Title: Sugar

Cast: Xi Luhan, Oh Sehun, Wu Kris, Kim Jongin, DLL(OC)

Rate: ?

Genre: Romance

Disclamer:

Luhan punya Sehun, dan Sehun punya Luhan.

.

.

.

Alur amburadul, Typos dimana-mana, gaje, EYD berantakan. Tidak menerima kritikan dan saran karena hanya menyalurkan ide dan bukan untuk mengembangkan bakat. Btw ceritanya agak miri ama novel yang pernah aku baca judulnya sama tapi di ff ini udah alurnya aku bedain wkwkkw

.

.

.

.

.

.

Luhan yakin, pagi itu ia bangun lebih awal dari pada biasanya dikarenakan hawa dingin sialan yang entah dari mana datangnya terasa begitu menusuk tubuhnya yang kecil. Masih dengan menutup matanya, Luhan menggulung tubuhnya seperti bola dalam balutan selimut tebal. Tapi tetap saja, sialan! Luhan meruntuk karena tak sedikitpun kehangatan ia dapatkan. Malah sekarang semakin dingin saja. Selimutnya bahkan sudah sama inginya dengan angin sepoi-sepoi yang kini menghembus helaian coklat miliknya—tunggu? Angin?

Luhan membuka matanya cepat. Bola mata rusanya mengedar kesekeliling kamarnya yang tentu saja rapi sekali karena setiap hari dibersihkn oleh pelayan kepercayaan keluarganya. Matanya berhenti pada jendela disamping tempat tidurnya yang terbuka? Padahal seingatnya semalam sudah ia tutup rapat. Oh sial! Luhan mengumpat seraya beranjak dari tempat tidurnya untuk menutup jendela sialanya yang sudah membuatnya hampir mati kedinginan. Luhan menunduk untuk mencari sandal berbulunya yang biasa ia gunakan untuk melindunginya dari lantai yang dingin tapi pagi ini benda kesayanganya itu tidak ada dibawah kolong tempat tidur. Luhan baru ingat semalam ia meninggalkanya didepan tv karena sudah mengantuk Luhan lupa membawanya lagi kekamar. Oh sial! Dengan enggan, Luhan menapakkan kakinya dilantai kamarnya yang dingin. Berjinjit-jinjit pemuda cantik itu menghampiri jendela. Baru beberapa langkah, keningnya berkerut heran mendapati telapak kakinya basah oleh cairan yang lengket? Uhm… ?

Luhan menunduk untuk melihat apa yang diinjaknya. Keningnya berkerut heran ,dia tak yakin untuk menyerbut benda lengket itu tapi setahunya itu adalah lumpur—eh bukan bercak kaki berlumpur dilantai kamarnya. Seseorang telah masuk kekamarnya semalam! Luhan panik, ia menatap sekeliling kamarnya dengan was-was. Kamarnya masih seperti terakhir kali ia lihat sebelum tidur, tidak ada yang berkurang. Ponselnya masih ditempat semula, semua property dikamarnya juga masih utuh dan rapi. Luhan memeriksa tubuhnya sendiri, tidak ada tanda-tanda kekerasan apapun. Lalu siapa yang masuk kekamarnya semalam? Apa mungkin Baekhyun? Sepupunya itu memang usilnya kerterlaluan. Bisa jadi ini memang ulah sepupunya. Tapi Luhan ragu, apa Baekhyun senekat itu memanjat lantai 2 rumahnya hanya untuk menngerjainya di jam –Luhan melirik nakas dimana terdapat jam weker—3 pagi?

"Aku benar-benar akan membunuhmu Baek!" Gumam Luhan kesal.

Pemuda dengan mata rusanya mengikuti jejak kaki itu dan bola matanya melebar mendapati jejak kaki penuh lumpur itu berhenti didepan lemari miliknya. Luhan menahan napas, ada seseorang didalam lemarinya sekarang. Itu pasti Bekhyun—Baekhyun! Luhan merapalkan kalimat itu berulang-ulang. Dia benar-benar harus melaporkan keusilan Baekhyun kali ini pada ibunya. Ini benar-benar sudah kelewatan! Luhan berjalan dengan langkah lebar menuju lemarinya. Ditariknya gagang pintu lemari itu tapi ternyata tidak bisa? Terkunci?

