Disclaimer: Batman © Bob Kane, Bill Finger, dan DC Comics
Rated: T
Warning: Pasca Under the Red Hood Arc (Versi movie dengan penyesuaian komik). Karakteristik Jason diambil dari Pre-52 dan Rebirth, juga masih mandiri alias belum bergabung dengan Bat-fam. Typo(s)
XXXXX
'…' dan …. – Monolog
"…" - Dialog
XXXXX
Where The Lost Ones Go
(Pray)
.
.
Nama yang kuberikan pada perasaan ini adalah 'Kebebasan'
.
.
"Biar kuberi pelajaran berharga pada si Kelelawar Tua itu kalau aku-"
DUAK!
"-tidak suka diganggu oleh orang luar-"
DUAK!
"-saat aku 'bermain' dengan dia-"
DUAK!
"-tidak terkecuali burung liar sepertimu!"
DUAK!
"AHAHAHAHAHA!"
XXXXX
Di sebuah apartemen kecil yang tidak terlalu mencolok di sudut Crime Alley seorang pemuda yang baru beranjak dewasa terjaga dari tidurnya. Aliran keringatnya turut membasahi sofa usang yang digunakannya sebagai alas tempat tidur. Tidak peduli dengan ukuran badannya.
'Mimpi sialan itu lagi,' gusarnya dalam hati.
Memang mimpi buruk itu bukan kali pertama bagi Jason Todd, ya nama pemuda itu, setelah kebangkitan dari kematiannya. Bahkan saat dirinya masih dalam pelatihan dengan beberapa anggota elit League of Assassins yang disewa oleh Talia, mimpi itu sudah seperti makanan sehari-hari.
Dipijitnya otot dahi oleh Jason. Berharap mampu mengurangi rasa frustasinya. Frustasi karena isi mimpinya terlalu absurd. Lebih tak masuk akal daripada mimpi buruk biasanya. Tidak ada keberadaan sang Bunda yang sempat mengacuhkannya di sudut ruang. Tidak ada hitungan mundur bom yang sudah terasa seperti nada dering telepon di telinga Jason. Tidak ada ledakan yang membuatnya sempat berpisah dengan dunia ini. Hanya ada Joker, bersama linggis 'tersayangnya', dan dirinya. Tidak aneh kalau dirinya kekurangan tidur selama seminggu terakhir.
Hubungi Batman katamu? Jangan mimpi!
Meski dalam kondisi menyusahkan seperti itu, Jason selalu mengesampingkan mimpi itu saat bekerja sebagai 'Pembersih Sampah Gotham'. Selalu mengedapankan sikap profesionalisme agar tidak terjadi kesalahan dalam eksekusinya, baik kecil maupun fatal. Ingat, kesalahan kecil dapat membuahkan kesalahan fatal. Meski tidak seratus persen, bukan berarti kemungkinannya nol persen.
Tidak bisa kembali tidur karena insomniamu kumat?
Ya sudah, rakit bom saja sambil menyeruput kopi pahit. Toh, dunia belum kiamat.
XXXXX
Di tengah kesibukannya dalam mendesain bom rakitannya, sebuah cahaya merah mengusik visual Jason. Cahaya itu berasal dari lampu LED yang terpasang di radio penerima FM yang pernah digunakannya dalam menyadap informasi dari Batman dan Black Mask. Setengah penasaran, Jason mendengarkan percakapan didalamnya tanpa melepaskan pekerjaan awalnya.
Cih. Antek-antek Pak Tua itu lagi 'dinas' di daerah sekitar sini.
Walaupun tidak terlalu peduli, tetap saja Jason terus mendengarkannya dengan seksama.
'Hm? Kasus pemalsuan uang oleh Penguin? Kenapa tidak sekalian saja tangani kasus korupsi di kalangan petinggi Gotham? Supaya tidak ada lagi wanita yang terpaksa menjual dirinya untuk menghidupi keluarganya, tidak ada lagi anak-anak yang ditelantarkan orang tuanya karena masalah biaya hidup, tidak ada lagi korban rentenir yang hidup hanya untuk membayar hutangnya yang tiada habisnya, dan korban kemalangan lainnya akibat melebarnya jurang kehidupan,' pikir Jason sambil mematikan radionya.
"Mungkin tidur bukanlah ide buruk," seraya mempersiapkan diri dihantui lagi mimpi antah-berantah itu.
