Disclaimer:
Naruto and all chara(s) belong to Masashi Kishimoto
Pairing: Uzumaki Naruto / Uchiha Sasuke (female)
Warning: OOC, AU, typo(s), etc.
Don`t Like, please Don`t Read!
Seven Days With You
Days 1: Be Your Boyfriend?
20 Februari 2011.
Naruto POV
Di sini, di tempat ini aku terdiam seorang diri. Entah apa yang kupikirkan sehingga aku memutuskan untuk menunggu di tempat ini. Di tempat yang penuh dengan kenangan antara aku dan gadis itu. Mataku menyapu keadaan sekitar. Sepi. Padahal ini akhir pekan tapi mengapa taman yang biasanya ramai mendadak sepi seperti ini? Apakah karena cuaca hari ini yang lebih dingin dari hari biasanya?
Entahlah.
Menghela napas, aku merapatkan jaket yang kupakai dan tidak lupa mengeratkan syal di leherku. Padahal ini sudah bulan Februari tapi mengapa cuaca masih tetap dingin seperti ini? Aku begitu merindukan sinar matahari di musim panas. Tapi sayang musim panas masih beberapa bulan lagi.
Getaran ponsel berhasil mengalihkanku dari acara memandang keadaan taman yang sepi. Aku merogoh saku jaketku dan mengambil sebuah ponsel hitam milikku. Ada sebuah pesan yang masuk. Dengan segera aku membuka fitur pesan dan membaca isinya. Hanya dua baris kalimat dari pesan tersebut yang tentu saja ditujukan untukku. Aku sama sekali tidak berniat membalas pesan itu karena memang tidak diperlukan.
Mata safirku kini beralih memandangi sebuah foto yang dijadikan wallpaper yang nampak di ponselku. Sebuah foto yang menampilkan sosok diriku dan seorang gadis berambut hitam kebiruan. Tanpa kusadari, seulas senyum tersungging di wajahku saat melihat foto itu. Aku ingat jelas kapan dan di mana foto itu diambil. Aku juga masih ingat jelas bagaimana aku bertemu dengan gadis itu. Gadis yang selalu menempati relung hatiku, gadis yang selalu kucintai, gadis yang keberadaannya tidak akan pernah digantikan oleh siapa pun di dunia ini.
Sasuke...
Flashback...
18 Desember 2010, Konoha Gakuen.
Cuaca yang dingin di musim dingin seperti bulan Desember ini memaksa siswa-siswi Konoha Gakuen lebih memilih untuk berada di dalam kelas mereka masing-masing ketimbang membeku di halaman sekolah hanya untuk bermain.
Tapi sepertinya hal itu tidak berlaku untuk sekelompok pemuda yang tengah berlari sambil menggiring bola di lapangan sepak bola. Mereka sama sekali tidak memedulikan cuaca dingin saat ini. Mereka dengan santainya berlari-lari saling mengoper benda bulat kenyal berwarna hitam-putih itu ke sana ke mari.
Teriakan membahana saat salah satu pemuda berambut pirang berhasil menyarangkan sebuah gol di gawang lawannya membuat teman satu timnya berlari ke arah pemuda itu lalu mulai mengelilinginya. Bagaimana tidak, pemuda berambut pirang itu sudah berhasil menyarangkan paling tidak enam buah gol ke gawang lawan sementara lawan mereka tidak berhasil menghasilkan satu gol pun. Otomatis hal itu membuat timnya menang telak.
"Mereka benar-benar kurang kerjaan!" gerutu seorang gadis berambut merah jambu, Haruno Sakura, yang melihat apa yang dilakukan kakak kelasnya di lapangan sepak bola. Ia memandang sekumpulan pemuda yang berlarian di lapangan dari jendela kelasnya di lantai tiga gedung itu dengan pandangan heran.
"Kau tidak akan mengerti seorang anak laki-laki kalau seperti itu, forehead," kata seorang gadis berambut pirang dikuncir ekor kuda. Gadis berambut pirang model ponytail itu menopang dagunya pada pinggiran jendela.
"Ino! Jangan memanggilku seperti itu!" seru Sakura seraya menatap tajam gadis disebelahnya.
Ino yang tidak menanggapi protes dari sahabatnya itu mengalihkan perhatiannya ke arah anak laki-laki yang kini mulai beranjak meninggalkan lapangan sepak bola. Sepertinya pertandingan itu sudah usai.
