Angin sore musim panas terasa menyejukkan. Keramaian tercipta di antara deretan toko – toko di pusat Desa Konoha. Hinata berjalan santai sembari mencari adik perempuannya, Hanabi, yang tidak ada di rumah sejak kepulangan Hinata dari misi.
"Hinata…" seorang perempuan berambut pirang melambaikan tangan kearahnya.
"Ah.. Ino-san.. apakah baru pulang dari misi?" Hinata tersenyum saat Ino diikuti dengan Sai dan Chouji yang sibuk mengunyah keripik kentangnya, masih tampak lusuh telah berada di hadapan Hinata.
"Yah benar. Rasanya capek sekali tapi kami harus segera melapor ke Kantor Hokage."
"Ah kebetulan sekali, bagaimana kalau pergi bersama?"
"Kau akan ke Kantor Hokage juga?" Sai tampak heran sembari menilik penampian Hinata yang rapi dan cantik.
"hu'um … sebenarnya aku juga baru pulang dari misi tadi siang, tapi Shino-kun dan Akamaru terluka cukup parah jadi aku dan Kiba-kun harus membawa mereka ke rumah sakit dulu."
"oh… kalau begitu ayo cepat, aku juga ingin segera mandi dan tampil cantik sepertimu." Ino menggandeng tangan Hinata meninggalkan keramaian itu.
Shikamaru tengah sibuk menganalisa dokumen permintaan misi pengawalan dari sejumlah petinggi desa dan pengusaha kaya ketika Naruto mengeluh pada Iruka, Kepala Akademi Ninja Konoha.
"kenapa sedikit sekali jumlah murid yang masuk ke akademi tahun ini, Iruka sensei?"
"Mau bagaimana lagi Hokage-sama, tidak mungkin kan kita memaksa para orang tua untuk segera memasukkan anaknya ke akademi. Lagi pula kalau dilihat dari data kependudukan, jumlah anak – anak di desa ini memang tidak begitu banyak dan lagi sebagian dari mereka bukan berasal dari keluarga Shinobi."
Iruka menjelaskan panjang lebar meskipun sebenarnya Naruto sudah sangat paham. Naruto tak berkomentar dan masih saja memandangi daftar murid baru akademi ninja yang hanya berjumlah 11 orang.
"Bagaimana Hokage-sama?"
"Apanya yang bagaimana sensei?"
"Haduh.. tentu saja dengan pembukaan tahun ajaran barunya. Apa sudah bisa dimulai atau harus memperpanjang masa pendaftaran lagi?"
"Ada baiknya dimulai saja" Shikamaru angkat bicara "Masa pendaftaran sudah diperpanjang satu minggu, tapi hanya bertambah satu orang. Akan lebih baik jika segera memulai pendidikan dan mempersiapkan kelulusan Genin – Genin baru."
"Kau benar Shikamaru," Naruto berujar lirih dengan wajahnya yang sok serius.
"Baiklah sudah di putuskan. Dua hari lagi tahun ajaran baru akan di buka, sebagai Kepala Sekolah saya berharap Hokage-sama bisa hadir dalam upacara pembukaan."
Naruto terkikik geli, pandangannya kini beralih pada Iruka yang justru menampakan wajah bingungnya "sensei, aku geli mendengar ucapanmu. Berhentilah berbicara seformal itu padaku. Kau cukup bilang datanglah ke upacara pembukaannya Naruto, seperti itu."
Iruka tersenyum kecil, membuat Naruto tertegun sesaat. Senyuman itu terasa hangat memenuhi perasaan Naruto. Senyuman yang selalu Iruka berikan pada Naruto kecilnya.
"Kau harus membiasakan dirimu Naruto, aku tentu akan bersikap seperti itu di luaran sana karena bagiku sejauh apapun waktu berlalu kau tetaplah Naruto kecil yang selalu meminta di traktir ramen, aku selalu menyayangimu seperti dulu, seperti anak ku sendiri. Tapi disini, di gedung ini kau adalah Hokage-sama. Kau seorang pemimpin yang akan melindungi Konoha. Itulah mengapa kami harus selalu menghargaimu Naruto. Berhentilah meminta sahabat atau bahkan gurumu untuk tidak berbicara sopan padamu disini. Hokage bukanlah sebuah lelucon Naruto."
