Paranormal Expedition.
Summary: Naruto dan teman-temannya menguak misteri aneh yang ada di sekolah mereka.
Rate: M for horror and thrilling content.
Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto-san. This fic is purely mine.
Warning: ABSOLUTELY OOC. Typo(s), abal, alay, gaje, horror dan humor gagal, tidak memenuhi kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Don't like, please click back.
Nama sekolah itu adalah Shadow Leaf High School. Sekolah berasrama yang punya banyak klub. Peringkat dan kualitas lulusannya tinggi, sehingga banyak sekali peminatnya. Uzumaki Naruto adalah salah satu murid kelas 10 di sekolah ini. Nilainya tidak begitu bagus. Kelakuannya seringkali konyol dan jahil, namun begitu ia memiliki banyak sekali teman. Salah satu teman terdekatnya adalah roommate tersayangnya di kamar 407, Sabaku Gaara. Berbeda dengan Naruto yang terkenal karena kejahilannya, Gaara memiliki reputasi yang lumayan bagus. Meski badannya kurus dan agak pendek dibandingkan teman-teman cowok seangkatannya, Gaara sangat berwibawa, pembawaannya tenang dan kalem. Ia mempelajari seni melukis pasir dari ayahnya. Keluarga Sabaku sudah 3 generasi yang masuk Shadow Leaf High School. Kedua kakaknya, Temari (kelas 12) dan Kankuro (kelas 11) sering datang ke kamar mereka untuk menjenguk Gaara. Selain karena cowok kurus berambut auburn itu sering sekali sakit, mereka bertiga adalah voice actor dalam audio drama Sleepy Hollow yang diputar setiap malam jam 7 di radio sekolah, dan respon serta apresiasinya tinggi sekali. Salah satu kebiasaan buruk Gaara adalah ia agak susah diajak ngobrol karena kepribadiannya yang tertutup, dan terkadang suka kelepasan switch accent.
Meskipun begitu, Naruto begitu sayang dengan teman sekamarnya ini. Selain karena Gaara dengan baik hati selalu membangunkan Naruto di pagi hari, tugas-tugas Gaara bisa diconteknya dengan bebas.
"Oy, kau bakal dateng ke prom tahun ini, nggak?"
Gaara menoleh dari kesibukannya mengarang naskah episode Sleepy Hollow yang selanjutnya ketika Naruto mencetuskan hal itu. Ia mengangguk pelan.
"Iya? Siapa pasanganmu nanti?" tanya Naruto antusias.
"Lihat saja nanti." jawab Gaara datar.
"Aaaah, Gaara pelit! Ayo kasih tahu!" Naruto mulai merengek-rengek. "Siapa, siapa?"
"Bukan siapa-siapa."
"Ayo siapaaa?"
Gaara mendengus. "Matsuri, 10-5."
"Wuaaa! Kau hebat sekali, Gaara! Dia kan manis. Bagaimana bisa kau mendapatkan dia jadi pasangan prom?"
"Dia yang mengajakku." Gaara melanjutkan pekerjaannya. "Kau sendiri?"
"Zero." Naruto melingkarkan telunjuk dan ibu jarinya membentuk angka nol.
"Payah." cibir Gaara.
"Apa katamuuuuu!?" Naruto berdiri dan menggebrak meja karena naik pitam.
"Kau payah." ulang Gaara. Ia membawa binder bergambar peta dunia miliknya dan menyambar kunci kamar dan ponsel di kasurnya. "Aku jadi kasihan."
"Kau mau kemana?" tanya Naruto. "Mau carikan aku pasangan prom?"
"Aku mau on-air, Naruto." katanya. "Jangan lupa kunci pintu."
"Haaaah, bikin ge-er saja. Sana, kerja yang betul!"
Setelah ditinggal Gaara, Naruto berusaha mencari kesibukan dengan mendatangi kamar temannya. Ia menggedor-gedor kamar Shikamaru, salah satu teman sekelasnya namun tidak ada jawaban. Malahan kamar sebelahnya yang terbuka, menampilkan Rock Lee yang beralis tebal.
