Disclaimer : Naruto by Masashi Kishimoto
.
.
LIES
.
.
Malam temaram. Cahaya bulan yang redup berusaha menelusup masuk ke sebuah kamar di lantai dua sebuah rumah megah dari sela-sela gorden yang menutupi balkon yang terbuka. Angin menari-nari, menggoyangkan gorden tipis berwarna putih tersebut, menyamarkan aktivitas sepasang keturunan Adam dan Hawa di ruangan itu.
Dua orang nampak bergelut di tempat tidur. Sang Adam berada di atas, berusaha mendominasi sang Hawa di bawahnya. Keduanya menyatu. Bergerak dalam satu irama yang konstan. Detak waktu mengiringi mereka.
"Ahh ... nghh!" Yang wanita mendesah pelan, meresapi semua kenikmatan duniawi yang didapatkannya malam ini. Wanita berambut pink itu mendongakkan kepalanya, jari-jarinya meremas pelan helaian rambut kuning sang pria seiring dengan derit ranjang yang semakin terdengar.
Sang pria tampak berpeluh, menggigit bibir bawahnya yang memerah lalu membenamkan kepala dalam leher sang wanita, menghirup aroma cherry bercampur keringat yang sangat ia sukai. Ia menghentakkan tubuh semakin dalam, semakin mendesak wanita itu. Sama seperti sang wanita, ia mencoba meresapi nikmat duniawi itu. Menikmati percintaannya ini.
"Na—Naruto—uh ..." Wanita merasakan tubuhnya bergetar oleh gerakan sang pria, seluruh darahnya berdesir. Adrenalin yang semakin terpacu membuatnya melepas remasan tangannya pada rambut pria itu, mencari sesuatu yang lebih kuat untuk dijadikan pegangan. Menuntunnya pada jari-jari sang pria, lalu menggenggamnya erat. Ia—tak kuat. "Arghh! Ah! Ah!"
Pria itu menekan lebih kuat, mengecupi leher sang wanita sebelum merambat naik untuk menghisap bibir bawah wanita itu. Pria berambut kuning itu melumatnya sedikit kasar, mencari pelampiasan atas kenikmatan yang ia dapat. Melumat, menghisap, hingga kemudian mendorong lidahnya masuk untuk mengeksplorasi.
"Narutoh! Naruto—mmhh! A-akuhh ..." Wanita itu mengejang, tak kuasa ketika merasakan hentakan sang pria menggila. "ARGHH!"
Deru napas terdengar seiring gerakan yang melemah hingga terhenti sama sekali. Keduanya bertatapan, berusaha mengatur napas masing-masing setelah kegiatan yang melelahkan itu.
Sang pria menyatukan keningnya dengan kening sang wanita, berkali-kali mengecup daerah wajah yang mampu dijangkaunya. "Marry me, Sakura ...," bisiknya.
Yang wanita menatap mata biru dalam sang pria, sebelum tersenyum dan menggeleng. "Belum—akhh!" Ia memekik, tubuhnya terhentak saat ketika sang pria kembali menghujamnya, melampiaskan kekesalan karena penolakan, bahkan kini lebih cepat lagi.
"Narutoh ... akh ... dengar ... ahh ... akh ... akhuuhh ... duluuh ..." Ia berusaha bicara di sela pekikan kecilnya dan tawa. Pria ini ngambek. Lucu sekali. Kekanakkan.
.
.
.
.
Standard warning applied. Mature contents.
.
.
.
.
Haruno Sakura berusaha untuk duduk dan berdesis pelan, menggigit bibir bawahnya saat merasakan sakit di area sekitar pahanya. Perempuan itu perlahan bangun sambil berpegangan pada meja nakas, mencoba mengabaikan nyeri yang menjalar serta beberapa tetes cairan dari selangkangannya yang mengalir menuruni pahanya. "Akh ..." Ia mencoba berjalan, tapi paha dalamnya terlalu sakit ketika bergesekan. Ditolehkannya kepala ke ranjang, seorang pria berambut kuning sedang tidur pulas di sana dengan tampang tak berdosa. "Ck," Sakura memutuskan untuk duduk kembali, lalu membaringkan tubuh di samping pria itu.