"Tumben aku melihat Uzumaki-senpai di sekolah," kata Ino menunjuk seorang pemuda berambut pirang dari kejauhan. Matanya tidak henti-hentinya menatap pemuda yang terlihat sedang bertelanjang dada dengan menyampirkan seragam sekolah yang dipakainya itu di punggungnya; sama sekali tidak memedulikan udara dingin yang menggigit kulitnya.
"Kalau diperhatikan, ternyata Uzumaki-senpai itu keren juga," lanjutnya.
"Kau baru sadar sekarang, Ino-pig? Kau kemanakan matamu? Dia itu salah satu cowok populer di sini," timpal Sakura.
"Hei, jangan salahkan aku. Aku bukan kau yang menyukai setiap cowok tampan di sekolah ini. Di hatiku itu hanya ada Sai. Kau tahu itu, forehead!"
"Ya ya, terserah kau, Ino. Sana! Cari Sai-mu itu!" kata Sakura sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Ino. Selama beberapa lama kedua gadis itu sibuk memperdebatkan siapa diantara nama-nama yang mereka sebutkan yang lebih tampan. Mereka tidak sadar kalau seseorang tengah mendengar pembicaraan mereka.
"Kau mau pesan apa, Naruto?" tanya seorang pemuda dengan tato segitiga merah di bawah matanya. Inuzuka Kiba, begitu teman-temannya sering memanggil pemuda itu. Pemuda berambut hitam kecokelatan itu terlihat sedang sibuk mengantri di salah satu stan makanan di kafetaria. Mata pemuda itu melirik daftar menu yang terpampang; memilih menu apa yang ingin ia makan. Rupanya tenaganya cukup terkuras gara-gara bermain sepak bola tadi.
"Oi Naruto!" serunya saat orang yang ditanyainya tadi sama sekali tidak menjawab. Ia melirik ke arah meja kafetaria di mana seorang pemuda berambut pirang tengah membenamkan kepalanya pada tangannya yang terlipat di atas meja persegi itu.
Kesal karena tidak diacuhkan, Kiba akhirnya hanya memesan makanan untuk dirinya sendiri. Ia pun berjalan ke meja pemuda pirang dan mendudukkan dirinya berhadapan dengan pemuda itu.
"Kau tidak makan, Naruto?" tanya Kiba lagi.
Naruto mengangkat kepalanya sedikit sehingga ia bisa melihat pemuda pecinta anjing di hadapannya. Menguap pelan, ia mulai menegakkan tubuhnya. Iris matanya yang berwarna biru cerah memandang ke sekeliling kafetaria. Tepatnya ke salah satu stan yang berada tidak jauh dari mejanya.
Tanpa berkata apa-apa, ia mulai berjalan mendekati stan langganannya. Ia sama sekali tidak memedulikan berpasang-pasang mata yang mengawati gerakannya. Memangnya apa yang orang-orang itu lihat dari seorang Uzumaki Naruto? Entahlah, hanya mereka yang tahu. Lagi pula Naruto sama sekali tidak ambil pusing dengan semua itu.
"Pesan ramennya satu," kata Naruto kepada salah satu pelayan wanita di stan itu. Wanita tersebut mengangguk; paham dengan pesanan Naruto.
Setelah memesan apa yang ingin ia makan, Naruto kembali berjalan ke arah mejanya di mana Kiba terlihat sedang sibuk menikmati makan siangnya. Saat berjalan ke mejanya, tidak sengaja seseorang menyenggol pemuda berambut pirang itu. Untungnya tubuh Naruto lebih besar dari sang pelaku sehingga tidak terjadi apa-apa padanya. Sayangnya hal itu tidak berlaku pada si pelaku penyenggolan.
"Ka-Kau tidak apa-apa, Sasuke?"
Mata safir milik Naruto menatap dingin ke arah dua orang gadis yang berlutut di lantai. Salah satu dari mereka menatap khawatir ke arah seorang gadis lain yang terbaring dengan posisi setengah tidur di atas lantai kafetaria yang dingin.
"Hn," jawab gadis yang Naruto duga adalah orang yang menyenggolnya tadi. "Aku baik-baik saja, Hinata."
Naruto yang sama sekali tidak ambil pusing dengan adegan persahabatan di hadapannya hanya melengos pergi tanpa berkata apa-apa. Ia tidak jadi memaki orang yang baru saja menyenggolnya. Bagaimanapun juga, ia diajarkan untuk tidak melukai seorang wanita. Di mana harga dirinya sebagai pembuat onar di Konoha Gakuen kalau terlihat mencari gara-gara dengan seorang gadis... lemah?