"Shikamaru di kamarnya Kiba. Tadi Neji juga kesana." katanya.
"Eh? Baiklah." Naruto mengunci pintu kamarnya. "Kau tidak kesana?"
"Tidak. Aku mau melanjutkan latihan superku." katanya sambil memamerkan barbel.
Naruto memberikan semangat kepada cowok beralis tebal itu dan menuju ujung lorong, kamar nomor 420 yang dihuni Inuzuka Kiba dan Aburame Shino. Sebelum Naruto mengetuk pintunya, Shino sudah keluar duluan sambil membawa keranjang pakaian kotor untuk dikirim ke laundry di lantai bawah. Ia mengangguk sopan pada Naruto sebelum berlalu. Tetapi Naruto main terjang masuk ke kamar Kiba dan menemukan teman-teman kelasnya di sana.
Kiba yang selalu guling-gulingan di lantai, Shikamaru yang leha-leha di kasur Kiba sambil main game dengan Neji, dan Chouji yang asyik ngemil keripik kentang.
"Oy, Naruto." Sapa Shikamaru tanpa menoleh.
"Cih, tamu tidak diundang." desis Kiba.
Naruto tertawa, ia menindih Kiba dan memiting lehernya. Kiba mengelak dan balas menjitak Naruto. Mereka bergumul dengan begitu anarkis dan kasar, sehingga bagi orang yang tidak mengenal mereka, kelihatan seperti berkelahi sungguhan. Padahal mereka berdua hanyalah dua orang tolol yang suka mengadu kekuatan fisik satu sama lain.
"Pasti mau bahas prom." tebak Shikamaru. "Di kamar ini yang sudah punya pasangan cuma Neji."
"Aku berpasangan dengan Tenten karena pekerjaan." Neji melancarkan strike dan menang telak dari Shikamaru pada babak ini. "Cooking Club diminta memasak untuk acara prom."
"Serius?" tanya Naruto terheran-heran.
Neji mengangguk. "Kami bakal memasak sekitar 1000 porsi. Menunya 10 macam hors d'œvre, 10 macam main course dan pendampingnya, 10 macam dessert dan minumannya juga."
"Wuah, kedengarannya repot sekali." ucap Naruto yang masih menduduki punggung Kiba.
"Cooking Club hanya membuat hors d'œvre dan menyediakan minuman. Sisanya kami serahkan pada catering." tutur Neji lagi. "Jadi selama prom aku bakal mengenakkan bet panitia."
"Kau sudah punya incaran, belum?" tanya Kiba seraya bangun dan membuat Naruto terjungkal.
"Aduuuuh!" Naruto mengelus kepalanya yang mencium lantai dan menggeleng. "Mungkin aku akan ajak Sakura-chan. Kau sendiri?"
"Prospekku adalah Yamanaka Ino si ketua cheers."
Sontak Shikamaru dan Chouji tertawa terbahak-bahak. Neji tidak mengatakan apapun sementara Kiba hanya tersenyum lebar, yang membuat ekspresinya makin kelihatan tolol.
"Sudah suratan takdir, kan? Seorang pemain football bersanding dengan ketua cheers?" katanya bangga.
"Itu Ino kita, kan?" tanya Chouji polos.
"Pasti lah, siapa lagi?" Shikamaru menyeringai
"Apaan tuh 'Ino kita'? Kalian threesome, ya?!" tuduh Naruto.
"Bukan, bodoh! Kami bertiga sudah berteman dari bayi, makanya sudah seperti saudara." hardik Shikamaru. "Ino itu, Yamanaka Ino itu adalah perempuan paling sok jual mahal di muka bumi ini."
"Penampilan nomor 1." Tambah Chouji. "Dan setahu kami dia nggak akan pernah mau sama cowok yang nggak ganteng."
"Tuh, dengar! Makanya nggak usah sok ganteng." Naruto dengan kesal menoyor kepala Kiba.
