Pria berkuncir itu menggigit bibir bawahnya. Ia nampak meragu, sambil mondar-mandir ke sana ke mari sampai-sampai membuat Naruto yang sedang membaca-baca materi Fisika untuk ulangan besok menggerutkan kening kesal. Remaja tingkat atas itu bahkan menyumpah dan menghitung dalam hati apabila Si Nanas tidak segera diam, ia tidak tahu kejahilan apa yang akan ia perbuat.
Naruto mulai menghitung. Satu, dua, dan… ia berang bukan mainnya. Shikamaru masih saja mondar-mandir. Pemuda berambut kuning cerah itupun menggebrak meja dengan keras, sampai-sampai membuat Shikamaru kaget.
"Nah, ok. Sebenarnya ada apa sih, Shikamaru?"
Shikamaru bergidik sambil mengelus belakang telinganya. Dia meneguk ludahnya. Dengan bibir bergetar, ia berujar, "Dia, dia menelepon lagi, Naruto."
Dan seolah melihat sebuah rudal tentara Amerika bergerak ke arahnya. Uzumaki Naruto mengejang hebat.
"Apaaa! Dia, dia menelepon lagi. Jadi, jadi apa lagi yang dia mau? Apa, apa Shika? Apa 'tebayo?"
Pria berkuncir itu lalu merogoh saku celananya. Bukan main geroginya dia, tangannya bergetar hebat pada selembar kertas berisi tulisan-tulisan tangan yang rapi. Dan Naruto sendiri melihat itu kembali syok. Bahkan pemuda yang sebelumnya duduk dengan tenang di kursi sofa itu kini berdiri.
"Gawat! Kita harus lapor polisi!"
.
.
.
Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto
Pernahkah kau menyukai seseorang? Lalu, apakah yang terjadi ketika kau menyukainya?
Menyukai dalam diam, atau dengan bodohnya memaksa-maksa orang tersebut untuk jatuh cinta kepadamu.
Lebih indah apabila dirimu berusaha dengan sepenuh hati. Memberikannya coklat yang manis, hadiah, jam tangan, sweater, atau sekedar sapaan ringan sembari tersenyum ceria.
"Cinta, dari dulu sampai sekarang. Masih sama, dibutuhkan, dan berbeda-beda maknanya bagi setiap orang."
Untuk itulah kisah cinta tidak ada bosan-bosannya untuk ditulis dalam berlembar-lembar materi.
Aku, tidak tahu apakah ini akan memuaskan Anda sekalian. Karena cerita ini mengandung banyak kekurangan. Diantaranya; Typo yang lebih dari satu, Gaya bahasa yang abal-abal, Pendiksiannya terlalu berlebihan, lalu AU, OOC pula, OC juga, apalagi Alur seolah membingungkan. Jadi, tentunya ada sebuah pilihan; Lanjut membaca, atau berhenti dan kembali.
Peringatan itu perlu…
.
.
.
Shika, I Love You
.
.
.
LAGI, seorang Yamana Ino harus menunggu di halte bus itu dengan sabar dan damai. Gadis berparas cantik itu kini tengah membaca novel yang baru ia beli kemarin sore. Sepuluh lembar sudah ia baca, tetapi orang yang dia tunggu belum datang juga. Jadi ia mengetuk-ngetukkan kaki kanannya sebal. Bibir mengerucut dan pandangan mata yang tak fokus terhadap tulisan-tulisan cetakan penerbit terkenal menambah penggambaran bahwa ia sungguh sudah mencapai batas kesabaran. Segerombolan remaja laki-laki yang biasanya berangkat mepet pada jam masuk sekolah bahkan melewatinya barusan. Ino sadar akan itu. Maka kerutan di kening putihnya seolah-olah bertambah menyesatkan. Kurang ajar benar bukan orang yang telah membuatnya menunggu lama. Awas saja bila nanti orang itu memberikan alasan yang sama.
