Epoch

By Aoikuma

Disclaimer: Mashadi Kishimoto

.

.

.

September, 1977

Kau tahu sayang, aku lelah dengan ini. Kebohongan selalu mengitari dunia. Tak lebih kepada siapapun. Cinta juga sama, menyelimuti dunia dengan kasih sayang dan kelembutan masing- masing. Merasa sendiri, memang begitu.

Kapan ya bisa seperti mereka? Lama lagi... Mungkin nanti, saat embunku berubah menjadi air yang menggenang. Mengalir mengikuti alur sang pencipta. Walaupun bisa diubah dengan usaha kita.

Merasa diri berharga, mungkin tidak juga. Mungkin, saat air mulai habis, kehilangan tumpuan hidup memang tanggungan. Mungkin juga, bisa diubah saat kita mengisinya dengan embun murni yang selama ini tersimpan. Menyentuh seluruh jiwa yang telah lama pupus tak berarah. Menjadikan dirinya sebagai tumpuan hidupku yang baru. Melantunkan simphoni lembut yang akan membawa kita. Menerbangkan jiwa lamaku yang sudah kotor.

Pintu terbuka lebar memastikan bahwa jalanku masih panjang. Jangan buang waktu embunmu. Biarkanlah ia berusaha dan membuat embun lain terkesan. Terkesan dengan kemampuanmu yang bisa mengubah hidup mereka. Walaupun, kau harus kehilangan mereka disaat membutuhkan.

Alunan musik terdengar indah ditelingaku. Tapi,tidak dengan hatiku. Hatiku berkata lain. Hatiku merasa sakit yang teramat sangat. Sakit yang tak pernah kubayangkan akan menghampiri diriku secepat ini. Inikah hukuman yang pantas kuterima? Atau masih ada hukuman lain yang menunggu? Aku tak sanggup jika harus selalu seperti ini. Semua yang harusnya berjalan lancar, menjadi kacau karena perbuatanku. Akankah ini berlanjut? Jika iya, aku lebih memilih mati daripada harus seperti ini.

.

.

.

.

Sasuke berjalan meninggalkan gedung tua yang beberapa waktu ia jelajahi.

Sebuah buku usang tergenggam erat di tangan kanannya. Buku yang ia temukan saat berada di salah satu ruangan yang tak pernah ia duga.

Mempercepat langkahnya, menuju mobil yang diparkir jauh dari tempat ia berada tadi. Kepulan asap terus keluar dari bibirnya. Manandakan suhu yang mulai tak bersahabat lagi. Memasukkan tanggannya kedalam mantel, berusaha mencari kehangatan. Sedangkan tangan kanannya, masih menggenggam erat buku usang tadi. Tak lama, ia sampai di dalam mobilnya dan pergi meninggalkan tempat itu.

Di sebuah distrik, terlihat sebuah mobil memasuki salah satu rumah berlambang kipas. Mobil itu berhenti di depan rumah dan sang pengemudi memberikan kuncinya kepada penjaga yang berdiri disana. Seketika, pintu rumah terbuka dan menampilkan para maid dan butler yang berbaris rapi di kanan kiri pintu.

"Selamat datang Sasuke- sama" Semua maid dan butler membungkuk menghormati tuan mereka.

"Hn" Hanya sebuah gumaman dan anggukan yang menjadi salam pertemuan.

"Otouto, akhirnya kau kembali." Seorang pemuda berumur 30-an datang dan memeluk Sasuke. Seulas senyum terulas di wajah Sasuke, membalas senyum merekah di wajah sang kakak.

"Apakah mereka sudah ditemukan?" tanya Sasuke.

"Belum. Tapi Aniki sudah memiliki titik terang dalam kasus ini"

Sasuke hanya mengangguk dan kembali melangkah meninggalkan ruangan itu.

.

.

.

.

Mengunci pintu, Sasuke merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Diraihnya buku usang yang tadi ia bawa dan membuka lembar kedua yang belum sempat dibacanya.

Mei, 1978

Memang keji berpikiran seperti itu. Tapi, apa daya ia sudah melakukan hal tidak baik. Dia hanya tersenyum, tidak merasa hal itu tidak boleh dilakukan. Tersenyum saat sang embun bertanya. Tersenyum saat sang embun menasihati. Sampai, sang embun merasa lelah untuk bermain dengannya. Titik- titik kristal selalu mengalir saat seseorang yang dicintai pergi meningggalkannya. Menjauh bagai api dan air yang entah kapan dapat bersatu.

