Title : The Cruelty of Normal
Chapter : 1
Rating : T+
Disclaimer : Shingeki no Kyojin (c) Hajime Isayama, except for OC and some plots here are mine.
Warning : Plot yang kelewat serius dan abusrd! Typo, (sepertinya bakal) OOC, dan lain-lain to be announce.
Pairing : (saya masih belum bisa mengatakan bakal ada pairing atau nggak disini, tapi yang jelas saya minjem si corporal~ #plaaak x'DD)
Tertutup.
Aku ingin menutupnya.
Semua masa lalu yang tanpa sadar membuatku untuk memutuskan mengambil bagian dari dunia yang kejam dan indah dalam waktu bersamaan.
Heh?
Memutuskan untuk masuk kedalam 'kematian' yang tertunda di dunia yang telah kuhidupi lebih dari satu dekade ini. Menghela nafas tiap kali memandang langit yang menaungiku sedang tertutupi warna biru mudanya dan terbayang-bayang cipratan cairan merah segar yang melayang-layang dengan cantiknya saat aku menyaksikan kekejaman dari hidup yang akan selalu kukatakan 'normal' ini.
Aku...membencinya.
Semua dari kenormalan yang telah terjadi di depan indera penglihatanku.
Dimensi, dimana kau berharap kau keluar dari semu cerita dimensi ini.
Kesedihan yang berusaha kau tutupi dan kebencian yang kau tahan.
Kontraskan dengan keadaan damai sang dunia yang sedang kau lihat.
Indera perabaku merasakan semilir angin mengenai wajah yang tidak tertutupi oleh selimut, wangi embun mulai menusuk sensor penciumanku, dan membuatku tersadar bahwa langit akan berwarna muda tidak lama lagi.
Kulirik jam meja untuk memastikan pukul berapa saat ini sambil merenggangkan otot-otot tangan dan badan. Masih ada beberapa jam lagi yang sebenarnya dapat kunikmati untuk kembali menutup mataku sambil berbaring karena hari ini adalah hari para trainee squad memilih tempat dimana mereka akan menjadi prajurit selanjutnya. Setidaknya hari ini kami diberi kelonggaran waktu untuk beristirahat lebih lama daripada saat kami masih menjalankan hari-hari menjadi murid pelatihan prajurit dulu.
Ah...kemarin itu adalah pesta kelulusan kami.
Perjalanan masih sangat panjang...—tidak sampai dirimu mati. Kehidupan yang tidak akan pernah terkira dan sang kematian yang persis menjadi refleksi dari kehidupan.
Karena itu normal, bukan?
"Pa...gi...Nacha..." Aku yang sedang menyisir rambut berwarna marun sepunggungku tersenyum melihat teman sekamarku yang baru bangun dari tidur nyenyaknya semalam lewat pantulan cermin di depanku ini. Masih dapat kulihat wajah kantuk yang mendominasi saat ia mengusap-usap mata kanannya. Baru malam tadi aku dapat melihat ia tidur nyenyak. Karena selama ini aku selalu mendengar ia mengigau dengan nada suara yang ketakutan ketika aku masih terjaga tiap malam. Ya, aku tidak akan heran. Aku mengerti.
Mimpi buruk tidak hanya terjadi disaat kita tertidur.
Bahkan terkadang aku berharap bahwa kejadian yang paling menyakitkan adalah sebuah mimpi. Setidaknya mimpi buruk masih memiliki keindahannya saat aku terbangun.
"Pagi, Ticsa." Masih sambil menggoreskan gerigi panjang nan lentur sisir pada rambutku sebelum mengikatnya menjadi dua bagian untuk diletakkan di atas bahu kanan da kiriku, aku menyimpulkan suara untuk tertawa kecil melihat Ticsa menguap dengan semangatnya.
Setelah itu ia bercerita mengenai antusiasnya menanti-nantikan hari ini. Wajahnya benar-benar menampakkan raut yang sangat ceria untuk dirinya yang telah bertahan tiga tahun dalam latihan mengerikan ini. Dan aku dengan senang menanggapinya penuh sukacita seperti ia mengekspresikan kegembiraannya sekarang.
Aku telah menutup semuanya.
Tak sedikitpun celah cahaya dan udara kubiarkan untuk menembusnya.
Ya.