Tidak sampai lima menit, Jason terlelap dalam posisi duduk di sofanya. Yah, namanya juga korban insomnia yang sudah haus akan nikmatnya tidur.
XXXXX
Untuk kesekian kalinya terdengar "Wakey wakey Burung Kecil", pelan namun ampuh untuk membangunkan Jason.
Mimpi ini lagi? Sepertinya kartuku masih belum hoki.
Posisi badan Jason saat ini tengkurap dengan kedua kakinya diborgol dengan pengait yang tertanam di lantai. Memang kelihatan mudah untuk melepaskan diri, sayangnya kekuatan Jason lenyap entah kemana. Yang ada hanyalah rasa nyeri yang menjulur pada seluruh anggota tubuhnya. Seakan badannya sudah dipukul berkali-kali dengan benda tumpul. Seperti mimpi-mimpi sebelumnya. Ketika Jason mulai mengumpulkan segenap kekuatan batin untuk menghadapi 'permainan' Joker, 'Hm? Sepertinya ada yang berbeda?'
Perasaan ganjil itu menyelimuti pikiran Jason. Jason melirik ruangannya disekap. Mencari tanda-tanda keanehan di ruangan tersebut.
Linggis menjijikan itu tidak ada. Ah, kali ini Ibu juga tidak ada. Baguslah.
Teringat kegagalannya menyelamatkan Sheila Haywood di penghujung hayatnya masih membuat hatinya tersayat, 'Sial. Padahal Sampah Gotham Terbusuk itu belum memulai permainannya,' kesal Jason merutuki emosinya.
Bayangan sosok selain dirinya mengaburkan pemikirannya, "Uh~ Apa-apaan ini? Selagi Paman Joker menyiapkan kado spesial untuk Robin Terbuang, yang bersangkutan malah melirik kemana-mana. Mengacuhkan Paman Joker. Uh...Hatiku sakit," suara tangisan palsu terdengar dari mulut Joker.
Akting badut seperti biasanya.
Usai berpura-pura menyeka ingusnya dengan sapu tangan, Joker berujar, "Apa semua Robin pada tidak sopan ya? Meski seingatku kau yang terparah. Apa sih yang diajarkan si Topeng Hitam itu pada kalian? Tidak pernah diajarkan tata krama saat bertemu dengan Paman Joker ya?"
Kerutan di dahi Jason bertambah, begitu pula dengan guratan bibirnya, seiring Joker berjalan kearahnya, "Oh, jangan khawatir, nak Jason, aku tidak menyalahkanmu. Sungguh. Kita berdua tahu kalau si Topeng-Hitam-Yang-Dielu-elukan-GCPD itu sangat sibuk membersihkan Gotham sampai-sampai para anaknya lupa diajari tata krama."
Joker berjongkok dan menarik rambut Jason, "Meski begitu, akan kuingatkan kau hukuman apa bagi anak yang tidak sopan pada badut," kemudian membanting kepala Jason ke lantai berkayu dengan keras beberapa kali hingga darah mengalir dari hidung Jason.
"Ah, ah, ah. Salah besar kalau kau pikir hukumannya hanya seringan ini," ditariknya tangan kanan Jason ke depan, "Kudengar kau bukan kidal ya?" dari saku jasnya Joker mengeluarkan pulpen. Pulpen memang tidak seberbahaya pisau, gunting, maupun jangka. Namun, tetap saja akan terasa sakit luar biasa bila ditusukkan ke tangan. Apalagi hingga menembus kulit tipis yang melindungi pembuluh darah dan jaringan saraf.
Berusaha sekuat mungkin untuk tidak berteriak, kepalan tangan kiri Jason digenggamnya erat-erat bersamaan dengan digigitnya bibir bawahnya dan ditutupnya kedua matanya. Tidak lama kemudian dengan penuh adrenalin tangan kiri Jason diarahkan ke muka Joker. Ironinya, dikarenakan kaki dan badannya tidak bisa digerakkan, kepalannya tidak mampu mencapainya.
Melihat mata penuh kesumatnya Jason membuat Joker bersemangat, "Ho! Masih ada tenaga rupanya. Tidak heran kau, bocah yang masih kencur, menjadi partner-in-crime-nya Pahlawan Sok Suci Gotham!"
