Angin semilir berhembus pelan.
"Hiks..hiks..Ini dimana..?" seorang anak berambut coklat pucat tersebut menangis di sepanjang jalan. Sampai pemuda berambut pirang menghampirinya.
"Ada apa? Kau tersesat?"
"Eung..iya..."
Angin kembali berhembus kencang. 'Ah, sama seperti waktu aku pertama kali datang kesini..'
Penguins of Madagascar© Dreamworks
Why they called me Private©Me
Warning: AU, versi manusia (untuk lebih memudahkan bayangan anda, silahkan lihat di akun deviantart saya-gadayangmau-), gaje, abal, ide pasaran, typo nggak jamin, paragrap bleberan, nama asli Private disini saya ngarang, er…sho-ai?(nantinya)
_flashback_
"Ini..disini?" kata seorang pemuda berwajah manis didepan sebuah gedung berpagar besi yang luar biasa besarnya.
"Hei, kau! Kenapa kau bengong begitu didepan pagar?" sapa seorang perempuan berpenampilan army.
"Ng, anu..lowongan..kerja..ini.." pemuda berambut pirang menjelaskan dengan terbata-bata seraya memperlihatkan kertas surat kabar kolom lowongan kerja yang sebagian besar sudah tercoreng spidol merah, pertanda ia ditolak untuk bekerja ditempat-tempat tersebut. Kecuali satu, tempat yang sedang ia coba datangi sekarang.
"…Kau serius? Anak kecil sepertimu mau bekerja di tempat seperti ini?" mata perempuan itu melotot heran.
"Iya, aku harus segera mendapatkan uang dan tempat tinggal. Habis, aku sudah resmi keluar dari panti asuhan," katanya, padahal akan mendapatkan pekerjaan apa, ia tidak tahu menahu.
"Oh, kau dari panti asuhan?" Pemuda itu mengangguk.
"Baiklah, akan kuantar kau ketempat orang menaruh lowongan pekerjaan itu di koran," wanita itu tersenyum lalu jari-jarinya memencet tombol-tombol tersembunyi di dinding pagar, seperti kode rahasia. Tak lupa ibu jarinya ditempelkan pada pendeteksi sidik jari. Memang daerah ini sangat terlarang bagi warga sipil. Cuma orang-orang nekat yang ingin bekerja disini. Sebetulnya, pemuda ini ingin bekerja disini karena tak punya pilihan lain.
Secara instan, pagar besi besar berkarat itu terbuka, menampakan isinya yang luas dan sepi dengan bangunan-bangunan kecil yang berjejer rapi sampai ke gedung tinggi menjulang mirip menara Petronas. Seperti kompleks perumahan tepatnya daripada markas militer seperti yang tertulis di koran. Membuat sang pemuda tak sanggup berkedip melihatnya.
"Namaku Marlene, aku tinggal dan bekerja disini. Jadi kalau kamu diterima disini kamu juga dapat tempat tinggal—ya, meski harus bayar juga sih per bulannya," Marlene menjelaskan sambil berjalan, diikuti si pria bermata baby blue itu.
"Benarkah? Wah.."
"Eit, tapi kamu harus bekerja mati-matian disini dan mengabdi pada Alice selamanya," lanjut Marlene.
"Se-selamanya? Siapa Alice?"
"Pemimpin mutlak semua yang ada disini, sekaligus yang bertanggung jawab atas kami."
Pemuda itu meneguk ludahnya. Hanya berdoa semoga keputusannya mengambil pekerjaan ini benar.
Langkah Marlene tiba-tiba berhenti. "Disini, mereka tinggal disini. Kalau butuh apa-apa, aku tinggal disana," kata Marlene sambil menunjuk sebuah rumah semi permanen yang bentuknya tidak berbeda dari bangunan-bangunan disekitarnya, "Semoga berhasil, nak!"
"Terima kasih, Marlene!" pemuda itu meneguk ludah, tangannya melayang bermaksud mengetuk pintu bangunan tersebut.
Naasnya pintu itu terbuka lebih dulu dari dalam dengan brutal.
JEDUG
"Wah!" Laki-laki berambut hitam terjingkat dari tempatnya. Terkejut dengan sesosok manusia yang terkapar ditanah.
"Siapa dia?"
For Next Chapter -}