"Aduh! Elah, kalian semua nggak bisa lihat apa? Tampang mahaganteng mempesona ini?" Kiba menyisir kebelakang rambutnya dengan jari sambil menaik-naikkan alisnya.
Shikamaru dan Naruto memasang ekspresi mau muntah.
"Kau bagaimana, Shikamaru?" tanya Naruto.
"Aku mungkin bakal pergi dengan Chouji dan Lee. Kalau kau nggak punya pasangan gabung aja. Nggak ada larangan bahwa ke prom nggak boleh dengan teman satu geng kan?"
"Iya, sih." Naruto mengangguk-angguk.
Naruto kini berganti posisi dengan Neji. Ia dan Shikamaru memutuskan untuk main game FIFA. Chouji asyik menonton mereka main, sama halnya dengan Kiba. Neji dengan tenang menyalakan speaker central di kamar itu dan mendengarkan audio drama Sleepy Hollow. Neji menyukai cerita itu karena memiliki alur yang kelam. Naruto terkikik sendiri ketika mendengar karakter bernama Grosvenor berujar dengan aksen Irlandianya yang kental. Grosvenor, Knight Percival, sang Dullahan serta beberapa karakter antagonis lainnya disuarakan oleh Gaara. Back ground musik mencekam dari piano dan biola mengiringi suara derap langkah kuda yang meringkik dengan begitu mistis dan...
JREB!
Ruangan seketika gelap. Laptop yang menyala menjadi satu-satunya sumber cahaya di ruangan itu. Naruto dan Kiba menjerit-jerit frustasi. Shikamaru menjitak kepala Naruto dan menghardiknya agar tidak berisik.
"Ini pasti karena Kiba bilang dirinya ganteng!" sentak Naruto. "Lihat, alam sekitar saja tidak setuju."
"Enak saja!" elak Kiba membela diri.
"Sepertinya mati total." kata Neji. "Lihat. Bahkan lampu di gedung sekolah saja mati."
"Wah, kalau begini kayaknya bakalan lama." Chouji meremas-remas bungkus keripik kentang.
"Huaaaah, bosaaan." Kiba mengeluh sebal.
"Eh, eh. Dengar, dengar! Aku punya ide." seru Naruto.
Meskipun dalam gelap, ia yakin semua orang menoleh kepadanya.
"Gimana kalo kita jurit malam? Bikin semacam uji nyali kayak di program Dunia dan Lain-lain?" Naruto terkikik geli. "Kiba, kau punya senter, nggak?"
"Lampu darurat, sih." Kiba menyalakan ponselnya sebagai sumber cahaya dan mencari-cari sesuatu di lemarinya. "Aha! Ini diaaa."
Kiba menunjukkan sebuah lampu LED besar dan menyeringai. Kamar itu kemudian diterangi cahaya biru elektrik, yang membuat kulit Neji terlihat semakin pucat. Shikamaru mendengus sementara Neji beranjak pergi.
"Kau nggak mau ikut, Neji?" tanya Naruto.
"Nggak. Aku nggak tertarik." tukas Neji sambil pergi.
"Huuh. Payah, ah. Kau nggak takut kan, Kiba?"
"Aku super berani!" ia menepuk dadanya bangga. "Jangan sampe ngompol ya, Naruto!"
"Aku ikut, aku ikuuuut!" Chouji berseru penuh semangat. "Ayo, Shikamaru."
"Huaaah, nyusahin aja." Shikamaru menggerutu sambil mematikan laptopnya. "Ayo, deh."
Kiba mengambil jaket jersey klub football Shadow Leaf High School berwarna hijau toska dengan aksen kelabu di bagian lengan. Di punggungnya terbordir angka 8 besar dan tulisan KIBA dengan huruf kapital. Jaket itu merupakan jaket favorit kiba yang selalu digunakannya pada setiap kesempatan. Naruto mengambil lampu LED itu dan mempimpin teman-temannya menuruni tangga dan membuka pintu. Ini masih jam setengah 9, sementara batas jam malam adalah jam 10. Bahkan keadaan di luar asrama pun sama gelapnya. Naruto memandangi teman-temannya melalui cahaya lampu LED.
