*warning AU and OOC*

.
For The Future

.
A Bleach fanfic
All Charas by Kubo Tite

.
.

May, 15

Kalau ditanya apakah alasanmu hidup, apa jawabanmu?

Kalau pertanyaan itu dilontarkan untuk seorang mahasiswa semester akhir berambut putih dia akan menjawab, tentu saja untuk masa depan!

Jawaban itu bukan tanpa alasan. Dia punya alasan kuat. Alasan yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh siapapun. Karena dia berbeda. Dia mampu melihat kilasan hidup seseorang selama satu minggu kedepan atau terkadang kurang tapi tidak pernah lebih dari tujuh hari. Dan penglihatan seperti apa yang biasa dilihatnya? Jawabannya adalah akhir dari kehidupan seseorang. Detik-detik sebelum jiwa itu terlepas dari raganya. Detik-detik dimana hari esok dicabut dari hidupnya. Tidak ada lagi matahari pagi untukknya besok. Hanya kematian. Bukan pemandangan yang menyenangkan pastinya. Dan karena alasan itu lah dia menghargai masa depan lebih dari apapun.

Lalu kalau ditanya apakah dia bisa melakukan sesuatu untuk merubah masa depan. Cowok berambut putih yang bisa dipanggil Shiro itu menjawab dengan mengangkat kedua bahunya sekali. Dia tidak tahu. Tidak banyak orang yang mau percaya. Kebanyakan menganggapnya gila. Di abad 21 seperti ini ketika kekuatan supranatural di gantikan oleh kekuatan ilmu pengetahuan. Dimana orang-orang lebih menyukai sesuatu yang bisa dipecahkan oleh logika dan teori-teori daripada sesuatu yang diluar nalar mereka. Karena pergeseran pola pikir seperti itu, penglihatannya selalu diabaikan. Lalu bagaimana dengan masa depan? Tidak akan ada yang berubah jika individu-nya sendiri tidak mau merubahnya.

Hanya segelintir orang yang mempercayainya. Belum tentu sepuluh banding satu. Lalu bagaimana dengan nasib mereka yang mempercayainya. Apa nasib mereka akan berubah? Sepanjang ingatan Shiro hanya ada dua orang. Yang lainnya menjemput ajal mereka seperti yang dilihatnya. Dan yang lainnya lagi, dia tidak pernah bertemu mereka lagi. Dari dua orang itu, yang satu adalah mantan ceweknya yang menganggapnya gila. Dan yang satu lagi seorang detektif muda bernama Ise Nanao. Cewek berkacamata yang punya IQ sedikti lebih tinggi darinya. Yang meski hanya berbeda beberapa tahun darinya tapi sudah berhasil memecahkan berbagai kasus pembunuhan. Meskipun beberapa kasus yang dia pecahakan adalah berkat bantun Shiro. Seperti saat ini, ketika dirinya ditugaskan untuk mencari tahu siapa dalang di balik kelompok terorisme yang menamakan dirinya Jehova SEED.

Sepucuk surat melalui jasa paket kilat sampai di kantor polisi kemaren pagi. Sebuah surat ancaman. Hanya selembar saja dalam bentuk print out yang di cetak dengan mesin printer laserjet. Semula tidak ada yang menghiraukan sampai datang telpon misterius tadi malam yang menyatakan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas teror yang akan terjadi sepekan kedepan. Kepolisian mulai panik, tentu saja, sampai-sampai dia harus menarik Nanao dibagian kriminalitas. Ditambah lagi pagi tadi ditemukan mobil van yang digunakan untuk kasus pencurian kemaren siang di sebuah gudang di pinggiran kota. Semua pelakunya tewas dengan tembakan di kepala. Dan lagi tidak ditemukan adanya tanda-tanda perlawanan. Sedangkan hasil jarahan mereka hilang tidak berbekas. Uang dengan jumlah luar biasa banyak. Yang angka nol-nya berjumlah lebih dari sembilan. Pihak kepolisian berspekulasi pelaku kejahatan tersbut adalah para anggota teroris Jehova SEED. Selain fakta diatas dan beberapa sketsa wajah anggotanya tidak ada yang mereka ketahui.

Disaat buntu begini, Nanao selalu mencari Shiro. Dia mungkin satu-satunya orang di dunia ini yang menganggap kemampuan Shiro adalah sesuatu yang nyata bukan imajinasi liar orang gila. Dan seperti pertemuan-pertemuan lainnya di tempat yang selalu sama, saat ini Shiro sedang menatapnya kesal. Tiga gelas kopi berserakan diatas meja yang menandakan dia sudah menunggu lebih dari tiga jam.

