"Tou-chan, aku mau sekolah di sana!"

Seorang anak kecil menarik-narik tangan kedua orang tuanya saat melintasi sebuah bangunan megah bercat putih gading. Sang Ayah hanya tersenyum simpul, mengacak pelan rambut anaknya tanpa berkomentar apa pun.

"Gak bisa, sekolahmu di sini, Naruto!" Kushina menarik cepat tangan Naruto melewati jajaran rumah tua yang kosong.

Sepertinya, rumah besar itu adalah ruko yang tak lagi terpakai. Terlihat dari bangunannya yang dilengkapi rolling door. Akan tetapi, semuanya tampak menyeramkan. Hanya sedikit sinar matahari yang mampu menerobos ke dalamnya, dikarenakan lebatnya rerumputan dan tanaman liar di dinding-dindingnya. Keadaan tersebut membuat Naruto memejamkan matanya, takut.

Setelah cukup lama berjalan, Naruto kembali membuka kelopak matanya. Tangan Ibunya menuntun dirinya menuju ke bangunan yang lebih kecil dari sekolah yang ia lewati tadi, namun lebih berwarna. Ada gambar pelangi di sana-sini, pun balon balon bertuliskan selamat datang di depan pintu masuk.

"Aaaa, gak mau!" Naruto kecil menghentakkan kakinya berkali-kali, gemas dengan kedua orang tuanya yang enggan menuruti kemauannya. "aku maunya sekolah di sana, Kaa-chan!"

"A-ah, Mikoto! Apa kabar?"

Naruto menggembungkan pipinya saat sang Ibu malah melepaskan tangannya dan beranjak menuju ke tempat teman-teman lamanya berkumpul. Dasar ibu-ibu tukang gosip! Netra biru Naruto beralih pada Minato; Ayahnya. "Tou-chan ayo ke sekolah yang di sana!"

Minato tersenyum simpul. "Nanti, kalau Naruto sudah besar, baru sekolah di sana. Sekarang Naruto harus sekolah di TK ini dulu."

Naruto tetap tidak mau mengerti. Kaki kecilnya melangkah mendekati sang Ibu yang sedang berbicara dengan seorang wanita bersurai raven. Sebelum tangannya menarik baju sang ibu, iris birunya terpaku pada sosok anak lelaki yang sebaya dengannya yang tengah berbicara dengan seorang laki-laki yang lebih besar.

"Hai," sapa Naruto kepada kedua anak itu.

Anak yang sebaya dengan Naruto tampak malu-malu, ia bahkan bersembunyi di belakang kaki sang Kakak yang lebih tinggi darinya. Itachi tersenyum tipis, mengelus rambut adiknya sembari mendorong pelan tubuh Sasuke untuk mendekat ke arah Naruto.

"H-hai," balas Sasuke, dengan pipi gembul yang memerah.

Bibir Naruto terangkat, membentuk sebuah senyuman manis. Tangannya bergerak untuk menjabat tangan Sasuke dan mendekat ke arahnya. Sesaat kemudian, Naruto pun asyik mengobrol dengan Sasuke, melupakan rengekannya tadi pada kedua orang tuanya.

"Kaa-san, aku berangkat dulu, ya. Sasuke, jaa!" ujar Itachi, tak lupa memberikan lambaian kepada Sasuke.

"Aniki-mu sekolah di mana?"

Sasuke yang masih melambaikan tangannya pada Itachi menoleh ke arah Naruto dengan wajah berseri. "Nii-chan sekolah di gedung besar di jalan sepi dekat sini," jari mungilnya menunjuk ke arah jalan yang tadi Naruto lewati. "Saat aku besar nanti, aku juga akan bersekolah di situ, lho!"

Iris biru Naruto membulat, lalu tersenyum senang diiringi kekehan kecil. Ternyata, bukan hanya dirinya seorang yang ingin menuntut ilmu di situ. Sasuke bahkan mendambakan sekolah besar itu. "Wah, aku juga! Nanti kita bareng, ya!"