Ia akan memarahinya, ia akan menyumpal mulutnya dengan kapas sisa orang yang sudah kotor dan menjijinkkan. Lalu ia cemplungkan orang itu di got depan rumahnya yang…
"Ino! Huh, hah, huh, hah…"
Ino kaget dan seketika dirinya menatap garang orang yang barusan mengagetkannya itu. Wajahnya sungguh memerah karena marah. Gadis itu langsung saja melangkah pergi, berjalan menghiraukan orang itu.
"Ino, ayolah, maafkan aku."
Ino melirik sinis. Namun kemudian perasaannya sedikit melembek karena si orang yang telah membuatnya menunggu lama itu menatapnya memelas. Dan Ino pun hampir tersenyum kemudian bertutur dengan kosa kata selembut bantal-bantal kerajaan kuno majenun. Sebelum ia ingat bahwa ia ingin memarahi orang itu. Jadi Ino dengan kasar dan sebal kembali meninggalkan orang itu, membuat si orang terbengong beberapa saat.
"I-ino, oh ayolah, kau 'kan sahabatku yang paling baik, paling cantik, dan paling sabar." Si orang merajuk.
Dan Ino hanya berdehem, jujur dirinya paling benci akan sebuah pujian, meskipun datangnya dari seseorang yang sangat ia kenal.
Orang itu kini menarik-narik lengan Ino membuat gadis berkuncir dan berponi itu terpaksa menghentikan langkahnya. "Ok. Baiklah, aku maafkan kau. Jadi, apa alasanmu sekarang?" tanyanya mengintimidasi.
Orang itu meringis seolah tak punya dosa sambil mengeluarkan sebuah telepon genggam berwarna metallic-nya, dia menyeringai puas tatkala melihat Ino yang terperangah tak percaya.
"Kau, melakukan hal bodoh itu lagi!" teriak Ino blak-blakkan.
Si orang itu menggembungkan pipinya sebal, ngambek, dan melangkah, membuat Ino mengikutinya.
"Oh, ayolah Fore-head. Siapapun yang kau mata-matai itu, entah cowok tampan atau tidak. Kau 'kan tidak pernah terlalu memakai perasaan seperti ini. Hei, kau mendengarkanku…?" Ino yang tadi statusnya sebagai korban, kini malahan mulai merasa bersalah karena ucapannya yang seolah menyinggung temannya. "Sakura," tutur Ino lembut. "Iya, iya, aku minta maaf, siapa nama orangnya itu, Shikamaru tampan, Shikamaru baik, atau Shika…"
"U-udah gih, ayo cepat, keburu masuk entar."
Ino menyeringai sekilas, dengan lengan yang di gandeng oleh Sakura, gadis yang menyukai warna ungu tersebut tersenyum simpul melihat tingkah temannya yang malu-malu karena sedang jatuh cinta. Apa kata orang yaa? Orang jatuh cinta, paling tidak tahan kalau mendengar nama orang yang dicintainya disebut-sebut.
Ah. Cinta. Kalau diingat-ingat, terakhir kalinya dirinya merasakan mencintai seseorang adalah dua tahun yang lalu. Lalu karena ia dihianati, ia nyaris memusuhi makhluk yang bernamakan laki-laki. Miris sungguh miris. Kisah cinta setianya berakhir dengan tragis.
"Yah, pak, kok udah ditutup!" protes Sakura. Gerbang itu telah ditutup dan digembok, tingginya dua ratus limapuluh sentimeter, susah benar kalau dipanjat.
Bapak penjaga pintu gerbang yang tegap bertinggi seratus tujuh puluh lima senti meter itu tersenyum di belakang pintu gerbang yang berwarna hitam itu. Ia berucap, "Maaf Non, ini sudah menjadi tugas saya." Bapak itu akan pergi sebelum ia mendengar Ino bersuara.
