"Hari ini aku hanya di kamarlagi. Tamat."

Tulisku pada buku berukuran sedang berwarna hijau tosca. Aku melemparnya ke atas kasurku setelahnya. Lalu kembali berkutik pada komputer yang selalu setia menemaniku kapanpun. Dia seperti kekasihku.

.

.

.

.

Naruto by Masashi Kishimoto

Story by yazura

AU, OOC, dll

Maaf jika ada kesamaan tema, plot, dan sebagainya

Enjoy reading!

.

.

.

Future Husband

.


Oh, hai, namaku Sakura dari keluarga Haruno. Apa yang barusan kalian baca itu memang benar. Untuk kesekian kalinya aku hanya berkutik dengan komputerku di kamar. Yeah, singkatnya, aku adalah seorang hikikomori. Kau pernah mendengarnya? Kalau tidak salah sering dibicarakan di beberapa stasiun televisi. Tidak tahu juga, aku jarang menonton televisi. Kalau disederhanakan, hikikomori adalah orang yang suka mengurung dirinya di rumah. Entahlah, tapi aku benar-benar malas keluar dari apartemen tercintaku ini. Jika kalian bertanya tentang sekolahku, kebetulan aku sedang menjalani hari liburku selama dua bulan ini. Dikarenakan adanya perenovasian gedung kampusku. Yep, karena kampus itu sudah lama dibangun, banyak bagian-bagian bangunan yang rapuh. Oh, gembel sekali. Aku bersyukur karena kegiatan belajar-mengajar dihentikan sementara. Meskipun aku yakin dalam waktu dua bulan tidak akan cukup untuk memperbaiki gedung yang kusebut gembel itu. Seharusnya mereka memberikan waktu lima tahun untuk libur. Oke, ini berlebihan.

Aku mengetik beberapa kata pada layar komputerku. Mataku tak bisa lepas dari layar yang berisi tentang berbagai macam bentuk dan tulisan. Setelah mengetik, aku langsung mengirimnya ke ruang obrolan. Aku sedang berbincang-bincang bersama sahabatku Ino. Kadang pula aku tertawa disela-sela perbincangan secara tidak langsung kami. Ino mengajakku keluar besok. Melihat itu, aku langsung membalas pesannya dengan, "Aku lebih suka berkencan dengan komputer yang kukasihi ini." Dan itu mengundang kekesalannya. Aku bertaruh, besok ia akan datang ke apartemenku dan langsung menggedor-gedor pintu dengan meneriakki namaku dari luar–aku tahu karena ia sering melakukan itu.

Aku berjalan keluar kamar dan kembali membawa segelas coklat hangat. Libur membuatku bebas dari pelajaran ilmu kesehatan yang kadang kala membuat otakku sangat tersetrum. Meskipun begitu, aku sangat menyukai jurusan kedokteran ini. Ayah dan ibuku berada di luar kota. Awalnya aku bersama mereka, namun karena aku merasa sudah cukup dewasa dan berpengetahuan, aku memilih untuk tinggal sendiri. Setiap bulan mereka mengirim uang untuk kebutuhanku. Itupun jarang kugunakan, alhasil banyak uang sisa yang kusimpan di lemariku. Mengingat aku jarang keluar rumah. Sekalinya keluar, aku hanya kuliah dan belanja ke supermarket–kecuali saat Ino mengajakku bermain ke mall atau yang lain.

Drrrt drrrt

Getar ponselku membuatku sedikit terlonjak karena kaget. Dengan cepat, aku menggeser simbol ponsel hijau yang tertera pada layar.

"Halo," ucapku.

"SAKURA, CEPAT BUKA PINTUNYA! KAU MENGABAIKAN GEDORANKU DARITADI!" teriak seseorang yang bersuara perempuan. Yang akhirnya kusadari kalau itu adalah si pirang Ino.

Aku reflek menjauhkan ponselku dan langsung berlari ke arah pintu depan. "Aku bahkan tidak mendengar suara sekecilpun," ucapku lalu mematikan telepon dan membuka pintu.

Terlihat Ino dengan wajah kesal menahan emosi. Wajahnya memerah marah dan akhirnya memutih kembali setelah ia menarik napasnya. Ino masuk ke dalam dan duduk di sofa biruku. Aku menutup pintu dan berjalan ke arahnya.

"Ada apa? Apa kau keguguran?" tanyaku.