Matar rusa Luhan mengedar, kunci lemarinya masih utuh ditempat semula.—dinakas. Luhan buru-buru menyambar kunci itu dan dengan tak sabar memasukkanya kelubang kunci. Terdengar bunyi 'ceklek' ketika lemari akhirnya dapat Luhan tarik.

"Baek, becandamu kali ini keterlaluan—"

"Boo!"

"WAAAA!"

Luhan refleks terjengkang dengan tidak elitnya mendapati seraut wajah tiba-tiba menyembul dari sela pakaiannya yang digantung.

Jantungku Oh! Luhan menyentuh tepat dimana jantungnya berdetak bertalu-talu karena tak siap dengan kejutan barusan.

"Bhahaha~" Sosok yang tadi berhasil membuat Luhan terlihat seperti orang bodoh tertawa terbahak melihat wajah pucat pasi Luhan. Luhan benar-benar ingin membunuh siapapun yang tengah menertawakanya sekarang.

"Baek kau—" Luhan mengerjap, masih dengan posisinya yang duduk dilantai dia menatap kebingungan pemuda tampan yang tengah tertawa didalam lemarinya. Pemuda itu bukan Baekhyun—sepupunya. Siapa dia?

"Ma-" Luhan menunjuk tepat pada pemuda itu dengan jarinya dengn ekspresi ketakutan. Pemuda itu menatap Luhan dengan iris melebar mengetahui kata apa yang akan Luhan teriakkan selanjutnya.

"Mali—mfhhhh…" Sebuah tangan panjang sudah membekap mulut kecil Luhan. Pemuda itu meronta ketika tubuhnya diseret masuk kedalam lemari. aku akan mati! Aku akan mati! Teriak Luhan dalam pikiranya yang kalut.

Luhan meronta sekuat tenaga agar bisa lepas, tapi tenaga dari sosok itu dengan miliknya tidak sebanding. Tubuhnya kurus kering dan milik sosok itu berotot bahkan Luhan yakin sosok itu lebih tinggi darinya.

"Diam!" Perintah sosok pemudda itu tapi tak Luhan indahkan bahkan pemuda mungil itu makin ganas meronta minta dilepaskan.

"Jika kau tidak berhenti meronta aku benar-benar akan memperkosamu." Ujar sosok itu tepat ditelinga Luhan.

Luhan membantu mendengar ancaman itu. Tidak! Lebih baik dia mati dari pada membiarkan tubuhnya dijamah oleh psikopat yang sedang menawanya sekarang. Tubuhnya sudah tidak lagi bergerak-gerak mencoba meloloskan diri, ia tampaknya sudah pasrah dengan apa yang mungkin menimpanya setelah ini.

"Apa maumu sialan?!" desis Luhan penuh kekesalan ketika tangan pemuda itu tak lagi menahanya untuk bicara. Sosok dibelakangnya terkekeh. Memeluk pinggang ramping Luhan semakin erat. Luhan menggigil merasakan kulit dingin pemuda itu membungkus tubuhnya yang kecil.

"Apa kau marah?"

Luhan mendengus mendengar pertanyaan pemuda itu. Luhan memutar tubuhnya agar bisa lebih jelas melihat rupa orang dibelakangnya yang ternyata sangat tampan tapi seingatnya baru pertama kali ia melihat sosok itu. Luhan tak mengenal pemuda itu.

"K-kau? Siapa kau?" Tanya Luhan kebingungan.

Senyum tampan mengembang diwajah pemuda itu, Luhan dalam hati mengaguminya.

"Aku? Kris."

Luha mengerjap, "Aku tidak mengenalmu Kris."

"Mm-mm.." Kris mengangguk mengiyakan, Luhan yakin bahwa Kris tengah menggodanya sekarang.

"Apa kau mengenalku?"

Kris terkekeh, "Oh Luhan, siapa dikota ini yang tidak mengenalmu dan keluargamu hm?"

Luhan meringis menyadari kebodohanya barusan. Benar apa yang dikatakan oleh Kris. Keluarganya sangat terkenal dikota ini karena termasuk dalam salah satu keluarga terpandang di Seoul bahkan mungkin di Korea sendiri.

Luhan mengamati Kris yang masih tersenyum tampan padanya, "Kau tidak tampak seperti orang jahat—" Kau tampak seperti model, Luhan menyimpan kalimat terakhir itu dalam kepalanya.

"Memang bukan." Kris membenarkan.

Luhan mengembuskan napas panjang, "Jadi kenapa kau ada didalam lemariku Kris?"

