Disclaimer: Harry Potter milik J.K. Rowling.

Pairing: Hermione Granger & Draco Malfoy.

Rating: T


Draco Malfoy yang aku kenal itu senang berbuat onar.

Sejak seremoni Topi Seleksi di awal tahun ajaran pertama, sudah tak terhitung berapa kali dia membuat aku dan dua teman baikku, Harry James Potter serta Ronald Bilius Weasley naik darah dengan semua tingkah kekanak-kanakannya.

Kenakalan paling parah menurutku terjadi saat kami duduk di tahun ketiga. Ketika itu, Malfoy mengacaukan impian salah satu staf favoritku, Rubeus Hagrid untuk menjadi guru tetap di Sekolah Sihir Hogwarts.

Bayangkan saja, si brengsek itu berani memfitnah kalau Hippogriff kesayangan Hagrid, Buckbeak berniat mencabik-cabik tubuhnya saat jam pelajaran Pemeliharaan Satwa Gaib. Padahal, dialah yang bersalah karena nekat memancing emosi Buckbeak yang memang terkenal sebagai hewan eksotis berharga diri selangit.

Memanfaatkan posisi penting dan kekuasaan ayahnya di Kementerian Sihir Inggris serta Dewan Sekolah Hogwarts, Malfoy sukses membuat Buckbeak divonis hukuman mati. Aku, yang mencak-mencak sampai ke ubun-ubun akhirnya lepas kontrol dan meninju Malfoy.

Tepat di hidung mancung yang selalu dibangga-banggakannya!

Bagiku, insiden setahun lalu tersebut tak ubahnya puncak peperangan akbar kami dengan si pirang platina yang selalu mengaku-aku sebagai Pangeran Slytherin paling dikagumi itu.

Jadi, mengapa sekarang Draco Malfoy berdiri di sini? Memandangiku tanpa henti dengan sepasang telaga perak berkilat yang menyorot khawatir?

"Jaga bahasamu, Weasley," Malfoy berkomentar malas, menanggapi tanpa minat umpatan kotor yang dilayangkan Ron padanya. Mengarahkan mata sepucat rembulan purnama ke arahku, Malfoy kembali berkata-kata.

"Bukankah sebaiknya kau bergegas sekarang? Kau tak ingin dia kelihatan, bukan?"

Ucapan sinis Malfoy yang aku anggap sarat penghinaan terselubung kontan meletupkan bara emosi yang menggelegak mendidih di dalam hati. Tanpa ragu lagi, aku menghardik dengan volume membahana, berupaya mengalahkan gaung ledakan kutukan yang berdentum di sekeliling arena.

"Apa maksudmu, Malfoy?"

"Granger, mereka mencari Muggle. Apa kau mau memamerkan celana dalam di udara?" Malfoy bertanya geli. Dalam sedetik, aku berani bersumpah mata abu-abu peraknya sempat memancarkan seberkas kilat nakal.

"Kalau iya, tunggu saja di sini. Kau akan jadi tontonan lucu bagi kami semua," Malfoy melanjutkan lantunan ejekan sembari menyandarkan bidang tubuh tegap di batang pohon berbonggol-bonggol. Menyilangkan lengan di dada, dagu runcingnya mendongak pongah. Keseluruhan auranya jelas-jelas menunjukkan semangat percaya diri serta superioritasnya sebagai seorang penyihir berdarah murni.

Gemas melihat tampang congkak Malfoy yang luar biasa menyebalkan, aku berniat menyerang dengan cercaan tajam yang sudah kuhafal luar dalam. Tapi, belum sempat aku berkhotbah, Harry langsung maju membela.

"Hermione penyihir, Malfoy!"

Bibir sempurna Malfoy terangkat ke atas, meliukkan seringai meremehkan. Senyum merendahkan yang ingin aku hapus secepatnya dengan selusin cacian berbisa.

"Terserah kau, Potter. Kalau menurutmu mereka tak bisa melihat Darah Lumpur, tinggal saja di situ."

Cukup sudah, aku benar-benar tak tahan lagi!

Mengepalkan tangan erat-erat, aku mengambil kuda-kuda untuk menyemprot Malfoy karena berani meledek dengan sebutan rasis itu. Julukan hina yang tak patut dilontarkan oleh penyihir manapun yang mengaku dirinya berbudaya.

Sayangnya, keinginan mengganyang Malfoy terpaksa aku urungkan sebab kondisi di sekitar kami semakin berantakan. Dari balik gemuruh nyala api yang melalap tenda, teriakan kesakitan keluarga Mr Roberts, Muggle penjaga bumi perkemahan tempat berlangsungnya final Piala Dunia Quidditch tahun ini terdengar sangat memilukan.

Belum lagi dengan dengung benturan, gelombang kutukan dan badai tawa gila gerombolan Pelahap Maut yang tampaknya semakin mendekat ke arah kami. Semua itu menjadi sinyal mutlak bahwa kami harus buru-buru mengambil langkah seribu.

"Biarkan saja dia, Ron," aku menyambar lengan Ron, mencegahnya untuk bergerak selangkah mendekati Malfoy. Dari ujung mata, kulihat manik pucat Malfoy menyipit. Ekspresinya terlihat tidak suka melihat tanganku melingkar tegang di lengan Ron.

Letusan hebat beruntun kembali mengguncang daerah sekitar kami. Di tengah-tengah percikan bara api, beberapa penyihir berderap kencang sambil menjerit-jerit. Ratapan ngeri mereka tak urung membuat bulu kuduk tegak merinding.