"Ayolah pak, kami 'kan sudah capek-capek berjalan dari rumah buat sampai ke sekolah, masak tidak ada toleransinya 'sih…"
Ino bermimik memelas supaya sang penjaga pintu gerbang itu membukakan pintu. Namun ternyata, keberuntungan sedang tak berpihak kepada keduanya.
"Tenang saja Non, tunggu sampai jam pelajaran pertama selesai, nanti juga dibolehin masuk kok."
Aah… yaa, benar, nanti, nanti juga boleh masuk. Tapi masalahnya juga harus mengepel kamar mandi dulu, atau hormat bendera selama satu jam pelajaran. Dan itu sungguh-sungguh tidak mengenakkan. Coba pikir saja, nanti kita akan berkeringat, peluh, lalu lapar, dan kalau lapar nanti bisa menjadi gendut, kalau gendut sudah tidak, tidak…
Ok. Bukan hanya itu. Tetapi ia sungguh malas apabila nanti pulang sekolah sambil membawa surat keterangan terlambat dan harus ditandatangani oleh ayah atau ibunya. Begitupun dengan Sakura. Mau ditaruh dimana mukanya nanti, dan pasti ibunya tidak akan ada henti-hentinya memarahi dia. Hari yang sungguh sial.
Ino menghela napas lelah. Tadi menunggu Sakura lelah, sekarang sekolah juga lelah, padahal baru saja mau mulai. Apa-apa lelah, nanti menikah juga lelah. Eh?
"Maaf Non, tapi jangan tidur di depan gerbang!"
Gadis ponytail itu menengadah menatap ke Bapak penjaga gerbang yang taat peraturan itu. Kemudian ia menjauhkan dirinya yang menempel pada gerbang. Wajahnya sungguh-sungguh terlihat lemas. Ia melirik ke Sakura, nampaknya, sahabatnya itu terlalu takut untuk bersuara atau bahkan berteriak karena menyadari bahwa semua ini adalah kesalahannya. Ino sungguh tak tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Semuanya seolah sia-sia, ia tidak mungkin memaksa penjaga itu karena setiap orang punya tugas masing-masing yang harus ditaati. Meski sebenarnya ada jeda waktu sebelum jam pelajaran dimula-i.
Suasana kian lama kian bertambah sepi pada detik-detik dalam diam antara Ino, Sakura, dan Bapak penjaga. Ino dan Sakura masih bergelayut dengan pikirannya untuk menerima dengan lapang dada pada hukuman mereka nanti. Sementara sang penjaga sendiri terlalu tidak enak hati meninggalkan keduanya. Perasaan takut dipecat dan perasaan takut gaji turun membayang-bayanginya sehingga hanya itu yang dapat ia lakukan. Dan, pada saat itulah sebuah hal menakjubkan terjadi.
Seorang 'pangeran tampan' yang berjalan dengan tegap dan teratur dalam setiap langkahnya menghampiri ketiganya. Ia tersenyum menghanyutkan sampai-sampai membuat kedua mata hijau seorang Haruno Sakura beribinar-binar. Dan Ino pun mengerjap beberapa kali, tanpa sadar, novel yang dari tadi dipegangnya itu terperosok di samping kakinya.
"Biarkan mereka masuk pak!" perintahnya tegas.
Bapak penjaga itu meragu, "Tapi, tuan…"
"Tenang saja, ayah saya tidak akan marah. Bilang saja ini perintah dari saya."
Meski ingin menaati peraturan, penjaga itu sadar bahwa ia juga merasa kasihan pada dua orang perempuan itu. Dan mengingat ayah dari remaja laki-laki di depannya ini adalah pemilik sekolah, maka hal ini bukan termasuk tidak mentaati peraturan bukan?
"Baiklah."
Tak perlu menunggu lama lagi, gerbang pun dibuka, Sakura girang bukan main dan Ino sendiri menghela napas lega. "Nona-nona, silahkan…"
"Terima kasih pak."