"Hei, tunggu!"
Seruan seseorang yang sepertinya tertuju padanya, memaksa Naruto untuk melihat siapa yang baru saja meneriakinya. Dengan tatapan yang sangat malas, ia menatap ke arah seorang gadis berambut merah berkacamata yang saat ini terlihat sedang berkacak pinggang.
"Kau memanggilku?" tanya Naruto dengan nada malas.
"Tentu saja kau! Memang siapa lagi!" bentaknya. "Kau harus minta maaf atas perbuatanmu barusan!"
Naruto memutar kedua bola matanya. Hei, gadis itu mengatakan seolah-olah Narutolah yang salah telah menyenggol temannya? Yang benar saja! Bukannya Naruto yang pantas berkata seperti itu?
"Dengar ya, nona-siapa-pun-kau," kata Naruto. Jangan salahkan dia karena berkata tidak sopan seperti itu. Sudah sepantasnya karena Naruto tidak mengenal siapa gadis itu. Orang-orang di kelasnya saja ia tidak hapal, bagaimana dengan orang-orang di kelas lain? Jangan harap ia akan mengingatnya. "...yang salah dalam hal ini adalah temanmu itu. Dialah yang menyenggolku terlebih dahulu. Harusnya kau bersyukur karena aku sama sekali tidak mempermasalahkan hal ini."
Gadis berambut merah itu hendak membalas kata-kata Naruto sebelum sebuah tangan pucat menyentuh lengannya.
"Sudahlah Karin, aku baik-baik saja. Tidak perlu diperbesar," kata gadis yang terjatuh tadi. Pandangan gadis itu kemudian beralih ke arah Naruto. "Maaf sudah menyenggol senpai tadi," kata gadis itu sembari membungkukkan badannya.
Naruto hanya mendengus pelan. Mata safir-nya beralih menyapu keadaan kafetaria yang sekarang mendadak sepi. Semua mata tertuju ke arahnya. Mau tidak mau, akhirnya Naruto melayangkan death glare kepada orang-orang yang ada di tempat itu. Segera saja, semua orang-orang itu berhenti mengamati dirinya dan melanjutkan kegiatan yang mereka lakukan sebelum insiden kecil itu terjadi.
Ia pun tanpa berkomentar apa-apa, langsung melangkahkan kakinya menjauh dari ketiga gadis yang baru saja menganggu jam makan siangnya. Dengan kasar, ia mendudukkan dirinya di kursi. Tidak mengacuhkan tatapan Kiba kepadanya. Ia merasa kesal sehingga sama sekali tidak berniat untuk menikmati ramen kesukaannya.
"Aku harap kau tidak akan mengamuk kali ini, Naruto," kata Kiba sesaat setelah menghabiskan makan siangnya. "Aku sendirian tidak akan sanggup menghentikanmu."
"Aku tidak akan mengamuk hanya karena hal sekecil itu, Kiba. Aku hanya merasa sedikit kesal," kata Naruto. Mata safir pemuda itu memandang lekat ke arah tiga gadis yang berjalan keluar dari kafetaria itu. Kiba yang menyadari ke mana mata Naruto tertuju, hanya menyeringai kecil.
"Yang mana dari ketiga gadis itu yang membuatmu tertarik, Naruto?"
Naruto mendengus. Yang banar saja. Ketiga gadis itu bahkan tidak ada menarik-menariknya bagi seorang Uzumaki Naruto. Gadis berambut indigo yang dipanggil Hinata? Huh, Naruto tidak buta untuk tahu kalau sebenarnya Kiba sedang mengincar gadis itu. Dan Naruto bukanlah orang yang suka merebut incaran orang lain apalagi incaran sahabatnya sendiri.
Gadis berambut merah? Naruto mencibir. Sampai kapanpun jangan mengharapkan Naruto untuk tertarik melirik gadis cerewet seperti itu. Tidak, terima kasih.
"Bagaimana menurutmu tentang Uchiha Sasuke?" perkataan Kiba tadi otomatis membuyarkan Naruto dari lamunannya. Sepertinya pemuda pecinta anjing itu mengerti apa yang Naruto pikirkan. Ia pun mengerutkan dahinya tanda tidak mengerti.
"Uchiha siapa?" tanya pemuda pirang itu.
