Hallo…. Hallooooo…
Saya murid baru di sini, salam kenal para senpai dan sensei.. #bungkuk
Terimalah salam perkenalan saya #nyodorin kue nastar (sisa lebaran)
Karena saya murid baru, jadi ini juga fanfic pertama saya di fandom ini,
Ai hop yu laik it ,ToT
Selamat mambaca….
A Gakuen Alice Fanfiction
.
.
.
The Last Rain
By Ochiochio
Disclaimer:
Gakuen Alice © Higuchi Tachibana
Warning:
OOC, geje, maksa, amatiran,
amburadul, ngawur, ngasal
Chapter 1
Matahari mulai turun perlahan, menyisakan berkas-berkas sinar lurus sejajar di balik awan. Putih. Kelabu. Kemerahan. Warna-warni senja hari. Ditambah lalu lalang burung menuju sarangnya.
Begitupun orang-orang yang tidak sabar untuk pulang dan bertemu kehangatan rumah. Kehangatan keluarga. Namun, hal itu sangat kontras dengan sosok remaja laki-laki yang masih duduk bersandar di kursi taman.
Tatapan matanya yang memandang lurus ke depan sangat menyiratkan penyesalan dan kesedihan. Entah sudah berapa lama dia duduk di sana. Mungkin berjam-jam. Mungkin seharian.
Tidak bosan-bosannya dia bersandar di sana, baik itu saat keadaan taman ramai dipenuhi orang yang bermain sampai tak ada orang satupun di sana kecuali dia sendiri. Selalu. Setiap hari. Bahkan jika bukan sahabatnya yang mengajaknya beranjak dari kursi itu, mungkin dia akan terus-menerus duduk di sana tak bergeming sedikitpun.
"Hei, langit sudah mulai gelap dan sepertinya akan turun hujan. Lebih baik kita segera pulang. Ayo !" ajak sahabat laki-laki itu yang baru saja datang.
Namun, dia tetap tak bergeming bahkan hanya untuk menyahuti ajakan sahabatnya pun tidak dia lakukan. Akhirnya, seperti biasanya, sahabatnya itu menarik lengannya dengan paksa dan membawanya masuk ke rumah yang berada di seberang jalan dari taman itu. Kalau tidak dipaksa, mungkin dia akan selamanya duduk di sana.
Sesampainya di rumah, hal yang dia lakukan pun tak jauh berbeda dari sebelumnya. Duduk. Memandang lurus ke arah taman di depan rumah ini melalui jendela kamarnya. Dan lagi-lagi tatapan kosong penuh penyesalan, kesedihan, dan kesepian, terpampang jelas di iris crimsonnya.
Tak lama setelah itu, titik-titik air mulai berjatuhan menghujani bumi. Membuat orang-orang yang sedang berjalan terpaksa harus mempercepat langkah mereka. Kedua telapak tangan atau tas yang mereka bawa digunakan untuk memayungi sebagian kepala mereka sampai menemukan tempat untuk berteduh.
Para pengendara sepeda motor pun harus memacu kecepatan mereka membelah hujan agar segera sampai di tempat tujuannya, dan tak sedikit pula yang memilih berhenti dan berteduh di satu tempat sampai hujannya mulai mereda.
Tetesan dari langit itu pun membasahi jendela kamar laki-laki tadi. Membuat kacanya terlihat buram dengan embun yang mulai muncul di sisi bagian dalam. Namun, dia tidak mempedulikannya. Tatapannya tetap lurus, tapi bibirnya sedikit terbuka dan mengucapkan satu kata, "Hujan."
Seketika saja, pandangannya semakin kosong dan samar-samar terlihat genangan air di ujung pelupuk matanya. Saat dia menutup kelopak matanya, genangan air tadi berkumpul menjadi setetes air yang perlahan bergerak turun menyusuri pipinya, mengikuti lekuk wajahnya, sampai air itu mencapai titik tengah dagunya. Menggantung sejenak di sana, kemudian menetes ke bawah, tepat mengenai bingkai foto yang sedari tadi digenggamnya.
Foto seorang gadis manis berambut brunette panjang tergerai yang sedang tersenyum ceria, bersama laki-laki berambut raven yang walaupun tersenyum tipis tapi terlihat tulus. Duduk berdua di kursi taman.
