—Two-Faced Lovers—
Author: Rin from KisukeReiRin
Chapter: 1/?
Disclaimer: All casts is belong to theirselves.
Rated: T
Pair: YeRy (Yesung x Henry), slight YeWook and ZhouRy.
Genre: Romance, Hurt/Comfort, Friendship
.
Inspirated by Two-faced Lovers by Hatsune Miku (bukan Two-faced errors-nya KAITO ya. #plak)
.
Warning: AU, Shonen-ai (masih kategori aman kok... mungkin. . #plak), crack pair, OOC untuk keperluan cerita, Fluff ancur, misstypo(s), pergantian POV (dimana first POV itu gaje, berhubung saya baru pertama kali bikin pake POV satu itu), gaje kalau saya bilangin mah =_=, dll.
.
.
Seorang namja berkulit putih menghela nafas perlahan, kedua iris gelapnya menatap sekumpulan anak yang sedang berada di tengah lapangan sekolahnya—atau lebih tepatnya, tempat yang baru beberapa saat yang lalu menjadi sekolahnya, SM High School, sekolah asrama khusus namja yang terletak di pinggiran Seoul.
Bosan dengan kegiatannya memandangi sesuatu yang sebenarnya tidak penting itu, ia kembali mengalihkan pandangannya ke depan kelasnya, berusaha mendengarkan penjelasan dari seorang Sonsaengnim yang bahkan tidak ia ketahui namanya itu—lebih tepatnya, kelihatannya otaknya tiba-tiba berubah jadi pemalas yang malas mengingat nama orang lain. Ia bahkan tidak tahu sekarang ini pelajaran apa. Aish, pabboya Henry, konsentrasi bodoh.
Kalau saja bukan karena seseorang, ia tidak akan mau pindah dari sekolah lamanya di China dan pindah ke suatu tempat antah-berantah dimana ia kelihatannya akan kesulitan berkomunikasi mengingat bahasa Koreanya yang agak terbatas.
Benar, kalau saja bukan karena orang itu yang dengan seenaknya meminta–menyuruh lebih tepatnya, atau memaksa… argh, terserahlah–untuk menemaninya bersekolah di tempat ini. Dimana-mana juga yang namanya meminta, itu harusnya tidak boleh memaksa kan? Tch, rasanya ia ingin menendang sepasang kaki koala merah yang panjangnya amit-amit itu.
Masih bosan dengan kegiatannya, ia kembali mengalihkan pandangannya ke lapangan sekolahnya, dimana sekelompok namja (iyalah, masa ada yeoja nyasar di sini?) kini tengah berada di tengah lapangan, kelihatannya sedang ada pelajaran olahraga. Diperhatikannya para namja tersebut sebelum kemudian manik matanya menangkap sekelebat bayangan seseorang berambut merah menyala yang sejak beberapa menit yang lalu menjadi korban kutukan dalam pikirannya. Heran, memangnya tidak ada aturan yang melarang siswa di sekolah ini untuk mengecat rambutnya secara berlebihan seperti itu ya?
Namja dengan pipi putih yang chubby itu kembali menyapukan pandangannya ke tempat lain, lagipula kalau melihat namja kepala merah itu bawaannya ingin memukul kepalanya dengan… apapun deh. =.=
Tatapanya terpaku pada seorang namja dengan ukuran kepala yang agak… tidak normal mungkin ya, tengah berdiri di sisi yang agak jauh dengan lapangan, tapi sedikit lebih dekat dengan jendela kelasnya. Sejak kapan? Padahal tidak ada seorangpun di sana sejak tadi. Apa jangan-jangan di sekolah ini ada hantunya ya? Tahu begini ia tidak mau diminta untuk masuk sekolah ini, dan tidak membiarkan koala merah itu memaksanya ikut dengannya. Benar-benar pacar yang merepotkan…
Henry kembali memandangi sang Seonsaengnim yang masih tekun berceramah padahal kelihatannya tidak seorang pun yang mendengarkan dan rata-rata memilih untuk terbang ke alam lain, daripada telinga panas mendengarkan ocehan panjang lebar tidak jelas, seolah mengabaikan nasib ujian mereka nantinya kalau tidak mendengarkan ceramah soal ekonomi gak jelas begitu—
—Henry Lau, sejak kapan kau jadi namja yang hobi bergosip ria dalam pikiranmu?