Sangking senangnya, Sakura langsung menempel pada orang itu, mengguncang-guncangkan bahunya dengan 'sayang'.
"Terima kasih Baka. Kalau tidak ada kau, kami tidak tahu nasib kami nantinya."
"Hahahahaha." Pria itu tertawa, "Tenang saja Sakura-chan, aku gitu loh. Eh, Ino, tunggu, aku ada pesan untukmu."
Ino yang sebenarnya ingin cepat-cepat menuju ke kelas terpaksa menghentikan langkahnya. Remaja laki-laki di samping Sakura yang berambut kuning itu menyerahkan sebuah surat kepada Ino. Ia menatapnya seolah bahwa agar surat itu segera dibuka. Ino nurut dan membukanya. Tidak ada perubahan ekspresi dari gadis itu, ia hanya mengangguk sebagai kode persetujuan kemudian melangkah pergi meninggalkan remaja itu dan Sakura.
"Apa itu, Naruto?" tanya Sakura yang penasaran.
Naruto hanya meringis, "Bukan apa-apa kok Sakura-chan, Oh sampai jumpa…" ucapnya tiba-tiba dan langsung nyelonong pergi.
"Eh, ya, sampai jumpa, Naruto…"
Sakura memandangi kepergian Naruto dengan sedikit heran. Pikirannya tiba-tiba semakin penasaran dengan amplop yang sepertinya berisikan sebuah surat itu, yang ditujukan kepada Ino. Tetapi kemudian ia teringat sesuatu, beberapa detik berjalan, ia kemudian berlari…
"Maaf ya, Ino, gara-gara aku."
Sakura berucap lemas ketika ia telah sampai di kelas. Ia menatap Ino, yang berada di sampingnya dengan memelas.
"Tenang saja Sakura, yang penting kau harus bilang apa alasanmu menyukai pria yang bernama Shikamaru itu." Ino menyeringai membuat Sakura gugup ditanya seperti itu.
"Ba-baiklah…"
Sakura meletakkan tasnya pada meja.
"Tapi, ngomong-ngomong, apa isinya 'sih itu?" tanyanya penasaran terhadap amplop yang masih Ino pegang.
"Ah, ini, bukan sesuatu yang penting." Ino tersenyum simpul.
Sakura sebenarnya ingin memaksa Ino untuk menjawab dengan jujur. Tapi, karena Ino sudah bertutur bahwa tidak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan, ia tidak mungkin menanyakan hal yang sama berulangkali.
.
.
.
[ 1 ]
.
.
.
Cinta menyebabkan bahagia.
Cinta membuat dua orang tidak ingin berpisah walau hanya satu detik pun.
Tetapi cinta serta merta pula menyakiti ketika hati tidak benar-benar setia, ketika lidah tak bertulang hanyalah sebagai kedok semata, ketika pujian, sanjungan, dan tingkah-tingkah mesra hanyalah sebuah sandiwara belaka. Katanya cinta, tetapi mengapa berhianat? Katanya cinta, tetapi kenapa pada akhirnya berakhir pergi dengan yang lain? Sungguh, sulit hati dalam keadaan terluka.
Dan dirinya juga pernah merasakan hal serupa.
Perasaan tersakiti oleh seseorang karena dijauhi tanpa sebab yang jelas. Baru kemudian setelah berhari-hari diputuskan begitu saja.
Aaahh… cinta itu menyusahkan…
Tak terlalu ramai orang berlalu lalang membuat tempat itu terasa sepi. Gadis itu nyaris meneteskan air matanya bila ia tak segera menghentikan kenangan pahitnya akan seseorang yang sungguh-sungguh ia cintai. Idolanya. Tingkah lakunya, ekpresi wajahnya sungguh amatlah ia menyukainya. Dan bahkan alamat rumahnya, ukuran sepatunya, apa yang ia suka, apa yang ia tidak suka, ukuran bajunya, jarak rumahnya dari rumah gadis itu. Ia tahu, ia hapal semua itu di luar kepala. Lalu kenapa sang pria tega menghianatinya. Ino, sungguh tak mengerti. Kata teman-temannya ia cantik, baik, meski terkadang centil dan menyebalkan. Tetapi sungguh 'kan dirinya seperti gadis yang lain. Terkadang perlu berdandan, terkadang perlu memakai pakaian yang membuat senyumnya mengembang. Ia ingin itu bukan karena ia cewek kecentilan.