"Mulai sekarang aku tinggal disini."

Iris Luhan membola, "A—APA?"

"Mulai sekarang aku tinggal disini Luhan." Ulang Kris lagi. Luhan yakin maksud dari ucapan Kris kali ini benar-benar 'AKU AKAN TINGGAL DDIDALAM LEMARIMU LUHAN'.

Pemuda yang lebih mungi menggeleng dramatis, "Kau pasti becanda."

"Atau mungkin kau ingin aku tidur diranjangmu? Berdua?"

Luhan merona membayangkanya, tangan mungilnya mendorong Kris menjauh. Pemuda tampan itu terkekeh dengan reaksi Luhan yang menurutnya menghibur.

"Bu—bukan! Kau tidak bisa tinggal disini."

"Aku bisa."

"Kau akan mati karena aku tidak akan memberikanmu makanan."

"Aku bisa makan apapun didalam sini—" Kris menggeser dinding lemari. Bola mata Luhan melebar. Oh tidak! Orang ini bagaimana mungkin dia tau tempat Luhan menyembunyikan semua harta karun berharganya?

"Coklatku!" Teriak Luhan merana mendapati harta karun berharganya kini menjadi sandera—well yeah itu hanya segudang coklat manis, susu, kue kering yang ia sembunyikan dari ibunya didalam lemari, tidak lebih! Tapi bagi Luhan itu adalah harta berharga yang sama dengan nyawanya.

"Aku bisa saja melaporkan ini pada ibumu Luhan." Kenapa sih Kris pintar sekali mengancam Luhan?

Luhan menelan ludah, "Saat itu kau akan mati Kris."

Kris terkekeh, "Kita akan mati bersama karena aku juga akan mengarang tentang hubungan kita. Bisa kau bayangkan bagaimana nasibmu jika ibumu tau tentang ini?" Ujar Kris menyeringai dan Luhan bersumpah dia mengutuk seringai Kris barusan karena walaupun itu menyebalkan tapi tetap saja tampan.

Luhan yakin dirinya akan mati pelan-pelan setelah ini, "Oke Fine! Kau menang Kris! Kau bisa tinggal disalam lemariku. Tapi jangan bocorkan ini pada ibuku."

"Dan kau juga masih harus membantuku Luhan."

Kening Luhan mengernyit, perasaanya mendadak tidak enak mendengar kata 'bantuan' dari Kris, "Bantu? Apa yang kau maksud?"

"Berjanjilah." Kris mengulurkan tanganya.

Luhan menggigit bibir seraya menatap tangan itu lama.

"Oh ayolah.. aku tidak akan mencelakakaknmu. Aku janji." Ujar Kris yang mulai merasa tanganya keram.

Luhan pelan-pelan mengangkat tanganya, ragu-ragu ia menjabat tangan Kris yang kini tersenyum lebar.

Well—Luhan harap ini tidak akan berakhir buruk?

.

.

.

Pukul 10.00 AM—Luhan yakin dirinya sudah sangat telat untuk mengikuti kuliah paginya hari itu. Tentu saja, kuliah pagi ini dimulai setengah 10, artinya sudah hampir setengah jam Luhan telat dari mata kuliah pentingnya dan kesialanya bertambah dengan jalanan yang macet padahal itu merupakan jalan tol harusnya kan bebas macet.

"Pak ada apa ini kenapa macet?" Tanya Luhan kesal karena mobilnya tak kunjung bergerak.

"Maaf Tuan Luhan. Tapi hari ini macet karena sedang ada pencarian orang yang semalam terjun dari jembatan." Jawab Pak Kim—supir pribadi Luhan.

Luhan mendengus kesal. Sialan! Siapa sih orang bodoh yang terjun dari jembatan? Sungguh Luhan mengutuk orang itu tidak tenang dialam baka karena sudah membuat banyak orang tertimpa sial karena tindakan bodohnya.

"Siapa yang terjun dari jembatan pak?"

"Entahlah tuan. Saya juga tidak tau. Orang-orang membicarakanya pagi ini."

Luhan menghela napas, berusaha membuang kekesalahanya. Tubuhnya ia sandarkan merapat pada kursi mobil yang ia duduki. Kepalanya terasa akan meledak sekarang, semuanya ini gara-gara Kris yang membuat jatah tidurnya berkurang karena obrolan mereka tadi pagi yang berakhir dengan Luhan tidur lagi tapi bangun kesiangan.