Kembali ia menatap keluar jendela. Namja itu masih berdiri di tempatnya. Ini kan jam pelajaran, apa orang itu membolos atau ia termasuk dari siswa kelas yang tengah berolahraga itu tapi tidak bisa ikut berpartisipasi?
Lamunannya terhenti tepat ketika bel istirahat berbunyi, namun ia masih belum ingin mengalihkan pandangannya dari namja yang masih berdiri di sana.
Ia sedikit tersentak ketika laki-laki itu membalikkan badannya, kelihatannya akan segera kembali menuju bangunan sekolahnya. Sesaat tatapan keduanya saling bertemu. Dan dalam waktu sepersekian detik yang teramat singkat itu, seorang Henry Lau melihat sorot mata yang seolah sanggup membekukannya saat itu namun di saat yang bersamaan juga menimbulkan rasa penasaran dalam dirinya, kenapa matanya terlihat begitu sedih?
~0~
~Henry POV~
.
Aku berjalan sambil sesekali melihat papan nama di setiap ruangan yang kutemui. Setiap nama yang tertera di atasnya kubaca dengan ragu. Kenapa? Kalau begitu, baca deskripsi yang ditulis oleh author-san(?) di atas sana, dan temukanlah sederet kalimat yang menjelaskan kalau Bahasa Koreaku agak sedikit... yah, bukan sedikit sih, tapi lumayan kaku. Intinya sih, aku kurang lancar berbahasa Korea. Kenapa lagi? Perlukah dijelaskan? Perlu? Dasar tukang menuntut... =_= Sudah jelas kan aku ini bukan orang Korea, tapi seorang yang berasal dari negeri tirai bambu sekaligus kampung halaman hewan hampir langka berjuluk panda, yang keimutannya bahkan masih tidak bisa menyamai keimutan yang kumiliki ini... hahaha...
Ng, apa aku mulai melantur ya? Ah, lupakan. Henry Lau, fokus dengan tujuanmu, dasar pabbo.
Kedua kakiku serta mataku mulai lelah mencari sebuah ruangan yang sangat ingin kutuju saat ini. Ayolah, memangnya luas sekolah ini berapa meter sih? Masa mau menyamai lapangan Koushien di Jepang sana, atau sekalian saja Istana Jepang yang luasnya amit-amit itu—
—serius deh, ini sekolah atau hutan sih?
Aku menaiki tangga yang kutemui dengan sedikit pasrah. Kelihatannya aku mulai tersesat. Tahu begini aku minta tolong saja pada salah satu teman sekelasku yang duduk tepat di sebelahku, biarpun dia kelihatannya tidak menaruh rasa peduli dengan kehadiranku dan lebih memilih untuk memainkan PSP-nya yang disembunyikan di bawah meja. Sudah jelas ia main dengan diam-diam. Aish, aku saja yang suka game tidak sampai segitunya, setidaknya biolaku masih jauh lebih berharga daripada PSP.
Ngomong-ngomong soal biola, SEBENARNYA DI MANA SIH RUANG MUSIK ITU!
Oke, tenang Henry Lau. Sebaiknya tarik nafas dalam-dalam. Waktumu hanya tinggal lima menit lagi sampai bel masuk tanda istirahat berakhir kembali berbunyi. Baiklah, semangat la—
BRUKKK!
—gi.
Ya ampun, aku nabrak orang ya?
"Ah, mi—"
"Mianhae…"
Hee?
.
~Henry POV end~
.
Henry mendongakkan kepalanya, sorot matanya menyiratkan keheranan sekaligus rasa bersalah. Harusnya kan ia yang minta maaf, karena sudah jelas ia yang salah tidak melihat sekelilingnya ketika berjalan dan malah sibuk dengan pikirannya sendiri.
Ketika ia melihat siapa namja yang tadi menabrak–atau ditabraknya–seketika kedua matanya melebar. Orang yang baru saja menabrak–atau ditabraknya, terserah apapun deh–itu orang yang sama dengan yang dilihatnya tadi dari dalam kelasnya. Namja yang tadi sempat bertatapan dengannya dan sanggup membuatnya sedikit merinding dengan tatapannya yang dingin itu. Tapi… kenapa sekarang berbeda? Malah lebih terkesan seperti orang… babo.