"Maaf aku terlambat. Banyak kejadian tak terduga," Nanao mengatupkan kedua tangannya di depan dada lalu menundukkan kepalanya sebelum menarik kursi dan duduk.

"Aku tahu," balas Shiro dingin. Dia memang kesal. Tapi mau bagaimana lagi. Yang bisa dia lakukan paling hanya pasang tampang kusut dan memaksa Nanao membayar semua makanan dan minumannya.

"Lagi-lagi menghabiskan kopi sebanyak ini!" Nanao mengeluhkan kebiasaan buruk Shiro sebagai pecandu kopi berat apalagi dia punya sakit maag berat.

"Mau bagaimana lagi! Memang gara-gara siapa aku harus duduk disini selama tiga jam!" balasnya sengit.

"Ya, maaf, tapi apa nggak bisa minum yang lain?"

"Sudahlah, cepet katakan apa keperluanmu!" meski bekata begitu Shiro bisa menebak dia pasti memintanya untuk mlihat masa depan seseorang. Sesuatu yang menyebalkan. Karena permintaan Nanao sering kali diluar kemapuannya. Dan meskipun gadis itu tahu batas kemampuan Shiro, tetap saja dia mengulang dan mengulang lagi.

Nanao mengeluarkan beberapa lembar kertas HVS dari dalam tas kerjanya. Dia lalu menata setiap lemba kertas dengan sketsa wajah di atas meja satu persatu sambil menyingkirkan cangkir-cangkir kosong.

Shiro melihat satu persatu setiap wajah yang terlukis daiatas ketas putih tersebut. Dia sudah bisa menebak, Nanao pasti memintanya mencari tahu siapa pelaku kejahatan.

"Tolong lihat masa depan mereka satu persatu," pinta Nanao setelah selesai menata setengah lusin kertas diatas meja yang kecil itu hinggal setiap wajah para pelaku terlihat jelas.

Shiro mendengus kesal. Nanao tahu meramal nasib seseorang lewat sketsa wajah jelas mustahil tapi tetap saja dia memintanya!

"Harus kukatakan berapa kali, aku tidak sanggup! Kalau mau minta tolong, bawa orang aslinya kemari. Bukan gambar wajahnya! Kau tahu kan batas-batas kemampuanku! Aku hanya bisa meramal masa depan seseorang bila berhadapan langsung dengannya! Dan itu pun bukan sesuatu yang bisa kukendalikan sesukaku! Kemampuan itu datang begitu saja! Aku tidak bisa menentukan siapa yang mau kuramal. Tapi mereka sendiri yang menunjukkan padaku! Paham!"

Nanao mengangguk-angguk. "Aku tahu! Tapi setidaknya cobo lah dulu. Coba kembangkan kemampuanmu itu!" bujuk Nanao, rayuan yang sama setiap kali Shiro menolak membantunya.

"Oke kucoba. Tapi jangan berharap terlalu banyak!" Shiro memungut setiap lembar kertas dan memasukkan semua lembaran itu ke dalam tasnya dengan paksa.

"Makasih," Nanao tersenyum puas.

Yah begitulah cowok bernama Hitsugaya Toushiro. Biarpun suka marah-marah, terkadang ucapannya juga setajam silet, tapi hatinya tetap baik. Meskipun tahu tidak mungkin tetap saja dia mau membantu Nanao. Nanao sendiri paham dengan jelas kelemahan cowok yang suka mewarnai rambutnya dengan warna putih tersebut. Selama ini juga selalu begini. Shiro berjanji akan membantunya, dia membawa sketsa wajah pelaku, dia yakin Shiro sebisa mungkin akan mempelajari sketsa itu dan menjajal kemampuannya. Lalu entah bagaimana caranya dia akan terhubung dengan seseorang yang akan menuntunny pada si pelaku. Selalu begitu. Selama ini juga begitu. Bahkan tanpa dia sadari dengan kemampuannya dia berhasil menyelamatkan banyak nyawa. Shiro hanya tidak pernah menyadarinya. Itu saja.

"Ada urusan lain?" Shiro sudah bersiap-siap akan meninggalkan tempat.

"Kau bisa membaca masa depan seseorang yang sudah meninggal?"