"Uchiha Sasuke, gadis yang barusan menyenggolmu. Naruto~ kau benar-benar terlalu cuek dengan sekitarmu," geram Kiba menghadapi sikap cuek dan seenaknya dari Naruto.
Naruto tidak menanggapi perkataan Kiba barusan. Ia hanya diam sembari menopangkan dagu di atas meja. Tidak dipedulikannya semangkuk ramen yang tadi dipesannya sekarang sudah mulai dingin. Nafsu makannya sudah benar-benar hilang sekarang.
Tidak terasa, bel tanda istirahat usai berbunyi. Berangsur-angsur murid-murid di kafetaria itu mulai beranjak menuju kelas mereka masing-masing. Meninggalkan hanya segelintir orang di ruangan luas tersebut. Termasuk di antara orang-orang itu adalah Naruto dan Kiba yang sepertinya enggan untuk kembali ke kelas.
"Mau ke mana?" tanya Kiba saat melihat tiba-tiba saja Naruto berdiri. "Kau tidak berniat membolos lagi, kan?"
"Memang itu mauku," kata Naruto singkat.
"Hei! Hari ini ada pelajarannya Kakashi-sensei, Naruto! Kau berniat untuk mencari masalah dengannya?"
Naruto mendengus. "Memangnya aku peduli?" katanya lalu melenggang pergi dari tempat itu. Meninggalkan Kiba yang hanya bisa mengelengkan kepala menghadapi tingkah Naruto. Walau begitu, ia sudah sangat-sangat terbiasa menghadapi Naruto yang seperti itu.
Suka membolos, terkadang membuat onar, atau bahkan berkelahi dengan siswa dari sekolah lain, semua itu hal biasa yang dilakukan Naruto. Tapi yang membuatnya heran, Kiba sama sekali tidak pernah melihat Naruto serius belajar baik itu di kelas ataupun di rumah. Tapi tetap saja pemuda berambut pirang itu selalu bisa masuk sepuluh besar di angkatannya.
'GRAKK!'
Suara pintu geser yang dibuka memaksa seorang wanita berambut pendek sebahu mengalihkan perhatiannya dari tumpukan kertas-kertas yang berserakan di atas mejanya ke arah siapa yang baru saja memasuki ruangan itu. Ia menghela napas saat melihat orang yang dikenalnya.
"Tempatku ini bukan tempat yang bisa kau pakai seenaknya untuk membolos, Naruto-kun," kata wanita itu.
Tidak menghiraukan perkataan wanita itu, Naruto melangkahkan kakinya ke arah salah satu tempat tidur yang berada di ruangan serba putih dengan bau obat-obatan yang menusuk hidung. Ia pun segera membaringkan tubuhnya sembari menarik sebuah selimut berwarna putih dan menutupi seluruh tubuhnya.
"Naruto..." panggil wanita itu.
"Aku sedang tidak enak badan, Shizune-san," gumam Naruto.
"Memangnya aku percaya dengan alasan klasikmu itu. Jangan kau pikir karena Ibumu adalah Kepala Sekolah di sini, itu bisa membuatmu dengan seenaknya saja membolos. Aku tidak ingin disalahkan Kushina-san karena mau menampung dirimu yang membolos sekolah."
"Aku tidak bohong. Sepertinya aku demam. Dan asal Shisune-san tahu, Kaa-san tidak akan berbuat seperti itu," kata Naruto dari balik selimut. "Bangunkan aku kalau sudah jam pulang."
Kali ini Naruto memang tidak berbohong. Ia memang merasa tidak enak badan. Tubuhnya terasa panas padahal ruang kesehatan ini dilengkapi pendingin ruangan. Mungkin ia demam karena apa yang ia lakukan saat jam istirahat tadi. Bermain sepak bola di tengah musim dingin kemudian bertelanjang dada di luar ruangan. Bukankah itu gila? Jadi sepertinya wajar saja kalau sekarang ia terserang demam.
Shizune hanya bisa menghela napas; tidak berniat untuk berkomentar apa-apa. Ia sudah terbiasa menghadapi tingkah laku Naruto yang selalu seenaknya keluar masuk ruangan kesehatan tempatnya bekerja hanya untuk menumpang tidur. Tidak ada yang bisa mengusir pemuda pirang itu kalau memang ia belum ingin keluar dari ruangan kesehatan termasuk Kushina, Ibunya sendiri.
