Helaan napas panjang terdengar di antara suasana sore yang kelewat tenang.
Langit sudah berwarna keoranye-an, dan matahari sudah nyaris menghilang dari singgasananya.
Seorang pemuda bermata lebar kembali menghela napas. Matanya yang berwarna kelam tak lepas menyorot pagar tinggi berwarna hitam yang berdiri kokoh tepat di depan batang hidungnya. Di atas pagar setinggi empat meter itu, papan pelampang lebar dengan tulisan yang terpampang besar telah menjelaskan di manakah pemuda itu tengah berdiri.
Di depan sebuah asrama elit khusus laki-laki, Asrama Sment.
.
.
.
Disclaimer: 9 anggota EXO, Kris, Luhan, dan Tao adalah bukan milik saya. Semua orang yang namanya tercantum di fanfiksi ini adalah milik diri mereka masing-masing. Nama EXO adalah milik SM Enterteiment. Tidak ada keuntungan materiil dalam pembuatan fanfksi ini, kecuali kepuasan batin (?)
Warning: Bahasa gado-gado, possibly ooc, mengandung unsur BL, humor but not so humor, rating akan nyerempet ke M di beberapa chapter.
.
.
.
Do Kyungsoo—atau mari kita sebut saja sebagai Dio— kembali menghela napas entah untuk yang keberapa kalinya hari ini. Rasa penat seperti sudah menggunung di pundak kecilnya.
Dio sedikit enggan mengakui ini, tapi ia adalah tipe yang cukup membenci suatu perubahaan. Pemuda itu cukup sadar diri bahwa dirinya adalah pribadi yang sulit beradaptasi, terlalu berpikiran lurus, dan sedikit konservatif.
Atas dasar kesadaran sendiri itulah, saat sang ayah mengatakan bahwa keluarga mereka harus pindah ke Jepang karena alasan pekerjaannya, Dio langsung menolak usul itu mentah-mentah. Kyungsoo tak mau pindah, ia sudah senang tinggal di Korea, tanah kelahirannya. Ia juga tak mau merepot-repotkan diri untuk belajar bahasa jepang. Jadilah pemuda mungil itu ngotot tinggal di Korea.
Sang ayah memperbolehkan, dengan syarat Dio harus masuk asrama laki-laki. Alasannya klasik, sang ayah tak percaya anaknya itu mampu hidup mandiri. Selain itu sang ayah juga tak mau meninggalkan sang anak tanpa pengawasan sama sekali. Awalnya ia ingin protes, tapi apalah dayanya. Dibanding harus pergi ke Jepang, Dio lebih rela bila tetap di Seoul meski harus pindah sekolah ke salah satu asrama khusus laki-laki di kotanya
Jadilah pada akhirnya Dio tetap harus merasakan perubahaan dalam hidupnya yang mulus.
.
"Jadi ... namamu Do Kyungsoo?" Pria separuh baya di hadapannya terlihat sibuk mengecek buku tebal miliknya.
"Benar, Pak." Dio menjawab dengan nada lempem. Wajahnya sudah berekspresi datar semenjak menginjakan kaki di asrama ini.
Ini adalah Minggu sore, dan Dio harus merelakan hari liburnya untuk berepot-repot ria mengurus kepindahannya sendirian. Ayah dan ibunya sudah berangkat ke Jepang sejak seminggu lalu, panggilan bisnis yang mendadak. Hal itu yang membuat selama seminggu penuh Dio hanya mendekam di rumah sendirian.
"Hmm ... kamarmu ada di gedung barat, lantai tiga, blok sepuluh. Kamar nomor enam."
Dio berjengit bingung. Gedung barat yang mana? Blok sepuluh bagian mana?
Pria itu lalu menutup bukunya, lalu menatap Dio dengan ekspresi tenang. "Kamu bisa cari kamarmu sendiri, kan," tanyanya yang lebih terdengar seperti pernyataan.
Dio menatap setengah hati pada dua tas buah besar yang tergelatak di sisi kiri dan kanan kakinya—barang bawaannya sendiri.
"Bisa kan?" desak pria tua itu lagi.
Dio hanya bisa mengangguk pasrah.
Meski dalam hati mengumpat.
Dasar pemakan gaji buta!
.
.
Setelah menghabiskan berpuluh-puluh menit untuk mencari yang mana itu gedung barat, Dio akhirnya menemukannya.
Gedung itu hanya memiliki sekitar lima lantai. Lantai pertamanya begitu luas dan terbuka sehingga Dio tak perlu melewati pintu apapun untuk masuk. Ketika masuk tiga buah lift yang berjajar telah menyambutnya. Dio segera memasuki lift yang terbuka dan menekan angka tiga.
