Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Naruto U. Hinata H. Sakura H. Gaara and others
Semi-canon
..
Ame no Rea
00
.
Ia berjibaku dengan lamunan kosong yang menyentak kenyamanan. Sembari mengelus perutnya ia memandang sinar bulan dari balik kaca jendela dimana tirai tersibak darinya.
"'Tadaima."
Wanita itu berjengit, termenung sejenak kemudian segera beranjak menyambut kepulangan orang yang dinantinya.
"Naruto-kun.. Okaeri.."
Naruto memasang senyum lebar lantas mencium puncak kepala sang istri. "Bagaimana keadaanmu dan anak kita Hinata?" tanyanya seraya mengusap perut Hinata.
Hinata tersenyum lembut. "Kau tahu Naruto-kun, anak ini sangat merindukanmu."
"Oh ya? Aa memangnya kau tak merindukanku juga?" kelakar Naruto dengan kerlingan nakal.
Hinata memukul lengan Naruto pelan. Terlihat rona merah menghiasi pipinya. Ia rindu, sangat merindukan suaminya ini.
.
"Ehm.."
"Naruto-kun..."
"Hn?" Naruto bergumam pelan.
Sesaat Hinata terdiam, namun akhirnya kembali bersuara, "Naruto-kun.. Apa saja yang kau lakukan di Suna?"
Naruto tertegun beberapa saat. Selang beberapa detik ia berkata, "ngg.. Menjalankan misi, menemui Gaara.. Dan.."' Naruto melirik Hinata yang kepalanya tengah bersandar di dadanya."..aku sempat bertemu dia.''
Hinata agak terlonjak. Namun sedetik kemudian ia mengulas senyum tipis walaupun tak terlihat oleh suaminya.
"Jadi.. "
Naruto menghela napas gusar. Ia setengah enggan membahas masalah ini. Karena hal ini bawaannya tidak enak, baik untuknya maupun Hinata. Tapi ia juga tak ingin membuat Hinata berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Dengan wajah masam Naruto mulai bercerita.
.
Wanita itu terus mengalirkan cakra hijaunya ke sisi tubuh seorang yang terluka.
"Sebenarnya apa yang terjadi Kazekage-sama, kenapa anda sampai terluka begini?" tanya wanita merah muda itu sopan.
Kazekage muda itu memejamkan matanya tenang. Tidak menyahut, juga berlagak tidak mendengar ucapan ninja medis di depannya.
Wanita bermahkota merah muda itu mendesah, lantas menghentikan aliran cakranya. Ia menatap sang Kazekage dalam-dalam.
"Yaya.. Baiklah Gaara-kun. Apa yang sebenarnya kau inginkan?"
Sakura cukup tahu dengan tingkah sang kazekage beberapa tahun belakangan ini. Sosok yang dingin namun sangat peduli sebenarnya. Sosok yang akan melakukan hal yang diinginkannya dengan berbagai cara. Dia bahkan rela menyakiti diri sendiri demi memiliki alasan untuk menemui Sakura. Padahal dengan dalih sebagai kazekage ia akan dengan mudah menemui Sakura kapan saja. Entah. Sakura tidak tahu apa yang dipikirkan Gaara.
Gaara membuka mata usai mendengar nama kecilnya terlontar dari bibir wanita di depannya.
"Makin hari kau tambah sibuk, kau tahu?"
Sakura mengangkat sebelah alisnya bingung. "Lalu?"
Gaara mendengus. "Kasihan Menma, Sakura. Kau harus lebih sering ada waktu untuknya."
"Hm. Aku tahu. Tapi kau tahu sendiri kan, di sini aku sekarang menjadi ninja medis utama desa. Sudah tugasku untuk melayani orang yang terluka setiap saat." jelas Sakura seraya matanya menaut pada langit malam di balik kaca. Ia mendesah. Mendesah dan Mendesah berulang kali.
"Aku tidak menyangka, ternyata sudah dua tahun sejak saat itu." Sakura memperbaiki posisi duduknya.
Gaara termangu sejenak, matanya menatap Sakura iba. "Kau masih mengingatnya?"