Tak disangka, Namikaze Naruto berbalik untuk menyeringai kecil pada Sakura. Rupanya ia hanya pura-pura tidur. "Kenapa tak jadi bangun, hm?"
Sakura menjitak pelan kepala Naruto, "Aku tak bisa jalan, Baka!"
Sebelah tangan Naruto terulur untuk mengusap pipi wanita itu, "Mau kuperiksa, Bu Dokter? Hm?" Ia menggoda.
Semburat merah secara alami muncul di pipi Sakura. "Caranya?"
"Blow job?"
Sakura kembali menjitak Naruto. "Apa yang ada di pikiranmu cuma hal mesum saja, hah?"
Naruto terkekeh senang, lalu memeluk Sakura erat. Membenamkan wajah pada leher Sakura, menggosok-gosokkan hidungnya di sana. "Baguslah, jadi kau tak perlu kemana-mana hari ini."
Sakura membalas pelukan Naruto. Manja sekali pria itu. Ia mengusap-usap helaian pirang yang disukainya, membiarkan Naruto menyelimuti mereka. New York di musim gugur lumayan dingin. Enaknya jika mereka bisa seharian bergelung di tempat tidur tanpa perlu memikirkan ini-itu. Lagipula ... lama sekali rasanya ia sudah tak pernah melakukan pillow talk bersama Naruto. Tapi ... "Naruto?"
"Hm?"
"Kenapa rasanya aku melupakan sesuatu, ya?"
"Apa?"
Tok ... tok ... tok ...
Cklek ...
"Dad? Mom?"
Sakura langsung ingat apa yang ia lupakan. Namikaze Kazuto. Menghembuskan napas lega karena selelah apapun dirinya Naruto selalu ingat memakaikan mereka berdua baju kembali, Sakura beranjak duduk dan merentangkan pelukannya pada seorang balita berumur empat tahun yang datang sambil menyeret boneka beruang kesukaannya. "Come here, sweetie ..."
Anak berambut pirang dan bermata hijau itu berlari dan memanjat tempat tidur orang tuanya, memeluk Sakura. "What are you doing here? It's nearly eight o'clock!"
Naruto tertawa dan mencubiti pipi Kazuto, "You mustn't believe what've dad done with your mom."
"Naruto!" Sakura memperingatkan, mendelik.
"Hey, you know, Hero, mom even can't walk!" Mengabaikan Sakura, Naruto mengacak rambut putranya yang berwarna sama dengan rambutnya.
"Seriously, mom?" Kazuto menatap sang mama dengan mata hijaunya yang bulat. "What must I do, then? Can I kick or hit dad?"
Mau tak mau Sakura tertawa. "Jadi, Sayang, apa yang membuatmu datang ke sini? Kau tak pergi ke sekolah dengan Shizune?"
"She's boring." Kazuto mengerucutkan bibirnya, "Dad, can I go to school with you today?"
Naruto mengangkat bahu. "Tentu. Tapi kau harus mandi dan berpakaian dulu."
"Ok!" Kazuto menghormat ala tentara, melompat turun dari tempat tidur, dan keluar dari kamar orang tuanya.
Sakura tersenyum kecil. "Dia mirip denganmu."
"Tentu saja—jadi, Sakura, kau mau kugendong atau kau sudah merasa baikan?"
Sakura menatap Naruto, lalu memutar bola matanya. "Kau liar sekali semalam, Naruto."
"Aku merindukanmu," Naruto mengangkat Sakura turun dari tempat tidur, menggendongnya menuju kamar mandi. Ia menurunkan Sakura di bilik shower, melepas baju wanita itu satu persatu. "Kau ingat, kau sudah lama sekali tidak mampir ke sini."
Sakura memejamkan mata untuk menerima ciuman Naruto. Menyandarkan tubuh di dinding kaca, ia membiarkan pria itu mengambil alih dirinya. "Kau tahu ... aku tak bisa ..."
"Hilangkan keraguanmu, Sakura-chan ... Kazuto anak kita ... suatu saat ia pasti bertanya-tanya kenapa orang tuanya jarang serumah ... dan bahkan mungkin ia akan bertanya kenapa kita tak menikah."