"Kau ini bodoh ya? Mana mungkin mayat punya masa depan!" jawabnya ketus. "Sebenarnya kasus apa sih ini? Kenapa tersangkanya sebanyak ini?"

"Hanya pembunuhan biasa," balas Nanao sedatar mungkin, sayangnya sebagai polisi dia tidak pandai berakting. Ekspresi wajahnya jelas-jelas menunjukkan ini kasus besar.

"Kalau hanya pembunuhan biasa, tidak mungkin kau datang padaku. Kau hanya akan datang jika kemungkinan pelakunya mati hampir seratus persen! Mereka para pembunuh berdarah dingin yang tidak takut mati. Bukan pembunuh kelas teri yang membunuh secara spontan tanpa perencanaan."

Nanao diam tidak menjawab. Ini kasus besar. Tidak boleh bocor. Bisa dibayangkan bagaimana kalau masyarakat tahu dalam kurun waktu kurang dari enam hari lagi kota ini akan dicekam terror.

"Kalau kau menolak memberitahu, aku tidak mau membantumu!"

Nanao menghela nafas, pasrah. Dia tidak punya pilihan. Dia merogoh tasnya dan mengeluarkan selembar kertas. Dengan tangannya dia memberi isyarat pada Shiro supaya lebih mendekat sambil mengamati keadaan sekeliling.

Shiro menggeser kursinya hingga jarak mereka berdu sekarang sangat dekat. Pelan-pelan Nanao meletakkan kertas tersebut di pangkuannya dan membuka lipatan kertas itu. Dua buah kalimat ditulis dengan huruf capital dengan ukuran cukup besar tercetak diatasnya.

KAMI AKAN MENGHADIRKAN PANGGUNG KEMATIAN DI KOTA INI MINGGU DEPAN. SELAMAT MENIKMATI!

Dahi Shiro berkerut bingung. Nanao buru-buru melipat kembali kertas tersebut dan memasukkannya ke dalam tas.

"Surat kaleng dari orang iseng?"

"Semula kami juga berpikir begitu. Sampai ada telpon yang dari seseorang yang menamakan dirinya Jehova SEED. Dan keyakinan kami semakin kuat bahwa surat ini bukan surat ancaman dari orang iseng karena tadi pagi ditemukan mayat para pelaku perampokan bank kemarin." Nanao berkata setengah berbisik. Suranya cukup pelan, hanya Shiro sendiri yang mampu mendengarnya.

"Jehova SEED? Aku belum pernah dengar."

"Tidak pernah di ekspose lebih tepatnya. Kelompok ini sudah ada jauh sebelum aku bergabung di kepolisian. Tim anti terror, SATU, menempatkan mereka di urutan paling atas daftar terrois berbahaya. Berkat kerja keras tim SATU gerakan Jehova SEED bisa ditekan. Sebenarnya sudah dua tahun mereka menghilang, lalu kemaren, tiba-tiba saja muncul kembali."

"Tunggu-tunggu, Apa itu SATU? Lalu sejak kapan urusan terror meneror jadi urusanmu?"

"Special Anti Terrorism Unit. Unit khusus dan rahasia yang memberantas teroris. Aku saja baru tahu ada unit ini tadi pagi. Dan baru tadi pagi aku diseret ke unit ini. Paham?"

"Oh…." Shiro mengangguk beberapa kali. Dia mulai paham garis besar masalah ini. Mau apapun namanya teroris juga punya gaya. Dan yang lagi nge-trend saat ini adalah bom bunuh diri. Nanao mungkin juga berpikiran sama dengannya. Karena itu dia dipanggil. Salah seorng dari mereka akan melakukan tindakan bunuh diri. Dan tugasnya mencari siapa pelaku bom bunuh diri tersebut. "Tapi apa tidak terlalu cepat menyimpulkan kalau semua ini bukan kerjaan iseng orang nganggur?"

Nanao mengangkat kedua bahunya, "Aku juga ragu, tapi kata tim SATU begitu. Aku bisa apa! Memangnya aku mau, pagi-pagi buta disuruh datang ke kantor dan dipaksa bergabung dengan tim entah berantah itu! Pekerjaanku juga masih banyak."

"Sepertinya berbahaya," komenar Shiro untuk dirinya sendiri. Dia mulai ragu membantu Nanao.

"Ayolah, sejak kapan kau jadi pengecut begitu! Ini demi kebaikan kita semua kan? Bagaimana kala kau juga mencoba membaca masa depanmu!"