Kami berdua terus berbincang-bincang saat berjalan menuju ruang makan trainee squad. Aku dan Ticsa sudah sangat dekat sejak aku masuk ke dalam akademi kemiliteran ini. Ticsa adalah orang yang sangat menyenangkan bagiku, kata-katanya mampu membuat aku tersenyum tiap harinya. Wajah Ticsa selalu tersenyum dengan cantik meskipun ia bersusah payah menyeimbangi tiap tugas yang diberikan pembina pada kami. Aku berharap...ia...ah, hahaha~ apa yang kau pikirkan, Nacha? Kau harus menghormati keputusannya untuk masuk ke tempat ini, bukan? Dia pasti memiliki alasan mengapa memilih menjadi seorang prajurit dengan segudang mimpi buruk di masa depannya dibanding dengan cerita lain yang pasti lebih indah jika ia tidak ada disini.
Sama sepertiku.
Aku memiliki alasan.
"Nacha, apa kau sudah memutuskan untuk masuk kemana setelah ini?" kudengar ia bertanya sebelum aku melahap sarapan pagi di tangan kananku. Sejenak aku mencerna pertanyaannya lalu melanjutkan makan pagi yang kali ini roti mentega sebagai menu karbohidratnya dan sup krim sayuran sebagai pendampingnya. Setelah kukunyah beberapa kali makanan di dalam mulutku dengan pelan, aku menjawabnya,
"Belum. Hahahaha~" kutawarkan tawaku pada wajah Ticsa yang segera mengerucutkan kedua bibirnya sebagai tanda tak puas terhadap jawabanku. Ia memprotesku karena selalu memberi jawaban yang sama setiap ia bertanya pertanyaan ini. Aku tidak pernah berpikir untuk menjawab pertanyaan Tisca yang satu ini. Meskipun aku memiliki alasan mengapa aku berada disini, namun aku tak pernah mempertimbangkan jawabannya.
Aku hanya mencoba menikmati apa yang membawaku untuk kualami.
—Setidaknya...itulah yang kutetapkan untuk sekarang.
Lain hal dengan teman sekamarku ini. Ia sudah tahu ingin kemana setelah ini. Sejak awal bertemu, antusiasmenya sangat tinggi untuk memilih Scouting Legion. Bagian militer dimana merupakan pasukan yang paling berani—kata mereka para penduduk—dan 'bodoh'—menurutku.
Aku tidak menyepelekan tugas mereka. Hanya saja pikiran umumku mengatakan bahwa tujuan bidang mereka ini sangat mulia sekali.
'Secercah harapan untuk para manusia yang sudah lama menjalani kehidupan normal ini.'
Mulia sekali, kan?
Jika kalian belum mengerti, aku akan menjelaskan dengan singkat :
'Melanjutkan kematian yang tertunda dan menjalani perjalanan cepat menuju kematian'
Karena cara mati mereka saat bertugas benar-benar sangat 'cantik'.
Aku...tidak menyukainya.
"Nacha, kau sudah selesai? Dua menit lagi kita diharuskan berkumpul di lapangan utama." Ticsa menyadarkanku dari lamunan yang tidak kusadari. Kulihat ia bergegas mengangkat alat-alat makannya dan menuju meja paling depan untuk menumpuknya dengan piring-piring yang sudah selesai dipakai. Aku meneguk sisa susu di gelas kayu terdekatku lalu berlari kecil untuk mengejar waktu.
Hei, Ticsa, apa kau akan tetap memilih lambang dua sayap itu jika kau melihat secara langsung teman-temanmu mati di hadapanmu dengan tragisnya?
Apa kau akan tetap bisa bergerak ketika menyaksikan semua itu?
Apa kau punya ide berapa banyak kurasan mental ketika kelompok pemberani itu menjalankan tanggung jawabnya?
—Aku tidak memiliki gambaran tentang mereka.
Satu jam setelah barisan di lapangan dibubarkan, kami para prajurit pemula bergegas mempersiapkan peralatan-peralatan yang ada di lobby gedung peralatan dekat tempat latihan kami para trainee. Pemilihan kelompok prajurit akan dilaksanakan sore hari setelah pasukan Scouting Legion pulang dari perburuannya pagi ini.
...apa mereka tidak lelah setelah seharian berkutat dengan algojo kematian?
Disaat aku sedang mempersiapkan segala jenis peralatan untuk dipakai kelompok berlambang dua sayap ini, aktivitas tanganku terhenti tatkala sesosok manusia mengusik pandangan mata. Ia sedang berjalan bersama seorang berambut pirang pendek dan memiliki batang hidung yang panjang serta jauh lebih tinggi darinya yang memiliki rambut hitam dengan poni belah tengah miliknya. Wajahnya yang dapat kulihat tiga perempat bagian, membuatku terus mengamati dengan seksama.