Masih memejamkan mata, Sakura mengembuskan napas, berusaha rileks saat Naruto memijat bahunya. "Naru, maaf—"
"Ssttt ..." Naruto menyandarkan kepala pada dada Sakura, "Aku belum siap untuk penolakan lagi."
.
.
.
.
.
.
Haruno Sakura menatap lalu lintas di bawah dari jendela ruang kerjanya, lalu beralih ke langit senja, sebelah tangannya memegang mug berisi segelas cokelat panas. Wanita itu mendesah pelan. Meski berusaha menyingkirkan pikiran itu jauh-jauh, tetap saja ia kepikiran.
Menyelipkan beberapa helai rambut merah muda sepundaknya ke balik telinga, Sakura meletakkan gelas itu di meja kerjanya dan menarik kursi untuk duduk. Tangan kanannya meraih pena dan mengetuk-ngetuk permukaan meja, sedangkan tangan kirinya menopang kepala.
Sakura tahu ada yang salah.
Dua hari yang lalu, malam ketika ia dan Naruto bercinta, Sakura tahu ada yang salah dengan pria itu. Hei, Sakura tahu benar gaya bercinta Naruto. Pria itu selalu liar dengan dominasi mutlak. Meski malam itu Naruto juga menghabisinya, tapi rasanya ada yang berbeda. Pria itu lebih pendiam. Tak ada pillow talk. Naruto tertidur segera setelahnya, walau ia tahu hal yang selalu dinantikan Sakura adalah bercerita setelah bercinta.
Pertanyaannya : kenapa?
Tak hanya itu, Naruto juga menghindar. Pria itu tahu Sakura tak bisa berjalan pada Senin pagi (Sakura sengaja mengambil cuti pada hari Senin agar bisa menghabiskan hari itu bersama Naruto, karena weekend mereka adalah jadwal bersama Hero), tapi ia meninggalkan Sakura dan memilih mengantar Hero bersekolah dan kerja. Oh, ayolah, pengusaha seperti Naruto tak punya jam kerja! Takkan ada yang marah jika ia bolos sehari, paling sekretarisnya yang kalang kabut.
Apa Naruto marah?
Atau lebih buruk lagi, merasa bosan?
Sakura menggigit bibir bawahnya, panik. Mungkin saja. Naruto sudah bosan pada hubungan mereka yang tidak berkembang, lalu memutuskan pergi. Astaga.
Sakura menyandarkan tubuh pada kursinya. Viridian-nya meredup. Ia tahu ia egois. Memaksa Naruto mengikuti alur yang ia ciptakan. Memaksa pria yang awalnya tipe konservatif itu ... hingga melahirkan seorang anak tanpa sebuah pernikahan.
Ya, alasan itulah yang membuat Sakura pergi ke New York tujuh tahun lalu. Selain untuk melarikan diri dan menimba ilmu, Sakura pergi ke New York karena di tempat inilah ia dapat menjalin hubungan bebas tanpa gunjingan. Tempat dia bisa melahirkan tanpa seorang suami. Tak disangka, dua tahun setelah tiba di New York ia bertemu dengan seorang sahabat masa kecilnya. Namikaze Naruto.
Dan melahirkan anak pria itu.
Tentu saja itu keinginan Sakura, tapi Naruto mendesaknya untuk menikah.
Dari sana hubungan tanpa ikatan ini dimulai. Sakura yang memiliki trauma terhadap pernikahan, membuat Naruto terpaksa menerima dan menunggu wanita itu hingga siap.
Kini sudah lima tahun ...
Apa Naruto lelah dan memutuskan berhenti menunggunya?
Sakura memejamkan matanya.
Egois, batinnya berbisik. Naruto adalah seorang lelaki yang mapan dan baik. Tentu banyak klien maupun karyawatinya yang menggilai diri pria berambut pirang itu. Andaikata Naruto melakukan affair ... Sakura bisa apa?
Untuk pertama kalinya wanita itu menyadari, posisinya terlalu lemah untuk berhak mempertahankan Naruto di sisinya.
