For The Second Time
Chapter 1: awal mula
Pagi yang cerah menyapa kota London dan mulai menyiram desa di sudut kota itu dengan kehangatannya. Perlahan, pagi mulai menjelma seiring naiknya matahari di desa itu. Sinar matahari menerobos masuk ventilasi kamar utama di suatu rumah auror ternama dunia sihir Inggris yang tinggal di sana. Sang istri menyibak gorden merah dan membuka jendela untuk sirkulasi udara di kamar itu. "Morning, Harry. Ayo cepat bangun. Katamu ada rapat di departemenmu sendiri?" Ginny membangunkan tidur suaminya. "Em...ah...ya. Hampir saja aku lupa semalam belum menyiapkan berkas rapatku. Kemarin malam kecapekan, ada tiga penyergapan yang menguras energiku, sampai-sampai aku tidur nyenyak sekali karena capek. Terima kasih, Ginny, sudah kau ingatkan, pagi-pagi begini lagi," sahutnya dengan wajah setengah tidur. "Hari ini aku juga sudah janji sama Lily ke Diagon Alley beli es krim di Florean-" "HAH? ES KRIM LAGI? Berapa kali sudah kubilang, jangan-" "enggak sering, kok, cuma ini yang terakhir sebelum kita antar beli tongkat sihir pertamanya. Lily kan sudah hampir lulus di Elementary School-nya, kan? Sebelum Lily ulang tahun, aku mau kasih es krim dulu. Sekalian buat aku juga, hehe," sahut Harry merayu istrinya. "Hitung-hitung refreshing setelah rapat nanti. Toh, pusing juga di kantor mulu. Lily juga pengen jala-jalan sama daddy-nya, kan? Ak nggak sering punya waktu keluar kementrian saat jam kerja. Mumpung nanti pulang agak awal." Ginny tersenyum. "Ya udah. Cepetan sana mandi, bangunkan Lily. Aku ke dapur dulu ya. Jangan kelamaan di kasur terus, udah jam 7 noh!" "Iyah" jawab Harry ogah-ogahan.
Ginny mengerti konsekuensinya menjadi istri seorang auror. Apalagi setelah Harry didapuk menjadi Kepala Departemen Auror, Harry lebih sering pulang malam karena memimpin pernyergapan penyihir hitam, daripada saat ia menjadi auror biasa. Tetapi Ginny bangga pada Harry, walaupun Harry sibuk, tetap bisa meluangkan waktu bersamanya dan ketiga anak mereka. James Sirius Potter, Albus Severus Potter, dan Lily Luna Potter adalah tiga anak keturunan Potter dari pernikahan Harry dan Ginny. James dan Albus sudah lebih dulu mendapat penggilan sekolah di Hogwarts, sekolah penyihir berasrama terbesar di dunia sihir. Sekarang James sudah menginjak kelas 5 di Hogwarts yang berarti umurnya sudah 15 tahun. Sedangkan Albus yang biasa dipanggil Al itu, kelas 3 dengan umur 13 tahun. Dan Lily, yang masih SD belum mendapat undangan dari Hogwarts, masih umur 10 tahun. Ya, 10 tahun dan hampir 11, di mana setelah ulang tahun ke-11nya, ia baru mendapat undangan sekolah untuk tahun pertamanya.
Harry bergegas mandi, sedangkan Ginny mulai memasak untuk sarapan. Setelah mandi, Harry masuk kamar Lily, hendak membangunkan anak perempuannya. "Lils, bangun sayang." "Ehm..." Lily hanya membalikkan badan dan tidur lagi. "Katanya nanti mau beli es krim kalau dad pulang awal? Kalau nggak mau, ya udah,"bisik Harry tepat di telinga Lily. "Ah...ya deh. Jangan dibatalin dong, dad." sontak Lily langsung terbangun. "Cepat bangun. Tuh, mom udah teriak-teriak." Benar saja, Ginny berteriak dari dapur "Lily, bangun. Pancakenya hampir jadi, nih. Nanti keburu dingin, loh. Cepat mandi," lanjut Ginny, "Harry juga, bantu aku menata meja, ya."
Lily pun masuk kamar mandi bebarengan Harry keluar kamar hendak membantu Ginny. Harry mengayunkan tongkatnya, merapikan taplak meja dan menyiapkan piring makan mereka, "dah rapi, kan? Aku mau ambil berkas dari Albert kemarin, ya Gin? Sambil nunggu Lily mandi, nanti sarapannya bareng, ya?" tawar Harry. "Oke deh," Ginny tertawa kecil.
Lily selesai mandi, Harry sudah siap berkas-berkasnya, dan Ginny pun tampak sudah menyiapkan semua di meja makan. Mereka menikmati pagi dengan normal seperti biasanya tanpa mengetahui kejadian yang akan menimpa mereka lagi, setelah tragedi Al dan Scorpius, anak Draco Malfoy, pada tahun ke-2 mereka di Hogwarts saat itu.
"Aku berangkat, ya Gin. Lily mau diantar dad apa mom?" "sama mom ajah" Lily menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari TV sejak selesai sarapan. "Oh, ya. Nanti mom pakai mobil dad, terus mom mau beli buku dulu di deket sekolah Lily," lanjut Ginny, "aku nanti berangkat pakai floo saja, Har." Harry mengangguk.
Memang sebelumnya, Ginny sempat menjadi pemain Quidditch di Holyhead Harpies sebagai sebagai cheaser, sebelum menikah. Ginny lantas menghentikan kariernya sebagai pemain Quidditch dan memilih menjadi editor Daily Prophet, koran penyihir, di bagian rubrik olahraga. "Toh, masih dalam lingkup Quidditch, Gin," ujar Luna, saat mereka sedang curhat. Ginny melakukan itu dengan alasan agar bisa fokus mengurus keluarga.
Harry memasuki perapian di ruang keluarganya yang memang dibuat lebih lebar untuk jalur floo agar memudahkan transportasinya secara sihir. "Aku berangkat, ya Gin. Dad pamit, ya Lils. Sampai nanti," Harry melanjutkan, "Atrium Kementrian Sihir, London," ucap Harry dengan jelas sembari menaburkan bubuk floo dalam perapian yang menelan sosok Harry yang kini sudah berpindah di Atrium, aula yang sangat luas dalam gedung bagian depan kementerian sihir itu. Memang, letak Kementerian Sihir Inggris itu dibangun secara sengaja di bawah tanah kota London agar para muggle, manusia tanpa bakat sihir, tidak mengetahui adanya penyihir disekitar mereka.
Lily agak mendelik melihat ayahnya hilang begitu saja, walaupun dia juga pernah bepergian menggunakan jaringan floo sebelumnya saat pertama kali diajak ke The Burrow, rumah kakek dan neneknya. "Ayo, Lils. Nanti telat, loh. Tas sama perlengkapan lain sudah semua kan? PR-nya juga?" Ginny membuyarkan lamunan Lily. "Kemarin malam sudah aku cek semua, mum. Ayo." Lily sudah bergegas ke mobil ketika ibunya sedang mengunci rumah. Mereka pun berangkat ke tujuan masing-masing.
