a/n: ehem. setelah sekian lama ga pos di sini, akhirnya kembali lagi /nyengir. well, kalo gitu yoroshiku lagi ya!


a haikyuu fanfiction:

Jangan

Haikyuu! © Haruichi Furudate

Saya tidak mengambil keuntungan materiil apapun dalam fanfiksi ini.


"Jangan."

Daichi coba, dan Suga menggeleng.

Dia melekuk senyum lalu tertawa. Kedua tangan masih terus membereskan pakaian. Lemari setengah kosong; sebagian isinya sudah dijejal masuk ke dalam koper. Tinggal beberapa potong pakaian maka jejak dirinya tak akan lagi bersemayam di tempat Daichi berpijak.

"Maafkan, ya."

Koper direstleting, diberdirikan, dan disandarkan di tembok dekat pintu keluar.

Dia menggosok-gosok tangan, coba hangatkan kesepuluh jari yang beku bukan main. Syal abu-abu ia rapatkan di leher dan kedua tangannya kembali masuk ke dalam saku.

(Sementara Daichi hanya diam. Berdiri dengan sepotong kaus dan celana pendek tipis tanpa balutan apa-apa. Ini Januari, bahkan tangan orang itu sudah berhenti merengkuh tubuhnya lagi.)

Daichi menggeleng sekali; kemudian dua, dan yang terakhir disertai dengan duduk di atas ranjang.

"Suga..."

Dia membalik badan. Sepenuhnya menghadap pintu; sengaja biar dia tak liat wajah Daichi lagi. Berikut tangan kirinya ditolak di pinggang, dia merenguk senyum sekali lagi.

"Aku tidak bisa." Matanya menilik ujung mantelnya. Lantai kayu di bawah kakinya juga tiba-tiba jadi jauh lebih keren. Ia hela napas sekali; masih dengan senyum di wajah. "Kau tahu aku tidak bisa."

Tangan pucatnya meraih gagang pintu, dibuka pintu itu pelan-pelan sambil menyeret kopernya dengan tangan bebasnya.

"Daichi," panggilnya, "Aku harus pergi."

Daichi menatap punggung Suga yang kelamaan hilang dari balik mahoni. Ia ikut bangkit. Telusuri lorong tempat biasa mereka melontar ejek, lalu kembali membuat jantung Daichi berdenyut nyeri. Sosok Suga sudah jauh di depan; langkahkan kaki tanpa beban, tinggalkan dirinya semudah awan.

Ia kemudian berhenti lama di sudut meja makan. Tehnya sudah berhenti mengepul, sup terakhir buatan Suga juga sudah benar-benar dingin, dan meja itu tak akan pernah diisi mereka berdua lagi.

Bibirnya mendecih, tenggoroknya perih, dadanya nyeri, kepalanya juga berdenging tanpa henti.

Jangan. Jangan.

Ia menderap langkah, buru-buru susul diikuti bunyi gedebuk di tiap langkahnya. Suga menengok lalu tersenyum miring. Tangannya ia lambaikan dan hendak buka pintu apartemen.

Hingga tangan kanannya digenggam erat, dan Suga berhenti melangkah.

"Suga," Daichi menarik napas panjang, kemudian geleng kepala, "Kumohon, jangan."

Hening; dingin. Tawa pelan mengalun. Suga dekatkan wajah dan sentuh pipinya. Tangannya gerak membelai lalu ia cium pipi Daichi pelan.

Kemudian Suga tersenyum, dan tangannya ia sentak.

Daichi rasa kakinya rubuh; hatinya ikut runtuh. Hangatnya tiba-tiba tersedot hilang. Dingin.

Jangan. Jangan. Jangan.

Dan pada akhirnya pintu itu tak pernah dibuka.

Bilah pisau ia lempar sembarang arah; Daichi segera peluk Suga yang sudah bersimbah merah.

"Jangan pergi." Ia berbisik.

Karena Daichi sudah bilang jangan, dan Suga tetaplah pergi.


end.