat kecilku telah datang, batin Berwald di dalam hati. Ia bertekad akan menahan Tiina selama beberapa hari dan memiliki gadis itu dalam dekapannya—atau lebih tepatnya menculik Tiina ke dalam ranjangnya. Memang Tiina sudah terlambat dari waktu yang dijanjikan, sekitar dua jam lebih. Ia melangkah dan mendekati Tiina yang lebih pendek darinya sekitar dua puluh sentimenter darinya.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya pelan dan mengangkat dagu Tiina agar sejajar dengan wajah Berwald lalu mengecup bibir Tiina dengan penuh hasrat mendalam. "Lama sekali?"

Tiina mengerang, ia sendiri ragu dengan perasaannya terhadap Berwald tetapi ia dan Berwald sering sekali melakukan hal seperti ini—hampir setiap kali mereka bertemu. Bukankah ia sama saja seperti memberi harapan pada Berwald. Ia tahu Berwald tertarik kepadanya tetapi tidak mungkin Berwald menyukai gadis semuda Tiina. Bagi Berwald, mungkin Tiina hanyalah anak kecil yang dijadikan uji coba percintaan pria diatas empat puluhan. Mengingat Tiina sama sekali belum pernah menjalin hubungan dengan pria manapun. Seumur hidupnya, ia tidak pernah jatuh cinta pada pria manapun karena pria-pria yang dekat dengan Tiina lebih mirip dengan sahabat dekat dibandingkan seorang kekasih.

Tapi Tiina merasa nyaman diperlakukan mesra dengan cara berbeda seperti ini. Musim semi yang baru dimulai seperti ini menggodanya untuk bercumbu di suatu tempat yang tidak terjangkau oleh orang banyak. Harus Tiina akui, ia merasa senang berada di lengan kokoh Berwald yang menjaganya. Berwald membuat Tiina merasa aman dan terlindungi. Ia bisa merasakannya dari tindakan Berwald itu sendiri.

"Aku baik-baik saja," jawab Tiina dengan wajah merona merah, melepaskan bibirnya dari bibir Berwald. "Maaf aku terlambat. Itu karena—."

Belum selesai Tiina bicara, Berwald berusaha melepaskan ransel berat yang menempel di punggung Tiina. Dengan sigap, Berwald mengangkat ransel besar milik Tiina dan membawanya ke dalam. "Biar aku bawa," gumamnya dengan nada tidak jelas dan menatap Tiina dengan tatapan maut seperti yang biasanya ditunjukkan kepada orang-orang di sekitarnya. "Istirahatlah!"

"Ber!" panggil Tiina pelan dan memegang salah satu tangan Berwald dengan erat. "Tidak usah seperti itu! Itu benda milikku!"

"Diamlah!" balas Berwald dingin dan menepis tangan Tiina dengan sedikit kasar. "Jangan membantah!"

"Tapi—"

Berwald mendiamkannya, hanya karena ia bersikeras untuk membawa barangnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Pria di depannya ini memang tidak mampu berkomunikasi dengan baik dan jika orang-orang tidak benar-benar mengenalnya, mungkin akan berpikiran Berwald adalah pria yang jahat. Tiina tidak mungkin merasa kesal pada Berwald karena hal itu karena begitulah Berwald. Ia menerima apa adanya Berwald dan memahami pria itu, tahu betapa pria itu mempedulikannya walau tidak terlihat secara gamblang. Mata Tiina terus menatap punggung Berwald yang membawa barang miliknya ke dalam villa kecil dan perlahan-lahan mengikutinya seperti anak anjing yang kehilangan induknya. Ia merasa Berwald marah kepadanya karena sudah terlambat dalam waktu yang lama. Sudah dua jam lebih dari waktu yang dijanjikan.

"Ber marah padaku?" tanya Tiina polos, ia mulai merasa bersalah karena keterlambatannya. "Karena aku telat datang?"

"Tidak begitu," jawabnya datar dan terus berjalan ke kamar tanpa menatap Tiina sedikitpun. Ia bukannya sedang marah tetapi ia merasa kesal dirinya sama sekali tidak berguna. Ia takut kehilangan Tiina seperti dulu dan juga mengetahuinya mengapa Tiina membawa barangnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Pasti manajer sialan itu menahan Tiina agar tidak pergi padahal Tiina sedang libur dari pekerjaannya. Manajernya yang berkebangsaan Estonia itu layak dihajar sampai mati, batin Berwald panas dan diselimuti oleh rasa cemburu. Berwald yakin manajer Tiina ingin mencari kesempatan di dalam kesempitan.