Naruto tidak tahu sudah berapa lama ia tertidur. Tapi yang pastinya ia merasa baru sebentar memejamkan matanya sebelum merasakan sesuatu yang dingin menyentuh keningnya. Entah mengapa rasanya nyaman sekali. Perlahan, ia membuka kelopak matanya.
Terkejut, itulah reaksi pertama yang tampak di wajah kecokelatan Naruto saat melihat ternyata ada seseorang yang berada di samping tempat tidurnya. Ia lebih terkejut lagi saat menyadari sesuatu yang dingin yang terasa di keningnya tadi ternyata adalah telapak tangan dari orang itu.
"Apa yang kaulakukan?" desis Naruto. Mata safirnya memandang lekat kearah gadis berambut hitam kebiruan di hadapannya yang kini menarik tangan pucatnya menjauh dari kening Naruto.
"Apa yang barusan kaulakukan?" tanya Naruto lagi saat tidak mendapat jawaban dari gadis itu. Apa gadis itu tidak tahu kalau dirinya sama sekali tidak suka disentuh sembarangan seperti barusan?
"Aku tidak sengaja melihatmu berkeringat dan mengigau dalam tidur. Jadi... aku bermaksud melihat keadaanmu. Dan ternyata kau sedang demam," jelas gadis itu. Kedua bola matanya memandang ke arah Naruto sehingga membuat pemuda itu tertegun sejenak. Tidak ada orang yang baru dikenalnya yang pernah memandang lurus ke arahnya. Melirik pun mereka bahkan tidak berani.
Naruto tidak berkomentar. Perlahan tangan tan-nya bergerak ke arah keningnya dan memang benar terasa hangat.
"Di mana Shizune-san?" tanya Naruto saat melihat kesekelilingnya dan tidak melihat wanita berambut pendek itu ada di sana.
"Shizune-sensei sedang keluar. Aku diminta berjaga sebentar di sini. Apa kau perlu sesuatu?"
"Ambilkan aku obat penurun panas," kata Naruto singkat-padat-dan jelas kepada gadis itu.
Gadis itu tidak menjawab. Ia membalikkan badannya kemudian berjalan mendekati sebuah rak kaca yang berada tidak jauh dari tempat tidur Naruto. Tanpa ia sadari, mata Naruto tidak henti-hentinya menatap gadis itu.
Naruto bukan orang yang bodoh yang dengan cepat melupakan orang yang ia temui. Ia ingat betul kalau gadis yang saat ini sedang sibuk memilah-milah botol-botol yang berjejer rapi di rak kaca itu adalah gadis yang ia temui di kefetaria tadi. Gadis yang tidak sengaja menyenggolnya.
"Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya di tempat ini. Kau asisten Shizune-san yang baru?" tanya Naruto saat gadis berambut panjang sepinggang itu menyodorkan beberapa butir obat dan segelas air putih kepada Naruto. Shizune memang pernah mengatakan pada Naruto kalau ia ingin mempekerjakan seorang asisten untuk membantunya di sini beberapa waktu yang lalu tapi ia sama sekali tidak menyangka kalau wanita itu akan mempekerjakan seorang siswi Konoha Gakuen.
"Bukan," kata gadis itu. "Aku kebetulan sedang ada sedikit keperluan dengan Shizune-sensei tapi kemudian Beliau memintaku untuk berjaga sebentar."
Lama kedua orang itu terdiam. Sama sekali tidak berniat untuk membuka percakapan sampai akhirnya gadis itu bersuara.
"Senpai..." panggil gadis itu.
Naruto melirik sekilas dari sudut matanya saat merasa ia dipanggil. Ia tidak berkata apa-apa namun bukan berarti ia tidak memperhatikan. Pemuda itu menelan obat yang diberikan padanya sambil menunggu gadis yang berdiri disamping tempat tidurnya untuk berbicara.
"Senpai, jadilah pacarku."
BRUSSHH!
Ucapan yang dilontarkan gadis itu membuat Naruto sedikit terkejut sehingga membuat ia menyemburkan air putih yang hendak diminumnya. Tidak menghiraukan sisa-sisa air yang membasahi selimut, mata pemuda itu menatap gadis di hadapannya dengan tatapan 'apa-kau-bilang?'.
"Aku bilang; 'Senpai, jadilah pacarku'. Apa kurang jelas?"