Belum genap empat sekon senyum Naruto merekah, bibirnya kembali melengkung ke bawah ketika Ibunya menghampirinya. "Naruto, Kaa-chan ingin berangkat kerja. Sama Tou-chan dulu, ya?"

"Yah, Kaa-chan ... ya sudah deh, tapi pulang beliin ice cream ya!"

Kushina tersenyum, kemudian mengangguk pasti. Tangannya bergerak mencubit pelan pipi Naruto dan beranjak menuju pintu keluar.

Naruto hanya memandangi kepergian ibunya dengan desahan napas panjang, lalu kembali mengulas senyum riang dan bergabung pada anak-anak sebayanya yang berkumpul di tengah ruangan. Sesaat kemudian, seorang wanita cantik berdiri di depan ruangan dan menyuruh para orang tua menunggu di luar ruangan.

"T-Tou-chan!" rengek Naruto, saat melihat Ayahnya berdiri di dekat jendela sambil melambaikan tangannya.

"Sensei absen, ya?"

Semua berteriak riang, hanya Naruto yang terus menerus menatap Ayahnya dengan gelisah. Minato terus tersenyum dan mengisyaratkan untuk menghadap ke depan dan memperhatikan Ibu Guru yang berada di depan kelas. Awalnya Naruto enggan, namun setelah namanya disebut, akhirnya bocah berusia 4 tahun itu pun menghadap ke depan dan mengikuti arahan yang diberikan gurunya.

Namun, saat iris birunya kembali beralih pada sang Ayah, sang Ayah malah menunjukkan wajah panik dengan telepon genggam yang masih tertempel di telinga. Berbicara sebentar dengan Ibu Sasuke—Mikoto, lalu berlari meninggalkan TK dengan cepat.

"T-Tou-chan! Tou-chan mau ke mana!? Tou-chan!" Naruto mengetuk-ngetuk pintu dengan tangan kecilnya. "HUWEEEEEEE ... TOU-CHAAN!"

.

.

.

Naruto by Masashi Kishimoto

Blinded Eyes

A Naruto FanFiction by MiMeNyan

.

.

AU

.

.

.

Beberapa tahun lalu...

Peristiwa naas menimpa sebuah sekolah di pinggiran Tokyo. Di tengah proses belajar mengajar, api besar tiba-tiba berkobar. Menelan apa pun yang ada di dekatnya. Dalam waktu singkat, sekolah yang awalnya tampak mewah berubah menjadi bangunan berwarna kehitaman yang kehilangan nyaris setengah atapnya.

Hingga saat ini, tidak ada satu pun orang yang mengetahui penyebab kebakaran tersebut. Pun tak ada saksi mata. Para penduduk tengah sibuk dalam aktifitasnya kala bencana itu datang.

Satu yang diyakini semua orang; seluruh siswa dan guru telah tewas. Ironisnya, tak ada satu pun mayat yang tersisa. Semuanya lenyap, rata dengan lantai yang menghitam.

Semua keanehan yang terjadi, sontak menimbulkan mitos baru di masyarakat. Jika kau memasuki bangunan bekas sekolah tersebut, maka kau tidak akan bisa keluar lagi. Seperti para korban kebakaran—

—hilang, bagai ditelan bumi.

XXX

Anak kecil itu duduk di depan sebuah toko. Ia bingung. Sudah dua jam lamanya ia berjalan menyusuri jalan sepi di pinggir kota, tapi tak kunjung menemukan kedua orang tuanya. Awalnya, anak pirang itu menunggu kedatangan orang tuanya di TK tempatnya akan bersekolah, hingga ia bosan dan memutuskan mencari keberadaan mereka.

Ah, seharusnya ia tetap berada di TK tadi.

Anak itu menolehkan kepalanya ke belakang, melihat arah yang ia tempuh untuk tiba di sini. Rasanya mustahil ia bisa kembali ke TK itu. Seingatnya, ia beberapa kali berbelok arah. Dan ia lupa jalan mana yang ia pilih.

Kalau begini, hanya satu yang bisa dilakukannya. Menunggu kedua orang tuanya menemukannya.