Naruto tersenyum masam. Ah.. hatinya begitu terharu dengan penuturan Iruka. Matanya terasa ikut berkaca – kaca. Sejak ia kecil memang Iruka-lah yang amat menyayangi dan memperhatikannya. Hingga saat Naruto lulus menjadi Genin dan memulai misi bersama tim 7, saat Naruto kembali dari pelatihan bersama mendiang Jiraiya, bahkan hingga saat Naruto telah meraih impian sebagai Hokage, Iruka tetaplah seorang yang peduli padanya. Sampai – sampai Naruto merasa bahwa Iruka adalah ayahnya sendiri.
"Aku pergi dulu Hokage-sama" senyuman Iruka memecah lamunan Naruto "Selamat sore"
"Selamat menikmati soremu juga, Iruka sensei" Naruto memberikan cengiran khasnya untuk mengantar kepergian Iruka.
Mungkin baru lima langkah Iruka meninggalkan pintu ruang Hokage, Sai, Ino, Chouji dan Hinata telah mengisi ruangan itu.
"Jadi bagaimana keadaan Shino dan Akamaru?" tanya Naruto pada Hinata.
"Akamaru sudah boleh dibawa pulang oleh Kiba-kun akan tetapi Shino-kun masih harus dirawat inap. Saya akan mengabarkan perkembangan Shino-kun pada Hokage-sama jika ia sudah diizinkan pulang dari rumah sakit."
"terimakasih Hinata aku harap aku tidak merepotkanmu"
Seketika itupula rona merah menjalari pipi gembil Hinata, kegugupan melanda dirinya karena senyuman Naruto memenuhi perasaannya.
"Te-tentu saja tidak Ho-Hokage-sama"
Hinata memaki dirinya dalam hati. Bertahun – tahun ia melatih dirinya agar tidak gagap di depan Naruto tetapi memang sifat dasarnya seorang pemalu, penyakitnya itu selalu kambuh jika melihat senyum Naruto.
"Aku juga berterimakasih atas keberhasilan misi kalian, jadi tolong sampaikan terimakasih ku juga pada Kiba, Akamaru dan Shino."
"Ba-baik Hokage-sama"
"Dan untuk kalian bertiga" Naruto memandang Sai, Ino dan Chouji. "Terimakasih telah menyelesaikan misi ini dengan cepat. Kalian memang benar – benar bisa di andalkan."
"Itukan hanya misi kelas B, tentu saja cepat" kata Chouji dengan tidak menghentikan kunyahan keripik kentangnya.
"Diamlah Chouji, masih untung bukan misi kelas C lagi."sahut ino setengah jengkel pada Naruto yang akhir – akhir ini selalu mengirim ia dan Chouji dalam misi – misi rendahan untuk ninja sekelas jounin.
"Aah.. aku baru ingat," ino memberi jeda, membuat semua orang di ruangan itu memperhatikannya "Dulu sekali aku punya seorang teman Genin. Dia berambut pirang, bermata biru dan berkulit tan. Anak itu benar – benar bodoh dan nakal, dia selalu membuat Sandaime dan Godaime-sama geram karena sok hebat dan menolak misi – misi kelas D. untung saja ya Nanadaime-sama tidak bertemu dengan Shinobi seperti temanku itu. kalau tidak, ah.. anda pasti pusing juga."
Seketika Shikamaru dan Chouji terbahak diikuti Sai dan Hinata yang tertawa pelan. Naruto mengerucutkan bibirnya, tentu saja anak nakal yang dimaksud dalam cerita Ino adalah dirinya sendiri.