Shiro berdiri dari kursinya, pasang tampang cemberut sebelum pergi meninggalkan Nanao yang terbengong-bengong. "Aku pulang!" Nanao sudah tahu dia hanya bisa membaca masa depan orang lain bukan dirinya sendiri, tapi tetap saja dia katakan, bikin emosinya memuncak.

.
.

May, 16

"Tolong!"

Wanita berrambut merah itu berlari ketakutan sambil memegang lengan kanannya yang berlumuran darah. Dia berlari keluar dari sebuah gedung perkantoran yang hangus terbakar dengan kaca-kacanya yang pecah dan berserakan di lantai. Asap hitam mengepul dari setiap lubang yang ada.

BRAK!

Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabrak wanita tersebut dan membuatnya terpental hingga beberapa meter. Darah keluar dari kepalanya. Jantungnya sempat berdetak beberapa kali sebelum semunya berakhir dalam kesunyian.

Shiro tersadar. Dia baru saja berpapasan dengan seseorang semenit yang lalu. Wanita awal tiga puluhan. Rambut merahnya tertiup angin. Tanpa sengaja rambut itu menyentuh wajah Shiro. Wanita itu hanya sekedar membetulkan rambutnya yang indah sambil tersenyum malu pada Shiro. Dan saat itulah dia melihat kehidupan wanita itu selama empat hari kedepan dan kematian menjemputnya di hari ke lima. Shiro hanya butuh waktu semenit untuk melihat semua itu. Dan saat berada dalam pengelihatan, dirinya seperti mayat hidup dengan pandangan mata kosong. Tubuh kaku dan tidak merespon apapun. Saat tersadar wanita berambut merah itu sudah menghilang dari pandangannya ditelan lautan manusia yang sibuk lalu lalang.

Sejak pagi dia terus menerus mendapat penglihatan yang tidak menyenangkan ini. Mau tidak mau dia mulai percaya dengan perkataan Nanao. Kelompok terroris bernama Jehova SEED itu memang ada dan mereka akan menyebarkan mimpi buruk lima hari kedepan.

Sudah lima penglihtan dia dapatkan. Semuanya menggambarkan keadaan yang sama. Sayangnya dari kelima penglihatan itu tidak satupun yang memberikan gambaran jelas. Dia hanya bisa menerka dimana saja terror tersebut akan tersebar.

Shiro buru-buru mengeluarkan HP berbentuk flip dari saku celananya. Dia menekan deretan angka tanpa melihatnya. Lalu menempelkan telpon itu ke telinga kiri. Dia cukup menunggu sebanyak satu nada sambung.

"Ah halo, Nanao ini aku!" katanya langsung begitu telpon tersambung. "Aku menemukan satu tempat baru. Gedung perkantoran di blok tiga."

Dia menunggu sebentar, terdengar suara Nanao yang berteriak dan bunyi berdenyit ujung boardmarker yang bergesekan dengan papan tulis.

"Gedung niaga yang berhadap-hadapan dengan lampu traffic light. Warna gedungnya putih dengan ornament berwarna biru. Maaf aku lupa namanya. Nanti aku coba mampir ke sana. Sepertinya aku kenal gedung itu, lalu…."

Bruk!

Seseorang menabrak Shiro dari belakang. Shiro yang tidak siap nyaris terjatuh. Untungnya dia punya keseimbangan yang cukup baik. Sial, HP yang dipegangnya terjatuh di trotoar.

Shiro menunduk untuk memungutnya sambil berteriak, "Hey! Pakai mata kalau ja…..!" orang yang tadi menabrak berbalik dia meminta maaf dengan bahasa tubuhnya dan saat itu juga pandangan mata Shiro kosong.

Lagi-lagi dia melihat sosok gadis yang tadi menabraknya sedang berlari terburu-buru. Dia kembali menabrak seorang jompo, untung saja tangannya cukup sigap memopang tubuh rapuh tersebut sebelum bersentuhan dengan aspal. Dia langsung meminta maaf dan kembali berlari. Tapi lagi-lagi dia menabrak seorang pemuda, membuat tupukan kertas yang dicepit dengan lengannya jatuh berhamburan. Gadis itu meminta maaf sambil memungut lembaran kertas yang berserakan. Setelah yakin semuanya terkumpul dia kembali berlari menuju zebra cross. Lampu lalu lintas masih menyala merah. Dia melambaikan tangannya pada seseorang di sebrang sana. Seorang lelaki tampan membalas lambainnya lalu membetulkan posisi kacamata. Gadis cerobah itu langsung menyebrang. Dia tidak melihat angka digital yang sudah menunjukkan angka satu, angka yang menandakan sebentar lagi lampu akan berubah hijau dan para pengendara akan saling berpacu. Saat dia tersadar semua sudah terlambat. Sebuah bis melaju kencang ke arahnya. Sopirnya terlihat panik. Bis tersebut berhenti, tapi sayang terlambat sedetik. Kecelakaan itu tidak terelakkan.