"Kaa-chan, Tou-chan," panggilnya dengan lirih. Perlahan, air mata mengalir di pipi kecokelatannya, "aku takut."

Tubuhnya gemetar, tidak bisa menahan tangisnya lebih dari ini. Ia buta arah. Dan yang jelas, ia tidak tahu alamat rumahnya. Lagi pula, di sekitar sini sepi. Tidak ada satu pun orang yang bisa dimintai tolong olehnya.

Nekad, anak itu berlari menyongsong arah yang sempat ia lalui. Meski ia sadar, bahwa mungkin tindakannya hanya akan membuatnya semakin tersesat. Tapi ia tidak mau menyerah. Ia harus bisa menemukan kedua orang tuanya, tidak peduli jika kakinya lelah berlari atau bahkan lecet karena menggunakan sepatu terlalu lama.

"Kaa-chan! Tou-chan!" Kali ini ia berteriak, berharap kedua orang yang ia panggil dapat mendengarnya kemudian berlari memeluknya. Tapi nyatanya tidak. Yang ada, ia hanya dihadiahi tatapan heran sekaligus geram oleh orang-orang di sekitarnya.

Sampai akhirnya, ia mencapai batas kemampuannya. Kakinya sakit, bahkan nyaris tak kuat menopang tubuhnya. Ia pun jatuh terduduk dengan lutut yang terlebih dahulu mencium tanah di bawahnya.

"Nak, sedang apa kau di sini?"

Anak itu mendongakkan wajahnya, menatap seorang wanita yang berdiri di depannya dengan senyum yang tulus. "Aku ... mencari kedua orang tuaku."

Kedua tangan wanita itu terulur, menyentuh lengan anak kecil di hadapannya guna membantunya berdiri. Dengan lembut, ia mengacak surai pirang anak itu. "Siapa namamu? Bibi akan membantumu mencari orang tuamu."

Netra biru laut Si Anak menatap lekat wanita di depannya. Sedikit menimbang-nimbang apakah ia harus memberitahukan namanya atau tidak. Sepertinya, dia orang baik. "Naruto," jawabnya singkat.

"Aku Shizune," wanita itu membungkukkan tubuhnya agar wajahnya sejajar dengan Naruto, "baiklah, Naruto. Ayo kita cari orang tuamu." Shizune membawa Naruto dalam gendongannya. Syukurlah, Naruto terbilang kurus. Jadi ia tidak terlalu kesulitan untuk berjalan meski menggendong Naruto.

XXX

Satu dekade telah berlalu,

Naruto, anak kecil berambut pirang itu kini sudah tumbuh menjadi remaja penuh semangat yang terkadang nakal. Usianya lima belas tahun. Dan tingginya bahkan menyentuh angka seratus tujuh puluh centi. Si Cengeng telah berubah menjadi lelaki manis dengan tabiat yang terbilang baik.

Meski hidup tanpa kedua orang tuanya, Naruto tetap bisa menghormati orang yang lebih tua darinya. Dan jika ditanya, "Siapa orang tuamu?" Maka ia tak segan untuk menjawab, "Aku hanya punya seorang Ibu, namanya Shizune."

Tidak sedikit pun kesedihan yang tampak padanya. Karena ia sudah sepenuhnya mengikhlaskan takdirnya. Ia terlanjur putus asa. Bertahun-tahun Naruto mengharapkan kedatangan dua orang yang mencarinya, tapi hanya kesemuan yang ia dapatkan. Tak jarang ia menangis dalam pelukan Shizune lantaran merindukan orang tuanya, tapi perlahan ia berhasil melupakannya.

Kini, ia disibukkan dengan kegiatannya mengurus panti asuhan Shizune. Ia yang termasuk salah satu anak tertua di tempat itu, otomatis harus bisa mengatur semuanya. Karena usia Shizune yang sudah berkepala empat, membuatnya sering sakit dan kelelahan.

Sudah begitu, panti asuhan ini sering kehabisan dana. Karena di jaman sekarang, sudah tidak ada lagi donatur yang bersedia memberikan uangnya hanya untuk anak-anak yang bernasib kurang beruntung. Akibatnya, semua anak panti termasuk Naruto tidak bisa bersekolah.