Malfoy di lain pihak malah menganggap kejadian itu sebagai hiburan menyenangkan. Menyeringai tipis, pewaris estat paling elegan se-Inggris Raya itu tergelak pelan, mentertawakan ketakutan para penyihir yang terbirit-birit kabur dari sergapan teror Pelahap Maut.

"Di mana orangtuamu, Malfoy? Salah satu dari yang memakai topeng itu?" Harry membentak marah, mata cemerlang Harry yang sehijau rumput di musim panas bersinar garang memelototi seteru nomor satunya yang masih terkekeh meremehkan.

"Wah, kalaupun iya, aku tak akan bilang padamu, Potter."

Celetukan satiris itu membuatku jijik berdekatan lebih lama lagi dengan Malfoy. Melempar tatapan benci untuk terakhir kali, aku menggelandang Ron dan Harry untuk segera angkat kaki.

"Tundukkan kepala besar penuh rambut itu, Granger!"

Ejekan Malfoy mengiringi langkah kami yang tergesa-gesa. Berusaha berkepala dingin di kondisi darurat seperti ini, aku terus menjepit lengan Ron dan Harry sambil menahan rasa pilu di kalbu. Di setiap laju menggebu-gebu, berjuta pertanyaan saling berlompatan di ujung benak.

Kenapa Malfoy sangat membenciku? Padahal selama ini aku tak pernah mencari masalah atau menyakitinya. Seandainya saja ia menyadari perasaan yang sempat kupendam padanya di awal tahun ajaran sekolah...

Kuakui, berlari menyelamatkan diri dalam lautan manusia jelas membutuhkan kekuatan ekstra. Aku semakin kalang kabut saat kepitan tanganku di lengan Ron kian merenggang. Belum sempat aku memberitahu Ron untuk membenahi cengkeraman, segerombolan penyihir berkulit gelap menerjang panik ke arahku. Hantaman tubuh berotot mereka kontan membuatku terjungkal mencium tanah berdebu.

"Harry! Ron!"

Aku berteriak nyaring di antara lengkingan tangis dan pekikan ketakutan. Tanganku secara refleks menutupi wajah, melindungi tubuh dan muka dari injakan puluhan kaki yang hilir-mudik di atasku.

Kekalutanku semakin berlipat ganda saat aku menyadari pasukan Pelahap Maut berdiri tak jauh dari tempatku terjatuh. Dalam keremangan bara yang menghanguskan tenda, wajah bertopeng perak mereka bersinar mengerikan.

Tanpa belas kasihan, gerombolan Pelahap Maut beranjak ke arahku sembari melambaikan tongkat sihir mereka. Seleret cahaya berkilauan muncul seketika, menghantam barisan punggung korban mereka yang tersaruk tak berdaya.

Sedetik kemudian, aku merasakan sepasang lengan mengangkatku. Masih dalam keadaan terguncang, aku tak bisa memberontak saat diriku diseret ke balik pepohonan rimbun. Dengan satu gerakan mulus, penyelamatku mendorong punggungku ke batang pohon terdekat. Kedua tangannya terentang di kiri dan kanan, secara efektif mengunci pergerakanku untuk melarikan diri.

"Bodoh, Granger! Sudah aku bilang untuk berhati-hati."

Aku terbelalak kaget mendengar suara tersebut. Nada familier yang selama empat tahun terakhir ini menghantui ketenangan batin.

Malfoy! Mau apa dia denganku? Bukankah ayahnya salah satu Pelahap Maut yang tengah menyiksa keluarga Mr Roberts?

Semua pertanyaan yang beredar kencang di otak teredam saat Malfoy menunduk dan melumat bibirku. Lengannya memeluk erat lingkar pinggangku, memerangkapku tanpa ampun di sandaran pohon.

Gelagapan, aku mati-matian membebaskan diri dari ciuman mesum Malfoy. Sialnya, semakin kencang aku menggeliat, Malfoy semakin memperdalam ciuman bernafsunya. Pemberontakanku baru terhenti sepenuhnya saat decakan seram mengalun dari belakang punggung.

"Wah, wah, wah. Coba lihat ini. Sepasang kekasih sedang bermesraan."

Di saat aku berpikir bakal mati kehabisan napas, Malfoy melepaskan pagutan bibir. Menekan tubuhku lebih erat, Malfoy membenamkan wajah membaraku di dadanya. Tindakan yang secara otomatis menyembunyikan garis mukaku dari pantauan menyelidik si Pelahap Maut pemilik suara angker itu.

"Jangan ganggu, Rowle. Sebaiknya kau segera menyelesaikan pekerjaanmu menghabisi para Muggle!" Malfoy menghardik tegas, terus mengencangkan dekapan tangan di tubuhku yang bergetar.

"Astaga! Benar-benar seperti bapaknya. Cabul, arogan dan gemar bertingkah seenaknya," Pelahap Maut yang dipanggil Rowle mendengus dongkol, menggemeretakkan geligi hingga bergelemetuk.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau tak memburu si jalang Darah Lumpur? Hermione Jean Granger? Kudengar kalian musuh bebuyutan di sekolah. Lebih baik kau cari dan bunuh dia secepatnya," Rowle terbahak kejam, gema kekejiannya mengalirkan kengerian menyeluruh ke sekujur tubuh.

Menenangkan sendi bahuku yang bergidik, bibir Malfoy dengan ringan menciumi puncak kepalaku yang berdebu. Ujung jarinya menyelusup ke belakang kuduk, mengusap tengkuk yang berderak kalut.

Semua tindakan lembut itu tak urung membuatku berpikir kalau Malfoy berusaha mengusir keresahanku. Menjanjikan tanpa kata bahwa aku terhindar dari bahaya selama berada di dalam pelukannya.