Sakura mengangguk lemah. Dengan senyum pilu ia berkata, "kenangan itu tak pernah sekalipun luput dari ingatanku. Setiap saat aku selalu dihantui rasa tak nyaman. Sempat terlintas olehku, apa yang kulakukan ini salah?"
Gaara mengangkat bahu, dengan mata menaut pada Sakura ia berbicara, "tidak perlu memikirkan hal itu. Yang penting sekarang kau ada di sini bersamaku. Aku pasti akan menjaga Menma untukmu,"
"Juga kau." lanjutnya.
Wanita itu terperanjat. Maniknya menatap sendu pada lensa hijau indah yang mengarah padanya.
Sakura tertawa kecil. "Kau membuatku semakin merasa bersalah tahu!"
Gaara mengulas senyum tipis menanggapi Sakura yang mimiknya mulai melunak, tidak setegang sebelumnya.
Sakura memandang luka di bagian perut Gaara. Seketika itu hatinya tersentak. Ia tak yakin dengan asumsinya sendiri. Tapi pertanyaan-pertanyaan di benaknya sungguh mengusik setiap saat. Ia butuh kejelasan dari semua ini.
Untuk apa Gaara melakukan hal ini untuknya?
.
"Dia enggan bertemu denganku lagi. Kau tahu? Padahal aku sempat bertemu anak itu. Sayangnya, aku sama sekali tak bisa menyentuhnya."
Hinata menangis diam dalam kehampaan malam.
Entah kenapa. Entah. Ia tidak pernah mengerti dengan hal ini. Ia merasa telah menjadi wanita brengsek perusak kebahagiaan orang. Sampai saat ini pun Hinata tak mampu melepaskan memori itu dari otaknya. Ia terlalu kejam telah melakukan hal itu. Merusak kebahagiaan orang yang dicintainya. Memang, satu tahun yang lalu Naruto sendiri lah yang mengajukan lamaran padanya. Tapi, rasanya tetap saja berbeda. Hal ini lebih menyakitkan dari apa yang ia duga. Benar, dulu ia pernah bermimpi untuk bisa berjalan bersama Naruto, menggenggam tangannya. Namun sekali lagi tidak seperti ini. Tidak dengan kondisi yang demikian. Bagaimanapun ia adalah seorang wanita, ia mengerti perasaan wanita itu. Pasti sakit. Sangat sakit. Bahkan Hinata tak mampu membayangkannya jikalau ialah yang mengalami hal itu, berada di posisi tersulit seorang wanita yang dikenal hebat oleh semua orang. Dirinya tidak sebanding dengannya. Tentu saja, karena tanpa Naruto ia bukanlah siapa-siapa.
Sesaat mereka terlibat keheningan mencekam.
Wanita berambut biru gelap itu menundukkan kepalanya usai sang suami menceritakan detail peristiwa yang membuat napasnya tercekat. Mereka sudah satu tahun dua bulan mengarungi kehidupan bersama dengan tenang dan damai. Tetapi kehadiran seorang dari masa lalu itu tak ayal membuat sang wanita khawatir akan hubungannya dengan suami yang amat dicintainya ini. Ia takut. Terlalu takut untuk segala kemugkinan buruk.
"Ja-jadi dia pura-pura tidak mengenal Naruto-Kun?" tanyanya mencoba tegar dengan nada senormal mungkin.
Uzumaki Naruto hanya meringis. Memikirkan peristiwa yang dialaminya tadi sungguh di luar dugaan. Ia tidak menyangka bahwa dia sampai sebegitunya melakukan janji itu.
"Dia bahkan langsung pergi begitu melihatku." tanggapnya.
Naruto mendesah. Sekian tahun tak berjumpa dengannya, namun sekali mereka bertemu Naruto sedikit menyesalinya. Bukan apa-apa. Hanya saja ia merasa telah menyakiti Hinata melalui hal itu. Lantaran Hinata, istrinya kini tengah mengandung buah hati mereka.
Bukan tidak tahu bagaimana perasaan wanitanya saat ini. Hanya saja Naruto sangat mengharapkan pengertian Hinata kali ini. Ia tidak ingin ada pertengkaran karena salah paham dengan Hinata tapi ia juga ingin bertemu dan berbicara dengan dia. Perasaannya tak tenang jika ia hanya mampu berdiri di balik layar tanpa memerankan karakter aslinya. Ia memiliki peran, tidak seharusnya ia hanya berpangku tangan.