"Kita mau mulai dari mana?" tanyanya.
"Biar nggak ketauan satpam, lebih baik kita memutar lewat dome dan running track. Lalu melintasi lapangan football dan memasuki gedung sekolah lewat pintu belakang ruang seni. Sisanya, kita bakal keliling sekolah." Tutur Shikamaru.
"Ide bagus! Pasukan, ayo ma—uph!"
"Hentikan, Naruto!" desis Chouji seraya membekap mulut Naruto. "Semua orang bakal mendengar kita kalau begitu. Paham?"
Naruto mengangguk pelan.
Seperti yang sudah dituturkan Shikamaru, mereka akan berjalan memutari dome dan running track yang merupakan akses terdekat dari gedung asrama putra. Jalanan nyaris gelap gulita. Suara-suara yang seharusnya dikenal menjadikan setiap momen terasa mistis di dalam kegelapan. Mereka bergerak dengan formasi satu baris. Kiba yang memegang LED berjalan paling depan. Shikamaru setelahnya, disusul oleh Naruto dan Chouji yang berada paling belakang. Sebelum mereka membuka pintu depan lobby asrama putra, terdengar langkah kaki mendekat. Dengan sigap Kiba menyorot ke arah tangga dan mendengar rintihan lirih Neji.
"Jauhkan itu, bodoh! Silau!"
"Kau memutuskan ikut, akhirnya?" Shikamaru tertawa meremehkan.
"Aku hanya ingin memastikan kalian tidak terlibat dalam masalah." Jawabnya kalem sambil berjalan mendekat.
"Kalau begitu, Neji bertugas sebagai pengintai. Kau berjalan di belakang Chouji, ya." Pinta Shikamaru.
"Huh. Terserah."
Maka petualangan kecil mereka pun dimulai.
Jalanan gelap. Beberapa kali Naruto atau Kiba, atau bahkan Shikamaru tersandung karena tidak bisa melihat jelas apa yang ada di depan mereka. Naruto menggelinjang kecil saat rumput-rumput lapangan football menyapu punggung kakinya yang tak tertutup karena ia mengenakkan sandal jepit. Neji terus saja memasang mode siaga, menajamkan inderanya selain penglihatan untuk memastikan tidak akan ada hal buruk yang bakal menimpa mereka berlima.
"Lihat!" Kiba menunjuk langit.
Dari lapangan football ini, mereka bisa melihat langit gelap temaram berhiaskan bintang. Bulan separuh bersinar terang, seakan menjadi bintang utama dalam pentas cahaya pada malam hari. Mereka berhenti, sesaat membiarkan diri mereka menikmati pemandangan jarang karena lampu-lampu yang cahayanya luar biasa terang, membuat temaram bintang pada langit malam lenyap, meninggalkan bulan yang meredup dan menggantung kesepian.
Kemudian setelah puas memandangi langit mereka melanjutkan perjalanan. Ruang praktikum seni belum ditutup. Pintu belakangnya belum dikunci. Ruang praktikum seni ini terdiri dari 4 ruangan. Ruang dansa, kelas melukis dan menggambar, ruang musik dan ruang seni pahat. Mereka berjalan menembus koridor ruang praktikum seni dan sampai pada bagian samping gedung sekolah.
"Kenapa kita tidak lihat hantu sama sekali? Nggak seru." Keluh Naruto.
"Mungkin berarti tidak ada hantu." Ucap Shikamaru ketus. "Sudahlah, mau kita akhiri saja?"
"Tidak! Jalan teruuuuus!" Kiba terus saja berjalan lurus, memasuki gedung sekolah dan menaiki tangga lantai 2. Shikamaru cuma bisa geleng-geleng kepala, dan mengomando teman-teman lain di belakangnya untuk mengikuti kemana arah cahaya LED Kiba pergi agar mereka tidak tersesat.
Bagi mereka berempat, semua terlihat dan terasa baik-baik saja. Semuanya aman. Hanya saja gelap. Dan terlalu hening.