Ponsel Luhan bordering, kening pemuda cantik itu berkerut samar mendapati telpon itu dari ibunya.

"Ibu?"

"Dimana kau sekarang?"

"Aku hari ini ada kuliah."

"jam berapa kau selesai?"

"Entahlah.. mungkin 3 sore?" Jawab Luhan tak yakin.

"Segera pulang. Hari ini kita kedatangan tamu."

"Iya."

Telpon terputus. Luhan menatap ponselnya dengan bingung. Merasa heran tiba-tiba ibunya menyuruhnya pulang cepat. Biasanya wanita itu tidak peduli pada Luhan. Ibunya lebih peduli dengan urusan perusahaan dari pada anak semata wayangnya. Sudah sejak lama ibunya lebih mementingkan perusahaan ketimbang Luhan, bahkan kepulangan ibunya kerumah dalam setahun bisa dihitung dengan jari. Luhan berusaha memakluminya, walaupun terkadang ia merasa kesepian karena tidak mempunyai seorangpun teman untuknya bicara karena lagi-lagi sang ibu melarangnya untuk berteman dengan siapapun kecuali sepupunya Baekhyun. Luhan hanya bisa berharap kepulangan ibunya kali ini bukan membawa kabar buruk untuknya karena dari suara ibunya Luhan yakin wanita itu terdengar mendesak.

.

.

.

"Luhan!"

Luhan baru saja turun dari mobil seketika menoleh pada asal teriakan itu. Byun Baekyun sepupunya yang manis dan ceria sudah berlari menyambut kedatanganya dengan pelukan hangat.

"Cukkae~" Gumam Baekyun memeluk Luhan.

Luhan melepaskan pelukanya, "Apanya Baek?"

"Kau akan menikah!"

WHA-AAATTT?

Luhan mengerjapkan mata rusanya berulang kali menatap bingung Baekyun yang masih menatapnya polos.

"Siapa yang akan menikah?"

Baekhyun menyikut perut Luhan bermaksud menggodanya, "Tentu saja kau. Siapa lagi?"

"Aku tidak—"

Baekhyun menutup mulutnya dengan ekspresi horror.

"Oh maaf! Apa aku baru saja membocorkan kejutan dari bibi? Aish! Aku akan mati." Ujar Baekhyun seraya memukul-mukul kepalanya.

"Baek apa yang kau bicarakan?"

"Uhm—Itu—ahahaha… Ops kelasku sudah mau dimulai! Aku pergi dulu bye!" Luhan hanya bisa mengerjap bingung melihat sepupunya sudah kabur entah kemana.

Menikah? Luhan merasakan firasat tidak enak tentang ini. Jangan-jangan soal telpon ibunya tadi pagi itu tentang perjodohan? Ibunya memang pernah membicarakan perihal perjodohan denganya tapi selalu Luhan hindari dan mungkinkah kali ini ibunya nekat menjodohkanya tanpa meminta persetujuan Luhan?

Ini gila!

.

.

Hari telah menjelang malam ketika Luhan akhirnya sampai dirumahnya. Mengendap-endap pemuda yang merupakan tuan rumah itu menatap sekeliling dengan hati-hati. Sebuah helaan lega meluncur, tak mendapati sosok sang ibu di ruang tamu yang mungkin siap membunuhnya hari itu juga karena Luhan –sengaja—pulang terlambat. Well yah… setelah mendengar ucapan Baekhyun tadi siang tentu saja Luhan tidak akan sebodoh itu untuk pulang tepat waktu dan mengikuti kemauan ibunya yang ia duga maksudnya sudah jelas—perjodohan—. Tidak perlu diragukan lagi kebenaranya karena berita itu dari Baekhyun. Luhan yakin sepupunya itu tau dari ibunya dan sumber dari ibunya Baekhyun sudah pasti akurat.

"Tuan." Tepukan dibahu membuat Luhan terperajat. Dadanya naik turun menatap horror Yoon Hye—35 tahun pelayan rumahnya—yang kini mengernyit melihat tuanya mengendap-endap dirumahnya sendiri.

"Bibi mengagetkanku saja." Ujar Luhan dengan suaranya sepelan mungkin. Ia tidak mau ibunya tau dia sudah pulang.

"Apa yang sedang tuan lakukan?"

"Ti-tidak ada." Luhan membenarkan posisinya yang sejak tadi merunduk.