.
"Kau masih mencintainya?"
Sakura tersentak. Matanya bergerak gelisah ke kanan kiri bergantian.
"Jawab Sakura!" desak Gaara disertai tatapan tegasnya.
Mau tak mau Sakura membuka mulut juga, "entahlah." sahutnya singkat. Tersirat keraguan dalam kata yang dilontarkannya.
Gaara mengamati air muka ninja medis itu dalam-dalam. Sejurus kemudian ia menghela napas.
"Tawaranku tempo hari masih berlaku jika kau masih ingin memberiku kesempatan." ujarnya.
Sakura membeku. Sontak terngiang kata-kata Gaara yang sempat mangkir dari otaknya.
"Bagaimanapun juga kau adalah perempuan. Kau tidak bisa hidup sendiri dengan mengurus Menma tanpa sosok lelaki yang siap sedia melindungi kalian berdua. Sakura, kalau saja kau mau membuka sedikit hatimu izinkan aku untuk menikahimu. Kita bentuk sebuah keluarga yang sebenarnya. Bagaimana?"
Ia tertawa kecil. "Maaf."
Hanya kata sederhana itu, namun Gaara sudah cukup mengerti dengan maksud daripadanya. "Tak apa." sahutnya.
Sakura memeluk Gaara sekilas. "Kau tahu, aku menyayangimu seperti kakakku. Terimakasih untuk semuanya, Gaara-kun." ucapnya tulus.
Gaara mengangguk sebagai jawaban. Senyum tipisnya mengiringi kepergian wanita yang telah menolak cintanya itu.
Sakura, biarpun harus menunggu lama, aku akan melakukannya. Aku akan terus menunggumu sampai kau bisa menerimaku.
.
Musim semi mampir dengan hujan terus-menerus sepanjang hari bahkan berkali-kali. Yang ia jumpai langit sering menangis.
Di balik tirai yang menutupi hujan dari pandangannya wanita itu terpekur. Tubuhnya kedinginan. Ia sudah mengenakan pakaian tebal. Hal yang wajar jika ia merasa kedinginan. Yang aneh, kenapa hatinya serasa panas? Hinata sendiri tidak tahu kenapa dan bagaimana bisa. Jelas saja Uzumaki Hinata mengalami keanehan yang sungguh aneh. Di saat tubuhnya kedinginan, namun hatinya begitu panas.
Apa yang suaminya ceritakan malam lalu tak sekalipun bisa terhapus dari memorinya. Ia mulai khawatir akan hubungannya. Ia takut jikalau Naruto akan meninggalkannya. Akan kembali pada kehidupan di mana dia seharusnya berada. Ia takut. Sangat. Adakah hal yang bisa membuatnya tenang saat ini? Sungguh, Hinata membutuhkan itu.
"Hinata."
Hinata bergeming, tampak suaminya berdiri di balik pintu yang terbuka. "Naruto-kun, kau tak jadi pergi?" tanyanya.
Naruto berjalan menghampiri istrinya, lantas memeluk Hinata yang duduk meringkuk dari belakang. "Kau kedinginan Hinata."
"Kau belum menjawab pertanyaanku Naruto-kun."
Pria itu mendecak lantas mengangkat tubuh Hinata dan membaringkannya di kasur.
"Hujan sangat deras, aku mengkhawatirkanmu tahu."
Kontan Hinata menatap suaminya. Maniknya menyimpan rasa bersalah. "Maaf."
Naruto lekas menyelimuti Hinata dengan selimut tebal, tidak hanya satu. Ia lalu duduk di tepi ranjang, menatap istrinya. "Kau selalu saja begitu. Aku bisa ke rumah Teme kapan saja Hinata. Sudahlah, lebih baik kau istirahat. Aku akan menemanimu."
Dan Hinata hanya menuruti perkataan suaminya.
.
.
A/N : Saya gak tau ini apa. Gak jelas banget, gak ada feelnya. sekedar penghibur aja di saat saya punya sedikit waktu senggang.
Ada yang mau kritik saran?
Aimore