Jangankan sekolah, untuk makan saja seadanya.

Shizune bahkan rela banting tulang menjadi kuli cuci agar mendapat uang tambahan untuk merawat anak asuhnya. Karena bagaimana pun juga, sudah tidak ada lagi pekerjaan yang bisa ia tekuni di usianya yang tidak lagi muda.

"Naruto," yang dipanggil pun menoleh, dan mendapati Shizune tengah menduduki sofa butut di teras panti sembari tersenyum kepadanya. Naruto pun memposisikan dirinya di samping Shizune. Kemudian air muka Shizune berubah sendu, "aku minta maaf, ya?"

Naruto mengernyit heran, kemudian ia tertawa lepas. "Ibu kenapa, sih? Siang bolong begini minta maaf sama aku. Sedang sakit, ya?"

"Berhentilah bercanda, Naruto." Shizune menatap lurus mata biru anak asuhnya itu. "Aku ... minta maaf karena tidak bisa menyekolahkanmu. Seharusnya, ini jadi hari pertamamu masuk SMA, 'kan?"

Penuturan bernada serius itu membuat Naruto menghentikan tawanya dan mendadak menjadi serius. Ia pun mendongakkan wajahnya, menatap langit biru yang menaungi Tokyo. "Ibu," panggilnya, "ada kalanya sekolah tidak terlalu penting. Aku harus membantumu menghidupi adik-adikku, bukan begitu?"

Shizune menundukkan kepalanya. "Ini semua karena aku. Andai aku bisa meyakinkan para donatur, pasti kau dan yang lainnya bisa sekolah, atau setidaknya, dapat hidup berkecukupan. Aku ... seharusnya membuat kalian bahagia, bukannya sengsara seperti ini."

"Bahagia bukan berarti harus kaya, Bu." Naruto memamerkan cengiran lebarnya, "kami semua sudah bahagia, kok, karena memiliki Ibu yang sangat peduli pada kami."

"Oi, Naruto!"

Teriakan dari seorang lelaki berambut oranye membuat Naruto menoleh dan memamerkan cengiran lebarnya. Namanya Yahiko, anak laki-laki yang usianya dua tahun lebih tua dari Naruto. Keduanya seperti kakak adik, begitulah yang dikatakan banyak orang.

Dari segi fisik, bahkan sifatnya pun sama. Penuh semangat, pantang menyerah, dan keras kepala.

"Naruto, cepat ke sini!" Yahiko memanggil Naruto untuk kedua kalinya.

Shizune tersenyum kecil mendapati keakraban anak asuhnya. "Sudah, sana main dengan Yahiko." Ia sudah siap beranjak dari sofa, tetapi Naruto membuka suaranya.

"Ibu jangan terlalu mikirkanku, ya? Lebih baik, Ibu memikirkan adik-adikku." penuturan itu membuat Shizune menolehkan kepalanya. Sayangnya, Naruto sudah berlari menuju Yahiko. Shizune menghela napasnya, anak itu ada-ada saja.

Yahiko mendengus kesal, "Lama sekali, sih! Kau dan Ibu seperti berpacaran saja, huh!" Anak itu terus menggerutu sampai tiba-tiba ia ingat tujuan awalnya memanggil Naruto. "Oh iya, hari ini kau ulang tahun, 'kan? Ayo jalan-jalan, aku akan membelikanmu ice cream nanti!"

"Ice cream?" Naruto membeo, "tidak perlu, ah! Uang untuk beli ice creamnya, Aniki berikan saja ke Ibu. Lagi pula, ini bukan ulang tahun asliku. Hari ini ... cuma hari di mana aku ditemukan oleh Ibu."

Mengetahui arah bicara Naruto, Yahiko menepuk kepala anak pirang itu. "Berhentilan bertingkah sok menyedihkan begitu, Baka! Sudah, yuk!" Yahiko pun segera menarik lengan kanan Naruto agar mengekorinya.