"Aku terpaksa melakukannya ino. Semakin hari permintaan misi semakin banyak saja sedangkan jumlah Shinobi di desa kita tidak memadai." Naruto menghela nafas sejenak "Memang sudah 10 tahun berlalu sejak perang dunia Shinobi ke 4. Kita kehilangan banyak teman, baik Chunin maupun Jounin. Selain itu banyak sekali penduduk sipil yang tewas karena serangan Jubi. Sekilas mungkin semuanya terlihat sudah normal kembali akan tetapi sebenarnya sampai saat ini keadaan pemerintahan desa belum benar – benar pulih. Jadi aku mengharapkan kesabaran kalian."
Ino terdiam, ia tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Ia jadi merasa tidak nyaman, kenapa sekarang ia yang terlihat salah disini.
"Merepotkan… walaupun begitu, aku benar – benar senang. Akhirnya si anak nakal menerima karmanya."
Shikamaru tergelak, ia hanya berusaha mencairkan suasana. Kemudian ia berdiri dari kursinya, menghampiri meja Naruto dan membereskan beberapa berkas di meja itu. sebab senja semakin merapat, Naruto segera menandatangani dan membubuhkan stempel pada laporan misi teman – temannya.
"Ini silahkan" Sai menerima 2 lembar form pemberian Naruto dan memberikannya satu pada Hinata "Sekali lagi terimakasih banyak atas kerja keras kalian, silahkan mengambil bayaranya di ruang administrasi keuangan dan selamat menikmati istirahat kalian"
Mereka berempat segera berlalu setelah berojigi untuk pamit. Naruto meregangkan badannya yang pegal karena teralu banyak duduk di balik tumpukan dokumen. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan angka lima. Naruto bersorak senang, akhirnya ia bisa pulang.
"Kemarikan dia Naruto, biar aku saja yang menggendongnya."
"Tidak mau..! Shikadai senang – senang saja aku menggendongnya. Bukan begitu Shikadai?
"cha.. cha.." balita yang belum genap setahun itu manggut – manggut.
"Uh… kau memang anak yang baik." Naruto tersenyum lalu menepuk puncak kepala shikadai membuat anak itu tertawa dan menggerakan tanganya lincah.
Shikamaru cemberut, dengan sebal ia mendudukkan dirinya di sofa yang letaknya di samping kanan Naruto. Pria nanas itu cemburu berat. Kenapa Shikadai yang kerjanya hanya mengantuk itu mendadak lincah setiap Naruto datang kerumah mereka.
"kau marah Shikamaru?" tanya naruto yang sedang mengayunkan Shikadai yang tertawa – tawa di kakinya.
"aku juga kangen dengan anakku Naruto. Seharian penuh aku melihatmu. Kenapa aku baru dua jam tenang dirumah sudah harus melihatmu lagi, merebut shikadai pula."
"Ya tuhan… Kau ini pelit sekali sih. Kau kan bisa setiap hari becanda dengan Shikadai."
"Kau salah Naruto." Temari yang tak lain merupakan nyonya Nara di rumah itu datang dari dapur membawa nampan dengan tiga gelas ocha dan sepiring mochi. "Shikadai lebih suka tidur dari pada bermain dengan otousannya."
"Benarkah?"
"Aku tidak berbohong." Temari tersenyum kemudian duduk di samping Shikamaru.
"Hahaha… aku senang sekali akhirnya tuan pemalas menerima karmanya."
Shikamaru mendengus, sudut bibirnya sedikit terangkat. Apa naruto sedang balas dendam tentang kejadian tadi sore? Ah tidak. Itu hanya kebetulan saja kan.
"Hei jagoan.. apa kau mau minum teh bersamaku?" Naruto mengangkat Shikadai ke pelukannya. Shikadai tak menanggapi, sebenarnya ia masih terlalu kecil untuk mengerti setiap ucapan naruto, jadilah copyan shikamaru itu hanya menepuk – nepuk pipi aruto.
"Bagaimana kabarmu Naruto? Sudah terbiasa dengan pekerjaanmu sebagai Hokage?" Temari membuka obrolan
"Hahaha… Kalau yang bertanya ayame-neesan aku akan bilang itu hanya pekerjaan mudah. Tapi karena yang bertanya istri dari penasehatku sendiri, aku harus mengakui bahwa sebenarnya masih sangat payah."