Kedua mata yang rapat dan panjang serta bola mata yang kecil, kedua alis yang berdekatan...seperti orang yang suka sekali marah.
Orang tersebut pasti sangat serius sekali sampai-sampai kerutan di dahinya terlihat dari kejauhan.
Wajah seorang yang tidak segan-segan untuk memukulmu jika kau mengucapkan sesuatu yang ia tidak suka. Ah...datar sekali ekspresinya meskipun terlihat serius.
Aku terus memperhatikannya hingga ia berpisah dengan orang disebelahnya dan memakai jubah berwarna hijaunya dengan elegan.
Ya.
Elegan.
Lalu ia menaiki kuda berwarna hitam dengan sangat mudah—mengingat tinggi badannya yang mungkin lebih pendek dariku—dan aku tidak bermaksud untuk melontarkan kata frontal disini.
Kali ini aktivitas tangaku benar-benar terhenti ketika ia sedang mengamati sekitarnya, pandangan mata yang sangat tajam itu mendarat sejenak padaku. Dengan cepat jantungku berdetak memburu seperti pencuri yang ketahuan sedang beraksi. Kualihkan pandanganku ke tempat lain layaknya mencari tempat aman agar terhindar dari tatapannya yang mendesak. Sedikit keringat dingin mengucur dari dahiku. Woah...elang sedang mencari mangsa!
"Heee~ jadi tipe idamanmu yang seperti corporal ya?"
...
"A-apa maksudmu?" Aku terkejut setengah mati saat suara familiar berdengung di gendang telinga. Kutatap Ticsa yang sudah menggertakan gigi-giginya sambil melebarkan senyumnya kearahku.
"Menghayati sekali melihatnya~ sampai-sampai tanganmu berhenti beraktivitas, Nacha." Nada yang menyeret dan menggoda dari temanku. Kedua telapak tangannya menempel pada kedua pipinya dan mata itu benar-benar membuatku tidak nyaman karena seperti pandangan meremehkan.
"T-tidak kok. Aku hanya sedang mencari-cari Hugo. Dia harusnya—..."
"Aku disini, Nacha! Hahahaha!" AH! GAWAT! Wajahku memanas!
Hugo berada tak jauh dariku dan sedang melakukan aktivitas yang sama sepertiku sebelumnya. Aku salah mencari alasan! Ah!
Ticsa terus menyambutku dengan senyuman mengejeknya yang membuatku gagal berdalih.
"Corporal Rivaille."
"Eh?"
"Namanya. Dia salah satu anggota Scouting Legion terkuat dalam abad ini. Pasti kau pernah mendengar ucapan para warga tentang dirinya yang setara dengan seluruh brigade, kan?"
Aku mengangguk pelan masih dengan perasaan malu dan detak jantung yang cukup cepat. Aku tidak pernah meminta gadis ini menyebutkan namanya, namun ada perasaan senang saat mengetahui orang yang baru saja kuamati. Ticsa sepertinya sangat mengetahui tentang corporal satu ini. Dia pasti penggemarnya.
"Dia termasuk pahlawanku." Eh?
"Pasukan Scouting Legion bersiap untuk berangkat!" Kudengar suara keras dari tempat yang kuamati tadi. Para anggota kelompok pemberani ini sudah diatas kuda yang berbaris dan bersiap untuk berangkat. Semua yang sedang beraktivitas berhenti dan berdiri memberikan salute khas kami.
Sekali lagi pandanganku yang tadinya mengalir mengamati satu persatu anggota, terpaku pada corporal ekspresi datar. Ia melewatiku namun tetap kupandang punggungnya hingga jarak pandangku tidak dapat menjangkaunya lagi.
Sesuatu...aku merasakan sesuatu yang aneh pada orang itu.
Aku membiarkan pikiranku berjalan semaunya sambil mengamati sisa anggota-anggota yang masih ada di jangkauan pandanganku.
Aku mengistirahatkan punggungku di salah satu pilar yang menjadi tumpuan gedung sambil berdiri mengamati para prajurit yang entah mengapa masih menyibukkan dirinya untuk mengangkut barang-barang yang tidak terlalu kutahu kemana tujuan mereka membawanya. Kuhela nafas ini sembari memandangi awan putih tipis di atas sana bersama langit cerah.
"Aku akan kembali."