"Apa kau gila? Kita baru bertemu kira-kira dua jam yang lalu dan sekarang kau mengatakan kalau kau ingin aku menjadi pacarmu? Sebaiknya kau periksakan otakmu dulu, Nona," kata Naruto. Jujur saja, ini bukan yang pertama kalinya seorang gadis mengatakan suka padanya. Tapi kalau seperti ini kejadiannya, ia belum pernah mengalami sama sekali.
"Aku tidak mengatakan untuk menjadi pacar sungguhanku. Maksudku... apa Senpai mau menjadi 'pacar pura-puraku' selama satu minggu? Minggu depan aku akan pindah ke Hokkaido dan masuk sekolah asrama khusus perempuan. Paling tidak sebelum pindah, aku ingin merasakan bagaimana pacaran."
"Kau memang harus memeriksakan kepalamu itu, Nona," kata Naruto. Ia yakin sekali kalau gadis di hadapannya ini memang mengalami gangguan pada kepalanya.
"Aku tidak sedang bercanda. Lagipula senpai tidak menjadi pacarku secara cuma-cuma," lanjut gadis itu sembari merogoh saku kemeja putih yang ia kenakan dan mengeluarkan sebuah kertas lumayan tebal lalu menyodorkannya kepada Naruto.
"I-Ini...'
"Tiket konser UVERworld yang akan diadakan di Tokyo Dome. Konsernya tepat satu minggu lagi."
Naruto menatap tidak percaya ke arah lembaran berwarna emas di hadapannya. Bagaimana tidak, kertas yang katanya adalah tiket untuk konser band favoritnya kini berada tepat di depan matanya. Sudah dari sebulan yang lalu ia mencoba memesan tiket itu tapi sayangnya sampai sekarang ia belum mendapatkannya. Ia sudah menyerah untuk mencoba mendapatkan tiket itu sejak seminggu yang lalu.
"Ba-Bagaimana kau mendapatkannya?" tanya Naruto. Mata safirnya memandang ke arah gadis berambut raven itu.
"Kakak laki-lakiku yang memberikannya padaku. Aku tahu kalau kau menyukai band itu. Jadi..." gadis itu berhenti sebentar sebelum melanjutkan. "...apa Senpai mau menjadi pacarku selama seminggu ini?"
Naruto melangkahkan kakinya menuju kelasnya. Bukannya ia berniat untuk mengikuti pelajaran. Tidak, ia hanya ingin mengambil tas dan jaketnya di kelas. Lagi pula jam pelajaran sudah selesai beberapa menit yang lalu.
Tanpa berkata apa pun kepada Kiba atau pun teman-temannya di kelas itu, Naruto menyambar tas sekolah dan juga jaketnya lalu keluar dari kelas itu. Ia sama sekali tidak memedulikan Kiba yang berteriak memanggilnya; menanyakan apakah nanti sore ia ada waktu untuk sekadar berkumpul di tempat biasa atau tidak.
Pemuda berambut pirang itu berjalan menyusuri koridor sekolah yang sedang ramainya dengan murid-murid yang hendak pulang. Ia mendengus pelan saat mendapati orang-orang yang dilewatinya tidak henti-hentinya memandang bahkan ada yang berbisik-bisik sambil menunjuk secara terang-terangan ke arahnya. Rupanya orang-orang itu perlu diberi sedikit pelajaran darinya.
Naruto menghentikan langkah kakinya saat ia sampai di depan sebuah pintu geser. Dilihat dari papan yang tergantung di atas pintu, bisa dipastikan pintu itu adalah pintu sebuah kelas. Tanpa perlu repot-repot untuk sekadar mengucapkan kata 'permisi' atau kata sopan santun lain, Naruto menggeser pintu berwarna hijau tua itu dengan kasar.
Begitu pintu terbuka, mata safir Naruto langsung mencari-cari sosok yang sejak tadi ingin ditemuinya. Dilihatnya sosok itu sedang membereskan buku-buku yang berserakan di atas mejanya kemudian memasukkannya ke dalam tas. Lagi-lagi, Naruto yang tidak memedulikan tatapan heran dari kohai-kohai-nya di kelas itu hanya berjalan santai menghampiri seorang gadis berkulit pucat.
"Aku datang menjemputmu. Ayo kita pulang," kata Naruto kepada gadis di hadapannya.
Gadis bermata hitam itu mendongakkan kepalanya sedikit lalu kembali menekuni kegiatannya membereskan buku-buku dan alat tulisnya. Begitu semua sudah masuk ke dalam tas biru miliknya, ia berdiri.