Sebuah kisah terang dinyanyikan dengan maniknya. Terlalu merasa rendah dari orang lain, terlalu iri kepada orang lain. Berpikir tidak logis saat api berkobar. Melembut saat air mendekatinya.

Sasuke menaikkan alisnya, merasa bingung dengan tulisan yang satu ini. Begitu ambigu dan susah dimengerti. Menegakkan badannya, membetulkan posisi terlentangnya dan kembali membaca buku di hadapannya.

Melirik jauh saat sang embun melakukan hal yang aneh. Memberi kasih sayang saat sang air merasa kesepian. Selalu bersama saat mereka membutuhkan. Mencari alasan saat seseorang yang ia benci mencarinya. Bersulut ria saat hatinya terlalu sakit untuk menerimanya. Uluran tangan selalu menyambutnya. Terkadang, sang embun tersakiti olehnya. Tersakiti oleh apa yang diperbuatkannya. Merasa iri saat hal-hal baik datang pada sang embun.

Biarkan mereka (sang api dan lautan) bersama untuk selamanya.

Meletakkan bukunya, Sasuke kembali merebahkan tubuhnya. Melirik kesamping, dimana ia bisa mendapatkan sosok istimewa yang kini telah menghilang dari pandangannya. Menghela nafas, Sasuke menutup matanya, menikmati kegelapan yang segera menghampirinya.

.

.

.

.

Someone POV

Mengapa perasaan ini tiba- tiba muncul? Rasa yang selama ini kukubur kembali padaku. Membuatku merasa rapuh dan tidak berdaya jika memikirkannya. Kenapa?kenapa aku masih bisa mengingatnya? Bukankah aku sudah melupakannya? Atau... Perasaan ini masih sama seperti dulu?. Tidak, tidak, itu tidak mungkin. Aku sudah menghapusnya dari hati dan ingatanku. Tapi, perasaan ini tidak bisa dibohongi. Perasaan ini masih sama.

Tidak, tidak aku harus-

Deg

Aku menatap seseorang di depanku lama. Tak ada yang berbicara selain angin yang terus memainkan rambut kami. Hanya keheningan yang menguasai kami. Sampai, salah satu dari mereka melangkah mendekatiku.

"Tentu kau tidak akan melupakankukan... Kyuubi?"seulas senyum terlukis di wajahnya.

"Ah... Tentu saja aku melupakanmu. Kaukan orang yang sangat tidak penting "

"Uh... Kau telah menghancurkanku Kyuu..." Pemuda di hadapanku memasang tampang sok tersakiti.

"Ayolah, ini pertemuan pertama, jangan sok drama queen. Bilang saja kalau kau ingin dipeluk." perempuan yang sedari tadi kupandangi menginterupsi acara kami. Dia mendekatiku dan langsung memelukku erat.

"Ah... Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Aku sangat merindukanmu Kyuu," aku hanya tersenyum dan mengelus kepalanya.

"Yap, kami sangat merindukanmu." seorang lelaki datang memelukku dari belakang.

"Nii- chan!? Sejak kapan kau disini?"

"Sejak tadi." aku hanya diam dan mengeratkan pelukan ini.

"Aku kangen nii- chan," aku berbalik dan membenamkan wajahku di dadanya.

"Nii- chan juga," terdengar nada sarat akan kegetiran di kalimat itu. Kutengadahkan kepalaku, menatap nii- chanku dalam dan segera menghapus air mata yang mengalir di pipinya.

"Nii- chan kenapa? Nii- chan sakit?" tanyaku khawatir. Tapi, hanya sebuah gelengan yang menjadi jawaban.

"Tidak, nii- chan tidak apa- apa. Justru nii- chan yang harusnya mengkhawatirkanmu. Kamu baik- baik saja kan? makan dengan teratur?tidur tepat waktu? Mandi dua kali sehari? Menyikat gigi sebelum tidur dan seu-"

"Ya,ya nii- chan. Aku baik- baik saja" jawabku lambat- lambat.

Ekhm

"Acaranya di lanjutkan nanti. Sekarang, kita bahas tujuan kita kesini. Derel, jelaskan pada kyuubi." Dengan masih memeluk nii- chan, kuhadapkan tubuhku kearah mereka.

"Siapa dia?"

"Dia Derel. Tentara elit yang dikirimkan Erry- sama." Kutatap seorang lelaki tegap di depanku. Kuberikan seulas senyum dan anggukan. Lelaki itu juga membalasnya.

"Baik. Misi kali ini adalah menyusup ke perusahaan-"

End Someone POV

.