Naruto menggaruk belakang kepalanya dengan tangan kirinya yang bebas. Aniki-nya yang satu ini, selalu saja keras kepala jika menyangkut dirinya. Membuatnya merasa seperti memiliki kakak kandung yang benar-benar menyayanginya.

"Kau tahu, Naruto? Beberapa hari ini, aku bekerja hingga larut malam hanya untuk merayakan hari ini!" Yahiko berceloteh dengan semangat, "jadi, jangan sungkan meminta apa pun padaku, ya? Akan kubelikan yang kau mau, asal jangan mahal-mahal. Hahaha,"

Naruto tersenyum simpul.

Sekilas, ia menatap langit biru berhiaskan awan di atas sana. Kaa-chan, Tou-chan, lihatlah! Aku punya Aniki yang sangat menyayangiku. Aku sama sekali tidak kesepian di sini.

"Nah, pertama kita akan ke mana, Naruto?" tanya Yahiko sebelum ia melepaskan pegangannya di lengan Naruto, kemudian merangkul bahu anak yang sudah seperti adiknya itu. "Toko yang menjual ice cream masih agak jauh, jadi enaknya kita makan apa dulu, ya?"

"Ramen!" ujar Naruto sembari menunjuk kedai Ichiraku yang hanya berjarak beberapa langkah dari dirinya dan Yahiko. "Traktir aku ramen jumbo, Aniki!"

BUK!

"Akh! Sakit, Aniki!"

"Kau mau membuatku kehabisan uang, ya, Baka!"

Naruto menggembungkan pipinya kesal. Dasar Aniki, tadi sudah sok keren bilang kalau mau sesuatu, tinggal bilang saja. Tapi nyatanya, baru dimintai ramen jumbo saja sudah menggerutu takut uangnya habis.

Dan akhirnya, mereka berdua memasuki kedan dango yang berada di sebelah kiri kedai Ichiraku. Tidak terlalu buruk sih, mengingat Naruto juga menyukai makanan manis. Well, Naruto sih mau-mau saja memakan apa pun. Tapi tetap saja, ia masih kesal karena tidak bisa makan ramen, padahal ramen adalah makan kesukaannya sejak kecil.

Yahiko tertawa lepas saat melihat wajah kesal Naruto. Ia pun mengangkat satu tusuk makanan manis di depannya, kemudian mengarahkannya pada Naruto. Atau dengan kata lain, menyuapi adiknya tersayang.

"Aa!" suara Yahiko membuat Naruto meliriknya dan mendapati setusuk dango sudah berada di depan mulutnya. Mulut lelaki pirang itu pun terbuka, menyambut suapan Yahiko. Tapi ... "HAHAHA!"

Dengan iseng, Yahiko memasukkan langsung tiga buah dango sekaligus tusukannya. Membuat mata Naruto membesar dan hampir tersedak karena ujung tusuk dango mengenai pangkal mulutnya. Sesegera mungkin, ia mengeluarkan dango beserta tusukannya yang sudah dilapisi liurnya dan mengembalikannya ke piring.

Yahiko mendengus menahan tawa, "jorok!"

"Aku hampir mati, dattebayo!" pekik Naruto dengan wajah yang memerah. Ia memajukan bibir bawahnya, membuatnya terlihat jelek. Bahkan ia mengeluarkan kata-kata yang sudah jarang ia ucapkan, dattebayo. Kalimat yang keluar hanya jika ia sedang benar-benar kaget.

Tapi Yahiko terlihat sama sekali tidak keberatan dimarahi oleh adiknya yang satu ini. Ia malah mengulas senyumnya hingga matanya menyipit. Perlahan, tangannya terangkat, menyentuh rambut kuning Naruto. "Makan yang banyak ya, Otouto."

Naruto bergeming di tempatnya. Kemudian ia kembali memasang cengiran lebarnya.

XXX

Mereka berdua berjalan santai, menikmati kesunyian yang ada di sekitar mereka. Pinggiran kota Tokyo, memang selalu sepi seperti ini. Amat kontras jika dibandingkan dengan pusat kota, yang identik dengan keramaian.