"Mianhae," ucapan namja bermata sipit itu sukses membuat Henry kembali ke dunianya, "aku terburu-buru jadi tidak melihat kalau ada yang berjalan di hadapanku."
"Eh? Ah, tidak, harusnya aku yang minta maaf karena aku malah melamun sambil berjalan... ng, Sunbaenim..."
"Baiklah, lupakan saja. Ngomong-ngomong, kau kelihatan bingung, ada yang bisa kubantu?" seulas senyum terukir di wajah yang menurut Henry cukup tampan sih, biarpun entah kenapa terkesan bodoh. =.=
Ya ampun, Henry. Sadar, kau sudah punya namjachingu yang tingginya amit-amit itu.
"Ng, aku mencari ruang musik sih... tapi sebentar lagi waktu istirahat berakhir, jadi kelihatannya aku akan mencarinya lain waktu sih."
"Ruang musik, eh?" gumam sang namja bermata sipit itu pelan, lebih terkesan seperti sebuah bisikan yang hampir tidak bisa didengar oleh Henry.
KRIINNGG!
"Waktu istirahat memang berakhir nih," ujar Henry, kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah namja berkepala agak tidak normal ukurannya itu, "ng, Sunbaenim. Aku mau ke kelasku dulu, sekali lagi mian karena sudah menabrakmu barusan."
"Kim Jongwoon..."
"Eh?" Henry yang baru saja akan melangkahkan kakinya menuju kelasnya yang berada entah di mana (ia kan sedang tersesat) sontak langsung membalikkan badannya menatap sang sunbae.
"Itu namaku, tapi panggil saja aku Yesung. Rata-rata orang di sekolah ini memanggilku begitu sih. Aku kelas 3-A."
Kelopak mata Henry kembali melebar mendengarnya. Kelas 3? Dua tahun lebih tua dari pada dirinya. Padahal tadi ia mengira kalau sunbae di hadapannya ini masih kelas 2. Jadi tidak sekelas dengan Mimi-ge, lalu kenapa tadi dia berdiri di pinggir lapangan?
"Ah, namaku Henry Lau—"
"Sudah kuduga, memang bukan orang Korea ya?"
"Ng, yah, begitulah..." Henry menjawab seadanya, mengingat ia sedang berbicara dengan seseorang yang baru dikenalnya ditambah lagi orang itu adalah sunbaenya, tentu saja ia sedikit merasa segan padanya.
"Tadi kau bilang ingin mencari ruang musik kan? Pulang sekolah nanti tunggu aku di tangga paling bawah, akan kuantar kau ke ruangan itu."
"EH! Serius nih, Sunbaenim? Gomawo..."
"Dan jangan panggil aku 'Sunbaenim', rasanya terlalu formal. Panggil aku 'hyung' saja..." Namja bernama Kim Jongwoon itu mengeluarkan senyumnya, membuat Henry sedikit terbelalak. Pasalnya, ini pertama kalinya ia melihat sang hyung tersebut tersenyum dengan tulus seperti barusan.
Sebenarnya apa yang membuatnya jadi dingin begini sih? Rasanya seperti berdekatan dengan gunung es yang di dalamnya terkandung magma yang siap meledak kapan saja... (lebay amat ya deskripnya. =.=a)
"Ah, baiklah... ng, Yesung-hyung, gomawo..." Henry segera berlari meninggalkan Yesung yang masih berdiri mematung di tempatnya, setelah sebelumnya sedikit membungkukkan badannya. Ia kan bukan hoobae yang kurang ajar pada sunbaenya...
Namun, belum mencapai sepuluh langkah, Henry menghentikan langkahnya dan kembali berbalik menatap dengan agak ragu ke arah Yesung. "Ng, hyung..."
Merasa dipanggil, Yesung mendongakkan kepalanya yang sebelumnya sempat tertunduk. Kelihatannya sedang memikirkan sesuatu. "Ya?"
"Daerah kelas 1 itu di mana sih, hyung? Aku lupa bilang kalau aku tadi tersesat nih..."