'Pahlawan Sok Suci Gotham? Entah kenapa aku setuju pada pendapat dari si Badut Narsis nan Sadis ini,' pikir Jason sambil berharap hormon adrenalinnya mampu menutupi rasa sakit tangan kanannya.
"Me...mang benar. Tidak mungkin...semua manusia penghuni Gotham terkutuk ini...bisa diselamatkan olehnya. Sekeras...apapun usahanya...masih akan kalah dengan...kerasnya kehidupan di Gotham."
Meski kasusku di antara keduanya. Pernah diselamatkannya dan pernah beberapa kali tidak.
Hei, setidaknya aku sudah bilang padanya secara empat mata kalau aku tidak dendam karena dia tidak menyelamatkanku.
"Hoh, sepertinya rumor kalau kau tidak bodoh memang benar rupanya," dicabutnya pulpen itu tanpa memedulikan kesakitan yang Jason tahan.
Membayangkan pulpen itu seperti putri, Joker membelainya dengan anggun, "Terima kasih pulpen, kau telah mengajarkan Robin kecil ini pelajaran moral yang berharga. Tidak akan kulupakan jasamu, sayangku."
"Hm? Apa katamu? Kau punya ide?" Joker mendekatkan telinganya dengan pulpen tersebut, berimajinasi pulpen itu tengah memberikan ide yang brilian, "Eh? Melukai tangan kirinya juga? Biar dia mengerti cara pandang kita terhadap dunia penuh busuk ini? Kau jenius! Ah, love you~"
Jason mencoba meronta saat tangan kirinya ditarik, namun ayunan pulpen Joker lebih cepat. Seringai Joker melebar. Ketika hanya kurang dari sepuluh sentimeter sebelum mengenai tangan kiri Jason-
"To…long aku...Batman...Bruce..."
XXXXX
Suara rintihan pilu itu berhasil membawa Jason kembali ke dunia nyata. Napas memburu diiringi dengan raut ketakutan menghiasi wajah Jason.
Apa…barusan suara hatiku?
Ti-Tidak! Tidak mungkin itu aku!
Untuk apa aku kembali berharap pada hal yang tidak mungkin terwujud?!
Aku tidak mengerti! Tidak mengerti!
Seraya menyeka keringat diwajahnya, Jason menoleh ke arah jam digitalnya, 'Hah?! Baru sepuluh menit?!'
Usai mengumpulkan energi pada kedua kakinya, Jason berjalan menuju meja yang dipenuhi 'aksesoris' miliknya dan mengetahui kopi yang dibuatnya masih terasa hangat, 'Ya, tidak semuanya jelek karena cuma tidur sepuluh menit,' hiburnya.
Jason mendekatkan dirinya ke jendela apartemennya bersamaan dengan kopi di tangannya, berharap angin malam Gotham sudi mampir ke apartemennya. Sayang, Tuhan berkata lain. Suara ledakan mobil menggema cukup jelas dari tempat Jason berdiri. Dilanjutkan dengan bunyi mesin yang entah kenapa terdengar familiar ditelinganya. Batjet. Terbang melewati langit malam di atas apartemennya.
Dengan hati gusar karena keadaan sekitar dan isi mimpi tadi dinyalakan radio yang telah disesuaikan frekuensinya oleh Jason, 'Bruce sengaja ya tidak mengubahnya meski tahu aku sudah menyadapnya?'
"Maap, Batman. Aku tidak sadar hitung mundur bomnya hanya dua puluh detik, kukira sekitar tiga puluh detik."
Suara Robin baru, Timothy Drake-Wayne. Ya, aku hapal suara bocah itu, meski pertemuanku dengannya hanya sebentar dan tidak bisa dibilang ramah.
"Tuan Bruce, dua mobil pemadam kebakaran tengah menuju lokasi kebakaran. Selain itu, ada berita baru dari tuan Gordon, beliau telah mengamankan para anak buah Penguin beserta kapal tanker berisi senjata nuklirnya."
Kali ini suara tua Alfred yang tidak terlalu berbeda seperti saat dulu. Mana mungkin aku melupakan suara orang yang pernah membuatkanku makanan terenak dan selalu bersikeras mengingatkanku penggunaan bahasa halus jikalau berada didekatnya.
"Apa Penguin bersama mereka?"
Negatif itu suara Bruce. Sangat positif suara khas Batman.
"Maap, tuan. Dia berhasil kabur dengan helikopter ke arah utara Gotham."