Salah satu di antara mereka yang memiliki tubuh lebih pendek menghentikan langkahnya tatkala ia melihat sesuatu yang sangat membekas di ingatannya. Sekolah mewah, yang memiliki bangunan tiga lantai.

Senyum sendu menghiasi bibirnya.

Dulu, saat kedua orang tuanya mengantarnya untuk mendaftarkan dirinya ke taman kanak-kanak, ia bersikeras untuk masuk ke sekolah ini. Waktu itu ... terasa sangat indah. Kedua tangannya digenggam hangat oleh orang tuanya. Dan tanpa ragu, ia merengek layaknya anak kecil kebanyakan yang keinginannya tidak dikabulkan.

Ah, sulit dipercaya. Setelah bertahun-tahun berlalu, sekolah impian ini ternyata masih berdiri kokoh dengan bentuk yang sama.

Mata Naruto menyipit sedikit manakala melihat seorang gadis bersurai indigo sedang berdiri sendirian di lapangan sekolah. Sekilas, Naruto dapat melihat bahwa gadis itu tengah menatapnya kemudian menggerakkan bibirnya, a-yo ma-suk ke se-ko-lah i-ni.

"Naruto!" Yahiko yang sudah berada beberapa langkah di depannya mencoba menegur, "kenapa berhenti? Ayo cepat jalan, toko ice creamnya sudah dekat."

Tidak ingin ambil pusing, Naruto berlari untuk mensejajarkan dirinya dengan sang Aniki. "Ne, Aniki, kau lihat gadis yang ada di sekolah tadi? Dia kelihatannya kesepian."

Pertanyaan dari Naruto membuat Yahiko mengernyit heran, tapi kemudian ia menjitak kepala Naruto. "Kau mabuk dango, heh?" tanya Yahiko, yang dibalas tatapan heran Naruto. Mabuk apanya, sih?

Naruto menoleh ke belakang, dan netra birunya dapat melihat gadis yang awalnya berdiri di lapangan, sudah berdiri tepat di depan gerbangnya, dengan wajah yang disertai senyuman manis. Bibirnya kembali bergerak, seolah mengucap, ha-lo.

Lelaki pirang ini pun mengangkat tangan kanannya, membalas sapaan gadis itu.

Yahiko mengerutkan alisnya. Otouto-nya itu kenapa, sih? Meski ragu, ia menepuk bahu Naruto. "Ayo, kita jalan lagi." Yahiko memutuskan untuk berjalan lebih dulu.

"T-tapi," ucapan Naruto terpotong oleh tubuh Yahiko yang semakin lama semakin menjauh. Kepala kuning itu kembali menoleh untuk memastikan, dan bibirnya kembali terangkat saat melihat ekspresi kecewa gadis itu.

"Besok aku datang lagi," lirih Naruto, tak lupa memberikan cengiran andalannya.

Naruto pun berlari menyusul tubuh Yahiko yang semakin menjauh, membuat sebuah senyum puas terukir di bibir sang gadis.

XXX

Pagi itu dingin sekali. Hujan lebat yang tak kunjung berhenti sejak semalam membuat Yahiko menaikkan selimutnya berkali-kali. Selimut yang bahkan tak lebih tebal dari kain biasa tak bisa menghangatkan, membuat dirinya menyerah dan duduk di tepi ranjang. Ceritanya, Yahiko mau pakai baju double agar lebih hangat. Kalau bisa, sampai triple deh.

"Na na na na na ..."

Mata pemuda berambut jingga jabrik itu sedikit terbuka saat mendengar suara jelek plus fals milik adiknya. Suara Naruto dan harum aroma sabun. Tumben sekali pagi-pagi begini sudah bangun dan mandi. Biasanya, harus disiram air dulu baru mau melepas guling bau iler itu. Tapi pagi ini, di hadapannya Naruto bertelanjang dada dengan rambut basah sedang memakai baju.

"Mau kemana?" Yahiko berdiri menghampiri Naruto yang tengah asyik menyisir di depan cermin.