.

.

.

Pagi menjelang begitu cepat. Embun- embun pagi membasahi dedaunan yang berkembang. Senyuman sang mentari menyambut bunga- bunga yang bermekaran. Sinar- sinarnya membangunkan para makhluk hidup yang terlelap. Terlihat, seorang pemuda berambut biru muda tertidur dengan lelapnya. Meringkuk, mencari kehangatan dalam selimutnya.

Brak

"Kyuubiii, cepat bangun atau kubuang semua stok ramenmu." seorang wanita paruh baya datang dengan ganasnya. Mukanya memerah dan mataya menatap nyalang sosok di hadapannya.

"Kau anak nakalll, cepat bangun," wanita itu menarik selimutnya hingga sang pemuda jatuh kelantai.

"Aw... Ibu, jangan membangunkanku seperti ini. Ibu kan bisa membangunkanku dengan cara yang lebih baik." Sang pemuda merengut sebal menatap sang ibu.

"Kau tak akan bisa dibangunkan dengan cara baik- baik. Cepat sana, mandi. Bukankah kau ingin melamar kerja?'

"hm hm" sang pemuda mengangguk dengan keadaan setengah sadar. Mengambil handuknya, memasuki kamar mandi yang terpajang di sampingnya.

"hah... Anak itu..." Wanita yang dipanggil ibu itu hanya dapat menggelengkan kepalanya. Berjalan kearah lemari, mengambil pakaian kerja sang anak yang tak pernah tersentuh lagi. Sepuluh menit berlalu, sang pemuda sudah siap dengan pakaiannya. Melihat pantulannya dikaca dan tersenyum melihat penampilannya. Setelahnya, sang pemuda segera bergegas menuju ruang makan yang ia sukai.

"Ibu, nii- chan, ohayou,"

"ohayou," jawab ibu dan nii- channya bersamaan.

Sang pemuda, Kyuubi, segera memakan omurice yang terhidang dan menghabiskannya secepat kilat. Meminum air yang tersedia dan menegaknya hingga habis.

"Aku pergi... " Kyuubi melangkahkan kakinya menuju trotoar dan berjalan ke halte bus. Beberapa menit kemudian, Kyuubi sudah berada di dalam bus yang dia tunggu.

.

.

.

.

Sasuke mengendarai mobilnya menuju perusahaan sang kakak. Disana ia bekerja menjadi bawahan sang kakak. Tak memperdulikan marga yang di bawanya, ia tetap bekerja di tempat sang kakak. Karena Sasuke ingin menjadi seseorang yang dipandang karena kerja kerasnya.

"Yo Sas! Kapan kau datang? Kukira kau sudah tak ingin bekerja disini lagi. Kau tahu? Kau terlalu banyak ketinggalan berita sas!"

"hn" sasuke hanya menjawabnya dengan gumaman tidak berarti.

"Secercah cahaya di kayu tua." Seorang lelaki mengatakan hal itu tepat di telinga Sasuke. Tanpa bisa bertanya, lelaki itu sudah pergi meninggalkan kebingungan semua orang.

"siapa dia?" Sasuke bertanya pada keheningan.

"Dia pegawai baru di sini. Kau mengenalnya?" Seorang pemuda yang menyapa Sasuke tadi bertanya balik kepadanya.

"Tidak."

"Dia memang aneh. Kau tidak usah memperdulikannya. Dia saja diterima dalam waktu 20 menit, aneh kan?" Sasuke hanya mengangguk dan berjalan ke meja kerjanya. Tanpa Sasuke sadari, pemuda itu masih menatapnya

'Semoga kau mengerti.'

.

.

.

.

Akhirnya, Kyuubi telah diterima di perusahaan itu. Dengan bangga dan penuh perhatian, ia meneliti semua yang ada di gedung itu. Termasuk, seseorang yang entah mengapa sangat dikenalnya. Seorang pemuda yang selama ini mengisi relung hatinya. Seorang pemuda dengan wajah khas dan rambut kebiruannya.

Deg

Tring

'Kyuu, kau harus segera melancarkan serangan. Dekati dia dan hancurkan dia.' seseorang berbicara melalui sepasang anting yang dipakai pemuda itu.

'Ini baru awal, tidak mungkin aku melakukannya,'

'Kau harus cepat. Erry- sama mempercepat waktunya. Ia ingin kau menyelesaikan tugas ini dalam dua minggu,"

'What!? Kau gila!? Dia itu sangat cerdas dan pendiam, tidak mungkin aku melakukannya dalam waktu dua minggu.'