Di saat matanya terpejam, pikirannya menerawang jauh
~~~~~~~oOo~~~~~~~
Zrassshhh…. Zrssssssssh…
Hujan semakin deras. Membentuk genangan-genangan air di tanah yang menjorok ke dalam. Membuat ilalang merunduk dibebani air hujan. Menghentikan aktivitas para pejalan kaki dan pengendara sepeda motor. Mengurungkan niat setiap orang untuk bermain di taman.
Namun, dia duduk di sana, di dekat kursi taman itu, di bawah guyuran hujan. Membiarkan helaian rambut ravennya basah menyatu dengan ujung-ujungnya yang ikut meneteskan air hujan yang menerpanya. Wajahnya yang putih mulai terlihat pucat. Bibirnya sedikit membiru dan bergetar kecil.
Matanya yang tertutup oleh kelopaknya ikut tertimpa air hujan sehingga membentuk aliran sungai kecil membelah pipi pucatnya. Namun, tidak ada yang menyadari sesungguhnya aliran sungai kecil itu tidak hanya berasal dari tetesan air hujan, tapi juga bercampur dengan air mata yang tersembunyi. Air mata di balik air hujan.
Di saat hujan bertambah lebat dan disertai kilat yang membelah langit, terlihat sosok gadis kecil berumur sekitar enam tahun berlari terburu-buru dengan tas kecil yang ia gunakan untuk menutupi kepalanya. Bajunya sudah basah kuyup. Ujung-ujung rambut brunettenya yang bergulung dan dikuncir dua juga terkena tetesan hujan.
"Ughhh…. Kenapa tiba-tiba turun hujan begini. Bahkan semakin deras. Rrrgggh…. Gara-gara dihukum tadi, aku jadi terlambat pulang. Siaaallll…." Gadis kecil itu terus menggerutu disela larinya.
Namun, saat dia berlari melewati taman bermain, matanya terpaku pada sosok anak laki-laki sebayanya yang terduduk di kursi roda di dekat kursi taman itu. Dari kejauhan, wajah anak laki-laki itu yang memang sudah pucat, terlihat seperti sosok penampakan hantu bagi gadis kecil itu.
Awalnya, dia malah ingin segera kabur secepatnya karena dia memang takut hantu. Namun, karena rasa penasarannya yang lebih tinggi, dia justru menghampirinya. Dengan langkah berjinjit-jinjit dia berjalan ke arah kursi itu.
Dan ketika dia semakin dekat dengannya, dia melihat tubuh anak laki-laki itu sudah menggigil kedinginan. Digenggamnya tangan anak laki-laki itu yang dia rasakan sudah sangat dingin. Kemudian dia berusaha mengguncang-guncang tubuh anak itu agar dia tersadar dan membuka matanya.
"Hei….. hei….. sadarlah ! Hei…. Kau tidak apa-apa ? Heiii…..!" teriak gadis kecil itu sambil terus mengguncangkan bahu anak laki-laki tersebut.
Ternyata, perlahan tapi pasti, kelopak matanya mulai bergerak naik dan memperlihatkan keindahan bola matanya. Crimson. Langsung menatap lekat bola mata gadis kecil itu yang bulat. Hazel.
Crimson dan Hazel bertemu pandang dan terdiam beberapa saat. Menikmati pesona keindahan iris cemerlang di hadapan masing-masing. Sampai akhirnya gadis kecil itu tersadar dari lamunannya dan kembali bertanya dengan nada panik.
"Hei, kau tidak apa-apa 'kan? Siapa namamu? Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau tersesat? Dimana rumahmu? Biar aku antar kau pulang." Gadis kecil itu langsung menyodorkan pertanyaan yang bertubi-tubi kepada anak laki-laki di depannya yang tubuhnya sudah mulai melemah itu.
"Berisik! Biarkan aku di sini!" jawab anak itu lemah dan kembali menutup matanya. Terkulai lemas.
"Bagaimana mungkin aku membiarkan— Eh, hei? Jangan main-main! Buka matamu! Heiiiii….!" Gadis itu kembali mengguncangkan tubuh anak itu, namun matanya tak kunjung terbuka kembali.