Lalu, apakah gerangan pria itu kini ingin bertemu? Apakah karena lelaki tampan itu ingin menunjukkan kepada Ino siapa gadis yang benar-benar dicintainya? Ataukah ada alasan tersendiri? Ingin balikan lagi mungkin… tidak, tidak, jangan pikirkan hal itu Ino! Mana mungkin laki-laki seperti dia menginginkannya lagi.
"Sudah lama menunggu?"
Ino menatap orang yang barusan bersuara itu. Seorang pria, lelaki yang pernah menjadi cinta setianya, remaja tampan dan kaya.
Seolah tidak ingin remaja laki-laki itu mengetahui bahwa sang gadis sedang memikirkannya. Ia berwajah datar dan cuek. "Baru lima menit." Katanya jujur.
Lantas pria itu tersenyum lega, dan mendudukkan dirinya pada kursi di hadapan Ino.
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan denganku?"
Remaja laki-laki itu tetap tenang meski nada bicara Ino seolah tidak sabaran.
"Lebih baik kita memesan sesuatu dulu." Ucapnya dengan nada tegas namun lembut.
Gadis itu sebenarnya ingin mengguyur lelaki di depannya ini dengan satu ember penuh air cucian. Meski kenyataannya, menatap laki-laki di depannya ini lebih dari lima detik pun, sungguh Ino tidak sanggup.
Rasa itu masih ada. Cinta padanya masih tersimpan meski sudah dua tahun tak bertegur sapa dengan baik. Karena terlalu dalam ia mencintai lelaki ini, jadi bagaimana mungkin ia bisa menyakitinya. Ino menguatkan hatinya untuk bertahan di tempat itu dan menuruti kemauan lelaki di depannya ini untuk memesan sesuatu. Langsung saja Ino memesan menu-menu yang bahkan ia tidak melihatnya secara seksama. Sehingga ketika pesanannya datang, Ino meneguk ludahnya karena tidak menyangka bahwa porsinya sebesar itu. Ia nyaris tetap memakannya kalau pria di depannya ini tidak menahannya.
Sudah lima belas menit yang terasa begitu lama bagi Ino. Tetapi lelaki di depannya ini belum juga angkat bicara mengenai apa yang ingin ia tuturkan. Sebenarnya, Ino ingin terus melihatnya. Meneliti setiap sudut wajah lelaki ini. Namun hatinya tidak kuat lagi. Maka ia menatap pria di depannya dengan tidak sabaran. Akhirnya pria itu pun menghela napas dan bersiap berkata, "Baiklah. Sebenarnya…"
Cepat, Ino ingin cepat ke pokok utamanya.
"Langsung ke intinya, Sasuke-kun!"
Sang pria kembali menghela napas. Remaja yang mengenakan kaos biru itu merogoh satu celananya sehingga nampaklah di tangannya kini sebuah kotak merah terbuka, berisikan cincin emas, melihat itu, Ino pun sukses terperangah dan mengerjapkan mata beberapa kali.
"Aku ingin kau kembali kepadaku," ucap Sasuke kalem. Pria itu juga sedikit menyeringai seolah-olah bahwa sang gadis dengan pasti akan menerima apa perintahnya.
Namun apa yang terjadi selanjutnya sungguh membuat Sasuke terbungkam.
"Tidak, aku tidak mau."
Bahkan Ino terlihat berani menatap mata sang pemuda dengan garang.