Setelah jeda sejenak yang menyiksa, hanya diisi desah napas kami yang memburu, Rowle berdeham sok penting. Melepas siulan provokatif, Pelahap Maut berdarah murni itu menganjurkan Malfoy untuk melanjutkan aktivitas malam di tempat aman.

"Sebaiknya kau segera balik ke tendamu, Bocah. Di sana kau bisa menyalurkan hasrat seksual gila sampai puas," saran Rowle lancang, meludah sebentar sebelum menghilang di balik gerumbul semak berduri.

Detak jantung Malfoy terdengar bergemuruh di telingaku. Entah dia sadar atau tidak, tangannya terus-menerus membelai halus tubuhku, memberi sinyal nyata bahwa diriku sudah terbebas dari interogasi Pelahap Maut.

Usai beberapa detik menunggu, memastikan si bangsat Rowle sudah pergi menjauh, aku mendongakkan wajah dan memelototi Malfoy. Menatap balik, Malfoy mengilaskan seringai menggoda. Cengiran tak berdosanya spontan memancingku untuk memukuli dadanya dengan kepalan tinju.

"Malfoy, apa yang kau lakukan? Seenaknya saja menciumiku tanpa izin!" aku merutuk emosi, menolak mengakui kalau bangsawan brengsek ini telah membebaskanku dari sergapan Pelahap Maut.

Tergelak sebentar, Malfoy menangkap tanganku yang menjotos liar. Menaruh jari di daguku, Malfoy memaksaku untuk menatapnya lekat-lekat.

"Merlin, kau galak sekali Granger. Seharusnya kau berterima kasih sebab aku sudah menyelamatkanmu dari Thorfinn Rowle. Pelahap Maut pedofil paling bejat sejagat raya."

"Iya, tapi..." rangkaian protes yang hendak aku semburkan terhenti saat sorak-sorai mengancam beredar di sekelilingku. Kawanan Pelahap Maut rupanya tengah membalikkan tubuh-tubuh pingsan para penyihir, berupaya mengidentifikasi status darah mereka. Berdarah murni atau berpembuluh lumpur seperti diriku.

Salah satu Pelahap Maut rupanya mengenali beberapa korban sebagai penyihir kelahiran Muggle. Menekap mulut, aku menjerit tanpa suara saat Pelahap Maut mulai menyiksa mangsa mereka. Menjungkirbalikkan dan mempermainkan penyihir-penyihir malang itu seperti boneka tak bernyawa.

Menyaksikan tragedi tak berperikemanusiaan itu, Malfoy memaksaku untuk mengikutinya ke pemukiman tenda di bagian barat. Tak mau mati konyol, aku terpaksa menurut, menjajari langkah panjangnya dengan susah-payah.

Melesat menembus jantung malam yang beraroma jelaga dan darah manusia, napasku tersengal-sengal tak beraturan. Otakku terasa keruh, berkabut dan tak bisa berputar jernih. Satu-satunya hal yang membuatku mampu berlari dan tak jatuh tersungkur adalah dekapan lekat tangan Malfoy di pinggangku.

Setibanya di kawasan yang khusus disediakan untuk komunitas borjuis berdompet tebal, mataku langsung disapa pemandangan yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari lokasi keriuhan yang baru kami jajaki.

Di sana, beberapa tenda anggun berukuran besar masih berdiri tegak tanpa cela. Aku berani bertaruh kalau deretan tenda luks ini bisa selamat sebab dimiliki oleh keluarga Pelahap Maut yang malam ini sibuk berpesta-pora di atas penderitaan sesamanya.

Setelah beberapa lama melangkah, Malfoy akhirnya berhenti di depan sebuah tenda mewah seputih kapas. Sepasang merak besar berpijak anggun di dekat air mancur taman, tak terusik dengan deru kekacauan yang meletup di ujung cakrawala.

"Malfoy, untuk apa kau membawaku ke sini?" aku bertanya sebal, memandangi lambang keluarga Malfoy yang terpahat arogan di dekat gerbang depan. Astaga! Apa Malfoy benar-benar menganggap serius petuah Pelahap Maut mesum itu untuk melanjutkan aktivitas terlarang kami di sini?

Berdecak tak sabar, Malfoy memaksaku masuk ke tenda. Menyibak selubung tenda, mataku langsung disambut kemewahan yang menyilaukan. Perabotan mahal dan berkelas tumpah-ruah menghiasi setiap sudut. Jejeran kandil kristal berderet di langit-langit. Sinar terangnya berkerlip sempurna di hamparan permadani elok bersulamkan intan permata.

Semua kemegahan mengintimidasi ini benar-benar berbanding terbalik dengan tenda kecil bau kencing kucing milik keluarga Weasley. Tenda nyaman dan sederhana yang menjadi tempat aku berdiam selama menonton final Piala Dunia Quidditch.

Celingukan memastikan kondisi aman, Malfoy membimbingku masuk ke sebuah ruangan. Menutup pintu dengan sekali sentakan, Malfoy melepaskan pegangan tangan di pinggangku sebelum menyalakan lampu dengan tebasan tongkat sihir. Cahaya temaram yang berkelip-kelip membantuku memantau seisi ruangan dengan jelas. Sebuah kamar berdesain maskulin, penuh dengan furnitur elegan dan poster pemain Quidditch internasional.

"Anggap saja kamar sendiri, Granger," Malfoy menghempaskan tubuh di tempat tidur besar yang bisa menampung dua raksasa paling gendut sekaligus. Meletakkan kedua tangan di balik kepala, Malfoy memandangiku secara menyeluruh. Dari atas sampai bawah. Tatapannya jelas-jelas panas dan intens. Membuat seluruh indra tubuhku bergetar tanpa diminta.