"Terlihat di radar, Batman. Menurutku sebaiknya kita memutar balik sebelum Penguin menyadari pengejaran kita."
"Alfred, beritahu Gordon kalau uang curian Penguin telah diamankan dan kami tengah mengejarnya. Robin, pantau daerah yang akan kita lintasi. Beritahu aku kalau kau menemukan keanehan."
"Baik, tuan."
"Siap!"
Membosankan.
Raungan kucing membuat Jason kembali menatap luar. Tampak di sudut gang yang berada di bawah apartemennya tampak dua orang bocah berpakaian cokelat dekil disergap oleh lima orang preman berbadan besar. Bocah berambut cokelat menghadang tangan kanannya, berusaha melindungi bocah berambut pirang yang terlihat sangat ketakutan dibelakangnya.
Lima lawan dua bocah. Yang benar saja? Memalukan.
Diambilnya topeng Red Hood beserta beberapa perlengkapan penting yang dikiranya perlu untuk menghajar mereka dan semacamnya. Tidak sulit bagi Jason merayap keluar dari jendelanya menuju ke tumpukan kardus yang berada tidak jauh dari mereka dalam waktu kurang dari setengah menit. Lalu Jason menghilangkan keberadaannya untuk mencari celah untuk melumpuhkan mereka.
"Berani sekali bocah macam kalian mencuri makanan dari kami. Kalian tidak kenal 'kebaikan' Tuan Two-Face ya?!"
Bodoh sekali. Membocorkan nama Two-Face pada bocah yang cuma mencuri makanan. Two-Face krisis bawahan ya?
Bocah yang berdiri di depan, diasumsikan kakaknya, tidak serta merta takut digertak, melainkan berani berteriak balik pada mereka, "Sudah kubilang cuma dua roti 'kan?! Lagian roti itu sudah kalian buang karena kalian bilang sudah kadaluarsa. Jadi, roti itu sudah bukan milik kalian atau Two-Face lagi! Tapi milik kami!"
Berbeda dengan kakaknya, sang Adik yang bersembunyi dipunggung sang Kakak mencoba meredakan suasana, "Hentikan kak, jangan pancing mereka!"
"Tidak sudi aku mundur! Apalagi jelas-jelas kita tidak salah!"
Oh. Sepertinya kenal sifat bocah itu, sangat kenal malah.
Termakan sulutan si bocah sulung, anggota terbesar dan terjelek, di mata Jason, terlihat geram, "Jangan menyesal karena ucapanmu, bocah ingusan!" Tiga dari mereka mengeluarkan pistol dari saku baju mereka.
Pistol GC27.
Si bocah tertua itu mampu menerka situasi terburuk yang akan dihadapinya dan adiknya. Usai mengambil keputusan cepat diambilnya balok berukuran sedang yang tergeletak di dekat kakinya. Dengan lincah menghindari peluru pertama yang mengincarnya dengan memanfaatkan keberadaan kaleng yang dipukul si bocah. Kemudian mengayunkan baloknya pada tanah, bertujuan untuk melesetkan arahan peluru mereka. Setelahnya ia memukul betis kanan anggota pemegang pistol yang terdekat darinya. Dikarekan lengah dengan serangan mendadak, karena mengira mereka akan kabur, keseimbangan yang dipukul itu pun goyah, melepaskan pistolnya.
Dengan segera bocah itu meraih pistol tak bertuan itu. Sempat berhasil meloloskan diri dari serangan kedua orang yang menggunakan pisau lipat yang mengincarnya, namun tidak lama setelahnya badannya terinjak oleh anggota terbesar. Ya, yang tadi paling marah saat dibentak balik oleh bocah itu. Tidak mau kalah tanpa perlawanan, bocah itu mengarahkan balik pistol pada anggota yang menginjaknya.
"Serahkan pistol itu atau kau akan melihat kepala adikmu pecah!"
Mata bocah itu terbelalak saat melihat kondisi adiknya yang posisinya tidak jauh berbeda darinya. Kepala dibenturkan ke tanah dengan kedua tangannya dikunci. Sebuah pistol tanpa sungkan diarahkan ke kepalanya.
"Dasar bodoh, bisa-bisanya senjatamu direbut bocah sok ini! Kalau Two-Face tahu, kau bisa langsung ditembak," omel anggota yang menahan si Adik.