"Sa-Sasuke..."
Belum sempat gadis itu melangkahkan kakinya berniat untuk pulang, seorang gadis bermata lavender menahan lengan kurusnya. Ia menatap teman sekelasnya itu.
"Kau tidak jadi pulang dengan kami?" tanya Hinata-gadis bermata lavender itu.
"Tidak kali ini, Hinata. Sampai jumpa besok," kata Sasuke sambil berjalan ke arah Naruto yang sudah berada di depan pintu.
"Apa kau selalu memasang ekspresi wajah yang datar begitu kepada orang-orang sekitarmu?" tanya Naruto membuka percakapan antara mereka berdua. Sama seperti Naruto, gadis yang saat ini berjalan di sampingnya juga terlihat tidak perduli dengan pandangan siswa-siswi Konoha Gakuen yang menatap dengan penuh rasa penasaran ke arah mereka saat kedua orang itu berjalan menuju tempat parkir yang berada di dekat pintu gerbang.
Jelas saja orang-orang itu penasaran. Bagaimana bisa seorang Uzumaki Naruto berjalan berdampingan dengan salah satu gadis yang juga merupakan adik kelasnya. Padahal sebelum ini kedua orang itu bahkan tidak pernah terlihat bersama ataupun berinteraksi-abaikan kejadian di kafetaria.
Kembali ke kedua orang itu.
"Hei, Sasuke," panggil Naruto. Karena kesal tidak mendapat jawaban, Naruto menarik pelan lengan kurus Sasuke sehingga mau tidak mau tubuh gadis berambut panjang tergerai itu kini menghadap Naruto.
"Aku tahu kalau kita ini hanya berpura-pura pacaran," bisik Naruto. "Tapi setidaknya bersikap manislah pada pacar pura-puramu ini. Bukankah kau yang mengatakan sendiri kalau kau ingin merasakan yang namanya pacaran? Jadi sebaiknya kau bersikap sedikit lebih manis dan ramah."
"Hn," kata Sasuke. Ia melirik kesekitarnya di mana berpasang-pasang mata tengah mengamatinya. Menghela napas pelan, Sasuke akhirnya menatap wajah Naruto.
"Akan kucoba," lanjutnya.
"Bagus. Ayo kita pulang," kata Naruto sambil menggenggam tangan Sasuke dan mengajak gadis itu ke tempat parkir di mana ia memarkirkan sebuah motor hitam miliknya.
"Kau lihat itu, forehead?" tanya Ino sambil menunjuk ke arah Naruto yang mengendarai motor Ducati merah miliknya sambil membonceng Sasuke di belakang. Suara motornya meraung kencang saat melaju ke arah gerbang sekolah dan kemudian menghilang di tikungan tidak jauh dari Konoha Gakuen.
"Aku tidak buta, Ino-pig," sahut Sakura. "Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Naruto-senpai pulang dengan Uchiha Sasuke."
"Apa mereka pacaran?" tanya gadis berambut pirang itu sambil memegang dagunya. Bergaya seperti seorang detektif. "Kau tidak apa-apa? Bagaimana pun juga Naruto-senpai bukannya cowok incaranmu?"
Sakura tidak menjawab. Lebih tepatnya tidak bisa berkata apa-apa. Ia sendiri sangat terkejut saat melihat Naruto ke kelasnya dan mengajak Sasuke pulang. Mengapa tiba-tiba Naruto yang tidak pernah terlihat berbicara dengan Sasuke tiba-tiba mengajak gadis itu pulang bersama? Apakah memang benar kalau mereka pacaran?
Sakura tidak tahu. Oleh sebab itu, besok ia berniat untuk mencari tahu. Ia sama sekali tidak rela kalau Senpai yang sudah diincarnya sejak pertama kali masuk Konoha Gakuen direbut oleh gadis aneh seperti Sasuke itu. Tidak, ia sama sekali tidak rela kalau itu sampai terjadi.
TBC
Sou`s Note: Maunya sih fic ini SasuFemNaru, tapi sepertinya FemNaru sudah banyak dan entah mengapa akhir-akhir ini otak saia keracunan virus N.S. Dan, jadilah fic gaje ini. Saia juga ga yakin ini fic ada yang mereview. Tapi sudahlah, sudah terlanjur selesai dibuat.
So, minna-san~ wanna review this fic?
And thank`s you for reading...