Meremas ujung mantel gaun tidur merah jambu yang berlumuran lumpur, aku berdiri sekaku patung batu. Kebingungan memikirkan mengapa Malfoy, si bajingan rasis nomor satu nekat mengundangku ke kamar tidurnya.

"Granger, ayo tidur di sini. Jangan sok malu-malu begitu," Malfoy tersenyum menggoda, menepuk-nepuk kasur empuk berselimutkan seprai satin emas. Iris kelabu peraknya bersinar nakal, mengirimkan gelenyar janggal yang merayapi tulang punggungku.

Menyipitkan mata hingga tinggal segaris, aku mencoba membuyarkan tatapan hipnotis yang ditujukan padaku. Malam ini, Malfoy benar-benar bertingkah di luar karakter. Perubahan perilaku yang tentu saja harus aku waspadai seketat dan seakurat mungkin.

"Ayolah Granger, merebah bersamaku di sini," Malfoy mengulangi undangan ngawurnya, jemari kurus rampingnya membelai-belai lapak kosong di atas ranjang.

"Malfoy, kau kira aku ini perempuan macam apa?" aku menghentakkan kaki sekeras mungkin ke lantai berbalut permadani tebal. Saking kuatnya terjangan kaki, aku yakin bulu-bulu karpet itu segera gundul membentuk jejak tapak sepatu.

"Jangan harap aku... aduhh!"

Tanpa kuduga, Malfoy menarik dan melemparku ke tengah ranjang. Tak memberiku kesempatan untuk protes, Malfoy menindih tubuhku dan berbisik di dekat lubang telingaku.

"Sssh, ikuti permainannya, Granger."

Tubuh hangat Malfoy yang menekan erat membuatku gemetar. Kekalutanku makin tak terkendali setelah untuk kedua kalinya malam ini, Malfoy menyatukan mulutnya dengan mulutku.

Di sela-sela pagutan bibir, aku meronta-ronta melepaskan diri. Sayangnya, cengkeraman tangan Malfoy jauh lebih kuat. Membungkam eranganku, Malfoy menciumiku semakin dalam, seiring dengan bunyi derit pintu dibuka.

"Draco, Nak..."

Nada dingin yang kukenal sebagai suara Lucius Malfoy, ayah kandung Malfoy membuat tubuhku membeku. Jika aku setegang mumi Mesir kelebihan formalin, Malfoy bereaksi sebaliknya. Bibirnya terus bergerak liar melahapku, tak menghiraukan sama sekali dehaman pura-pura ayahnya.

"Draco, kita harus pergi dari sini. Pegawai Kementerian Sihir telah tiba. Sebaiknya, acara kencan kau tunda dulu."

Malfoy tak menjawab tuntutan ayahnya itu. Terus menciumiku tanpa henti, Malfoy mengibaskan sebelah tangan, memberi isyarat pengusiran secara halus. Untungnya, sebelum aku megap-megap kehabisan oksigen, Malfoy menghentikan lumatan bibir. Namun, ia belum mau bangkit dan masih sempat-sempatnya membanjiri wajah dan hidungku dengan kecupan-kecupan kecil.

Samar-samar, kudengar ayah Malfoy menutup pintu sambil menggumamkan kata-kata yang terdengar seperti 'dasar hormon remaja'. Sesaat kemudian, kamar Malfoy kembali sehening kuburan tua, hanya diisi desau napas kami yang terengah-engah. Perlahan, aku mencoba bergerak, berjuang memindahkan bobot tubuh Malfoy dari atas badanku.

"Minggir, Malfoy. Aku mau keluar."

Terdiam beberapa detik, Malfoy akhirnya berguling ke samping. Berdiri cepat, remaja berkulit putih pucat itu melirik sekilas ke ambang pintu kamar yang tersegel rapat.

"Oke, oke. Kau boleh keluar dari sini. Kurasa semua sudah terkendali mengingat petinggi Kementerian Sihir sudah tiba di sini."

Mendelik galak, aku membenahi gaun tidur yang kusut ketiban badan Malfoy. Di sela-sela kegiatan tak penting itu, aku berupaya mengklarifikasi keadaan yang tak menguntungkan ini. Keadaan di mana dua kali berturut-turut bibir malangku menjadi korban ciuman paksa.

Membentuk kepalan tinju, aku memberondong Malfoy dengan gertakan mengancam. Intimidasi yang aku harap bisa menciutkan nyali darah murninya.

"Malfoy, malam ini kau berani menggerayangi bibirku tanpa permisi. Jika kau berniat menjadikan hal ini sebagai sumber lelucon, aku pasti tak akan ragu-ragu menonjok moncongmu lagi."

Mendengar intimidasi basi itu, Malfoy hanya menyunggingkan senyum iblis yang fenomenal. Seringai menggoda yang menandakan kalau gertakan yang aku keluarkan tak bermakna apa-apa.

Membuka dua kancing atas kemeja tidur, Malfoy menelengkan kepala ke arahku. Acuh tak acuh menanggapi dengus kemarahan yang menguap dari lubang hidungku.

"Granger, apa orangtuamu yang Muggle itu tak pernah mengajarimu untuk berterima kasih? Kau ini benar-benar gadis tak tahu adat."

Olok-olok tersebut langsung membuat rambutku berdiri jingkrak seperti surai ular Medusa. Tentu saja aku ini paham etiket sejak kecil, terima kasih! Tapi ini Malfoy, penyihir licik yang terkenal dengan parade muslihat dan gerak tipu akal bulus. Mana mungkin aku tak berpikiran negatif pada semua tingkah lakunya yang di luar kewajaran?