"Apa ibu sudah pulang?" Tanya Luhan was-was.

Yoon hye mengangguk.

"Beliau ada dikamarnya dan anda diminta untuk segera kekamarnya jika sudah pulang."

"Apa dia marah?"

"Tentu saja beliau sangat marah."

Luhan menepuk dahinya. Tamat sudah riwayatmu Luhan!

"Anda ingin saya memberi tahunya sekarang bahwa anda sudah pulang atau anda ingin memberinya kejutan?"

Tidak dua-duanya, batin Luhan sengsara.

"Biar aku saja yang menemuinya langsung bi."

Yoon hye mengangguk mengerti. Luhan lantas beranjak menuju kamar ibunya dengan langkah –sangat- berat. Ragu-ragu tanganya mengetuk pintu bercat putih itu.

"Masuk."

Luhan memutar knop pintu. Kakinya bergetar kala berjalan menghampiri sosok wanita paruh baya yang duduk nyaman menyandar pada kepala ranjang.

"Dari mana saja kau Luhan?"

Luhan menelan ludahnya dengan susah payah.

"Ada jam tambahan mendadak jadi aku pulang telat bu."

Hyo rin—nama ibu Luhan mendengus mendengar penuturan anaknya. Wajahnya yang tadi sudah tak bersahabat makin terlihat menakutkan dimata Luhan.

"Kau sekarang berani berbohong pada ibu?" Suaranya benar-benar lembut tapi penuh dengan ancaman dan intimidasi.

"Maaf bu."

Hyo rin menghela napas lelah.

"Jelaskan kenapa kau melakukan hal seperti tadi? Kau tau? Kau sudah membuat ibu malu Luhan!" Ibunya kali ini berteriak dan Luhan tak kuasa untuk tak memejamkan mata mendengar suara menggelegar ibunya yang mungkin sudah sampai seluruh penjuru rumah besar itu.

"A-aku hanya—uhm—tidak mau dijodohkan bu."

Hyo rin menatap anaknya dengan tatapan tak percaya.

"Jadi kau sudah tau? Siapa yang memberitahumu? Baekhyun?"

Luhan cepat-cepat menggeleng, sepupunya itu tidak boleh kena marah juga karena kesalahanya.

"Bu-bukan." Sangkal Luhan tapi telat karena ibunya itu terlalu cerdik untuk dibohongi.

"Anak itu. sudah aku bilang untuk diam."

Luhan merasakan tenggorokanya makin kering saja. Ia berharap ada lubang hitam muncul dibawahnya saat itu juga. Lebih baik menghilang dari pada menghadapi kemarahan ibunya seperti ini.

"Pokoknya, Luhan. Ibu tidak mau mendengar alasan apapun. Kau harus mau dijodohkan dengan pilihan ibu."

Luhan menelan ludahnya susah payah.

.

.

.

Brak!

Pintu kamar Luhan banting begitu saja. Dilepasnya mantel hangat yang sejak tadi dipakainya. Pemuda cantik itu melangkah lebar menuju lemarinya. Ditendangnya pintu lemari itu cukup keras, pintu lemari berderit terbuka menampakkan sosok Kris yang masih dengan baju yang kemarin duduk selonjoran didalam lemari.

"Berikan aku sebatang coklat."Pinta Luhan to the point.

Kris mengernyit, tapi menurut saja membuka sisi lemari. tangan panjangnya merogoh kedalam celah sisi lemari itu dan kembali dengan sebuah bungkusan coklat dengan kacang mede favorit Luhan. Dilemparnya makanan manis itu pada Luhan yang langsung menangkapnya dengan sigap.

Kris mengamati dalam diam Luhan yang terlihat tak sabaran membuka bungkus coklat. Menjejalkan benda coklat persegi itu kedalam mulutnya, mengunyahnya seolah-olah itu adalah keripik. Pemuda tampan dengan surai blonde itu meringis.

"Gigimu pasti mendapat perawatan tiap minggu." Komentar Kris.

Luhan mengabaikan pemuda tampan itu, lebih memilih untuk menikmati rasa manis yang lumer dimulutnya.

"Kau benar-benar seorng maniak manis ya."

"Diam!" Ujar Luhan kesal.

Kris terkekeh menddapati sidut bibir Luhan belepotan coklat.

"Kau makan seperti anak kecil. " Ujarnya seraya membersihkan sudut bibir Luhan dengan jarinya.