'Aku tidak mau tahu. Yang penting, kau harus menyelesaikan tugas ini kurang dari dua minggu. Jika kau telah menyelesaikan tugas itu, kau harus menemui Erry- sama untuk melakukan pembaruan.

'Akan kucoba!" Sebuah dengusan menjadi akhir percakapan tersebut.

"Natsumi- san, tolong ikuti saya. Saya akan memberitahu ruang kerja Itachi- sama." Kyuubi mengikuti wanita berambut ungu yang sedikit mengganggunya. Menaiki lift, menuju lantai teratas yang ada.

Ting

Suara itu menjadi pengantar Kyuubi kelorong yang sangat sepi. Dihadapannya, lantai marmer hitam terpasang rapi menyambutnya. Dinding kokoh berwarna pualam, dengan kontras membatasi ruangan- ruangan yang tersembunyi di dalamnya. Kyuubi sedikit terpana dengan pemandangan aneh di hadapannya. Setelah tersadar, ia pun mengikuti wanita yang telah jauh meninggalkannya.

''ni sangat... Mengejutkan' batin kyuubi memuji juga miris melihat keadaan lorong yang sangat berseni.

"Silahkan masuk, Itachi- sama sudah menunggu anda." Kyuubi menuruti perintah wanita itu dan memasuki ruangan asing di depannya. Setelah beberapa langkah, Kyuubi menatap seorang lelaki dengan rambut panjang, sedang memeriksa dokumen- dokumen yang tertumpuk di meja sebelah kanannya.

"Silahkan duduk." Itachi mengangkat kepalanya dan menatap Kyuubi dengan datar.

"Apakah Anda sanggup menjalankan tugas ini?"

"Ya, saya sanggup Itachi- sama." Itachi menatap Kyuubi penuh pertimbangan. Sedikit berfikir, dia mengagguk dan menyerahkan beberapa dokumen kearah Kyuubi.

"Ino, antarkan Natsumi ke ruangannya."

"Baik" jawab Ino dengan menundukkan kepalanya. Kyuubi beranjak dari duduknya, menundukkan kepala dan mengikuti Ino, wanita beraambut ungu tadi.

"Ini ruanganmu. Jika kau memerlukan sesuatu, tekan saja tombol di atas meja. Satu lagi, jangan pernah mendekati Itachi- sama jika kau tak ingin ... kubunuh." pintu itu tertutup, meninggalkan Kyuubi dalam ruangan asing yang akan ditempatinya.

"Tenang saja, aku akan mendapatkannya secara utuh. Dan kau, tak mungkin bisa menyentuhku." Kyuubi tertawa dengan kerasnya. Untung saja, ruangan yang ditempatinya kedap suara. Jika tidak, maka Kyuubi akan dikatakan seseorang yang sudah hilang akalnya.

.

.

.

.

Siang ini begitu terik. Hawa panas berkumpul pada satu titik. Menciptakan suasana suram bagi orang- orang yang bekerja diluar ruangan. Jam 12.30 adalah waktu istirahat untuk para pegawai. Sasuke mengeluarkan buku usang yang ia temukan kemarin. Membukanya, melanjutkan bacaan yang belum ia selesaikan.

Agustus, 1981

Kamu tahu, dunia itu terlalu menyedihkan sayang. Dunia ini selalu memiliki kejutan sayang. Semua orang di dunia mempunyai hal yang mereka tutupi. Ditutupi dengan cara menjauhi. Ditutupi dengan cara mendekati. Ditutupi dengan cara memendam. Ditutupi... dengan cara menyakitkan sekalipun. Terkadang, orang harus menanggung akibat- akibat yang diperbuatkannya. Hal- hal yang mereka lakukan mendapat keburukan dan kebaikan. Demi kebaikan, ia berani mengambil resiko. Demi orang yang dicintainya, ia sering keluar dengan sepermainannya. Mencari surga dunia yang diberikan. Berharap, ia akan kembali ke dalam rengkuhannya. Menangis untuk keputusan yang telah diambil .

Akar pohon tingggal setengah bagian. Daun- daun hanya tinggal beberapa helai. Menungu untuk diisi dengan hal- hal baru yang penuh dengan sejuta kenangan. Penuh dengan sejuta kesedihan. Penuh dengan sejuta penderitaan. Juga... Penuh dengan sejuta kesenangan.

Kapan hal itu akan berakhir? Entahlah, mungkin saat dunia ini hancur atau saat kita telah dipanggil Sang Maha Kuasa.