Lalu lintas mulai kacau. Semua yang melihat kejadian tersebut berbondong-bondong mengampiri gadis tersebut yang kini bersimbah darah. Dia masih bernafas. Pemuda berkacamata itu juga ikut menghampirinya. Dia berlari meyebrang menerobos kerumunan. Mata mereka saling beradu pandang. Dengan gesit pemuda berkacamata itu mengambil sesuatu dari tangan korban. Lalu setelah itu pergi meninggalkannya. Gadis itu berusaha berteriak, memanggil pemuda tersebut, sayang suara tidak keluar dari mulutnya yang ada dia justru menghembuskan nafas terakhir.

Shiro kembali tersadar dari penglihatannya. Matanya sibuk mencari sosok gadis dalam penglihatannya barusan. Kalau bergegas mungkin dia masih sempat menyelamatkan gadis tersebut.

Ketemu! Dia berdiri disana sedang melambai pada pemuda yang ada disebrang jalan.

"TUNGGU! JANGAN MENYEBRANG!" teriaknya keras sambil berlari. Dia tidak peduli dengan tatapan bingung disekitanya. Shiro terus berlari. Tapi sehebat apapun dia. Dia hanya manusia. Kematian tidak dapat dia hindari. Di depan mata, sekali lagi, dia melihat adegan saat ajal menjemput gadis itu. Lalu semua terjadi persis seperti yang dilihatnya.

Ketika dia sampai disana, pemuda itu sudah menggengam sesuatu ditangannya dan pergi meninggalkan ada yang bisa Shiro perbuat. Kadang dia juga merasa kekuatannya tidak berguna. Dia tidak bisa mencegah kejadian naas tersebut. Dia berdiri disana seperti orang linglung, hanya dia sambil mengamati hirup pikuk manusia yang kebingungan. Dia memang sering melihat ajal menjemput seseorang, dalam penglihatannya. Tapi baru kali ini dia melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.

Tunggu! Rasanya aku pernah lihat pemuda itu! Tapi dimana?

Shiro coba mengingat-ingat. Wajahnya mirip seseorang. Dan dia yakin baru saja melihatanya.

Ah! Dia kan… Shiro buru-buru membuka tas dan menumpahkan semua isinya ke trotoar. Dia mencari enam lembar sketsa wajah yang kemarin diberikan Nanao. Tidak ada! Sial! Kemana aku menaruhnya! Kemana disaat penting begini justru tidak ada!

Putus asa, akhirnya dia kembali membuka flip HP nya dan menekan tombol redial.

"Ah Nanao, bisa kirimkan aku sketsa wajah pelaku sekarang juga!"

Sambungan terputus. Shiro menunggu sebentar. Matanya terus mengamati layar HP sampai akhirnya tanda datangnya email baru muncul. Buru-buru dia membuka dan mengamati setiap gambar yang baru saja dia terima.

"Ini dia!" lagi-lagi dia mencari fungsi redial di HP dan menekannya. "Kurasa aku melihat seseorang yang mirip dengan sketsa gambar yang kamu berikan!" katanya gugup.

"Tetap ditempatmu! Aku akan segera kesana!" teriak Nanao di ujung sana. Tanpa menutup telponnya dia sudah berteriak memerintah beberapa orang untuk ikut bersamanya.

"Nanao!" teriak Shiro. Dia tahu kalau dia berteriak Nanao pasti masih bisa menedengarnya.

"Aku segera kesana!"

"Jangan lupa kirimkan juga tim forensik!"

"Hah?"

"Aku ceritakan detailnya setelah kamu sampai!" Shiro menutup telpon. Sekarang yang bisa dia lakukan hanya satu, berada di dekat korban. Memastikan semua barang-barang korban aman, tidak ada lagi pemuda atau siapapun yang datang mendekat dan mengambil sesuatu dari korban, sampai tim forensik tiba dan mengambil alih semua.