Berempat?
Iya.
Hanya Neji yang merasakan suatu kejanggalan.
Diantara gema langkah kaki mereka berlima yang terdengar di seluruh koridor lantai dua, Neji mendengar sesuatu. Ia berusaha mengabaikan suara tambahan itu, berpikir itu hanya sugesti seram yang diproduksi otaknya karena suasana buntu yang membuat otak tidak dapan membuat situasi. Ia mengingat sedikit kelas Psikologi Dasar dan Bimbingan Konseling dari Ibiki-sensei, jika suatu kondisi membuat fungsi otak tidak bisa menciptakan situasi seperti yang seharusnya, otak akan membuat semacam 'situasi' yang memungkinkannya terus bekerja. Singkat kata, otak tidak akan pernah berhenti bekerja membuat situasi. Jika berhenti, maka semacam 'situasi' tidak nyata alias halusinasi akan terbentuk.
TOK!
"Suara apa itu?!" sentak Naruto kaget.
"Entahlah. Seperti sesuatu mengetuk kaca." Balas Neji pendek.
"Mungkin angin atau ranting." Tukas Shikamaru logis. "Ayo, jalan."
TOK TOK!
Kini semua orang menoleh.
Neji berdiri paling dekat dengan kaca, dan ia sendiri mendengar ada suara ketukan. Kedua matanya yang berpupil pucat itu menoleh dan dirinya tidak melihat apapun atau siapapun yang mengetuk-ngetuk kaca itu. Suasana mendadak mistis. Mereka berlima membeku seketika. Naruto melirik keempat temannya, sebelum akhirnya menggedikkan kepalanya kearah Kiba.
"Ayo jalan."
Mereka kembali berjalan, kini ke arah lantai tiga. Di lantai ini terdapat sebuah ruangan kosong besar yang merupakan bekas ruang guru. Ruang guru yang sekarang terletak di lantai dua, sementara bekas ruangannya terbengkala begitu saja.
"Hey, Naruto." Ucap Kiba.
"Hm?
Apa?" Naruto menjawabnya.
"Kau tahu, tidak? Seniorku di football club bilang, 'jangan pernah berani mengintip ruang guru di lantai 3 kalau nggak mau diintip balik'." Jelas Kiba kurang yakin.
"Aku nggak takut! Uzumaki Naruto nggak pernah takut hantu!" ucapnya bangga.
Lalu sekonyong-konyong ia berjalan ke arah ruang guru bekas tersebut. Tidak ada apa-apa. Dari cahaya minim LED Kiba yang menembus kaca ruang guru bekas tersebut, Naruto bisa melihat kursi dan meja yang ditinggalkan. Banyak lemari dan loker-loker berdebu.
"Tidak ada apa-apa." katanya mencemooh. "Kau bodoh, Kiba."
"Mana aku tahu! Aku tidak pernah membuktikannya." Kiba mengelak, membuang mukanya karena kesal.
"Sini, buktikan! Kau tidak takut, kan?" Naruto berlari ke arah Kiba dan menggeretnya mendekat menuju kaca pintu tempat ia mengintip tadi.
"Sudahlah, Naruto. Kita harus lanjut, kan?" lerai Shikamaru.
"Aku cuma mau membuat si bodoh ini percaya kalau tidak ada han..."
Tepat di balik kaca pintu tempat Naruto mengintip tadi, muncul sesosok manusia dengan rambut panjang hitam, kulit pucat bagaikan kertas, mata sipit yang menatap tajam dan penuh amarah seakan mereka berlima telah mengganggu privasinya. Wajah Naruto memucat. Kedua lututnya gemetar, sama halnya dengan mereka berlima yang melihat sosok yang sama. Mereka menjerit sekeras yang mereka bisa. Impuls ketakutan membuat mereka lari tunggang langgang meninggalkan bangunan itu. Kiba tanpa sengaja menjatuhkan LED-nya, namun tak satu pun dari mereka yang peduli. Rasa ngeri membuat mereka berlari menembus kegelapan, berusaha mencari jalan keluar atau setidaknya perasaan aman.