"To-Tolong kami...Batman...Robin…" lirih si Adik. Terlihat air matanya mulai mengumpul di pinggir matanya.
Penginjak si kakak tertawa mendengar ucapan si Adik, "Sayang sekali ya bocah, Hero-mu sekarang sedang sibuk mengejar geng Penguin. Tidak punya waktu menjawab doa kalian."
"Mereka memang tidak, tapi mungkin aku bisa."
Dikejutkan mendengar orang asing yang mendadak muncul tanpa disadari, mereka langsung membidik jalur tembakan ke arahnya, "Orang sinting bertopeng! Siapa kau?!"
Di saat itu mereka menyadari kedua pemegang pisau lipat sedang mengerang kesakitan sambil memegangi paha mereka. Kedua belati Gerber Mark II di tangan Red Hood yang mengilat di bawah pantulan lampu jalan telah bercampur dengan darah merah korban yang masih menetes.
"Sialan!" gerakan gesit Red Hood mendahului gerakan anggota terbesar dalam menarik pelatuknya. Tak pelak belati yang tadinya berada di tangan kiri Red Hood mendarat dengan mulus ke mulut pistolnya.
Hee...mendadak nostalgia.
Dikarenakan pistol itu tidak seberbahaya dengan pistol yang digunakan Red Hood, ledakan yang dihasilkannya pun tidak separah saat Red Hood mengalaminya. Ledakan kecil itu memang sedikit sakit, tapi belum cukup untuk menghentikan Red Hood untuk tidak melemparkan belati di tangan kanannya ke arah sepatu pria itu dengan sekuat tenaga. Tidak bisa dihindarkan lagi teriakan penuh rasa sakit melolong dari mulutnya.
Ingat. Tidak boleh ada adegan gore di depan para bocah. Tidak boleh menembak kepala mereka.
Dengan pemikiran seperti itu, dua pistol CCP8B2 yang dilengkapi peredam suara dikeluarkan Jason saat teman si bongsor itu terfokus dengan kondisi si bongsor. Tembakan beruntun dari Jason tepat mengenai bahu, paha, lengan, dan telinga mereka.
Hei, aku sedang menahan diri!
Jason menghampiri kedua bocah itu dan segera menggendong mereka berdua yang masih belum pulih dari kekagetannya dengan aksinya, "Maaf ya kalau aku ini bukan Batman ataupun Robin," kemudian berlari zigzat dengan gesit menaiki gedung terpendek.
"Pegangan yang kuat, kalian berdua,"
Setelah dirasanya genggaman kuat dari mereka, Red Hood berlari cepat melompati gedung-gedung sekitarnya, menjauhi TKP, juga tidak mengarah ke arah geng Penguin dan rute Batman.
Seusai berlari lima menit dan mengonfirmasi keadaan aman, Red Hood menghentikan pelariannya dan melepaskan kedua bocah itu.
"Tadi kata-kata yang keren, bocah. Aksimu juga lumayan bagi level bocah," ungkap Red Hood sambil mengacak rambut si Kakak. Bila diperhatikan dari dekat kedua bocah itu memiliki warna pigmen mata yang identik. Cokelat tua. Ya, tidak aneh memang karena mereka bersaudara. Wajah si Adik lebih bulat dibandingkan si Kakak. Keduanya pun memiliki model rambut yang cukup mirip, yaitu rambut pendek dengan poni menyamping yang tampak acak-acakan.
Tidak suka diperlakukan seperti itu, sang Kakak menyingkirkan tangan Red Hood dari kepalanya, "H-Hentikan! Si-Siapa kau? A-Apa kau teman Batman?" tanyanya dengan pandangan mencurigainya.
Bukan jawaban yang diperoleh, malah abaian yang didapat. Red Hood tidak menghiraukannya dan mendekati si Adik, "Kepalamu terluka. Sini biar kuperiksa." Ujarnya halus.
"Hoi! Jangan mengabaikanku!"
"Keadaan adikmu lebih penting daripada hal itu. Kau seharusnya tahu hal itu 'kan?" mendapat respon yang di luar dugaan, si Kakak merasa kesal di dalam hatinya, akan tetapi raut wajah tidak bisa dibohongi.
Sosok ketiga mulai angkat suara, meski agak pelan, mencoba menenangkan kakaknya, "A-Aku tidak apa-apa kok, Kak."