Harus diakui, Berwald cemburu dan panas hati terhadap semua pria yang menjadi lawan main Tiina di televisi. Hanya Berwald seorang yang boleh memiliki Tiina di dalam dekapannya. Jika berani, mungkin Berwald akan menghajar mereka satu per satu dengan tatapan mautnya yang biasa ia lancarkan kepada setiap orang.

"Tapi apa?" desak Tiina mulai kesal, teringat ciuman mesra yang baru saja mereka lakukan beberapa menit lalu. Kesal karena Berwald tiba-tiba berubah begitu saja tanpa alasan, membuat Tiina jadi merasa serba salah. Berwald memang seringkali membuat Tiina merasa bingung dan salah paham dan ia berusaha memahaminya walau terkadang hati Tiina merasa sakit karena perlakuan Berwald yang agak suka memaksanya. "Tadi Ber bersikap lembut padaku, mengapa tiba-tiba seperti ini? Jika Ber marah karena aku terlambat datang, aku minta maaf."

"Tidak perlu," gumam Berwald dingin.

"Jadi maumu apa, Ber?" balas Tiina, mulai kesal dengan ketidakjelasan Berwald.

Langkah Berwald terhenti dan perlahan-lahan membalikkan tubuhnya dan menatap Tiina. Dalam dan lama, rasanya seperti obat candu yang memabukkan. Berwald tidak akan pernah puas menatap Tiina untuk setiap waktu. Ingin rasanya Berwald memiliki Tiina seutuhnya saat ini juga dan menyeretnya ke altar. Persetan dengan manajernya yang sok galak itu. Pria itu merasa bahwa semakin lama Tiina semakin cantik dan terlihat dewasa walau masih ada beberapa sikap Tiina yang menunjukkan sisi kekanakkannya. Nafsunya terhadap Tiina sudah tidak bisa terhenti lagi, sekarang inilah saatnya untuk melancarkan serangan cintanya kepada Tiina.

"Kau mau tahu?"

"Eh?"

Tak berapa lama Berwald menarik Tiina ke sofa terdekat dan menjatuhkan Tiina ke dalam sofa besar. Lalu ia menahan kedua tangan Tiina ke belakang dengan salah satu tangannya. "Aku ingin—menjadikanmu milikku seutuhnya," gumamnya pelan dan menciumi leher Tiina yang mulus. Berusaha menyisakan kiss mark di leher gadis Finlandia itu. Gadis yang masih suci dan belum tersentuh sedikitpun.

Lembut dan manis, seperti beludru. Indahnya leher itu, sama seperti pertama kalinya Berwald bertemu dengan Tiina dan menciumnya, tetapi hanya sekedar kecupan lembut manis tanpa membekas.

"B—Ber, apa yang mau kaulakukan di tempat seperti ini," Tiina terkejut ketika menyadari Berwald menciumi lehernya dengan ganas. "Hen—hentikan, kumohon."

Sayangnya tidak, semakin Tiina meminta berhenti, semakin pula gigitan Berwald di leher Tiina menguat. Lalu Berwald melepaskan gigitannya dari leher Tiina dan membuka kancing baju Tiina sedikit demi sedikit tanpa ada yang terlewatkan. Melemparkan baju itu entah kemana hingga menyisakan pakaian dalam saja. Mata Berwald memandangi tubuh Tiina yang kini setengah telanjang dengan tatapan seorang pria. Ya Tuhan, Tiina membuatnya gila.

Tiina memekik pelan dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Malu mendapati dirinya setengah telanjang seperti ini. Memang ia adalah seorang model tetapi seumur-umur ia tidak pernah berpose dalam keadaan terbuka. Tetapi ini jauh lebih parah, tubuhnya terpampang di mata seorang pria. Berwald lalu menyentuh bibir Tiina perlahan dan memberi kecupan pembuka untuknya. Beberapa saat kemudian, jengkal demi jengkal ia menyusuri kulit Tiina yang mulus hingga gadis itu semakin gemetaran karenanya.

"Malam ini juga—izinkan aku melakukannya," desisnya setengah meracau di telinga Tiina. "Kau milikku, Tiina."

TBC