Title: RITE OF SPRING: TURNING POINT
Characters/ Pairing: Hatake Kakashi/ Haruno Sakura
Type: Multichapter (Two Chapters)
Rating: M
Genre: Adventure, Romance
Warnings: (saat ini belum ada)
Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto
(Kami tidak mencari keuntungan dalam bentuk materi apapun dari penggunaan karakter-karakter ciptaan Masashi Kishimoto)
Non-edited. So all mistakes are mine.
::::
RITE OF SPRING: TURNING POINT
Setiap kali melangkah masuk ke Oxford Union, napas Sakura seolah tertahan di tenggorokan. Bukan, bukan karena sesuatu yang buruk melainkan karena sesuatu yang sangat indah. Langit-langit kayu berpanel saling terjalin dengan dinding-dinding yang dipenuhi mural hasil karya William Morris dan Dante Gabriel Rosetti, sebuah getaran menakjubkan khas seni Pre-Raphaelite. Pre-Raphaelite sendiri dikenal dengan Persaudaraan yang berkutat di bidang lukis-melukis, puisi dan kritik, didirikan tahun 1848, di mana karya mereka sangat dipengaruhi alam dan aliran Romantisme. Bahkan J. R. R Tolkien muda, beberapa mengklaim, sangat terinspirasi dari lukisan-lukisan yang muncul di Birmingham Museum and Art Gallery mengenai mitologi-mitologi yang dimunculkan oleh Pre-Raphaelite.
Selain mural-mural yang sepertinya menyedot napas dari pemiliknya, Oxford Union dipenuhi dengan rak-rak buku dari semua disiplin ilmu, memberikan jalan keluar pasti ketika perpustakaan jurusan dipenuhi dengan teks-teks populer. Perpustakaan ini juga memiliki stok non-akademis seperti majalah, panduan perjalanan, koran, novel-novel kontemporer serta DVD. Wi-Fi yang bebas digunakan kapan saja, bersama kursi yang disediakan menemani meja dengan penerangan individu. Perpustakaan dijalankan dan terus up to date oleh sebuah komite yang terbuka untuk seluruh anggota. Jika ada yang menyarankan untuk menambah stok di seksi tertentu, maka akan direspon dengan cepat. Keindahan di perpustakaan ini memang tak berubah tapi koleksi di dalamnya akan terus berinovasi.
Sakura dengan sadar tersenyum. Study in Beauty. Seperti itulah isi pemikirannya saat ini. Kini dia sedang duduk dekat jendela kaca, seperti biasa, dengan sebuah buku tua di atas meja. Aromanya hangat dan berdebu, seperti berada di loteng. Halaman-halaman tua yang dibukanya nampak rapuh, seakan-akan berubah menjadi bunga-bunga es saat jemarinya menyentuhnya. Kebanyakan orang akan meninggalkan buku ini tanpa melirik kembali, tapi Sakura justru bergetar, membuatnya menghargai kecantikan dari sebuah buku tua. Setiap kata timbul tenggelam kala mata hijau alexandrite-nya menekuri setiap halaman, dengan cepat memindahkan hal-hal penting ke dalam catatan. Kini dia tenggelam dalam dunianya sendiri.
…
Menjelang pukul lima sore, Sakura berjalan kembali ke asrama melewati Christ Church Meadow sambil mengagumi hamparan bunga daffodil. Rasa nyaman dan betah segera melingkupinya, membuatnya ingin berlama-lama di sana. Tapi matanya yang lelah serta perutnya yang cukup bertalu-talu hari itu, membuatnya mengurungkan niat. Meninggalkan kuncup-kuncup daffodil yang berkumpul sepanjang aliran sungai, Sakura terus berjalan sambil menatap langit yang berubah monokrom.
Sakura mendorong salah satu dari empat pintu Plexiglas berkanopi kaca asrama berkapasitas 800 residen. Dia bertemu dengan petugas resepsionis yang berada di balik pintu kaca. Sakura menghampirinya dan si petugas mengembalikan kartu magnet sebagai akses masuk ke pintu asrama dan satu anak kunci untuk membuka kamar. Begitu masuk ke kamarnya, Sakura menemukan teman sekamarnya membelakanginya di meja belajar.
"Hai, Hinata," ujarnya sambil merebahkan tubuhnya ke kasur.
"Hm," sahut Hinata sambil memperbaiki letak kacamata yang bertengger di batang hidungnya. "How's your day?"
"Berjalan seperti biasa. Kau ada kegiatan malam ini?" Sakura bangkit menuju dapur mini untuk membuat teh.
"Klub Debat mengadakan pertemuan malam ini," sahut Hinata dengan jemari yang masih bermain di keyboard laptop.
Sakura memiringkan kepala ke satu sisi saat menatap teman sekamarnya itu. Saat pertama kali bertemu, Sakura tak menyangka jika gadis pemalu dan bersuara lirih itu akan memilih Klub Debat untuk menemani masa-masa kuliahnya. Sakura pernah melihatnya melakukan debat yang membuatnya menganga lebar. Dia bukan Hinata. Hinata yang pemalu sirna begitu saja kala gadis itu berada di antara kawan-kawan klubnya dan memuntahkan semua buah pemikirannya seperti kran bocor, membuat semua yang ada di sana terdiam seketika. Semua argumen yang dilontarkan padanya dimentahkan begitu saja hingga sesi selesai, membuat Sakura bertanya penuh semangat.