"Kau harus mau, Ino!" seru Sasuke penuh emosi. Ia sungguh-sungguh tidak menyangka bahwa respon dari Ino adalah demikian. Ia kaya, tampan, tinggi, pintar dan diidolakan. Lalu kenapa Ino tidak mau kembali menjadi pacarnya. Pasti perempuan itu hanya sok jual mahal. Sehingga berbohong padanya.
"Memangnya kenapa? Aku tidak mencintaimu…"
Mata Sasuke melebar. Ia sungguh tidak percaya dengan apa yang terjadi. Ino masih saja tak mau kembali padanya. Bukankah dia cinta mati bagi Ino.
"Bohong! Kau mencintaiku." Sasuke. Pria bermarga Uchiha itu pun nyaris berdiri karena tersulut emosi.
Ino mengalihkan pandang matanya, "Sudahlah… aku mau pulang…"
"I-ino… Ino…!"
Sasuke menatap punggung Ino dengan menganga tak percaya. Pria itu terduduk lemas pada kursi, ia tak menyadari bahwa sedari tadi, ia tengah diperhatikan oleh para pelayan dan orang-orang yang baru masuk ke dalam Kafe itu. Dan ketika ingin mengejar Ino, ia baru sadar akan hal itu sehingga egonya membuat dia tetap duduk di sana.
.
.
.
[ 2 ]
.
.
.
Angin yang damai menggoda-goda dedaunan pohon di pinggir sungai yang jernih. Gerakannya mencolek siapa yang melihatnya untuk mengembangkan senyum sore yang menenangkan karena seharian beraktivitas.
Namun seseorang rasa-rasanya ingin menghancurkan kedamaian itu. Batu-batu kerikil yang tak beraturan itu dilemparkannya satu persatu ke dalam sungai membuat riak-riak air di sana. Beberapa saat ia mengepalkan tangannya seakan ingin meninju seseorang. Marah, wajahnya terlihat marah. Dan seragam sekolahnya juga terlihat tak enak dipandang. Gadis itu bahkan menghentak-hentakkan kakinya berulangkali.
Ia terasa ingin marah namun ia tahan. Sehingga setelahnya ia melemas kemudian diam. Dan detik-detik berikutnya, ia sesenggukan. Air mata itu turun dengan membabi buta pada kedua pipinya. Rambutnya sedikit berantakan karena sedang frustasi. Gadis itu tidak menyangka bahwa ia akan merasakan sakit yang seperti ini untuk kedua kalinya. Harusnya, ia, gadis bernamakan Ino itu mengatakan kepada Sakura bahwa surat itu bukanlah menunjukkan bahwa ia tidak apa-apa. Harusnya ia tidak datang jika ternyata hal serupa akan terulang. Sedih, kecewa, apakah lelaki itu ingin memainkan perasaannya lagi.
"Sasuke-kun… kau… kau… apa 'sih yang kau mau itu…"
Sengguknya semakin menjadi-jadi. Berulangkali matanya ia pejamkankan dengan kuat agar tangis itu tak keluar, tetapi jiwa yang rapuh itu tak mampu menahan rasa sakit yang begitu dalam.
"Kau tahu, aku masih menyukaimu, tetapi kenapa kau… aku… dua tahun…"
Harapannya masih ada untuk sang pemuda membuatnya bertambah sakit di dalam ulu hati. Detak jantung yang tidak ia rasakan semakin membuatnya tak tahu pada keadaan menyedihkannya. Rasa cinta yang terlampau mendalam. Sakit, karena penghianatan harus ada.
"Apa… apa yang kau mau sebenarnyaaa…?"
Tetes demi tetes mengalir menyesakkan. Sungguh, sakit hati memang menyiksa diri. Hati yang terluka, perasaan yang dipermainkan tidak semudah itu untuk diambil kembali 'kan. Wanita juga punya perasaan. Ino juga, ia punya hati. Seharusnya laki-laki itu tahu akan hal itu. Namun jangankan meminta maaf, bahkan ia malah memaksa-maksanya.