Bunyi ting lift terdengar, disusul pintu besi yang terbuka perlahan.
Dio nyaris menjatuhkan rahangnya sendiri ketika melihat betapa berkelasnya interior lantai itu. Dengan dinding yang dilapisi keramik berwarna krem, lampu-lampu kristal yang menggantung, dan jangan lupakan lantai yang dilapisi karpet merah beludru. Persis seperti interior hotel berbintang lima.
Ayahnya memang tak berbohong saat mengatakan bahwa Sment adalah sebuah sekolah elit dengan fasilitas yang wow. Awalnya Dio kira itu hanya pengiklanan lebay yang dilakukan sang ayah agar Dio teriming-imingi mau masuk ke sana.
Koridor utama juga terlihat begitu luas, lebih terlihat seperti lobi. Lebarnya mungkin sekitar lima meter. Dengan sisi kanan seluruhnya merupakan kaca transparan yang miring ke arah luar. Terdapat pula beberapa sofa yang diletakan berderet di sepanjang sisi kaca, juga beberapa pot besar berisi tanaman hijau yang memberi kesan alami.
Dari koridor utama ini, Dio dapat menemukan empat koridor yang lebih kecil berjejer di sebelah kirinya. Lebar koridor itu hanya sekitar tiga meter. Melangkah menyusuri koridor utama itu, Dio baru menyadari bahwa setiap lorong terdiri dari delapan pintu kamar, empat pintu di kanan dan empat pula di kiri.
Sementara di ujung koridor utama terdapat pintu kaca yang entah mengarahkannya ke mana.
Pemuda itu menyusuri koridor utama itu sembari mencari di mana blok sepuluh. Dan papan marmer hitam bertuliskan "blok 10" ternyata ada di paling ujung.
Dio segera mencari pintu berplatkan nomor enam. Dan ia menemukannya. Tepat di samping kanannya.
Ragu-ragu, Dio mengetuk pintu kayu di hadapannya.
Tok tok tok.
Tidak ada balasan, Dio justru menemukan kalau pintu di hadapannya tidak tertutup dengan rapat.
Tok tok tok.
Tetap tak ada jawaban.
Lirik kanan, lirik kiri si pemuda belo menimbang-nimbang sebelum memutuskan untuk masuk.
Well, ini kamarnya juga kan? Tidak salah untuk masuk ke kamarnya sendiri meskipun ia belum mendapat kuncinya, kan?
Dio melangkah masuk dengan gerak-gerik bak penyusup. Ruangan itu ternyata terang benderang karena semua lampunya menyala.
Memasuki kamar itu, Dio menemukan lorong kecil yang terapit oleh kamar mandi di sebelah kirinya, memasuki lebih dalam, Dio lalu menemukan kamar seluas empat kali tujuh meter, dengan dua ranjang, dua meja, dan ... dua orang laki-laki —yang demi Tuhan, Dio tak tahu sedang melakukan apa— di atas sebuah ranjang. Salah seorang lelaki yang tingginya begitu menjulang terlihat sedang menindih lelaki yang lebih mungil darinya. Sebelah tangannya menahan lengan laki-laki di bawahnya agar tetap menempel kasur di samping kepalanya, sementara satu tangannya entah sedang melakukan apa; Dio tak bisa melihat karena terhalang bahu sang lelaki.
Mereka telak mengabaikan kehadiran Dio yang kini kaku bagai patung.
"Aah, jangan, jangaann. Please, pleasee—kumohoonn!"
Dua tas besar di tangan kiri dan kanan Dio jatuh menghantam karpet beludru.
... dafuk?!
.
.
.
.
Tbc.
.
.
A/N:
Haloo semua, saya penghuni baru fandom ini yeay! Ini projek fanfiksi on going pertama saya. Saya bakal coba untuk konsisten nyelesainnya :"))
.
Beberapa catatan mengenai fanfiksi ini:
1. Fanfiksi ini bakal menceritakan pada kisah para member exo secara keseluruhan.
2. Untuk pairing, akan disesuaikan dengan pengembangan ceritanya.
3. Selain itu fanfiksi ini akan lebih fokus pada proses gimana Dio mulai menerima serta mempelajari realita di sekitarnya yang kadang gak sesuai dengan apa yang selama ini dia percayai.
4. Fanfiksi ini akan di update sesuai dengan progres penulisan saya, heheh.
.
Silahkan sampaikan komentar/kritik/saran untuk fanfiksi ini lewat kolom review maupun PM:))) Karena komentar kritik juga saran sangat diperlukan dan sangat membantu saya dalam meningkatkan kualitas penulisan! :")))