Luhan membeku dengan sentuhan Kris, bahkan merona ketika kris dengan santainya menjilat jarinya yang terdapat sisa coklat Luhan. Oh my god!

"Apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?"

Luhan mengerjap, menggeleng dengan segala pemikiran mesum yang tadi melintas dalam benaknya. Tunggu—mesum? Sejak kapan Luhan yang polos memiliki pemikiran kotor seperti itu?

"Kau barusan terpesona melihat ketampananku."

Luhan terbatuk, "Haha~ Lucu! Kau pasti bercanda." Ujarnya sarkastik.

Kris tersenyum—tampan—pada Luhan.

"Jadi apa masalahmu?"

"Ha?"

Kris mendengus, "Wajahmu bertuliskan 'aku punya masalah' dan well yeah jika kau butuh teman bicara aku siap mendengarkan. Kita kan roommate sekarang."

Roommate?

Luhan kali ini yang mendengus, "Kita jelas tidak seakrab itu untuk berbagi cerita satu sama lain dan aku tidak ingat kita ini roommate karena sekamar denganmu itu karena paksaan. Kau bahkan tidak membayar disini."

Kris mengangguk-angguk tapi Luhan yakin anggunakanya sama dengan cemoohan baginy, "Begini saja. Kau ceritakan masalahmu maka aku akan memberi jawaban dari pertanyaanmu padaku."

Luhan mengernyit mendengar penawaran yang kedengaran sangat tidak menarik itu.

"Konyol!" komentarnya seraya menggigit coklatnya lagi.

"Mm-mm.. apa kau tidak penasaran siapa aku ini dan kenapa aku bisa sampai dikamarmu?"

Kris benar, Luhan sebenarnya juga penasaran dengan siapa Kris ini. Bisa jadi kan Kris ternyata seorang buronan polisi? Tunggu kenapa Luhan baru terpikir kemungkinan terburuk itu sekarang?

"Aku memang sedang dalam masalah."

Kris menyeringai puas karena Luhan sepertinya mau membagi masalah denganya.

"Ibuku menjodohkanku. Hari ini sebenarnya aku akan bertemu dengan orang itu dan keluarganya tapi aku tidak pulang tepat waktu dan ibuku marah." Ujar Luhan sendu mengingat moment beberapa menit yang lalu saat ia dimarahi habis-habisan oleh ibunya.

"Kau menolak perjodohan itu?" Tanya Kris.

Luhan menggeleng, "Aku tidak mau dijodohkan."

"Kenapa?"

Kening Luhan mengernyit mendengar pertanyaan Kris.

"Aku tidak yakin orang itu akan cocok untukku. Dua orang yang tidak saling mengenal kemudian akan menikah? Itu akan sulit Kris. Membayangkanya saja sudah sulit."

"Aku pikir tidak ada salahnya mencoba Luhan."

"A—apa?" Luhan menatap Kris dengan tak percaya.

"Apa kau percaya pada ibumu?"

Luhan tentu percaya dengan ibunya jadi dia mengangguk mengiyakan.

"Kau percaya dengan ibumu jadi percayalah juga untuk masalah ini."

"—Kris kau tidak mengerti."

"Seorang ibu pasti akan memilihkan yang terbaik untuk anaknya Luhan."

"—Kris—"

"Luhan dengar, kau bahkan belum bertemu dengan orang itu. beri dia setidaknya kesempatan dan dirimu juga kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain. Jika kalian benar-benar tidak cocok aku yakin ibumu akan berada dipihakmu saat itu."

Luhan termenung, dalam hati benaknya ia mengakui Kris mungkin benar. Ibunya selalu benar dalam urusan mengatur hidup Luhan selama ini. Luhan bahkan bisa mengenyam pendidikan disekolah-sekolah terbaik sampai dirinya benar-benar tidak khawatir akan jatuh miskin karena well yeah dia sangat percaya diri selama ini. Tak ada yang menganggap remehnya, semua orang mengakui seorang Xi Luhan dan semua hal yang ia dapatkan selama ini berkat ibunya. Walaupun ibunya tidak selalu ada untuk Luhan, beliau tetap mengawasi Luhan dari jauh. Luhan hanya perlu mengambil hati ibunya dengan bersikap manis maka semuanya akan benar-benar baik-baik saja.

Luhan tersenyum lembut, "mungkin kau benar."