"Aaaahhh… Aaarrrhhh… Arrrggg…"
Teriakan-teriakan Ino semakin lama semakin serak. Wajahnya kian lama kian berantakan. Ino, menutup mukanya dengan kedua telapak tangan halusnya itu. Rasa malu, sedih, terluka dan kecewa membuatnya lemas. Sengguknya sesekali masih ada. Rasa cinta benar-benar membuat seseorang dapat bahagia ketika datang, dan bersedih ketika cinta itu pergi.
Ino sungguh menyukainya dengan tulus. Bukan karena lelaki itu tampan saja. Bukan karena lelaki itu kaya, atau tinggi, maupun cerdas. Tetapi karena cinta pertama itu hadir dengan lugu dan tak terduga. Rasa itu, rasa mendalam itu teramat menyakitkan bukan…
Beberapa menit berlalu, tangisnya sudah mulai mereda, dan sesuatu bergetar dari saku seragamnya. Ia mengambil telepon genggam itu dan menekan salah satu tombol.
"Halo… ouh, Sai… a-ku tidak menangis…"
Ino nampak sumringah menerima telepon itu. Seragam atasnya yang basah air mata kini mulai mengering perlahan.
"Iya, kau paling tahu kalau aku sedang berbohong… tenang saja, a-ku tidak apa-apa… hei ka-u tidak perlu ke s-ini!" Ino berseru tiba-tiba.
"Ya, aku tidak akan cengeng la-gi… haha, memangnya aku anak kecil yang tersesat hanya karena menangi-s… ok. Kau benar, puas, sekarang…"
Ino mencoba tertawa. Air mata itu pun juga mulai menguap ke udara. Rasa khawatir dari seseorang membuat perasaan Ino tenang. Seseorang yang menelepon Ino berpesan bahwa gadis itu menghubunginya kalau ia merasa butuh bantuan. Seperti gadis pada umumnya, dia bahagia karena ada orang yang peduli terhadapnya. Ino, akan memasukkan telepon genggam itu sebelum panggilan dari orang lain datang.
Haruno Sakura, nama itu yang tercetak di layar ponselnya. Ia akan menekan tombol yang sama seperti tadi, namun sesuatu yang menjengkelkan terjadi.
"Iiihh…" Ino sebal, daya baterai telepon genggamnya itu melemah sehingga telepon seluler itu mati. Padahal banyak yang ingin ia curhatkan pada sahabat wanitanya itu. Tentu, tentang seorang lelaki yang menyebalkan.
Capek, Ino berbalik dan ingin segera pulang.
Pada saat itu, kedua bola matanya terasa membeku. Seseorang yang berjenis kelamin laki-laki, tengah menatapnya seksama, duduk selonjor di bawah pohon yang letaknya tiga meter darinya. Gugup, malu, pikirannya membuyar-buyar. Apakah, lelaki itu melihatnya sedari tadi?
Belum sempat Ino berkoar menanyakan sejak kapan laki-laki itu ada di sana. Remaja laki-laki yang berambut hitam dikuncir itu sudah nyelonong pergi, membuat Ino tersentak dan mengejarnya.
"Hei, sejak kapan kau ada di sana?"
Lelaki itu tetap diam, berjalan dengan santai, dengan kedua tangan yang dia masukkan ke saku celananya.
"Hei, kau mendengarku…!"
Jangankan menyahut, laki-laki yang tingginya lebih beberapa sentimeter dari Ino itu benar-benar menghiraukannya.
"Hei, kau, pria berkuncir!" Ino geram juga. Ia menahan lengan sang pria dan membalikkan tubuh pria itu. Pandang mata Ino seakan terkunci akan sesuatu. Matanya melebar dan membeku.
"Kau…"
.
.
.
[ 3 ]
.
.
.
"Kau tahu, temanku itu menyukaimu."
Girang suaranya, sumringah wajahnya, seakan-akan terasa centil.