Akhirnya, karena kehabisan akal, dia memutuskan untuk membawa anak itu pulang bersamanya ke rumah. Itu lebih baik daripada membiarkannya terus kehujanan di sini, begitulah pikirnya. Segera saja dia mendorong kursi roda anak itu secepat mungkin ke rumahnya yang memang sudah tidak terlalu jauh lagi dari taman.
Sambil membuka pintu rumahnya, gadis itu berteriak, "Aku pulaaaaang!"
Dia pun juga sudah mendorong masuk anak laki-laki tadi dengan kursi rodanya. Kemudian dia membalikkan badannya dan menghampiri anak itu.
"Hei…! Apa kau sudah sadar?" tanyanya sambil menepuk bahu anak itu pelan.
Namun, yang ditanya tetap 'tak bergeming, 'tak menunjukkan respon sedikitpun. Lalu, dia meletakkan punggung tangannya di dahi anak itu.
"Ya Tuhan ! Panas sekali ! Gawat, dia mulai demam…" Gadis itupun mulai panik, "Bagaimana ini? Bagaimana ini?" Dia mulai kalang kabut.
Di saat dia kebingungan setengah mati, tiba-tiba terdengar derap langkah yang mendekat ke arahnya."Apa saja yang kau lakukan sampai-sampai baru pulang sekarang, Mikan? Dan lagi, apa-apaan bajumu itu? Basah kuyup," tanya seorang gadis kecil sebayanya dengan nada dingin yang sesuai dengan wajah datarnya.
Mata Amethysnya menatap pakaian gadis kecil dihadapannya—yang ia panggil Mikan— dari atas sampai bawah tanpa ekspresi.
"Ah…oh…Hotaru! Ng, tadi aku dihukum membersihkan halaman sekolah saat jam pulang karena aku tertidur di kelas. Jadi aku terlambat. Dan ternyata tiba-tiba turun hujan lebat saat aku dalam perjalanan pulang. Akhir-akhir ini cuaca sulit diprediksi ya, hahaha…" jawab Mikan kikuk dan tertawa garing sambil menggaruk belakang kepalanya.
"Kau saja yang ceroboh. Jelas-jelas di berita perkiraan cuaca kemarin dikatakan kalau hari ini akan hujan lebat, tapi kau malah tidak membawa payungmu. Dasar bodoh!" celetuk Hotaru dingin
"Eh…? Benarkah? Hahaha…. Mungkin aku lupa, hahaha…," balas Mikan dengan tampang bodohnya.
Sontak dia langsung mendapatkan hadiah selamat datang berupa tembakan Bakagun Hotaru yang baru saja di upgrade beberapa detik yang lalu. Alhasil, Mikan pun terpelanting menubruk pintu masuk rumah ini yang kebetulan terbuat dari baja.
"Uggghhh…. Sakiiiit…. Dasar Hotaru! Kejam sama sahabat sendiri," keluh Mikan sambil mengelus kepalanya yang mulai terlihat memerah.
"Hn. Terserah aku mau melakukan apa padamu, karena kau sangat berbakat jadi bahan percobaan hasil karya-karyaku," balas Hotaru ketus yang membuat Mikan hanya bisa mengerucutkan bibirnya.
Kemudian pandangan Hotaru beralih ke arah anak laki-laki di atas kursi roda yang ada di samping Mikan."Siapa dia?"
"Ng, itu, tadi saat aku lewat taman, aku melihatnya kehujanan sendirian di dekat kursi taman. Aku pikir dia tersesat. Saat aku tanya alamat rumahnya, dia malah pingsan. Jadi kupikir lebih baik aku bawa ke sini. Setidaknya kita tunggu sampai dia sadar. Daripada dia mati kedinginan di taman itu nanti. Iya 'kan, Hotaru?" jelas Mikan panjang lebar .
"Hn. Lalu kau akan meletakkannya dimana?"
"Tentu saja di dalam rumah ini,Hotaru. Bukankah masih ada kamar kosong di sebelah kamarku? Boleh kan dia memakainya?"
"Ya. Boleh. Biaya sewa kamarnya ¥ 3000 per jam," jawab Hotaru dengan mata yang sudah berubah menjadi simbol Yen.
"Eh? Kenapa harus bayar? Lagipula belum tentu dia punya uang sebanyak itu."
"Dia kan bukan penghuni rumah ini. Dimana-mana orang menumpang itu bayar. Ingat Mikan, tidak ada yang gratis di dunia ini. Dan kalau dia tidak punya uang, berarti kau yang harus bayar. Kau yang membawanya ke sini, bukan?!"