Mengingat sesuatu dengan tiba-tiba membuatku tersentak kaget hampir membenturkan kepala belakangku pada benda keras yang sedang kusandari. Tak berapa lama kuberikan senyum kecut untuk diriku. Sesuatu yang tidak ingin kuungkit lagi.
Kutundukkan kepalaku dan mengarahkan pandangan pada sepatu coklat yang kupakai sebagai salah satu atribut seragam prajurit. Salah satu tanganku membuat sadar bahwa disamping pinggangku, telah tergantung sesuatu.
Aku mengambilnya dan menatap sebuah google kusam berwarna abu-abu tua dengan kaca berwarna oranye transparan menutupi bagian matanya.
Banyak guratan dan bercak debu pada permukaan sekitar benda ini menandakan betapa sering orang yang pernah memakai ini 'merusaknya' tanpa sadar. Aku yakin dia adalah orang yang sangat hebat.
Hahaha~ pemikiran macam apa itu? Mengapa aku bisa begitu yakin dengan hipotesa yang tak bersumber seperti ini?
Aku tidak ingin memikirkannya lagi.
Kukalungkan google kusam keleher dan membiarkannya menghiasi di dekat nadi nafasku.
"Aku tidak akan mengikuti jejakmu." Kubiarkan kedua bibirku tersenyum sambil meninggalkan tempat istirahat sejenakku dan mengunjungi kerumunan yang tak jauh berada dari tempatku. Kulihat Ticsa yang sedang berbicara dengan para anggota prajurit pemula yang beberapa diantaranya kukenal.
"Nacha! Disini!" Ia memberiku tanda untuk segera menghampirinya sedekat mungkin. Aku tersenyum menghampiri teman-temanku.
Aku mengambil bagian dari pembicaraan diantara mereka, tertawa dan berdiskusi tentang kelompok mana yang akan kami ambil sore ini.
Aku tidak akan pernah masuk ke Military Police—karena aku tidak ada di peringkat sepuluh besar tahun ini. Lagipula aku tidak berminat padanya walaupun tawaran untuk sebuah keamanan dan kemakmuran sangat menggiurkan. Sayang aku bukan orang yang suka bermalas-malasan dan mementingkan diri sendiri.
Lalu Scouting Legion dan Stationary Guard.
Aku tidak menyukai Scouting Legion. Maka dari itu kelompok tersebut keluar dari pilihanku. Menyisakan Stationary Guard sebagai masa depanku.
Ya.
Aku akan memilihnya—kemungkinan besar.
Walaupun aku tidak ingin berpisah dari Ticsa yang sudah pasti memilih kelompok sayap tersebut. Tapi kami pasti akan sering bertemu karena kelompok kami berdua seringkali bekerja sama. Ya, kan?
"Kau yakin akan memilih kelompok dengan tugas paling berbahaya itu, Ticsa?" salah satu teman kami yang cukup tinggi dan memiliki dada bidang serta rambut cepak hitam menanyai Ticsa.
"Hm! Aku akan memilihnya! Mereka itu keren sekali sih~" antusiasme lain dari gadis periang ini. Aku tertawa kecil sekaligus takut dengan pilihannya. Pilihan yang memiliki resiko setara dengan nyawanya.
"Wah sayang sekali kita akan kehilangan gadis periang sepertimu! Hahahaha!" Kami tertawa mendengar respon salah satu dari teman.
"Kalau begitu mengapa kalian tidak memilih Scounting Legion saja?" Dengan polos, Ticsa menambahkan pertanyaannya dengan mengajak orang-orang disekitar.
Tawa-tawa lepas yang kudengar mulai berubah menjadi suara tawa yang aneh dan datar meskipun wajah mereka menunjukkan senyuman yang canggung. Tak sedikit dari mereka menggaruk-garuk anggota kepala meskipun aku tahu tidak ada rasa gatal disana.
Namun tak sedikit juga dari mereka yang menyambut antusias ajakan Ticsa karena mereka memang sudah memutuskan untuk mengikuti jejak para senior pemberani yang tak lama telah berangkat memenuhi tugasnya.
Melihat Ticsa yang tersenyum membuat hatiku terasa damai. Sangat teduh seperti duduk di bawah pohon yang rindang. Pemandangan yang indah siap menyambutku setelahnya.
"Ticsa! Aku sudah memutuskan untuk masuk—..."
BRAAAKK!