"Namanya Haruno Sakura, dia berambut merah muda, baik, cantik, pintar juga kok."
Celotehnya ceria. Ia mondar-mandir ke sebelah kiri dan ke sebelah kanan seseorang dengan lincah.
"Aku tidak percaya, apakah ini sebuah kebetulan ya, ah Sakura harus mentraktirku nanti."
"Kau tahu, kau beruntung sekali disukai oleh cewek seperti Sakura."
Gadis itu lama-kelamaan cemberut karena orang yang diajak bicaranya tadi tidak menanggapinya sama sekali.
"Hei, kau mendengarkanku tidak sih?"
"Hhh." Hanya menghela napas. Lelaki di dekat Ino hanya menghela napas sebagai jawaban.
"Hei, kau itu tidak sopan!" seru sang gadis dengan nada galak.
Remaja laki-laki itu lantas berhenti berjalan dan dengan nada tak bersemangat berujar, "Ya, temanmu menyukaiku, namanya Sakura, dia baik, pintar, lalu, aku harus apa?"
Ucapan itu sukses membuat Ino berkedip cepat berkali-kali.
"Kau kan bisa bilang bahwa, oh ya, aku ingin berkenalan dengannya, rumahnya dimana, aku penasaran dengannya, atau apa lah."
Baru kali ini Ino mendapati pria yang sepertinya tidak tertarik dengan perempuan. Padahal setampan-tampan cowok. Kalau mendengar ada seorang cewek cantik yang menyukainya, pastilah langsung besar kepala. Nah, ini malah, atau jangan-jangan cowok ini cowok jadi-jadian?
Pria itu menghela napas, "Baiklah. Itu masalah nanti. Tapi sebelumnya kau harus mengantarkanku ke rumah sahabatku itu. Kau bilang kau tahu rumahnya."
Ino meringis, "Ah rumahnya sudah dekat kok… ah disana!" Jemari Ino menunjuk sebuah rumah yang bisa dibilang cukup besar.
"Baiklah, terima kasih." Ucap pria itu sambil berlalu.
"Hei, kenapa kau mengikutiku?" tanyanya penasaran ketika Ino bukannya pulang malah mengikutinya.
Ino berujar selembut-lembutnya, "Maaf ya, tuan, rumah saya juga di sekitar sini, tapi sebelumnya saya ingin memastikan bahwa anda memang benar-benar sahabat dari Naruto." Ino memicingkan matanya mengancam.
Pria itu berjalan dengan tak peduli dengan niat Ino tadi.
Ino, dan pria itu menunggu beberapa saat di pintu depan rumah Naruto, memencet bel berulang kali sampai kemudian pintu itu terbuka. Dan seseorang yang nampak ketika pintu itu terbuka membuat mata Ino melebar besar.
"Ino…!"
"Shi-shikamaru!"
Ino langsung gelapan apalagi sadar bahwa dirinya, juga Shikamaru, sungguh-sungguh dalam kondisi berantakan. Seragam yang lusuh, rambut yang acak-acakkan.
"Sakura, ini, ini bukan hal yang kau pikirkan ini, ini…"
Gadis yang berambut merah muda itu masih terbengong seolah tak percaya dengan apa yang dipandangnya.
"Ino, aku sungguh tidak percaya."
Ino meneguk ludahnya berulang kali. Ia takut bukan main kalau-kalau Sakura mengira ia dan Shikamaru ada apa-apanya. Terlebih lagi telah melakukan tindakan amoral yang dilarang oleh agama.
Dan respon Sakura yang terlalu dingin membuat Ino berkata sesuatu yang membuat suasana kian membingungkan.
"Sakura, aku sungguh tidak bermasuk, sungguh, ini tidak sesuai dengan apa yang kau pikirkan."
"Aku, dan Shikamaru tidak…"
"Aku… bukan seorang…"
"Sakura…!"
.
.
.
[ TBC ]