"Aaah… iya juga ya. Hhhh… baiklah. Aku yang akan bayar," jawab Mikan pasrah dan terpaksa.
"Bagus. Kesepakatan selesai. Aku tunggu bayarannya di kamarku."
"Tidak adakah keringanan pembayaran untuk sahabatmu ini? Jangan terlalu kejam begitu!" pinta Mikan sambil memasang wajah paling memelas yang ia bisa.
"Kau saja yang bodoh, Mikan. Padahal bisa saja dia kau letakkan di kamarmu sendiri, jadi tidak perlu bayar sewa segala."
"Heeeeh? Kalau begitu aku pakai kamarku saja ya!"
"Tidak bisa. Kesepakatan awal tetap yang utama. Ingat! ¥3000 per jam. Aku tunggu!" tolak Hotaru mentah-mentah sambil berlalu kembali ke kamarnya.
"Ughhh…. Dasar Hotaru kejam…" teriak Mikan sekuatnya, sedangkan Hotaru hanya memasang senyum kemenangan di balik pintu kamarnya.
Namun, sebenarnya dia sedang mengingat-ingat siapa anak laki-laki itu karena dia merasa tidak asing dengannya. Lalu, tiba-tiba matanya membulat besar menandakan dia telah menemukan ingatannya tentang anak itu.
'Ahhh, iya! Ternyata dia! Apa kutelpon saja dia ya? Ah, lebih baik jangan cepat-cepat, karena sekarang dia adalah penghasil uangku, melalui si Mikan bodoh itu tentunya.'
Begitulah kira-kira apa yang ada di pikiran Hotaru saat itu. Walaupun dia telah mengetahui tentang anak laki-laki itu, tapi dengan bola matanya yang berubah menjadi simbol Yen dan bibirnya yang tersenyum iblis, dia malah menutupi sementara fakta yang dia ketahui.
==Mikan POV==
Walau dengan perasaan terpaksa, akhirnya aku membawa anak laki-laki ini ke kamar yang ada di sebelah kamarku. Kamar yang dulu ditempati oleh kakak laki-laki Hotaru, kak Subaru, yang sekarang bersekolah di sekolah asrama, sehingga hanya sekali-sekali saja dia pulang ke rumah ini.
Dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku menggendong anak ini dan merebahkannya di ranjang yang ada di sudut kanan belakang kamar ini. Ranjang berukuran sedang dengan bedcover loreng hitam putih.
"Aaaah~ dia belum sadar juga. Kalau dibiarkan memakai baju basah begini, bisa-bisa dia masuk angin. Hhhhhh…."
Apa boleh buat, aku harus mengganti bajunya. Seingatku di lemari pakaian kamar ini masih ada pakaian kakak Hotaru. Aku pun berpikir untuk meminjamnya untuk mengganti baju anak ini yang sudah basah.
"Hotaru…. Apa aku boleh meminjam baju kakakmu untuk mengganti baju anak ini ?" teriakku dari muka pintu kamar ini.
"Boleh saja. ¥ 1000 per helai," sahut Hotaru singkat yang berada di kamarnya. Kamar di sebelah kiri kamarku.
"Hhhh…. Dasar otak uang," keluhku pelan.
"Setidaknya otak uang lebih baik daripada kau yang punya otak udang," jawab Hotaru ketus yang ternyata mendengar keluhanku barusan.
Aku pun merasa kalah telak dan hanya bisa mengerutkan kening sambil mengerucutkan bibirku. Mau tidak mau, aku terpaksa menyetujui permintaan Hotaru, karena memang tidak ada pilihan lain.
Tidak mungkin aku memakaikan pakaianku ke anak laki-laki ini. Sebab, pakaian yang ku punya semuanya pakaian anak perempuan yang manis dan lucu-lucu. Dan jika aku meminjam pakaian Hotaru yang bisa dibilang lumayan terkesan tomboi, tapi aku rasa bayaran sewanya akan lebih mahal dari pakaian kakaknya tadi.