Ia memasang wajah kesal. "Keguguran bokongmu! Aku berusaha berteriak sekencang mungkin tadi. Lihat! Tanganku memerah karena terlalu keras menggedor!" ucapnya sembari menjulurkan telapak tangannya yang memerah di bagian pinggir.

Aku terkikik geli. "Maaf. Kau online melalui ponsel?" dan mengambilkan air putih untuknya. Aku yakin tenggorokannya itu terasa seperti di bakar api neraka.

"Aku mengundurkan jadwal kencan kita, sayang." ucapnya menggodaku.

"Huh? Apanya?"

Ia menghela napas. "Kita akan pergi jalan-jalan sekarang!" ucapnya dengan nada bersemangat.

"Memangnya aku sudah menyetujuinya?" Aku mengerutkan alisku sembari berjalan ke arahnya dan memberikan segelas air putih hangat lalu duduk di sampingnya.

Ia langsung meminumnya hingga habis. Dasar rakus. Lihat tetesan air yang menimpa celanamu, pig. "Ayolah, Sakura. Lagipula apa yang kau lakukan dengan komputer bodohmu itu? Kau ingin terus-terusan menjadi orang yang mengurung diri hingga tua? Kau harus merasakan udara luar." ucapnya. Aku memutar bola mataku.

"Bukankah lebih baik begini daripada menghabiskan uang untuk berfoya-foya?"

Ino menghela napas kesal. "Ergh, Sakura. Kau tidak menghirup banyak oksigen di sini. Sedangkan kau harus membutuhkan lebih banyak pasokan udara. Ruanganmu ber-AC, lalu tidak ada celah sama sekali di sini, itu berarti karbon dioksida yang kau hasilkan akan terus mengepungmu di sini. Tidak akan ada oksigen yang masuk. Aku tidak akan mengunjungi pemakamanmu jika kau mati karena kehabisan oksigen." Ino ikut menggunakan tangannya untuk berbicara.

"Ino, daripada har–"

"Cepat ganti bajumu dan kita akan mencarikanmu oksigen. Lebih tepatnya bersenang-senang!" Ia memotong ucapanku dan mendorongku masuk ke kamar mandi–lagi. Dan aku pasrah dengan tingkahnya–lagi.


Aku keluar kamar mandi dengan terpaksa. Ino tampaknya sudah mematikan AC dan sedang menyiapkan keperluan yang akan kupakai nanti. Aku berjalan ke kamar dan memakai pakaian yang sudah disiapkan Ino. Hei, aku terlihat seperti bayi yang dilayani oleh ibunya. Atasanku kaus lengan pendek putih dengan gambar abstrak di tengahnya dan rok merah muda selutut. Oh, Tuhan, baju siapa ini? Aku tidak ingin Ino mengambilnya dari jemuran di kamar sebelahku–lagi. Terakhir kali ia mencuri bra merah untukku dengan alasan, "tidak ada bra-mu yang imut". Oh, dasar babi guling.

"Aku membelikannya untukmu saat di jalan tadi," ucap Ino seperti bisa membaca apa yang kupikirkan, "aku sudah mengambil uang sisamu di lemari. Banyak sekali, aku bahkan ragu kalau ini yang disebut dengan uang sisa." ucapnya.

Aku melotot ke arahnya. Hancur, hancur hatiku–maksudku hancur hidupku. "Aku akan membotakimu," ancamku.

Ia tertawa. "Bagaimana dengan bajunya? Aku sengaja memilih setelan sederhana karena kau pasti menolak memakai pakaian yang terlalu mencolok. Padahal warna rambutmu juga mencolok, babe." Ia menarikku untuk duduk di depan cermin, "ups, tidak seperti itu, sayang." ucapnya saat melihat kausku. Ia langsung memasukkannya ke dalam rok pendekku.

Selanjutnya, aku dipoles dengan bedak dan lipgloss merah. Entah kenapa membuatku terlihat seperti hantu.


Ino membawaku ke tengah kota. Ia berusaha menghiburku dengan lelucon–yang tidak lucu–nya. Sekarang kami sedang duduk di kafe dekat mall. Ia memilih kafe indoor untuk kami tempati. Sekarang aku terlihat seperti orang yang tidak bisa mengurus diri sendiri. Ino memesankan makanan untukku karena aku bingung ingin memilih yang mana. Ino memesankan O-bento Teriyaki paket A untukku. Aku hanya mengiyakan saja. Karena aku baik hati, aku berusaha terlihat bersemangat di hadapannya.

"Sai!" teriak Ino.