"Terima kasih untuk apa, Malfoy? Untuk menjadikanku bahan lawakan saat masuk sekolah nanti?" geraman suntukku melenting nyaring di kamar luas tersebut.

"Aku yakin kau pasti kalah taruhan sampai mau berciuman dengan penyihir sepertiku. Oh, atau berapa juta Galleon kau dibayar untuk mempecundangiku?"

Memicingkan mata, Malfoy memasukkan sebelah tangan ke saku celana. Refleks, aku memegang tongkat sihir sekencang mungkin, bersiap mengantisipasi kutukan tak terduga.

"Aku hanya mencium seseorang yang aku inginkan, Granger."

Aku terhenyak mendengar pernyataan singkat namun tegas itu. Otak tajamku yang dari sananya gemar berpikir langsung mengembara ke mana-mana, berusaha mencerna pengakuan bombastis tersebut.

Apakah Malfoy jujur dan bersungguh-sungguh dengan semua tutur katanya? Sebagian hatiku percaya Malfoy tak berbohong. Namun, sebagian serabut otak yakin Malfoy cuma menjadikanku target eksperimen atau bahan ejekan semata.

Maklum saja, selama ini murid laki-laki Slytherin tersohor dengan kegemaran mereka mempermainkan siswi asrama lain. Terkadang, hanya demi permainan sepele, penghuni asrama berlambang ular perak itu tega melakoni perbuatan hina dan taruhan keji.

"Cepat Granger, kita pergi dari sini. Mumpung orangtuaku sedang berkemas di kamarnya."

Perintah Malfoy membubarkan kinerja otakku. Sadar bahwa waktu sangat sempit dan terbatas, aku manggut-manggut saja saat Malfoy menggiringku keluar dari tenda spektakulernya.

Sepanjang perjalanan ke tengah lapangan bumi perkemahan, Malfoy terpekur membisu. Raut wajahnya yang biasanya bersinar penuh semangat kini sedikit murung. Mendung yang menggantung itu membuatku dicengkeram setitik rasa bersalah. Mungkinkah Malfoy jadi selesu ini karena tudingan pedasku yang tak beralasan?

"Umm, Malfoy," aku bergumam lamat-lamat, menahan napas saat manik sepucat cahaya rembulan miliknya bersirobok pandang denganku.

"Terima kasih atas bantuanmu malam ini," lanjutku cepat-cepat, pura-pura memperhatikan apapun selain sepasang samudra perak yang menghanyutkan.

"Jangan besar kepala, Granger. Aku menolongmu sebab keberadaanmu masih dibutuhkan di dunia ini. Kumpulan badut Gryffindor pasti tak akan komplet tanpa sosokmu yang ajaib," Malfoy berkicau enteng, melempar seiris senyum angkuh yang menjadi ciri khasnya selama ini.

"Ugh, Malfoy! Kau memang menyebalkan..." cercaanku terinterupsi tatkala Harry dan Ron berteriak nyaring memanggil-manggil namaku.

"Wah, dua pawang singa akhirnya datang juga," Malfoy berdecak kurang ajar, tersenyum sinis memandangi Harry dan Ron yang bergegas menghampiri kami.

Menempatkan tangan hangatnya di pundakku, Malfoy berbisik lembut di telingaku sebelum mendorong tubuhku menjauh.

"Sana, pergi ke habitat asalmu, Granger."

Senewen dengan perubahan tingkah Malfoy yang kadang baik kadang menjengkelkan, aku melesat menghampiri Harry dan Ron.

Setelah beberapa langkah, aku memberanikan diri melirik dari balik pundak, setengah berharap sosok Malfoy tak ada lagi di belakangku. Celakanya, harapanku tak terkabul sebab Malfoy masih berdiam di tempat semula.

Ketika pandangan kami beradu, Malfoy melempar ciuman jauh ke arahku. Mengedip nakal, Malfoy tergelak pelan saat melihat kedua belah pipiku merona jengah.

Membuang muka, aku mempercepat langkah, berusaha tak memedulikan tawa menggodanya yang masih terdengar di saat aku menghambur ke pelukan dua sahabat baikku...


Draco Malfoy yang aku kenal itu egois dan tak pernah peduli pada perasaan orang lain.

Lalu, kenapa sekarang ia ada di sini? Memandangiku dalam-dalam dengan senyum menguatkan?

"Weasley itu idiot, Granger. Sebaiknya kau lupakan dia."

Menyedot lendir hidung, aku menatap pantulan wajah Malfoy di kaca. Petang ini, Malfoy terlihat lesu dan tak bergairah. Lingkaran hitam memayungi kelopak mata yang kelelahan. Lengan kemeja kanannya tergulung setengah, menampakkan siluet tubuh yang lebih kurus dari sebelumnya.

Secara garis besar, Malfoy terlihat gundah dan kalut. Apakah semua dugaan Harry di awal tahun ajaran keenam ini benar? Bahwa entah bagaimana caranya Malfoy terlibat dengan kebangkitan kembali Lord Voldemort, si penyihir hitam paling ditakuti?

Saat Harry mengeluarkan prediksi mengerikan itu, aku mati-matian menyangkal. Tak mungkin Malfoy yang masih di bawah umur diizinkan bergabung dengan legiun Pelahap Maut.

Dengusan letih Malfoy menyadarkanku dari estimasi Harry tentang kiprah terbaru Pelahap Maut dalam merekrut prajurit belia. Menyeka sisa air mata, aku memandangi refleksi wajah muram di kaca berembun.

"Aku menyukai Ron. Jadi, tak semudah itu untuk melupakannya."

Menyandarkan tubuh penat di wastafel berkarat, Malfoy bergumam tak jelas. Mata abu-abu sendu Malfoy menatap lekat-lekat, membuatku berderak salah tingkah di tempat.