Sasuke menutup bukunya sebelum orang lain mengetahuinya. Diletakkannya buku itu di laci meja dan segera pergi untuk mengisi energi tubuhnya.

"Sas! Disini!" Seorang pemuda melambaikan tangannya kearah Sasuke. Menunjukkan keberadaan si pemuda yang berada di tengah- tengah kerumunan orang. Sasuke menghampiri pemuda itu dan duduk di ruang kosong yang diberikan.

"Kau mau pesan apa? Tenang saja, aku yang bayar," Pemuda itu tersenyum unjuk gigi, sedangkan Sasuke hanya mengernyitkan alisnya. Seakan tahu, pemuda itu menjawab lagi.

"Aku sudah menikah dengan Karin dan kau tahu apa kejutannya? Aku akan menjadi seorang ayahhh" Pemuda itu tersenyum merekah. Wajahnya berseri- seri membayangkan wajah sang istri dan anaknya kelak.

"Selamat Suigetsu." Sasuke menjabat tangan pemuda itu dan memberikan seulas senyum.

"Hehehe... Thanks Sas! Walau telat," mengingat sesuatu, sang pemuda bernama suigetsu menyatakannya.

"Oh iya, kau pesan apa?'

"Onigiri dan teh hijau."

"Hanya itu? Kau yakin? Aku sedang berbaik hati loh..." Suigetsu meyakinkan Sasuke dan anggukan pasti yang ia dapatkan.

"Baiklah, akan kupesankan." Suigetsu pergi, setengah berlari.

"Perputaran bulan sebagai awal, perputaran bumi sebagai akhir. Hubungi dia. Tokyo." Seketika, Sasuke menoleh ke sumber suara. Ia terkejut saat tidak menemukan siapapun disana.

'Apa maksud semua ini? Siapa dia ? Kenapa dia terus mengikutiku?'Sasuke membatin waspada. Ditatapnya seluruh penjuru kantin dan tak menemukan orang yang sama.

''Food is comingg... " Suigetsu datang dengan riangnya. Dengan membawa nampan, ia melangkah ringan bagai tak memiliki beban. Meletakkan makanan yang ia bawa, lalu duduk di samping Sasuke.

"Thanks" gumam Sasuke yang dapat didengar Suigetsu.

"No problem" jawab Suigetsu sambil mengunyah makanannya.

Mereka menikmati saat- saat seperti ini. Saat dimana sang sahabat berada di sisi mereka. Menjalani hari dengan bahagia. Mengisi perputaran waktu dengan obrolan. Sampai mereka tak sadar, bahwa ada sesuatu hal yang akan menunggu.

.

.

.

.

Malam telah menunggu. Bias- bias kemerahan mulai hilang ditelan kegelapan. Burung- burung berpindah- pindah, melukiskan sebuah kisah di cakrawala. Seorang pemuda telah terduduk di ranjangnya. Dia sangat lelah setelah melakukan kegiatan yang sangat disukainya.

Tok tok...

Cklek

"Tuan, kau tak apa?" Seorang pria berambut abu- abu berlari kearah si pemuda. Pria itu memegang bahu sang pemuda dan memutarkan tubuhnya. Setelah melihat tak adanya sebuah robekan ataupun luka, pria itu memegang kaki sang pemuda dan menekan bagian- bagian rawan terkena luka. Tak ada respon berarti, pria itu melanjutkan pengecekan di bagian kepala. Mata, hidung, bibir, mulut, telinga, kepala, wajah. Semua lengkap dan tak ada yang berubah.

"Tuan, jangan melakukan hal ini lagi ya?. Kalau tuan ingin, Kiki akan mencarikannya."

"Huuh, kalau kamu yang mencarikan, jadi ga seru dong... Pokoknya, aku mau cari sendiri!" jawab si pemuda ketus. Kekeraspalaan sang pemuda membuat pria berambut abu- abu itu menghela nafas.

"Memangnya tuan mau, dikejar- kejar sama paman berpistol? Nanti tuan ditangkap, terus... Tuan dibawa keruangan yang banyak orang- orang jahatnya..." Sang pria berambut abu- abu memperlihatkan senyum dibalik maskernya. Dengan suara yang dibuat se seram mungkin, ia menakuti tuan mudanya.

"Huaaa... Lilu ga mau ketemu sama paman- paman belpistol. Paman belpistolkan olang yang jahat..." Sang pemuda menerjang pria berambut abu- abu itu dan memeluknya erat. Sangat erat.

.

.

.

.

.

TBC