Seperkian detik tubuhku melayang tanpa diminta. Setelahnya pun aku hampir jatuh karena kedua kakiku hampir gagal menopang keseimbangan pendaratan tubuh ini. Nadi dan detak jantung segera berpacu dengan cepat karena rasa terkejutku yang bersumber dari suara halilintar yang kencang dan dentuman mengerikan yang familiar di telingaku.
Kulihat langit setengah siang diatas dan sekitarnya...suara gemuruh dimana-mana dan asap mulai bermunculan dari kejauhan. Aku dan yang lainnya sempat terdiam melihat satu sama lain hingga seseorang berteriak,
"KEADAAN DARURAT!"
Dan jantungku pun semakin sakit seperti diremas mendengar teriakan tak wajar ini. Orang-orang mulai panik dan berlalu lalang mengalahkan jam sibuk yang pernah kami alami. Suara-suara mereka terngiang-ngiang di telingaku dengan jelas dan berisik.
Suara ketakutan...
Suara putus asa...
"Nacha! Ini kesempatan kita! Ayo!" Ticsa menarik tanganku ke dalam barisan yang entah sejak kapan sudah terbentuk.
"Kelompok satu hingga lima..." aku tidak bisa mendengarkan dengan jelas suara salah satu pembina kami. Kepucatan pada wajahnya tertera jelas disana. Namun tak hanya dia yang seperti itu. Semua orang disini menggigit bibir bawah mereka seperti menahan sesuatu.
Aku dapat memastikan apa yang mereka tahan.
Rasa takut.
Mimpi buruk telah terjadi lagi. Mimpi yang terjadi saat aku sedang terbangun.
Keringatku mengucur dengan deras disekujur pori-pori kulitku. Semua bayang-bayang yang terputar dengan lancarnya di otakku membuatku ingin memuntahkan isi perutku. Nacha...kumohon jangan membiarkan imajinasimu menguasaimu. Kau tidak akan tahu apa yang terjadi...
Putaran bayangan didalam kepalaku kuusahakan tidak mengambil alih rasa berani yang tersisa di tubuh ini.
"...kelompok sembilan dan sisanya menjaga bagian tengah teritori. Sekian. Barisan dibubarkan" Pembina kami segera bergegas meninggalkan tempat kami berbaris. Aku membesarkan mataku dan mencari Ticsa yang berada di barisan kelompoknya.
Aku segera meraih tangan Ticsa dan menatap lekat matanya yang mengguratkan kekecewaan.
"Aku akan bicara pada pembina bila aku ingin menjaga..."
"Ticsa! Kau tidak bisa semaunya seperti itu! Tolong jaga dirimu. Untuk saat ini keselamatan diri kita adalah yang terpenting." Nafasku cukup berantakan karena berbagai macam hal mengacau di otak ini. Ticsa terlihat kecewa karena kelompok mereka bukan kelompok yang dilepas untuk menjaga teritori dari serangan...aku tak ingin menyebut namanya.
Namun aku cukup merasa lega mengetahui Ticsa tidak akan maju dalam perperangan ini. Tidak...sebaiknya tidak di depan mataku secara langsung.
Itu akan sangat tidak kusukai.
"Tapi Nacha, kau..."
"Tenang saja. Untuk sekarang kau hanya perlu memikirkan keselamatanmu. Kumohon." Kugenggam salah satu tangan Ticsa yang cukup bergetar.
"Ya. Kau juga harus selamat. Aku belum menceritakan banyak hal tentang pahlawanku." Terima kasih telah membiarkan aku menikmati tawa polosnya sebelum melangkah pada skenario buruk, Tuhan.
Namun kalimat terakhirnya berhasil menekan gejolak menyebalkan pada perutku. Hahaha~ mendengar cerita tentang pahlawannya ya?
Aku berlari dan mengambil alat andalan kami, three dimensional maneuver gear. Alat tercanggih yang pernah kulihat dalam hidup ini. Alat yang membiarkanku untuk melihat langit lebih dekat sekaligus algojo kematian.
Kukaitkan semua atribut alat ini di tubuhku dengan cermat dan seksama. Karena kesalahan sekecil apapun dapat membahayakan raga ini hingga nyawaku. Setelah selesai aku mengecek semua peralatanku, aku berjalan ke tempat dimana kelompokku berkumpul melewati para prajurit pemula yang sepertinya mental mereka sangat tidak siap menghadapi semua ini. Padahal mereka belum maju ke medan perang di depan sana, namun nyali mereka telah hilang seketika. Aku tidak menyalahkan mereka, karena semua ini tidak ada yang mengira. Ketakutan terbesar memang tidak akan pernah ada yang bisa meramalkan kapan akan terjadi.