Garis kerut wajah si Kakak berubah menjadi lembut saat bertemu pandang dengan adiknya, "Tidak. Ucapan dia benar, kepalamu berdarah," terdengar nada khawatir darinya.
"E-Eh? Ta-Tapi..."
Dengan senyuman lebar dan polos layaknya bocah umumnya, si Kakak menepuk pelan bahu si Adik, "Jangan khawatir. Kalau dia macam-macam, akan kubuat babak belur dia!"
"Terima kasih atas ancamanmu, bocah."
XXXXX
Setelah mengetahui kalau lukanya tidak berakibat fatal, Red Hood menyodorkan kotak kecil kepada si Kakak, "Apa?" tanyanya yang sedari tadi mengamati adiknya dengan guratan cemas diwajahnya.
"Kau tidak ingin aku melukai adikmu 'kan? Akan lebih cepat urusannya kalau kau yang mengobatinya."
Terlonjak dengan permintaan sosok bertopeng itu, si Kakak bereaksi kikuk "Eh? Eh?! Tapi aku tidak bis-"
"Kau kakaknya 'kan?" potong Red Hood dengan suara tegas namun halus membuat kedua mata si Kakak melebar mendengarnya. Melihat postur tubuh si Kakak yang mendadak gugup, Red Hood mencoba memberinya keyakinan dengan mengusap rambutnya, "Relaks, bocah. Kujamin akan baik-baik saja. Percayalah padaku."
Kotak P3K mini itu berhasil diambil si Kakak dari tangan Red Hood, meski masih terlihat jelas sikap gugupnya dari gemetaran tangannya, "A-Ajari aku caranya."
Senyuman kecil mengembang di wajah Jason, walau mereka berdua tidak dapat melihatnya karena tertutup topeng Red Hood, "Tidak masalah bagiku."
XXXXX
"-pastikan lokasi kasanya tepat di luka irisnya. Ah, jangan sentuh kasanya. Pegang plesternya saja. Betul seperti itu. Terus tempelkan dengan perlahan."
Mengikuti langkah per langkah yang diinstruksikan Red Hood, dengan hati-hati si Kakak menempelkan plester berukuran sekepalan tangan pada luka iris yang berada di dahi kiri, menutupi jejak luka si Adik. Setelah tersenyum puas melihat hasilnya, si Kakak menawarkan tangan ke si Adik, "Berdirinya pelan-pelan ya."
Tanpa melepaskan genggaman si Kakak, si Adik memberikan senyum malu nan tulus pada Red Hood sambil sesekali menatap lantai dan wajah Red Hood, "A-Anu…Terima kasih…erm…"
"Hood. Panggil saja Hood."
Kali ini ditatap lama wajah Red Hood dengan senyuman cerianya, "Terima kasih banyak, kak Hood."
Lalu ditarik pelan baju si Kakak, "Ayo kak. Kau juga harus bilang."
Sambil menggaruk pipinya dan menatap sekitar, si Kakak berusaha mencobanya, "Erm...Te-Ter...Erm..."
"Maap ya, kak Hood. Kakakku memang berani dan kuat, tapi sayangnya lemah dalam hal ini," potong si Adik, mencoba menjelaskan.
"Jangan diumbar-umbar!"
"Yah namanya juga masih bocah. Wajar kok."
"Aku bukan bocah!"
"Memang umurmu berapa?"
"Dua belas."
"Tuh 'kan, masih bocah!"
"Diam!" Warna merah malu mulai mengubah raut mukanya, "Po-Pokoknya...Te-Terima kasih telah menyelamatkanku dan adikku, kak Hood."
Terliha senyum mengembang dari si Adik melihat tingkah kakaknya. Red Hood berusaha untuk hanya boleh tertawa dalam hatinya, 'Ya ampun. Ini sama lucunya saat melihat Bruce diomeli Alfred.'
"Oi, bocah!"
"Sudah kubilang aku bukan boc-Oh!" si Kakak menangkap bungkusan yang rupanya berisi beberapa plester siap pakai. Mereka berdua menunggu penjelasan dari Red Hood.
"Ganti plesternya saat plesternya basah. Lakukan itu sampai lukanya tertutup. Kurang lebih tiga hingga empat hari. Pastikan plester yang mau digunakan masih steril. Hm? Kenapa, bocah?" raut cemberut yang dilontarkan dari si Kakak kepada Red Hood membuatnya mengangkat alisnya.