Mendengar itu, seketika Yesung pun facepalm. Murid baru ya? Aku baru sadar...
"Turun tangga sampai tingkat berikutnya, lalu belok kiri. Terus jalan, kalau bertemu dengan belokan langsung belok kanan, kemudian jalan lurus terus hingga ada belokan lagi. Kau belok kanan, dan itu daerah kelas 1. Arra?"
"Arraseo, hyung. Gomawo..."
Dan Henry pun menghilang di tangga, meninggalkan Yesung yang berjalan menuju kelasnya, tanpa mengetahui kalau sedari tadi sepasang mata mengawasi mereka dari kejauhan.
~0~
~Henry POV~
.
Aku menyandarkan kepalaku di atas meja, berusaha mengusir rasa lelah akibat berlari dari lantai tiga menuju kelasku ini. Tadinya kupikir aku akan telat, mana aku sempat kebingungan dengan petunjuk arah yang dijelaskan oleh Yesung-hyung tadi. Terlalu abstrak untuk dibayangkan... Tapi untuk bertanya lebih lanjut, kok sepertinya aku kelihatan seperti orang yang tidak sopan ya? =.=
Dan ketika aku sampai di kelas... rasanya aku menyesal telah begitu terburu-buru lari. Terkutuklah Sonsaengnim yang harusnya mengajar hari ini malah tidak datang. Tahu begini, aku kan masih bisa mengobrol dengan Yesung-hyung...
Aku langsung terbangun dengan tiba-tiba, untunglah tidak ada seorang pun yang berdiri di dekatku, jadi setidaknya aku tidak akan mengejutkan mereka dengan gerakanku yang tiba-tiba barusan. Aish, kenapa pikiranku malah penuh dengan hyung aneh itu. Lebih herannya lagi, kenapa aku malah jadi terkesan seperti melupakan Mimi-ge. Kami-sama(?), aku ini kenapa sih?
"Hei..."
Eh? Ada yang memanggilku ya?
"YA, kau. Mochi China yang duduk di sebelahku!"
MWO! Mochi katanya!
Aku menoleh ke samping kananku, hanya untuk mendapati seorang namja bersurai coklat madu–yang sewaktu jam pelajaran tadi malah bermain PSP–tengah tersenyum… ng, ralat, senyumnya itu bahkan lebih terkesan seperti seringai iblis yang ingin menjerumuskan korbannya ke dalam sebuah malapetaka. Melihat hal itu, aku langsung membuka mulutku, sekalian saja protes dengan panggilannya barusan. Mochi China? Memangnya aku ini makanan apa?
"YA, siapa yang kau sebut Mochi—"
"Cho Kyuhyun imnida…"
Hee? Kenapa dia malah memperkenalkan dirinya di hadapanku? Kalau begini aku jadi tidak ada niat lagi untuk melancarkan serangkaian kalimat protesku untuknya.
"Henry Lau…"
Seulas senyum mampir di wajah semi-pucat orang yang kelihatannya maniak game itu. Bedanya, bukan seringai seperti yang ia tunjukkan padaku tadi waktu pertama kali memanggilku dengan sebutan… Argh, sudahlah lupakan saja.
"Mulai hari ini, berhubung kau duduk di sebelahku, kita teman ya."
Bukan permintaan atau pertanyaan, lebih tepatnya itu terdengar seperti perintah. Kenapa sejak tadi aku bertemu dengan orang-orang yang agak aneh ya? Apa saat ini aku sedang dikutuk ya?
.
~Henry POV End~
.
Setelah pernyataan cukup aneh yang diucapkan oleh anak bernama Cho Kyuhyun itu, Henry pun terlibat sebuah obrolan dengan orang pertama yang jadi temannya di sekolah ini. Dan isi obrolannya pun entah kenapa tidak jauh dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan game. Kelihatannya mereka bisa jadi teman yang baik.
Tanpa sengaja ekor matanya melirik ke luar jendela kelasnya, seketika kedua mata sipitnya melebar melihat apa–lebih tepatnya, siapa–yang tengah berdiri di tepi lapangan yang sedang lengang. Seorang namja berambut merah menyala dengan tinggi badan yang hampir menyamai sebuah tiang listrik saking tingginya. Ia tidak mungkin tidak mengenali orang itu. Namun yang lebih membuatnya kaget sebenarnya bukan itu, buat apa kaget melihat namja yang menjadi pacarmu?