Mengutuk pelan, aku menyesali keputusan menumpahkan tangis di toilet bekas ini. Tadi, sewaktu menyaksikan kemesraan Ron dengan pacar barunya, Lavender Brown, aku buru-buru mengasingkan diri di kamar kecil jelek ini. Sama sekali tak menyangka bisa bertemu muka dengan Malfoy di sini.

"Cintamu pada Weasley itu hanya cinta antar sahabat. Bukan cinta seorang wanita kepada pria."

Aku mendengus keras merespon nasihat sok bijak itu. Petuah yang tak pantas meluncur dari mulut hidung belang sekaliber Malfoy.

"Kau tak tahu apa-apa tentang cinta, Malfoy. Selama ini kau selalu mempermainkan gadis-gadis malang di sekelilingmu kan?" aku mengejek kejam, mengibaskan tangan sambil lalu. Putaran tanganku terhenti tatkala manik pucat Malfoy menyorot tajam. Tatapan tak berkedipnya seolah-olah menelanjangi mata batinku.

"Justru kau yang tak tahu apa-apa, Granger. Jangan menilai seseorang hanya dari penampilan luar semata."

Astaga, sindiran Malfoy itu benar-benar menohok dan terasa sakit di kuping. Mereguk ludah dalam-dalam, aku mencoba membela harga diri yang tercoreng.

"Aku berbicara berdasarkan fakta, Malfoy. Kau selama ini tak pernah serius menyukai seseorang."

Ujung bibir Malfoy tertarik ke atas, mengilaskan senyum pemahaman. Mata abu-abu peraknya yang berkilau bening di balik lingkaran hitam menatapku tak putus-putus.

"Aku tak mengenal kata menyukai, Granger. Aku hanya memahami kata mencintai. Dan sejak dulu aku cuma mencintai satu orang perempuan."

Kuakui, aku takjub mendengar pengumuman sensasional yang terlontar dari mulut Don Juan Hogwarts sekaliber Malfoy. Pemuda yang selama ini dikenal tak pernah tahan lama dalam menjalin asmara.

Otakku sibuk mengira-ngira siapa gadis beruntung yang sungguh-sungguh dicintai Malfoy. Apakah Pansy Parkinson si anjing pesek teman masa kecilnya atau Astoria Greengrass, junior Slytherin yang dikabarkan bakal menjadi istri Malfoy di masa depan.

"Weasley tak sesuai untukmu, Granger. Kau berhak mendapatkan seseorang yang benar-benar mencintai dan memujamu."

"Oh begitu? Lalu, siapakah orang itu, Malfoy? Hanya Ron yang mengerti diriku. Tak ada orang lain," kelitku tangkas, meremas erat saputangan bernoda air mata.

Selubung mendung kembali mewarnai mata kelabu Malfoy. Menundukkan kepala, Malfoy berbalik menuju pintu keluar. Saat tangannya memutar kenop, Malfoy bergumam pelan. Bisikan rendah yang terus membayang di telingaku meskipun bayangan Malfoy telah menghilang di ujung tangga.

"Kau pasti bisa menyadari siapa pria yang benar-benar mencintaimu seandainya saja kau mau membuka mata dan hatimu."

Lama setelah Malfoy menghilang, aku baru bisa memantapkan akal logika.

Ya, Malfoy benar. Aku harus merelakan Ron dan membuka mata pada kenyataan. Kenyataan bahwa Ron bukanlah pasangan hidup tepat untukku. Dengan tekad baru mencari lelaki terbaik untukku, aku beranjak menjauh. Meninggalkan Mrytle Merana, si hantu penghuni toilet yang berdeguk sedih di pojok kloset...


Draco Malfoy yang aku kenal itu kaku dan selalu bersikap dingin pada lawan jenisnya.

Lalu, kenapa sekarang dia ada di sini? Menatapku tak putus-putus dengan pandangan menenangkan?

"Jangan salahkan dirimu, Granger. Keparat brengsek itu benar-benar tak layak menjadi calon suamimu."

Meringkuk berdampingan di restoran Italia pinggir kota, tempat di mana aku selalu menyantap makan siang, tangan Malfoy menggenggam jemariku. Ujung jempolnya mengelus perlahan, mengitari setiap garis halus di telapak tanganku.

"Ironis sekali nasibku ini. Genius di akademik tapi idiot di urusan memilih pria. Bisa-bisanya aku memercayakan hatiku pada penyihir tolol seperti itu!" aku meracau galau, menahan isak tangis yang menggumpal di tenggorokan.

Memindahkan tangan dari jemariku, Malfoy merangkulkan lengannya di bahuku. Menyenderkan kepala semakku di pundak bidangnya, Malfoy menciumi pelipisku. Membisikkan kalimat menghibur di sela-sela belaian hangat bibirnya.

"Sssh, jangan menangisi bajingan bego yang menyia-nyiakan perhatianmu itu," Malfoy bergumam menghibur, mengusap-usap punggungku dengan penuh kasih sayang.

Kehangatan Malfoy membuat tanggul air mataku bobol. Terisak-isak, kuluapkan semua kepiluanku padanya. Semua harapan dan mimpi yang kusematkan pada Anthony Goldstein, calon suamiku yang dua hari lalu kawin lari dengan perempuan lain.

Anthony Goldstein...

Mengingat namanya saja langsung mencongkel kembali semua kenangan yang kini terasa sepahit empedu.

Anthony, penyihir berdarah campuran yang biasa kusapa dengan panggilan AG merupakan sosok yang tak asing bagiku. Prefek Ravenclaw itu pernah bergabung bersamaku di Laskar Dumbledore di tahun kelima kami di Hogwarts.