.
.
.
.
.
.
Namikaze Naruto mengacak rambut pirangnya. Dari dinding kaca perusahaannya, Namikaze Group, ia memandang langit senja di musim gugur yang sedikit berkabut. Ia tak heran. New York memang penuh polusi.
Terngiang kembali permintaan ibu dan ayahnya. Mendesaknya untuk melakukan ritual sakral antara pria dan wanita. Tentu sudah sejak lama orang tuanya yang menetap di Tokyo itu tahu keadaannya (dan sudah lama pula sejak ia mendapat tamparan ketika mengetahui apa saja yang sudah dilakukannya di New York), tapi kini berbeda ...
Dalam hati Naruto berjanji, ia akan menunggu Sakura. Ia mencintai wanita itu sepenuh hati. Wanita yang sudah melahirkan anaknya. Wanita yang selalu ia sebut namanya saat bercinta. Tapi ... ibunya sudah lelah menunggu.
Naruto menatap smartphone miliknya. Sebuah undangan datang. Sang ayah yang memang mengurus perusahaan utama di Jepang meminta Naruto menemani model Jepang yang datang ke New York untuk makan malam bersama dalam rangka memperat tali kerjasama.
Naruto tentu tidak bodoh. Ia bukan anak berumur sebelas tahun. Ada maksud tersembunyi yang diisyaratkan oleh orangtuanya.
Naruto menekan-nekan ponsel touchscreen miliknya, menghubungi sebuah nomor yang sangat ia hapal.
"Halo Shizune? Hero di mana?"
" ..."
"Tolong ajak dia mandi dan bersiap-siap. Pakaikan tuksedo untuknya. Aku akan mengajaknya makan malam. Sekarang aku ke sana."
Meraih kunci mobilnya, Naruto melangkah keluar ruangan. Ia bersiul ringan dan melempar-lempar kunci mobilnya ke atas. Ia tahu kejutan apa yang tepat untuk calon yang dipersiapkan sang ibu.
.
.
.
.
.
.
"Dad? Where's mom? Will we go to dinner with her?"
"Tidak, Hero. Tolong bersikap manis karena kita akan bertemu rekan kerja Dad."
Namikaze Kazuto mengerucutkan bibirnya lucu. Merajuk. "C'mon, Dad. I miss mom very much! I haven't see her since two days ago!" Tangan kanannya yang digandeng sang ayah mengayun lemah. Mata hijau jernihnya memandang ke sekeliling restoran yang dimasukinya bersama ayahnya, berharap menemukan sosok sang ibu di sana, tapi ayahnya malah menyeretnya menuju seorang gadis cantik bergaun putih dengan rambut pirang dan mata lavender.
Sang ayah tak melepaskan tangannya saat menjabat gadis itu.
"Naruto."
"Shion."
Kazuto masih merajuk sewaktu ia didudukkan di samping ayahnya, mengabaikan tatapan bingung gadis bernama Shion itu.
Naruto terkekeh pelan melihat aksi merajuk Kazuto, diacaknya rambut anaknya itu. "Hey, dude, kau tak ingin berkenalan dengannya?"
"Naruto, apa dia keponakan—"
"I want mom!" Kazuto memotong ucapan Shion, mendelik pada gadis itu. Ia tak suka melihat ayahnya didekati wanita lain selain sang ibu. "Where's mom, Dad? Don't she come here?"
Naruto menatap Shion, tersenyum meminta maaf. "Dia memang sensitif terhadap orang asing. Tidak, dia bukan keponakanku. Dia anakku. Hero."
Shion menatap Naruto sedikit bingung. Anak? Tapi kenapa Mr. Minato dan Mrs. Kushina bilang Naruto belum punya istri? "Sorry?"
"Panjang untuk dijelaskan." Naruto menolak menjelaskan. Ditatapnya Kazuto yang memalingkan wajah. "Hey kid, just say 'hello' to Miss Shion," pintanya, disambut dengan gelengan Kazuto, masih ngambek.
Mengerutkan kening, Shion kembali mendesak Naruto, "But you are single, aren't you?"