Aku mendengarnya disela-sela kesibukanku dengan ponselku.

Ino melihatku kesal. "Sakura!"

Aku menoleh. "Hm? Apa?"

"Lihat itu!" Ia mendengus lalu menunjuk ke arah sesuatu. Aku mengikuti arah pandangnya. Terlihat pria berambut hitam lurus dengan kulit seputih kain katun kausku ini.

Aku menaikkan sebelah alisku. "Hai, Sai" ucapku setelah mengetahui keberadaan Sai di sana.

Ino berlari menerjang Sai yang berada di dekat meja kafe. Aku mendengus lalu membiarkannya dimanja asmaranya. Tiba-tiba ada rasa menggelitik di bagian bawahku. Oh, aku ingin buang air kecil. Aku langsung berdiri dan izin ke toilet pada Ino. Ternyata kafe ini tidak memiliki toilet. Aku panik. Airnya sudah ingin keluar. Seharusnya aku memakai popok. Aku kembali ke meja dan mengambil ponselku setelah bilang pada Ino bahwa aku ingin mencari toilet umum.

Aku berlari mencari-cari tempat bertuliskan 'Toilet'. Beruntung aku memakai sepatu kets, jika aku memakai heels, maka aku akan–

BRUK

–terjatuh.

Bokongku bertabrakan dengan paving block trotoar dan itu terasa sangat nyeri. Aku berusaha bangun dan memaki orang yang menabrakku tadi.

"Hei, apa kau–" ucapanku terputus saat melihat wajah orang yang menabrakku tadi. Astaga, aku ditabrak–menabrak–malaikat berwajah tampan. Ia menatapku datar. Tampaknya ia tidak jatuh terduduk sepertiku. Dilihat dari bentuk tubuhnya, ia pasti kuat menyeimbangkan tubuhnya saat menabrakku. Benar-benar keren. Seketika pipisku masuk lagi.

"Pernah diajarkan untuk berjalan dengan baik?" tanyanya sinis.

Dan sekarang pipis ini datang lagi.

Aku mengerutkan alisku sembari melipat kaki kiriku ke kanan. Berusaha mencegah airku untuk keluar. "Apa mak–sudmu?" nadaku tak kalah sinis dengannya. Namun aku terbata karena pipis ini. Oh, akan kutarik semua pujianku tadi.

Ia menaikkan alis, menyadari keterbataanku. Tuhan, jangan buat dia berpikir bahwa aku ini orang yang gagap. "Minggir, pink." usirnya. Apa tadi? Pink? Hey, rambutku itu salah satu dari keajaiban dunia!.

"Dasar pan–tat ay–am." Ugh, sulit sekali. Tadinya aku ingin memukulnya. Namun jika aku menjulurkan tanganku ke depan, otomatis lipatan kakiku ini akan terbuka dan aku akan mengompol. Oh, aku mulai merinding.

Aku menoleh ke arah kiri dan mendapatkan toilet umum di sana. Dengan secepat kilat, aku berlari dan sengaja menyenggolnya kencang agar ia terjatuh. Dan benar saja, ia mulai tidak seimbang. Aku berlari sembari menengok ke belakang dan menyeringai seram dengan kilatan putih di ujung gigiku. Baru kali ini aku merasa bodoh. Ini alasan kenapa aku tidak mau keluar rumah.

Setelah itu, aku merasakan kelegaan yang luar biasa.


Aku senang bisa mengeluarkan dosa itu pada tubuhku. Hatiku tersenyum puas akan perjuanganku mengeluarkannya. Hahaha, ini benar-benar absurd. Dengan santai kulangkahkan kakiku menuju kafe yang kutahu namanya J-Food atau apalah itu. Aku bersyukur karena pipis itu tidak keluar di depan si pantat ayam sialan itu. Bisa-bisa ia akan menertawaiku sampai ke ujung galaksi ini. Terima kasih, toilet. Aku sudah melihat tulisan J-Food dari sini. Sebentar lagi aku akan sampai dan memuaskan rasa laparku yang meradang ini. Terima kasih pada Ino juga karena telah memesankan teriyaki paket A yang pastinya enak–dan mahal.

Setelah lama berjalan, aku masuk ke dalam kafe dengan langkah yang sedikit terburu-buru. Aku berlari ke arah Ino dan langsung duduk di depannya. Di sampingnya terdapat Sai yang tersenyum ke arahku. Aku melihat hidangan yang terpampang jelas di depanku. Langsung saja kusantap.