Selepas lulus dari Hogwarts, aku dan AG bertemu kembali di Malfoy Industries & Laboratories. Ya, perusahaan kelas dunia milik keluarga Malfoy itu merekrutku dan AG sebagai tenaga peneliti di laboratorium mereka.

Usai pertempuran pamungkas melawan Lord Voldemort, keluarga Malfoy tak terpuruk jatuh seperti pendukung rezim Pangeran Kegelapan lainnya.

Tindakan heroik ibu Malfoy, Narcissa Malfoy yang berbohong mengenai kondisi Harry di Hutan Terlarang membuat keluarga darah murni itu lolos dari ancaman mendekam di Penjara Sihir Azkaban. Harry yang merasa berhutang budi meminta Pengadilan Sihir Wizengamot membebaskan keluarga Malfoy dari segala tuntutan.

Usai lepas dari bayangan penjara, Malfoy langsung merehabilitasi aset keluarga yang terkuras habis akibat peperangan. Berkat polesan tangan dinginnya, Malfoy Industries & Laboratories menjelma menjadi kerajaan industri berskala internasional.

Sewaktu bertemu kembali di reuni Hogwarts setahun silam, Malfoy diam-diam mendatangiku. Usai meminta maaf atas semua hinaan kejam dan perlakuan kasarnya semasa di Hogwarts, Malfoy menawariku lowongan pekerjaan di perusahaannya.

Aku yang saat itu masih berbakti di Rumah Sakit Saint Mungo langsung menyambar peluang emas tersebut. Aku optimis talentaku bisa semakin berkembang mengingat laboratorium perusahaan Malfoy memiliki peralatan paling canggih dan mutakhir sedunia.

Semenjak bekerja satu kantor, hubunganku dan Malfoy kian membaik. Kadang-kadang, jika ia tak sibuk dinas keliling dunia, Malfoy mengajakku makan siang bersama di ruang kerja pribadinya.

Lima bulan mengabdi di Malfoy Industries & Laboratories, AG datang dan menduduki posisi Ketua Departemen Penelitian. Intensitas pertemuan kami perlahan berkembang menjadi jalinan cinta. Aku yang mengagumi bakat AG di bidang obat-obatan tak menampik sewaktu pria berambut pirang itu memintaku untuk menjadi kekasihnya.

Sewaktu mengetahui hubungan asmaraku dengan AG, Malfoy tak banyak berkomentar. Sikap diam membisunya juga tak banyak berubah saat aku mengumumkan rencana pernikahanku.

Kuakui, hubunganku dengan AG terbilang singkat tapi cukup berkesan. Selain cerdas, AG juga piawai berkata-kata. Salah satu rayuan termanisnya adalah tentang inisial nama kami yang katanya diciptakan untuk satu sama lain.

"Kalau kita menikah, kau bisa terus menyandang inisial HG. Cuma kali ini bukan Hermione Granger tapi Hermione Goldstein."

Sempak Buaya! Bisa-bisanya aku termakan iming-iming inisial konyol itu. Gara-gara penyatuan inisial keparat itulah AG mencampakkanku demi pasangan barunya. Gadis cantik berdarah murni yang kebetulan memiliki inisial nama serupa dengannya.

Astoria Greengrass...

Mataku pedih mengenang Astoria Greengrass, ningrat rupawan yang rutin menyambangi kantor Malfoy. Setiap kali bertemu di pesta kantor, aku sering memergoki Astoria dan AG bercengkrama dan tertawa berdua.

Tadinya, keakraban mereka tak merisaukanku. Sebentar lagi AG akan menikahiku, begitu juga dengan Astoria yang dikabarkan bakal menjadi calon Madam Malfoy di masa mendatang.

"Mengapa kau bisa tenang menghadapi pengkhianatan ini, Malfoy? Seharusnya kau sedih karena Astoria meninggalkanmu," aku tersekat pelan, memikirkan pertunangan antara Astoria dengan Malfoy yang terjalin sejak mereka dilahirkan ke dunia.

Malfoy tertawa ringan menanggapi komentarku. Membingkai wajahku dengan tangan kokohnya, Malfoy bergumam perlahan.

"Untuk apa aku bersedih ditinggal pergi Tori? Aku justru senang karena bisa mendapatkan keinginan terbesarku selama ini," bisik Malfoy, membasahi ujung bibirku dengan ciuman hangat.

"Bukankah Astoria itu tunanganmu?" aku berusaha bertanya, mengerang pelan saat Malfoy menggigit dan menjilat bibir bawahku. Pergerakan intim bibirnya membuat lututku lemas tak bertulang. Dekapan lekat tubuh kokoh Malfoy semakin memperburuk keadaan, menumbuhkan remang hangat yang memanaskan semua saraf tubuh.

"Tori tak pernah bertunangan denganku. Itu hanya skenario orangtua di zaman purba," ujar Malfoy parau, mendudukkanku secara tiba-tiba di pangkuannya.

Seharusnya aku jengah dengan sikap frontal tersebut, apalagi di tengah kondisi ramai pengunjung seperti sekarang ini. Tapi anehnya, perbuatan Malfoy membuatku nyaman dan terlindungi. Tanpa sadar, aku merapatkan tubuh, mereguk aroma jantannya dalam-dalam.

"Lepasnya kami dari sanksi Azkaban mengubah pola pandang ayahku. Ia berbesar hati membebaskanku untuk memilih sendiri pasangan hidupku," Malfoy terus bertutur, menyusuri telinga dan leherku dengan jentikan ciuman yang sehalus beludru.