"Kurasa kita harus siaran u—AAAAAARRRRGHHH!"
BRUAK! BRUAAAAK!
BRUK!
Naruto bisa merasakan bahwa dagunya menubruk pundak Kiba. Layaknya efek domino, satu barisan peserta uji nyali kecil-kecilan itu roboh semua ketika kepala barisannya jatuh terjungkal. Ketika Naruto membuka matanya, kilat-kilat kecil cahaya memercik dan kini ia bisa melihat dengan jelas karena listrik sudah kembali menyala.
"AAAAWWW! AAAAWWW! AAAARRRRGHHH!"
Mereka berlima saling bertumpang tindih. Kepala Shikamaru terjepit pinggang Naruto, dan Chouji berusaha menyingkirkan badan tambunnya yang menindih Naruto tanpa sengaja. Hanya Neji yang sempat menghentikan langkahnya karena mendengar suara tubrukan. Mereka jatuh di dekat lab bahasa, dan sebuah ruang kecil di sebelahnya adalah ruang siar radio sekolah. Mereka berada di ujung lantai dua, dan jika saja tidak ada keajaiban, mungkin Kiba dan anak-anak lain di belakangnya akan terguling-guling menuruni tangga. Kepala Kiba terantuk tangga dan pelipisnya mengucurkan darah. Setelah Naruto dan Shikamaru berdiri, ia memapah Kiba dan mendudukkannya. Cowok berambut cokelat itu kelihatan setengah sadar, matanya berputar-putar sebelum kembali ke posisi semula dan menjerit keras karena pendarahan di kepalanya.
"Tenanglah. Tekan terus lukamu. Jangan panik." Shikamaru berusaha menenangkan Kiba.
"Kepalaku berdarah! Kepalaku berdaraaaaaaahhhh!" Kiba berguling-guling panik sambil menekan-nekan pelipisnya dengan lengan bawahnya.
"Naruto..." Neji menepuk pundaknya dan menunjuk sosok tiga bersaudara paling terkenal di Shadow Leaf High School yang tengah mengerubungi si bungsu yang baru saja tersungkur jatuh.
Menyadari bahwa ada Gaara disana, Naruto melompati beberapa anak tangga sekaligus dan mengecek keadaannya. Cowok berambut auburn itu memegangi pergelangan kakinya kuat-kuat. Wajahnya jadi sepucat mayat, tangannya gemetar hebat. Temari menyandarkan kepala adik bungsunya di dadanya dan mengusap-usapnya lembut, berusaha mengurangi rasa sakitnya sementara Kankuro sedang menganalisa apa yang terjadi dengan Gaara saat tubrukan 'maut' itu terjadi.
"Gaara! Kau baik-baik saja?!" seru Naruto.
"Aww...ku...kurasa tidak." rintihnya.
"Mungkin engsel kaki kirinya bergeser." Kata Kankuro pada kakaknya, menjelaskan posisi kaki kiri Gaara yang kini berbelok kaku secara tidak wajar. "Bukan, kurasa ini lebih buruk."
"Kita harus bawa dia ke klinik asrama. Ayo." Temari menepuk bahu Kankuro dan bekerja sama untuk membopong Gaara menuju klinik asrama.
"Biar aku saja." Kata Naruto, membungkuk. "Biar aku yang menggendongnya sampai klinik asrama."
.
"DASAR BODOH!"