Akhirnya, aku membuka lemari pakaian yang terletak di sudut kiri kamar—sejajar dengan pintu—dan mencoba mencari-cari pakaian yang agak kecil yang kira-kira pas dengan tubuh anak ini. Setelah beberapa menit mengobrak-abrik lemari akhirnya aku mendapatkan baju lengan panjang—sepasang dengan celana panjangnya— yang memang berukuran lebih kecil dibanding pakaian lainnya.
'Mungkin ini pakaiannya kak Subaru saat seusiaku,' begitulah pikirku.
Setelah selesai mengambil pakaian yang kuperlukan, aku kembali mengunci lemarinya. Kemudian berbalik ke arah ranjang, tempat anak laki-laki berambut Raven itu berbaring, setelah sebelumnya menyambar sebuah handuk kecil yang tergantung di balik pintu kamar ini.
Mula-mula aku mengelap wajahnya yang masih bertaburan tetesan hujan itu dengan hati-hati. Dari wajah, berlanjut ke rambut ravennya yang kugosok-gosok perlahan. Pandanganku sekali-sekali melirik ke wajah anak itu kembali. Berharap matanya terbuka dan menampilkan iris crimson yang rasanya sangat familiar bagiku.
Iris crimson yang tajam dan dalam. Penuh keyakinan dan keteguhan. Selalu membuat iris hazel milikku terpaku seolah ada magnet yang menariknya di balik iris crimson itu.
"Apa aku mengenalnya ya?" gumamku dengan tangan yang masih menggosok rambut anak itu dengan handuk, namun mataku memandang wajah anak itu dengan seksama tanpa berkedip sedikit pun. Berusaha mengingat tiap lekuk wajahnya yang mungkin tersimpan di otakku yang paling terdalam.
"Ahh…sepertinya tidak. Mungkin hanya perasaanku saja. Lagi pula aku 'kan belum lama di sini," pikirku setelah cukup lama melamun memikirkan kemungkinan adanya sebutir ingatan tentang anak itu.
Saat aku menggelengkan kepala untuk menepis pikiran aneh yang berputar di otakku, barlah aku sadar telah membiarkan anak itu berlama-lama dengan pakaian basah yang masih melekat di tubuh pucatnya. " Ah ! Aku harus mengganti bajunya. Kok bisa lupa ya?"
Langsung saja aku membuka kancing kemeja yang dipakai anak itu. Kubuka satu persatu dengan hati-hati sampai akhirnya terbuka semua. Namun, tiba-tiba mataku terbelalak melihat tubuh anak itu. Ada banyak bekas luka dimana-mana.
Dari goresan kecil sampai luka bekas jahitan yang panjang. Dari bekas luka yang terlihat sudah lama sampai luka yang masih baru.
Kenapa ada banyak luka begini ? Keningku berkerut melihatnya. Namun mataku memperlihatkan tatapan iba dan kesedihan. Entah mengapa aku seperti merasakan penderitaan anak itu hanya dengan melihat lukanya.
"Pasti dia kesakitan," ujarku pelan sambil menyentuh bekas-bekas luka itu dengan sangat hati-hati. Takut kalau sentuhanku akan menambah luka yang baru.
Tiba-tiba saja setetes air meluncur jatuh dari pelupuk mataku dan mendarat tepat di luka yang terlihat masih baru. Tanpa diduga, luka yang tadi terkena tetesan air mataku, secara ajaib langsung mengering dan sembuh tanpa meninggalkan bekas sedikitpun.
Namun, aku yang tidak menyadari keajaiban itu, saat itu justru terpaku pada sebuah liontin perak berbentuk bintang yang tergantung di leher anak itu. Kemudian tanganku pun beralih dan memegang liontin itu.
Di bagian depan liontin itu tertera sebuah nama. Natsume.
~~~~~~~~~TBC~~~~~~~~
Maaf ya readers, aku merombak sedikit ceritanya, lebih tepatnya bukan merombak sih, hanya meringkaskan mungkin ?
Habis…menurutku memang terlalu pendek untuk satu chapter, jadi aku ringkas 3 chapter jadi 2, jadi 3 in 2, bukan 3 in 1 yaaa….
Cerita keseluruhan tidak berubah kok, tapi aku akan tetap berusaha memperbaikai kesalahan2 yang ada,
Makasih atas para readers yang menyempatkan diri untuk membaca fic gak penting ini, tapi aku akan lebih senang kalau kalian bersedia mereviewnya…#
Jadi, REVIEW PLEASE….!