"Dengan pesona yang tak ada duanya, aku optimis bisa menjatuhkan pasangan hidupku ke dalam pangkuanku."

Tanpa bisa kutahan, senyum menyindir terbit di rahangku. Menggeliat merespon cumbuan panas Malfoy, aku berbisik terengah-engah.

"Kasihan sekali calon istrimu, Malfoy. Ia harus bertahan menghadapi semua sifat hiperbolamu."

"Oh, ia pasti bertahan," Malfoy melempar senyum seksi yang mampu membuat kaum Hawa sedunia rela berbuat dosa.

"Lagipula, saat ini aku berhasil menjatuhkannya ke dalam pangkuanku," Malfoy mengulum lembut daun telingaku, menyadarkanku sepenuhnya akan posisiku saat ini.

Terkekeh melihat keterkejutanku, Malfoy mengangkat daguku sebelum menyelipkan sepotong ciuman posesif. Ciuman panas penuh gairah yang membuat seisi restoran meledak dalam dering siulan dan tepukan hangat...


Draco Malfoy yang aku kenal itu tak mau terikat dan sulit berkomitmen.

Lalu, kenapa sekarang ia berdiri di altar ini? Menyisipkan cincin bertahtakan permata di jari manisku?

Pasca lamaran mengejutkan di restoran, aku mulai membuka pintu kalbu. Kami rutin berbicara dari hati ke hati dan menemukan banyak persamaan. Tak hanya itu, semakin mengenal Malfoy, aku kian menyadari sisi lain dari seorang Draco Malfoy yang tak pernah aku ketahui. Sisi manis yang tersimpan di balik penampilan liar yang menggetarkan.

Setengah tahun kemudian, aku memantapkan niat untuk menikahi Malfoy. Tak sulit sebenarnya untuk mencintai seorang Malfoy. Apalagi, di masa awal bersekolah aku sempat menyimpan perasaan khusus padanya. Rasa suka yang memudar gara-gara perilaku buruknya. Kini, cinta lama itu bersemi kembali dan siap dipersatukan dalam janji sehidup semati.

Pesta pernikahan kami diselenggarakan sesuai tradisi klan Malfoy. Bertempat di Malfoy Manor, resepsi berjalan meriah dan lancar. Nyaris semua teman seangkatan kami di Hogwarts hadir, termasuk mantan guru dan staf pengajar. Kolega dan teman sekerja kami juga turut menyempatkan diri memberi doa restu.

Sayangnya, dua orang yang berjasa mempersatukan kami berhalangan datang. Mereka hanya mengirim hadiah dan karangan bunga dengan kartu indah bertuliskan Turut berbahagia. Dari pasangan paling identik dan cocok sejagat. AG & AG...


Draco Malfoy yang aku kenal itu berandalan dan tak pernah menyukai anak kecil.

Lalu, kenapa sekarang ia ada di sini? Mengusap pelan kepala mungil berambut pirang keemasan yang bersandar ringan di bantal?

Mataku berkabut haru menyaksikan pemandangan manis di depanku. Sejak menikah lima tahun lalu, banyak sekali sisi lain seorang Draco Malfoy yang terungkap ke permukaan.

Lenyap sudah bocah cilik licik yang gemar menjahili orang lain. Hilang sudah penyihir egois, manja dan arogan yang tak pernah peduli pada penderitaan sesamanya.

Draco Malfoy yang berdiri di hadapanku sekarang adalah pria sejati penuh gairah. Seorang suami pengabdi yang cinta dan kesetiaannya tak perlu diragukan lagi. Ayah teladan yang layak jadi panutan bagi putra tunggal kami, Scorpius Hyperion Malfoy.

Mencium kening Scorpius yang tertidur pulas, Draco menggandeng lenganku, membimbingku menuju kamar kami di sudut utara. Sesampainya di kamar, Draco menutup pintu dan memelukku dari belakang. Menyibak ikal rambutku, Draco berbisik lembut. Membanjiri pori-pori leherku dengan keharuman napas hangatnya.

"Apa kau tahu kalau aku sudah tergila-gila padamu sejak malam final Piala Dunia Quidditch? Sejak melihatmu dalam balutan gaun tidur merah jambu?" Draco merayu menggoda, membenamkan kepalanya di lekuk leherku.

"Saat itu, kau benar-benar menggairahkan meski berlumuran noda di sana-sini. Jika tak mengingat keberadaan orangtuaku, mungkin aku sudah menikmatimu di dalam tenda. Semalam suntuk, tanpa jeda," Draco bergumam erotis, bibirnya meninggalkan jejak membakar di sepanjang kulit leherku.

"Benarkah Draco? Lalu, bagaimana penampilanku sekarang?" aku berbalik arah, memandangi Draco yang menyeringai agresif.

"Well," Draco membuka jubah mantel gaun tidurku, membuat kain penutup tubuhku meluncur mulus ke lantai. Terus menebarkan senyum yang menjanjikan kenikmatan surga dunia, manik abu-abu pucat Draco menelusuri tubuh polosku dengan kekaguman yang tak ditutup-tutupi.

Menggendongku menuju tempat tidur, Draco membisikkan godaan mautnya di kupingku. Rayuan bernafsu yang tak pernah gagal melelehkan akal sehatku.

"Mrs Malfoy, untuk yang satu itu aku lebih suka membuktikannya dengan perbuatan, bukan dengan kata-kata."

Aku tergelak dan semakin merapatkan dekapan di dada bidangnya. Tak sabar menunggu perbuatan nakal yang akan diterapkannya padaku malam ini.

Membuktikan dengan perbuatan.

Ya, ini juga sisi lain dari Draco Malfoy yang paling aku sukai...

TAMAT