"Nacha, kau akan bertugas sebagai back-up ku dan Vinn, dan kau Stuart..." Ketua kelompokku, Dirmen Henz, adalah salah satu prajurit pemula yang bertanggung jawab dan penuh perhitungan dalam strategi. Aku tidak terlalu mengerti tentang strategi disini karena fokusku hanya pada memusnahkan makhluk tak wajar di sana. Kelompok yang beranggotakan enam orang ini...aku mengharapkan keselamatan kami semua.
"Misi dimulai!" Kudengar suara tali baja yang ditarik keatas dan suara hentakan sepatu yang meninggalkan pijakan tanah.
Kutekan tombol kecil dari gagang yang kuselipkan dijari-jari masing-masing tangan. Sekejap angin sejuk menerpa wajah ini dan membawaku pada atas dari sebuah rumah. Pemadangan yang sangat indah masih terlihat dari jarak dekat pandanganku. Setelah menari nafas sejenak, aku mengikuti yang lainnya untuk berlari serta bergegas menuju teritori yang menjadi tempat kami beraksi.
Dari atas atap rumah dan rentang udara serta langit dimana aku melayang dengan bebasnya—dengan bantuan tali baja yang fleksibel, aku melihat para warga yang berlari berlawanan arah dari kami. Kepala-kepala kecil mereka terlihat saat aku berayun maju menggunakan alat layangan di belakang pinggangku. Tak lebih dari tiga menit, kami telah sampai di teritori tujuan kelompok ini. Dengan sinar matahari yang menyengat dari atas sana, dan hawa panas yang tiba-tiba menyergap seluruh indera perabaku, aku melihat kehancuran. Kepulan asap dan reruntuhan tak terhindarkan yang berasal dari rumah-rumah...dan dinding pelindung yang aku tahu, Wall Rose, gerbang miliknya telah hancur. Tak beberapa lama kemudian...aku merasakan hawa takut disekitarku. Lebih tepatnya para anggota kelompokku memancarkan rasa takutnya saat mereka memandangi raksasa yang mulai berdatangan dan mendekat pada teritori yang kami jaga.
Bulu romaku berdiri. Keringat dingin semakin pesat keluar. Degup jantungku kembali ke dalam keadaan cepat.
Wajarkah bila aku takut?
Dirmen maju beberapa langkah sehingga ia berada di depanku dan yang lainnya.
"Saatnya beraksi, teman-teman." Jelas sekali aku bisa merasakan getaran suaranya yang tak stabil. Ia pasti sedang berdo'a mengenai keselamatannya, pikirku yang melihat punggungnya sebelum mencondongkan tubuhnya dan maju mengacungkan pedangnya. Teman-teman seperjuangku ini pun mengikutinya untuk menjatuhkan diri kebawah sebelum tali baja memanjakan mereka untuk ditarik keatas dan kembali melayang.
Rasa takut adalah hal yang wajar, kan?
Ya.
Saking wajarnya, kusebut ini adalah hal yang normal.
"Kotornya makhluk raksasa itu. Hahahaha~" Aku tertawa tanpa alasan sambil memasang google ke mataku yang sedari tadi menggantung di leher. Lalu kupasangkan ujung gagang yang terselip dijari-jariku pada ujung lain mata pisau yang kubawa-bawa dalam kedua kotak berbentuk balok di samping paha. Setelah kupastikan mereka terpasang pada kait yang berada didalam gagang ini, aku menariknya perlahan, bersiap untuk melaju dan menarik nafas sejenak. Kututup mataku saat masih menahan nafas ini. Tak ada yang tahu apakah ini adalah nafas terakhirku atau tidak. Karena...
Detak jarum dari jam kematian yang tertunda telah berjalan lagi
Kau telah melanjutkan kematianmu
"Setidaknya...aku sedang mengulang kembali mimpi burukku." Dan Angin menerpaku dengan lembutnya di siang yang terik ini.
A/N : mohon maaf kalo banyak kalimat yang aneh2 dan style nulis yang gak mainstream alias sulit dimengerti =w=)d + mohon maaf karena saya nulis ini saat pengetahuan SnK nya masih dangkal~ xD
Ini dipersembahkan untuk teman saya yang kebetulan juga jadi anggota di ini. :D
err...gak tau haru ngomong apa lagi di bagian ini, jadi terima kasih sudah mau membaca! ditunggu 'cinta'nya lewat review!~ ^^)/