Pelayan datang membawakan appetizer, menghentikan pembicaraan itu. Setelah memesan menu masing-masing, termasuk Kazuto yang harus dibujuk agar mau makan, pelayan itu pergi.
"Yeah, you can say that." Naruto tertawa pelan, mau tak mau jujur akan statusnya. Setelah memotong kecil-kecil roti di piring Kazuto, ia memakan miliknya.
Shion mengembuskan napas lega. Pengakuan Naruto membawa harapan untuknya. Jujur, dari pertama gadis itu sudah tertarik akan sosok Namikaze Naruto. Kulit khas Asia, rambut pirang serta mata biru yang dimilikinya benar-benar menarik. Pria itu tampak kasual dalam balutan kemeja putih dan jas, aroma parfum musk-nya juga memabukkan. Dari penilaiannya, Shion memberikan nilai sembilan puluh untuk Naruto. Dia punya anak, but who's care? Shion juga akan mendekatkan diri pada anak yang tampak menggemaskan itu.
Mereka makan dalam diam. Naruto yang sesekali menyuapi Kazuto atau terkadang mengelap bibir anak itu dengan serbet, bukannya membuat Shion risih, tapi terkesima. He's so ... adult. Dan Shion suka, sangat suka itu.
"Do you want ice cream to dessert?"
Pertanyaan Shion membuat Kazuto mendongak, menatap gadis yang tengah tersenyum padanya itu. "Mom always ask me to not eat ice cream after dinner. My teeth will break."
"But mom isn't here, right?"
Kazuto menimang sejenak. Ia benar-benar ingin es krim. Menoleh pada sang ayah, Kazuto bertanya, "Can I eat ice cream, Dad?"
Menatap Shion yang memandangnya dengan tatapan memohon, Naruto terkekeh pelan. "Of course."
Shion tersenyum, memesan dua mangkuk banana split.
"Kau pintar mengambil hatinya."
Pujian itu membuat Shion tertawa kecil. "Aku suka anak kecil. Ada sebuah panti asuhan yang aku kelola di Jepang, jika stres dengan pekerjaan aku selalu ke sana untuk merilekskan diri."
Naruto tersenyum kecil. "Wow. Mungkin suatu saat aku akan mengajak Kazuto ke sana. Ia sedikit tertutup, karena jarang bertemu banyak orang. Kau tahu, New York bukan tempat yang aman untuk membebaskannya bermain."
"Tentu. Kau selalu diterima."
Sepanjang sisa makan malam itu sungguh menyenangkan untuk Shion. Kazuto mulai bercerita banyak, tentang apapun. Ia dan Naruto menanggapi celetukan-celetukan anak berumur empat tahun itu.
Well, meski makan malam itu benar-benar di luar dugaannya, Shion tak menyesal.
Ia akan mendapatkan Namikaze Naruto. Dengan cara apapun.
.
.
.
.
.
.
Ting. Tong.
Ting. Tong.
Haruno Sakura meletakkan bungkus popcorn-nya, beranjak bangun dari posisi nyamannya di depan televisi. Wanita itu mengikat tali jubah tidurnya sembari berjalan menuju pintu depan apartemennya. Tanpa melihat intercom ia membuka pintu bercat putih tersebut.
Namikaze Naruto berada di balik pintu, menggendong Kazuto yang tertidur di bahunya. Wajahnya tampak lelah, tapi ia tersenyum pada Sakura. "Hai," Ia berkata, mencondongkan tubuh untuk mencium singkat bibir Sakura.
Sakura menerima Kazuto, mempersilakan pria itu masuk dengan gestur tubuhnya. Setelah menutup pintu, Sakura membawa Kazuto ke sebuah kamar dengan tulisan 'Hero', membaringkan anaknya itu di sana. Diciumnya kening Kazuto dan menyelimuti balita empat tahun itu, kemudian menuju dapur untuk membuat dua cangkir teh hijau.
Naruto sudah berada di depan televisi; jasnya tersampir di lengan sofa dan kancing-kancing teratas kemejanya terbuka saat Sakura meletakkan cangkir itu di meja. Pria itu menarik pinggang Sakura dan menciumi bibirnya, mendudukkan Sakura di pangkuannya.