"Kau makan semua buku, ya?" tanya Sakura saat itu membuat Hinata hanya tersenyum malu. Now, now, sekarang dia kembali menjadi dirinya.
"Tidak juga," kata Hinata dengan bahu mengedik.
"Sombong," dengus Sakura tapi Hinata tahu dia sedang bercanda.
"Aku masih butuh bimbingan, Sakura. Aku merasa saat berdebat aku masih belum bisa mengontrol emosi." Hinata tertawa gugup.
Sakura membenarkan kalimat itu dalam hati. Terdengar desahan napas dari gadis yang memiliki rambut hingga sepinggang itu, membuat Sakura menoleh padanya. Hinata menatap koridor yang lengang saat itu.
"Aku masuk Klub Debat untuk mengetahui sampai di mana batas kemampuanku. Jika kemampuanku ternyata 100 dan aku hanya menggunakan 70 bukankah itu sia-sia saja?"
Sakura hanya tersenyum mendengarnya sekaligus mendapat penilaian baru mengenai temannya.
Dan kata-kata itu kembali terngiang di telinganya, membuat sendoknya berputar berkali-kali mengaduk teh Earl Grey di cangkir merah muda. Jika Hinata yang pemalu saja berani menantang dirinya, bagaimana dengan aku? Dia melayangkan pertemuannya pada Kakashi di Bibury, membuatnya berpikir keras mencerna kata-kata pria itu. Dia bukannya tidak mengerti. Dia sangat mengerti. Apa sih, gunanya menjadi mahasiswa Literatur yang berkutat dengan hal-hal yang berbau Humaniora setiap hari? Tapi ada satu dan lain hal yang membuatnya… sshhh… membuatnya berada di ambang dua pemikiran, yang hingga sekarang dia belum memilih hanya karena takut atau belum siap atau-atau apapun itu… oh God, kenapa aku jadi seperti ini?
"… dan kau tahu pemuda pirang dengan senyum menawan yang duduk di seberang meja saat makan malam beberapa hari lalu?" Hinata berbalik di kursi putarnya, membuat rambut lavendernya yang dicepol tinggi berguncang lembut di pucuk kepalanya. "Sakura? Kau mendengarku?"
"Hm," sahut Sakura datar dengan mata menatap kabinet dapur.
"Tehmu sudah dingin," tunjuk Hinata dengan dahi mengernyit.
"Aku tahu," jawab Sakura sambil membawa cangkir teh dan mulai meneguknya saat duduk di tepi tempat tidur dengan kedua kaki menyilang. Dia meletakkan cangkir ke atas bufet krem dekat tempat tidurnya.
"Kau aneh, Sakura," putus Hinata kemudian dengan kedua tangan terlipat ke dada. Dia mengacuhkan tugas kuliahnya yang belum selesai. Kini mata indigonya tak pernah melepas wajah gadis di depannya. "Sejak pulang dari Bibury sebulan lalu, kau jadi aneh. Ada apa? Kau bertemu dengan pria dan jatuh cinta dengannya saat di sana? Atau kalian mengalami one night stand?"
Sakura tak menjawab. Gadis yang memiliki rambut merah muda itu nampak berpikir keras dan tiba-tiba dia berdiri, melangkah terburu-buru menuju meja belajarnya sendiri dan membongkar laci terbawah demi sesuatu yang dia cari.
"Sakura, kau menakutiku." Suara lirih Hinata tidak dipedulikan Sakura. Gadis itu terus saja mencari dan mencari hingga menemukan satu benda yang sepertinya cukup lama tenggelam di sana.
"Got it!" ujar Sakura sambil mengacungkan sebuah atlas ukuran mini.
"Atlas?" tanya Hinata dengan nada heran. Meski begitu sedikit banyak dia merasa lega melihat temannya kini tak lagi mengacuhkannya.
Sakura mengangguk dengan senyum tipis tersungging di bibir mungilnya. Dia lalu menoleh pada jendela lebar yang memancarkan cahaya alam, membawa angin segar musim semi. Sepasang mata hijau alexandrite itu kini nampak berpendar kebiruan di bawah cahaya senja sewarna potret kusam. Kemudian dia berbicara dengan nada penuh dramatis, seolah apa yang ada di pikirannya kali ini adalah sesuatu yang sudah lama terendap, se-lama atlas yang berdiam di laci terbawah meja belajarnya.
"Kurasa aku akan melakukan perjalanan ke Skotlandia."
"S-Scotland?" Alis Hinata terangkat tinggi.
Sakura menatap temannya dengan mata berkilat. Dia pun mengangguk semangat. "Mhm. Tapi pertama-tama yang harus aku lakukan adalah makan. I'm not hungry but starving! Berpikir keras telah menguras tenagaku. Ayo turun ke pantry!"
Hinata hanya bisa pasrah diseret oleh Sakura. Setidaknya diseret ke pantry untuk menikmati makan malam adalah sesuatu hal yang sangat bagus. Siapa tahu saja dia akan bertemu dengan pemuda pirang itu lagi.
::::
TBC
::::
Sekali lagi, fic ini adalah lanjutan dari Rite of Spring prolog. Silakan singgah di sana jika ingin tahu kisah sebelumnya karena isinya cukup berkaitan #smile. Dan juga fic kali ini hanya dua chapter. Anw, semoga kalian menyukainya. Silakan tinggalkan jejak, kawan, tidak hanya fav/foll. Saya harap jumlah views sejalan dengan jumlah review #ngarep, dilempar.
Once again, feel free to send PM, review, constructive criticisms and suggestions