"Ah, Aniki. Mau jalan dong! Mandi sana, badanmu bau tau. Panas-panas gini enaknya kan mandi," jawab Naruto, kemudian berlalu meninggalkan Yahiko yang terheran-heran.

Adiknya sedang sinting, ya?

"Aniki! Aku jalan dulu!"

Naruto bergegas berlari keluar setelah berteriak seperti itu. Menerobos hujan hanya dengan bermodalkan payung dan senter untuk menerangi jalan. Yahiko hanya memandanginya melalui jendela, lalu mendesah pasrah dan kembali menuju ranjangnya.

Masih pukul lima, bahkan di jalanan sangat sepi, belum ada orang yang berlalu lalang maupun menjalani aktifitasnya. Kenapa adik idiotnya itu malah pergi ke luar rumah?

Lampu di sepanjang jalan memang masih menyala, namun tetap saja kurang karena hanya menerangi beberapa titik tempat saja. Naruto terus berjalan dengan sebuah senyum mengembang yang terus terukir di wajahnya. Apalagi ketika beberapa orang siswa yang berseragam sama dengan gadis kemarin yang dilihatnya sedang berjalan di jalan yang sama dengannya.

Ah, Naruto jadi ingin kembali bersekolah.

Ia menepis pemikiran itu kuat-kuat. Ibunya sedang sakit, apalagi ekonomi yang tak kunjung membaik membuat semakin parah kondisi kesehatannya. Naruto tidak bisa apa-apa, hanya merawat adik-adiknya dan berharap bahwa tidak akan terjadi hal yang lebih buruk lagi. Tapi, kadang sesekali keinginan memakai seragam dan kembali duduk di bangku kelas tak bisa tertahankan. Jadi, Naruto hanya bisa memandang anak-anak sekolah yang lewat di depan rumahnya.

Tak terasa, kakinya telah berpijak di depan gerbang sekolah yang kemarin ia lewati. Berbondong-bondong para siswa memasuki gerbang sekolah. Naruto mendekati sisi kanan gerbang itu, menatapnya cukup lama lalu memasang wajah kalut. Antara senang karena ia tidak nyasar dan berhasil kemari, dan sedih karena tidak bisa masuk dan belajar di dalam.

"Hei," tiba-tiba sebuah tangan menepuk pelan pundak Naruto. "kau bukan murid disini, ya?"

"A-ah, maaf. Saya hanya liat-liat aja,"

Wanita berkacamata itu tersenyum tipis. Surai merah yang diikat satu itu bergoyang saat tangan wanita itu membalik tubuh Naruto agar menghadapnya. Naruto mengernyit, merasa kenal dengan sosok wanita di hadapannya.

Tapi ... siapa?

"Kamu sekolah di mana?" tanya Wanita itu, membuyarkan lamunan Naruto. Naruto hanya bisa tertunduk dan menggeleng, tanpa menjawab pertanyaan wanita itu.

"Enggak sekolah?"

Naruto mengangguk.

Wanita itu diam. Tangannya meraih tas yang ia sampirkan di tubuhnya dan mengambil sesuatu. Sebuah seragam sekolah itu, dengan atribut lengkap.

"Pakai nih,"

Naruto membisu. Tangannya menerima seragam itu sambil bertanya-tanya. Apa gerangan yang membuat wanita itu memasukkannya ke sekolah ini? Lalu, bagaimana mengurus tentang data diri dan hal semacam itu untuk masuk kesini?

"Tenang aja, registrasi dan biaya sekolah biar sensei yang urus." ujarnya, seakan tahu isi pemikiran Naruto.

Walau ragu, Naruto tetap membungkuk dan berterima kasih kepada wanita itu. Iris birunya membaca cepat name tag yang ada di sisi kiri dada sensei barunya.

Uzumaki.

Marga itu ... seperti pernah dengar.

Tak ambil pusing, Naruto pun segera masuk ke dalam gedung agar dapat merasakan sekolah lagi.

Ya, bersekolah lagi.

Dan orang-orang yang berlalu lalang pun menatap aneh Naruto yang semakin lama semakin hilang ke dalam gedung.

.

.

.

.

.

.

.

.

To Be Continued