| Slow Dance |
Disclaimer : all characters that's Masashi Kisimoto own
Genre : romance/drama
Rate : Mature
PROLOG
| STARTING |
Maafkan untuk segala bentuk typo ataupun kesalahan lainnya.
Saya akan sangat senang dan mengghargai jika kalian berkenan memfollow, mereview dan memvote jika kalian menikmati setiap cerita yang saya tulis.
Terima kasih..
SELAMAT MEMBACA
SLOW DANCE
HEXE & ICHIMACCHAN_
"Ini akan menjadi simbol bahwa kita adalah satu."
Iris jade dan onyx itu terlihat berkerlip di bawah sinar remang lampu kamar. Kerlipan mata juga terpancar lebih terang dari satu-satunya bocah perempuan yang kini tersenyum dengan lebar kearah dua bocah laki-laki didepannya.
"Gelangnya terlihat bagus, Hicchan."
Jemari milik bocah onyx mempermainkan gelang di tangan, mengabaikan lirikan pekat dari sudut mata milik sang Owl. Kerlipan sepasang iris amethyst itu semakin terang kala si bocah bersurai hitam memuji hasil pekerjaannya.
"Benarkah?"
"Ouji, gelang ini tidak bagus."
Bocah bersurai merah darah itu tampak meneliti alfabet yang terukir di bagian tengah dari gelang tersebut, sedetik kemudian iris jadenya menatap kagum kearah bocah perempuan yang sudah terlihat murung karena ucapannya barusan. Ia menambahkan dengan sudut bibir melengkung simpul senang.
"Tapi ini sangat, bagus."
Kerlip sedih yang menggenang di iris amtehyst itu kini lenyap –sang Ouji yang hendak kesal mengurungkan niatnya, hanya menghela napas dan menatap puas pada dua teman yang telah seperti darahnya sendiri. Dengan gerakan yang tiba-tiba, Hicchan berdiri dan mengangkat tangan. Gigi-gigi susu berderet rapi dalam senyum gembira, bola mata sejernih mutiara itu menatap jade dan onyx bergantian.
"Berdansa untuk minggu malam pertama kita!"
Lengking suara yang malah mirip seperti cicitan itu mengudara di dalam kamar yang ditempati oleh 10 anak lain yang telah terlelap dalam mimpi. Tidak ada respon berarti dari kedua bocah lelaki tersebut. Hanya ada tatapan bingung yang terlukis di masing-masing wajah, sampai pada akhirnya jemari kecil nan lentik menarik lengan dua bocah lain dan mengajak mereka untuk berdiri.
Ketika lantunan nada acak mulai disenandungkan Hicchan, pemilik iris onyx menyela.
"Mengapa harus minggu malam, Hicchan?"
Tatapan polos menghujam. "Karena ini hari Minggu, dan ini sudah malam."
Suara tawa merendahkan menyusul di detik berikutnya. Sang Owl bergerak menjauh seraya memperbaiki pajama yang kusut. "Kenapa kau masih bertanya, Ouji?"
Ouji berkedip dua kali, menghilangkan bingung yang melanda.
"Ah, ya. Kalian benar." Ouji tersenyum sedikit, tangannya terangkat untuk menggaruk belakang kepala.
Ketika melihat salah satu dari mereka beranjak, Hicchan menarik pajama sang Owl yang memang berniat menjauh. Wajahnya terlihat cemas dan ingin menangis.
"Owl, kau mau kemana?"
Owl menoleh, melirik sekilas pada pajama nya yang ditarik kemudian bocah bersurai merah itu memiringkan kepala. "hanya mengambil beberapa jus di dapur, untuk pelengkap."
Meskipun jawaban telah terucap, tarikan itu tak kunjung lepas. Justru remasan jemari pada kain pajama kian menguat, Ouji berjalan mendekat, tidak suka merasa diabaikan. Owl mengerutkan keningnya keheranan.
"Kenapa kau terlihat ingin menangis, Hicchan?"
Ouji yang mendengar pertanyaan itu lekas memegang kedua sisi wajah Hicchan untuk memastikan. Setelah menatap amethyst yang berkaca-kaca, Ouji membalikkan badan. Tatapan tajam dilayangkan pada sang Owl yang masih tidak mengerti atas apa yang terjadi.
"Ini semua salahmu! Kau membuat Hicchan menangis!"
Jari telunjuk tidak segan mengacung untuk menghakimi, rasa tidak terima menyeruak hebat dalam benak bocah Owl itu kemudian seruan tidak suka mulai berhamburan.
"Kenapa kau menyalahkanku?! Aku tidak tahu kenapa Hicchan jadi seperti itu!"
Isakan kecil di tengah cekcok dua bocah itu memecah atmosfer. Dua bocah laki-laki itu terdiam, tanpa pikir panjang langsung memberi pelukan hangat meskipun lirikan menuduh masih saling beradu. Hicchan terisak diantara dua tubuh yang menjepitnya.
Dengan suara serak yang terputus, bocah perempuan itu berterus terang.
"aku tidak pernah mengharapkan tentang minggu malam yang hanya menyisakan satu, atau dua diantara kita bertiga."
Kalimat yang penuh dengan makna sukar itu terucap dengan ajaib dari sumber tangis. Baik Owl maupun Ouji tidak ada yang mengerti dengan pasti, yang mereka cemaskan hanyalah tangis Hicchan, bukan alasan dibalik jemari Hicchan yang telah memerah saking kuatnya genggaman. Suara menghentak dari langkah kaki yang mendekat tidak sempat mereka hiraukan. Pintu kamar terbuka, menampilkan siluet wanita tua berpakaian sister dengan satu tangan ditaruh di pinggang.
Owl berpikir bahwa malam ini akan terjadi kebisingan besar.
"Apa yang kalian lakukan malam-malam begini?!"
Ah, suara nenek Chiyo yang menggema menguraikan semuanya.
BERSAMBUNG