Mereka berpagutan selama beberapa menit, hingga Sakura melepaskan ciuman itu, menatap mata biru sapphire Naruto yang dalam, "Apa yang membuatmu kemari? Apa mansionmu terbakar hingga kau harus menginap di sini?"
Naruto tertawa pelan, mengelus rambut pink Sakura yang kini bersandar di dadanya. "Aku baru dari makan malam."
"Oh," Sakura mengambil bungkus popcorn-nya yang sempat terabaikan, "bersama Hero?"
"Ya, dengan rekan kerjaku."
"Hmm," Sakura menekan remote untuk mengganti channel, mencari channel yang menarik. "Tidakkah Hero malah mengganggu?"
Menelusupkan tangannya melalui pinggang Sakura, Naruto melepas tali jubah tidur wanita itu, menurunkan jubah tersebut hingga bahu Sakura yang dibalut tali lingiere-nya terlihat. Naruto menyibakkan rambut pink Sakura dan membenamkan hidungnya di sana, meresapi aroma tubuh Sakura yang khas. "Hanya makan malam biasa, tanpa urusan bisnis."
Sakura mengerutkan kening. Makan malam dengan kolega ... Naruto biasanya selalu mengajaknya. Ah, Sakura menepis pikiran negatif yang berseliweran di otaknya. Wanita itu menoleh hendak bertanya, tapi Naruto membungkamnya dalam sebuah ciuman.
Bibir mereka saling mencari, saling melumat dan mengisap. Sakura baru menyadari Naruto telah berhasil meluncurkan tali lingiere-nya dari bahu, sebelah tangan pria itu menangkup payudara Sakura, menahan posisi lingiere itu agar tidak jatuh. Wanita itu menurut ketika Naruto membaringkannya di sofa tanpa melepas ciuman mereka.
Ketika Naruto akhirnya melepas ciuman itu, matanya tampak berkabut oleh gairah. Darah Sakura terasa berdesir.
"Just talk about your day."
Sakura tahu ada yang salah. Naruto menyerangnya untuk mencegahnya bertanya. Tanpa Sakura sadari sebutir air mata meluncur menuruni pelipisnya. Ia memalingkan wajah saat Naruto hendak menciumnya lagi. "And how was your day? Funny?" Wanita berambut pink itu bertanya, suaranya bergetar tanpa dikehendaki.
"Hei, c'mon," Naruto menangkup wajah Sakura lembut, memaksa viridian wanita itu menatap matanya. Bingung dirasakannya saat melihat mata Sakura yang berkaca-kaca. "What's wrong with you, Sakura-chan? It just ... dinner."
Sakura mengusap air matanya yang kembali keluar dengan kasar. Ia tak tahu apa yang membuatnya jadi begitu sensitif seperti ini. "I have bad feeling 'bout it, Naruto. You didn't have dinner with another girl, did you?"
Mata hijau jernih yang menatapnya dengan pandangan memohon itu mampu membuat Naruto entah kenapa merasa bersalah. Ia hendak mencium Sakura lagi ketika wanita itu meletakkan jari telunjuknya di bibir Naruto.
"Don't kiss me. Please, just answer, Naru. Just say that everything will be ok." Sakura berbisik, sikap Naruto yang tak menjawab pertanyaannya menjelaskan semuanya. Wanita itu hapal dengan kebiasaan Naruto. Pria yang lebih memilih diam dibanding mengucapkan kebohongan yang manis.
Naruto menarik napas pelan. Passion-nya menghilang seketika. "Of course. You believe me, don't you?"
Dan Sakura memilih untuk percaya. Percaya pada pria yang kini tengah memeluknya erat.
You have 1 new e-mail
From: シオン (Shion)
Aku lupa mengatakan ini padamu tadi. Ini tentang pekerjaan kita. Bisakah kita bertemu besok untuk membicarakan rencana kerjaku di perusahaanmu?
From: ナルト(Naruto)
Tentu saja. Besok kutelepon lagi, ini sudah terlalu larut. おやすみなさい—
To Be Continued