"Sakura, perkenalkan, yang di sampingmu itu Uchiha Sasuke. Sasuke, ini Sakura." ucap Ino. Hng? Aku tak sadar ada orang di sampingku.

Aku menoleh ke samping dan, "HAH? SEDANG APA KAU, PANTAT AYAM?" aku berdiri karena kaget. Sumpitku kulempar ke sembarang tempat saking kagetnya. Ia menatapku menyeringai. Oh, biar aku merobek bibirmu.

"Kau yang sedang apa di sampingku?" balas pantat ayam sinis.

"Kalian saling mengenal?" tanya Ino. "Kalau begitu aku tinggal, ya. Kebetulan Sai ada, jadi aku akan bertemu dengan keluarganya hari ini. Maaf, ya, Sakura. Makananmu sudah kubayar. Bye, sayang." ucap Ino lalu mencium pipiku dan pergi bersama si kulit mayat itu. Aku menganga tak percaya. Hei, aku bahkan belum mengenal si pantat ayam ini.

Kami berdua diselimuti keheningan. Aku menatapnya sinis, pun sebaliknya. Aku mengambil sumpit baru dan melanjutkan acara makanku. Pantat ayam yang kutahu bernama Sasuke itu tampak sama sekali tidak tertarik untuk menatapku. Aku menghela napas meratapi nasibku yang begitu buruk. Dengan cepat kuhabiskan makananku. "Aku ingin pulang," ucapku lalu pergi meninggalkannya yang menatapku.

Aku berhenti di depan kafe tadi sembari merogoh kantung yang ada di sisi kanan rokku. Aku melebarkan mataku. Panik tentu. Uangku berada di dalam tas Ino! Astaga, kenapa aku bisa lupa?. Aku mondar-mandir di depan kafe. Berusaha berpikir bagaimana caranya pulang. Oh! Ponselnya. Dengan cepat aku menelepon Ino. Namun yang kudapatkan hanyalah suara operator. Aku berdecak kesal. Jarak dari sini ke apartemen sangat jauh. Karena sering mengurung diri di kamar, aku jadi tidak tahu jalan. Aku mulai takut. Sekelebat ide muncul di kepalaku, namun aku ragu ingin melakukannya. Aku menggigit bibir bawahku. Menimbang-nimbang keputusanku. Demi kerinduanku pada komputer, aku rela.

Aku berbalik dan masuk kembali ke dalam kafe. Aku melihat pantat ayam Sasuke masih duduk di sana. Ia belum menghabiskan makanannya. Aku menghampirinya dengan pelan. Uh, aku benar-benar takut. Aku mulai memberanikan diriku untuk mendekat. Menarik napas dalam-dalam, aku mulai bersuara. "A-Um-Pantat ayam," panggilku.

Ia menoleh menatapku datar. Aku tak berani melihat matanya. Seseorang, tolong aku. "B-Bolehkah aku meminjam uangmu untuk pulang?" ucapku.

Aku meliriknya, kuliihat ia menaikkan sebelah alisnya. "Setelah semua ini?"

"U-Uangku ada di Ino, aku berjanji akan menggantikan uangmu!" ucapku memberanikan diri menatapnya.

Ia menyeringai. Perasaanku tidak enak.

"Dengan satu syarat."

Aku menatap matanya lekat-lekat. "Huh? Apa?" Dag-dig-dug jantungku semakin kencang.

"Kau harus menjadi pembantuku di apartemen."

Aku mebelalakan mataku, "APA?" teriakku kaget. Ia menutup matanya menahan teriakanku.

"Kalau tidak mau, yasudah."

Aku mulai dilanda kebingungan yang luar biasa. Jika aku tidak menerima syaratnya, aku tidak akan bisa pulang. Jika aku menerimanya– HAAAAA! PANTAT AYAM SIALAN. AKU PASTI AKAN MEMILIKI SEDIKIT WAKTU UNTUK BERKENCAN DENGAN KOMPUTERKU!.

Ugh. Aku kesal. Ia mengaduk-aduk minumannya. Aku menghela napas pasrah dan menjawab,

"Baiklah." setelah pertimbangan yang cukup lama. Oh, aku ingin mencolok matanya dengan sumpit.

.

.

.

.

.

.

to be continue


Hai, bagaimana? Lanjut? Aku butuh review dan saran kritik dari kalian untuk membuat fic ini menjadi lebih baik.

Sebelumnya, terima kasih.

Don't forget to review :)


RnR?