Kris tersenyum puas. Menyodorkan sebatang coklat lagi pada Luhan yang langsung menerimanya dengan senang hati. Mungkin ini awal dari pertemanan diantara mereka? Entahlah~

.

.

.

'Caffe Orange' Eja Luhan membaca plang didepan bangunan sebuah tempat yang makan yang baru ia tau keberadaanya ada dikotanya. Luhan benar-benar baru tau bahwa ternyata tak jauh dari rumahnya ada sebuah caffe yang sudah lama buka tapi ini pertama kalinya bagi Luhan mampir. Jika bukan karena paksaan Kris untuk mengunjungi caffe itu bisa dipastikan sumur hidupnya Luhan enggan menjejakkan kaki disana. Hari minggunya lebih baik ia habiskan untuk menonton kartun ditelevisi atau mungkin menonton film dikamarnya, tapi dikarenakan ucapan Kris yang begitu membuatnya penasaran jadilah ia dengan sudah payah siang itu menyeret kakinya menuju caffe minialis tapi tampak hangat itu.

"Jika kau ingin tau siapa aku coba cari tahu sendiri. Datang ke caffe Orange."

Dan begitulah, hanya dengan sederet kalimat itu mampu mendorong Luhan terdampar ke café itu.

Bunyi lonceng bergemerincing ketika Luhan membuka pintu. Mata rusanya berpendar kepenjuru caffe yang tellihat cukup nyaman itu. perpaduan warna yang bagus—menurut Luhan sih. Luhan bahkan baru tau bahwa perpaduan orange dengan hitam cukup menarik dimatanya.

"Selamat datang." Sambut seorang pelayan pria berjalan menghampiri Luhan dengan senyum. Luhan balas tersenyum canggung. Pelayan pria dengan name tag Jongin itu mengantar Luhan kesalahsatu meja didekat jendela.

"Mau pesan apa tuan?"

Luhan membuka buku menu dan menemukan banyak nama makanan yang tidak ia kenal sama sekali.

"Aku jus saja."

"Hanya jus?"

"Umm—" Luhan mengangguk dengan senyum canggung.

"Baiklah tunggu sebentar tuan." Pelayan bernama Jongin itu berlalu.

Sambil menunggu pesananya datang, Luhan mendapati dirinya mengamati sekeliling caffe yang terlihat cukup lengang siang itu. ada 5 orang pelanggan disana. Luhan sendiri dan 4 gerombolan gadis-gadis SMA yang tampak tengah menggoda salah satu pelayan pria dicafe itu. Luhan mengamati gerobolan gadis-gadis itu yang tak hentinya terkikik-kikik aneh menatap malu-malu pada sosok tampan pelayan pria disana. Menjijikkan batin Luhan entah kenapa merasa begitu jengkel melihat pemandangan itu. Gadis-gadis itu tampak seperti pelacur dimatanya. Harusnya mereka tidak mengganggu seseorang yang sedang bekerja seperti itu kan.

Merasa diperhatikan mungkin—pegawai pria tampan itu menoleh pada Luhan. Mati! Luhan mengutuk dirinya sendiri karena ketahuan tengah mengamati seseorang dengan intens seperti itu. dia pasti tampak seperti orang idiot sekarang. Luhan cepat cepat mengalihkan matanya kearah buku menu yang sebenarnya sangat-sangat tidak menarik baginya. Luhan berkeringat dingin mendengar langkah kaki menghampirinya.

"Tuan, ini pesanan anda."

Oh ternyata. Luhan merasa lega sekali mendapati si pegawai dengan nama Jongin tadi yang menghampirinya dan bukanya pegawai tampan yang ia perhatikan.

"Terimakasih." Ujar Luhan gugup.

"Ada lagi yang bisa saya bantu tuan?"

Luhan meringis, "Apa disini ada yang bernama Sehun?" Tanya Luhan ragu.

"Anda ingin bertemu denganya?" Tanya Jongin balik.

"I-iya. Bisa tolong panggilkan dia?"

"Baik." Jongin memungkuk sekali, dan Luhan memperhatikan kemana Jongin pergi. Mata rusa Luhan melebar ketika Jongin menghampiri pegawai tampan yang tadi Luhan sempat perhatikan, Jongin tampak bicara pada pegawai itu dan selanjutnya Luhan yakin nama mereka Jongin dan Sehun berjalan menghampiri mejanya. Luhan bersumpah ia merasakan aura tak bersahabat dari Sehun yang menatapnya dingin.

.

.

.