Kepala Asrama Putra, Umino Iruka-sensei mengaum keras di dalam klinik asrama putra. Perempatan kesal muncul di pelipisnya. Ia tidak menyangka bakal marah malam-malam begitu karena aksi konyol lima bocah kelas 10 yang akhirnya mengakibatkan korban luka. Shino duduk di ranjang yang agak jauh dari mereka. Ia dipanggil selaku roommate Kiba untuk menjaganya sampai ia bisa diperbolehkan kembali ke kamar. Kurenai-sensei, dokter di klinik asrama putra memberikan 2 jahitan di pelipis Kiba. Cedera kaki Gaara sedikit lebih serius, posisi jatuh secara inversi menyebabkan ligamen pergelangan kaki kiri Gaara didiagnosa mengalami robek yang cukup berat. Sejauh ini yang bisa Kurenai-sensei lakukan hanya melakukan urut ringan pada sekitar bagian cedera, mengompresnya dengan es dan membebatnya untuk mengurangi pembengkakan. Besok, Kurenai-sensei akan menghubungi pihak rumah sakit dan juga orangtua Gaara.
"Besok setelah pulang sekolah kalian harus menemui aku." Ancam Iruka-sensei. "Aku ingin bicara dengan orangtua kalian."
"Aku juga?" Gaara menoleh. "Aku dan kedua kakakku tetap di sekolah sampai lampu menyala. Aku korban disini."
"Kecuali kau, Gaara-kun." Iruka-sensei menambahkan. "Selain Shino dan Naruto, serta yang terluka, semuanya kembali ke kamar!"
Shikamaru, Chouji dan Neji berjalan ke luar. Wajah Shikamaru menunjukkan keterpurukan luar biasa, tahu bahwa ia akan mendapat ceramah super panjang yang menyebalkan dari ibunya yang digambarkannya sebagai 'Hitler versi ibu-ibu'. Kurenai-sensei mengijinkan Naruto dan Shino ikut menginap di klinik, dan beliau pergi ke kamarnya yang terletak di balik meja kerjanya. Kiba yang mengalami syok berat langsung tidur ketika pertolongan pada lukanya selesai. Sementara Shino menyumpal telinganya dengan earbud dan kelihatan tidak peduli dengan keadaan sekitar.
Hanya Gaara dan Naruto yang masih bangun.
"Maafkan aku, Gaara." Bisik Naruto. "Aku tidak sengaja."
"Itu bukan salahmu, Naruto." Jawab Gaara bijaksana. "Aku hanya tidak habis pikir, apa yang kau lakukan disana?"
"Aku...karena bosan gara-gara mati lampu itu, aku, Kiba dan yang lainnya memutuskan mengadakan uji nyali kecil."
Mata jade Gaara yang pucat melebar. Ia mencengkram selimutnya dan menatap Naruto dengan pandangan yang tidak bisa diartikan.
"Jangan...lakukan hal itu lagi." Katanya pelan.
"Kenapa?" Naruto mengerucutkan bibirnya. "Aku tahu itu bodoh, tapi mungkin akan kulakukan lagi. Saat tidak mati lampu, dan aku akan lebih hati-hati. Kau harus ikut, Gaara. Pasti super se—"
"Kau tidak mengerti." Potong Gaara. "Pokoknya, jangan lakukan hal semacam uji nyali itu lagi."
"Kenapa? Kau melihat sesuatu, ya?"
Gaara menatap Naruto ragu-ragu. Ia terlihat seperti sedang merangkai kata-kata. Setelah menarik nafas pendek, Gaara akhirnya menjawab,
"Aku bahkan berkomunikasi dengan satu dari mereka. Dan percayalah, sekolah kita adalah lahan yang berbahaya."
.
Haaaai~
Nama saya fajrikyoya, meskipun ini emang agak aneh, untuk pertama kalinya saya membuat fic untuk fandom naruto. Jadi bisa dibilang saya masih author newbie. Douzo yorushiku onegaishimasu :3
Fic ini, paranormal expedition awalnya kubuat untuk fandom KHR. Namun entah kenapa, setelah menamatkan manga Naruto, aku berpikiran bahwa cerita ini lebih cocok ada di fandom Naruto. Untuk pengalaman mistis, aku jarang dapet, sih. Mungkin disini suasana horrornya belum dapet, ya? Saya akan berusaha sebaik mungkin menambahkan pengetahuan dan research saya supaya fic ini lebih baik.
So,review-nya ditunggu ya? Apalagi fave #superngarep,
Thanks for reading :3
Fajrikyoya.