"Sudah kubilang, aku bukan 'Bocah', namaku itu 'Jason' dan adikku itu 'Max'."
Hah? Aku salah dengar ya?
"...Ya terserahlah. Oh, ini sekalian. Anggap saja bonus," dari saku jaket hitamnya, dikeluarkan roti dan beberapa lembar pecahan dolar, "Kuberi tahu ya kalau kalian mampir ke toko roti Mita yang terletak dua ratus meter ke arah selatan dari sini menjelang tokonya tutup, sekitar jam delapan, kalian bisa mendapatkan rotinya dengan harga tiga puluh persen dari harga asli. Memang sudah dingin, tapi setidaknya masih belum kadaluarsa. Oh ya, kalau kalian kesana, kalian harus berjalan memutar karena daerah dekat situ merupakan daerah Two-Face." Jelas Red Hood sambil menggambarkan peta di kertas, "Kalian tidak mau berurusan dengan orang-orang macam tadi 'kan?"
Red hood melanjutkan penjelasannya saat mendapat respon positif, "Hm…Sekalian saja kutandai daerah-daerah yang berbahaya," sambil menambahkan jumlah bulatan merah pada kertas bergambar peta itu, "Ingat. Jauhi daerah yang dibulati. Terus…Oi, bocah-yang-maunya-dipanggil-Jason, kau bilang tadi umurmu dua belas 'kan?"
"I-Iya. Terus kenapa?"
"Coba ke daerah distrik ini," sambil menunjukkan daerah yang tidak jauh dari rumah lama Jason, "Setahuku disana ada penerbit koran. Mungkin mereka mau mempekerjakanmu sebagai penjual atau pelempar koran. Kalau misal tidak bisa, cek pasar dekat situ. Disitu banyak yang menawarkan pekerjaan seperti bantu-bantu angkut barang dan semacamnya."
"Waaah…Kak Hood tau banyak wilayah Gotham ya," kagum si Adik, ah koreksi, Max. Kedua mata Mini-Jason pun terlihat jelas sirat kekagumannya.
"Yah begitulah, tuntutan pekerjaan," jawaban itu memang tidak salah. Kalau saja dia tidak diberi kostum Robin, Mana mungkin dia hapal detail kota terkutuk ini, "Dan Jason...untuk pertanyaanmu sebelumnya...aku bukan teman Batman dan juga bukan teman Two-Face."
Mendengar jawaban yang berbeda dari ekspetasinya, entah Jason dan Max mesti merasa senang atau kecewa. Namun sekali lagi, Red Hood menepiskan semuanya, "Yah bukan urusanku juga kalau kalian kecewa dengan jawabanku. Kau tahu, jalan hidupku itu aku sendiri yang menentukan."
XXXXX
Usai memastikan kedua saudara itu aman, meski tanpa membalas lambaian dadah dari Max, Red Hood melompat beberapa gedung tinggi dan menuju tempat yang sekiranya bukan daerah geng penjahat dan sejenisnya, 'Juga jauhi daerah tempat patroli Batman,' tambahnya.
Setelah berlari selama sepuluh menit, Red Hood menemukan tempat ideal yang bisa jadi sebagai tempat istirahatnya jikalau insomnianya lagi kumat. Yakin kalau sekitarnya tidak ada orang, Red Hood melepaskan topeng dan jaketnya. Untunglah dia membawa jaket cadangan. Langit dini hari pada musim gugur itu cukup menusuk tulang.
Siapa orang aneh yang nekat berbaring di atap pendopo kuburan pada dini hari? Yap, itu aku.
Halah, pahlawan dan penjahat macam apa yang sudi berkelahi di tengah kuburan?
Ah, tapi aku pernah tuh dengan Bruce.
Hah...Kenapa juga aku mesti mengingat hal-hal yang kubenci?
Memandang langit berawan Gotham dengan wajah sendu, Red Hood yang kini adalah Jason teringat kembali doa kecil yang dilantunkan Max.
"To-Tolong kami...Batman...Robin..."
"To…long aku...Batman...Bruce..."
XXXXX
.
.
Lihat, semuanya telah berubah
Aku tetap menjadi diriku yang terbuat dari dosa masa lalu
Meskipun harus mengukir sinyal kenangan dengan pisau abadi
Aku yang tersesat mulai bersembunyi didalam diriku
(Signal)
.
.
XXXXX