Temari tertawa, Shikamaru tersenyum geli. Naruto benar – benar tidak berubah. Padahal sudah lebih dari setahun ia menjadi hokage.
"Kenapa kau tidak istirahat saja Naruto, besok pagi kita ada pertemuan dengan para tetua dan daimyo." Shikamaru mengingatkan.
"Aku inginnya juga begitu. Tapi rasanya aku kesepian sekali, jadi tidak bisa tidur."
"Huh… kalau kau punya istri kau pasti selalu menantikan waktu tidur."
"Heh…? Benarkah?" Naruto menyeringai mesum, Temari mencubit Shikamaru yang tergelak.
Naruto meminum ochanya "mungkin itu sebabnya kakashi sensei buru - buru mengusirku jika aku berkunjung kerumahnya."
"tentu saja. Mereka itu belum lama menikah. Kau memang benar – benar perusuh ya Naruto. Selain aku dan Rukudaime-sama , siapa lagi yang menjadi korbanmu?" Shikamaru ingin tahu.
"tentu saja Iruka sensei, apa lagi si bungsu tenshi sangat menyukaiku. Hahaha… aku suka melihat wajah frustasi Iruka sensei karena aku tidak segera pulang. Oh ya.. aku juga akan menambahkan Sai dalam daftar kejahilanku."
"bagaimana dengan Sakura? Kau juga sering main kesana?" Temari bertanya.
"tidak.." Naruto menjawab datar.
"kenapa?"
'Karena aku cemburu melihatnya bersama sasuke. Karena aku membenci diriku yang tak bisa menjadi suami Sakura' .. "Sasuke nggak asik."
"maksudnya?"
"Dia itu tidak segan – segan mengaktiifkan eternal mangekyo sharingannya di depan mataku. Aku jadi malas."
Shikamaru dan Temati tertawa melihat ekspresi Naruto yang sungguh menggelikan. Siapa yang tidak tahu kalau Naruto dan Sasuke bertemu maka keributan akan terjadi?
Shikadai ikut tertawa meskipun sebenarnya ia tak tau apa – apa. "Hei.. apa kau pikir aku sedang menghiburmu Nara kecil?" Naruto mencubit pipi gembil Shikadai.
Bocah itu tertawa lebih keras sambil menggapai – gapai gelas ocha Naruto di meja. "oh kau ingin minum ya?" naruto meraih gelasnya hendak meminumkannya pada Shikadai.
gluk.. gluk… gluk.. "ah…"
Naruto tertawa, Shikadai nyengir. Darimana shikadai belajar melakukan 'ah..' seusai minum seakan – akan ia sudah meneguk cairan paling segar di dunia ini?. Apa mungkin anak itu sering melihat kebiasaan orang dewasa di rumahnya?. Naruto tak terlalu terkejut, Shikamaru seorang jenius pasti menurun pada anaknya.
Setelah puas minum ocha, Shikadai mengusap-usapkan wajahnya di bahu Naruto. Beberapa kali bocah itu menguap tapi meronta saat temari mencoba mengambilnya dari pelukan Naruto.
"Biarlah Temari." Pria blonde itu mengelus punggung Shikadai yang mulai terpejam "Nanti saja kalau sudah benar – benar tidur."
"Maaf ya.. jadi merepotkanmu."
"Tidak.. aku justru senang sekali."
"Kau sudah cocok menjadi ayah Naruto, bukan begitu Shika?" Temari meminta dukungan suara.
"hmm… itu benar." Shikamaru mengiyakan
"kapan kau menikah Naruto? Berkeluarga itu menyenangkan, kau tak akan lagi kesepian."
"Apalagi kalau sudah punya anak." Shikamaru menambahkan.
Dengan wajah malu Naruto memberikan cengiran khasnya. Ah.. kapan ia menikah? Naruto merasa tercubit sebenarnya. Bagaimana ia bisa menikah sedang gadis yang amat di cintainya telah menjadi milik Uchiha Sasuke, sahabat karipnya.