Lebih tepatnya kaget dengan apa yang sedang dilakukan oleh namja tinggi itu…
.
~Henry POV~
.
Mimi-ge? Dengan siapa?
Rasanya aku jadi sulit untuk mengeluarkan suaraku. Aku bahkan masih belum percaya kalau yang sedang kulihat itu adalah Mimi-ge. Bagaimana mungkin kan kalau aku bisa percaya dengan penglihatanku sedangkan yang kulihat itu adalah orang itu sedang merangkul–atau mungkin lebih tepatnya memeluk –seseorang yang tingginya lebih pendek dari dirinya. Kalau hanya pelukan biasa sih tidak masalah, tapi apa yang kulihat itu kesannya malah lebih dari pelukan untuk teman.
Aku masih terus terpaku menatap keluar, tak kupedulikan lagi Kyuhyun yang masih terus bicara padaku. Dan kelihatannya ia mulai menyadari keanehanku yang sejak beberapa detik yang lalu tiba-tiba menjadi diam, terbukti dengan ia menghentikan ucapannya dan melirik ke arah yang dituju oleh pandangan mataku.
"Mereka kayak pacaran ya..."
Aku tersentak mendengar Kyuhyun mengucapkan kalimat itu. Mwo? Pacaran? Tidak mungkin. Habisnya kan...
"Tapi cuma gosip sih, habisnya mereka selalu bareng sih, mana mereka satu kamar pula di asrama." Kyuhyun masih melanjutkan ucapannya–dengan nada malas seolah tidak menaruh minat dengan apa yang sedang dibicarakan–tanpa menyadari kalau wajahku kelihatannya mulai sedikit memucat mendengar ucapannya.
"Eh? Yang benar nih?" Aku membalas perkataan Kyuhyun, berusaha untuk tidak menimbulkan kecurigaan karena sikapku yang diam tiba-tiba sambil berusaha untuk menahan agar suaraku tidak terdengar bergetar. Semoga saja aku tidak menangis…
"Kubilang kan cuma gosip, Mochi. Lagipula tidak mungkin kan kalau Wookie-hyung pacaran dengan namja tiang listrik itu, dia kan sudah punya pacar."
Eh? Kupikir namja yang sedang bersama dengan Mimi-ge itu masih kelas 1 kalau dilihat dari postur tubuhnya yang cukup... mungil. Lalu, pacar? Berarti aku tidak perlu khawatir dengan kemungkinan Mimi-ge akan selingkuh, terutama ketika aku mendengar kalau mereka sekamar di asrama.
Aish, aku bahkan tidak tahu siapa teman sekamar Mimi-ge waktu dia masuk sekolah ini. Mimi-ge tidak memberitahuku dan aku pun tidak menanyakannya.
Dan kalau diingat lagi, sejak aku tiba di Seoul entah kenapa segala bentuk komunikasiku dengan Mimi-ge seolah terputus. Sebenarnya ada apa?
Tidak. Aku menggelengkan kepalaku dengan keras. Jangan berprasangka buruk padanya, babo. Aku kan harus percaya padanya. Daripada itu…
"Eh? Memangnya siapa pacarnya?"
"Yesung-hyung…"
MWO!
—To Be Continued—
((a/n: Didedikasikan untuk orang yang selama ini jadi tempat sampah saya—dengan kata lain, tempat curhat. Dipublish dengan membajak akun ffn seseorang. ;D #plak
First fic in this fandom, be kind please~ Jangan bantai saya karena pair, tema atau gaya penceritaan, yah kecuali kalau mau kasih saran sih gak masalah. =_=v
Dan berhubung ini /AU/ gak masalah kan kalau karakternya terlalu OOC daripada mereka yang asli. :p Ini kan demi keperluan cerita.
Dan bahasa saya kaku, saya nyadar kok. Udah setengah tahun gak bikin fic jadinya perlu pembiasaan lagi. Ditambah direct speech yang sangat kaku bin gaje. XD saya lebih jago ke bagian deskripsi situasi daripada dialog.. haha(?).
Anyway, RnR please? ;D))
