Percy Jackson milik Rick Riordan, saya cuma pinjem tokoh-tokohnya hehe :)


Ini bukanlah hal yang kuinginkan atau pun yang mereka inginkan, ini adalah kecelakaan.

Namaku Percy Jackson, aku adalah anak dari Poseidon. Secara teknis aku adalah demigod, manusia setengah dewa. Kalau kau masih tidak percaya, kau bisa saja menanyakannya pada demigod lain. Tanyakan pada Annabeth Chase, dia anak dari Athena. Atau tanyakan pada Grover, teman baikku yang sudah bertemu dengan banyak demigod sepertiku.

Jadi kau bisa mengambil bahwa demigod bukanlah manusia biasa, dan aku bukanlah demigod biasa.

Kau tahu tentang tiga besar? Zeus, Poseidon, Hades. Yeah bisa dibilang tiga bersaudara yang saling bersaing. Anak dari tiga besar memiliki kekuatan yang berbeda dari demigod lainnya. Mereka mempunyai ramalan besar, ramalan yang katanya akan menentukan masa depan Olympus—menghancurkannya atau menyelamatkannya—pada umur 16 tahun. Tapi bukan aku saja yang termasuk anak tiga besar itu.

Thalia Grace dan Nico di Angelo. Thalia adalah anak dari Zeus, teman seperjalanan Luke dan Annabeth. Sekarang dia bergabung dengan pemburu Artemis yang berarti dia akan menjadi abadi, awet muda, tetap berumur 15 tahun. Nico di Angelo dan kakaknya, Bianca di Angelo adalah anak dari Hades. Tiga tahun yang lalu Bianca yang bergabung dengan pemburu Artemis lalu meninggal (dia jadi membenciku soal itu karena aku tidak menepati janji untuk melindungi Bianca), dia pernah terjebak bersama kakaknya di Hotel Casino Lotus, Las Vegas, dimana waktu menjadi cepat berlalu.

Sebagai anak tiga besar kita memiliki kekuatan yang berbeda-beda. Mungkin pada awalnya aku merasa hina untuk dilahirkan sebagai anak tiga besar, sebenarnya aku tidak seharusnya dilahirkan. Karena ramalan besar itu, Zeus, Poseidon, dan Hades membuat sumpah untuk tidak akan mempunyai anak lagi. Hasilnya mereka melanggar sumpah mereka dan Puff lahirlah aku. Awalnya semua dewa sepertinya sudah menatapku sebagai pembuat onar, sampai akhirnya datanglah Thalia—yang kembali dari pohon pinus—dan Nico yang sebenarnya sudah lahir sejak perang dunia ke II.

Mungkin ramalan besar itu sudah lewat dan ada ramalan baru yang harus dikhawatirkan, yang dikatakan oleh Rachel Elizabeth Dare, teman fanaku dan Oracle baru. Tapi tetap saja menjadi anak tiga besar masih menjadi masalah yang besar, saat kita tidak bisa mengendalikan emosi kita dan mengeluarkan kekuatan kita, hal itu bisa mencelakakan diri kami sendiri—seperti yang terjadi sekarang.

xxx

Hari ini adalah hari yang sibuk. Annabeth sedang merancang arsitekturnya dan memperlihatkan sketsanya padaku. Dia benar-benar menjadi sibuk akhir-akhir ini. Grover juga sedang sibuk sebagai dewan berkuku belah yang baru sehingga dia tidak punya banyak waktu kencan dengan Juniper. Connor dan Travis Stoll sedang sibuk dengan rencana mereka memasukan beberapa tikus ke pondok Aphrodite. Anak-anak dari pondok Hephaestus lebih sibuk lagi, mereka sedang menempa banyak senjata, itu membuatku teringat dengan Tyson dan ternyata saat kuhubingi dia, dia juga sedang sibuk.

Semua orang sibuk, kecuali aku. Aku menghabiskan hari ini dengan berbaring di rerumputan sambil mengamati langit. Hari ini memang menyibukan tapi ada kabar baik bahwa para pemburu akan berkunjung ke perkemahan, itu berarti aku bisa bertemu dengan Thalia—sudah lama juga aku tidak bertemu dengannya. Mereka mengunjungi perkemahan karena Artemis sibuk. Ada kabar baik juga kalau Mr. D sangat sibuk sehingga dia meninggalkan perkemahan untuk sementara, Chiron juga sedang ada di luar perkemahan, dia sibuk juga. Sekarang memang hari tersibuk di dunia, tapi itu berarti anak-anak di perkemahan bisa bebas untuk sementara waktu. Penanggung jawab sementara adalah Argus, tapi sepertinya Argus pun terlalu sibuk untuk mengurus kami sehingga dia membiarkan kami.

Saat aku sedang melamun, tiba-tiba ada sebuah bayangan gelap yang muncul tiba-tiba di depanku, dan seseorang dari bayangan itu tepat terjatuh di badanku. Nico di Angelo bengun dari tubuhku dan menyapaku, "Hai Percy."

"Hai Nico," balasku berusaha menyingkirkannya dari tubuhku, "kau dari mana saja?"

"Aku baru berkunjung ke tempat Ayah," jawabnya dan dia duduk disampingku, "kau sendiri sedang apa? Kelihatannya kau benar-benar tidak punya kerjaan."

"Yah aku memang sedang tidak punya kerjaan sementara orang lain sibuk," kataku sambil memindahkan tumpuan tubuhku.

Nico mengamati ke arah pondok, "Kelihatannya ramai sekali, ada siapa?" tanyanya.

"Para pemburu, mereka mengunjungi perkemahan," jawabku sambil menengok ke arah pondok.

"Oh, mereka, baguslah perkemahan akan menajadi 'ramai'," balas Nico dengan dingin, dia memang punya pengalaman buruk soal Bianca yang meninggalkannya karena memilih bergabung dengan pemburu.

Aku menepuk punggunya, "Hei sudahlah jangan lupakan saja hal yang sudah berlalu," kataku.

Dia menatapku dengan tajam, "Maksudmu? Aku harus melupakan Bianca, begitu?"

O..ow, apa aku sudah salah bicara? Topik soal Bianca memang hal yang sulit bagi Nico.

"Bukan begitu maksudku, maksudku kau tidak usah terlalu memikirkan para pemburu yang pernah dan merekrut Bianca ," rasanya aku ingin menutup mulutku, Nico menatapku makin tajam—hampir sama persis saat dia benar-benar membenciku.

"Oh, oh.. Tidak Nico bukan begitu maksudku, Bianca sudah memilih pilihannya sendiri, kau tidak harus memandang para pemburu itu menyebalkan terus," lanjutku.

"Yeah," kata Nico, "lagi pula Bianca juga sudah meninggal karena seseorang yang tidak menepati janjinya," katanya dengan ketus membuatku merasa tertusuk. Kukira diasudah melupakan hal itu.

"Itu keputusannya Nico," kataku dengan nada agak kesal.

"Aku tahu, tapi tidak berarti kau tidak bisa mencegah keputusannya," kata Nico dengan dingin.

"Bisa kah kau berhenti membicarakan hal itu? Bianca sudah minta maaf padamu karena telah meninggalkanmu! Kalau kau masih mengungkit-ungkit masalah ini, berarti kau masih tidak menerima permintaan maafnya!" kataku dengan sedikit berteriak.

"Oh ya? Memangnya siapa yang pertama kali mengungkit-ungkit masalah ini?" tanyanya dengan nada yang lebih tinggi.

"Kau saja yang terlalu sensitive!" bentakku.

"Hei," tiba-tiba ada suara seorang gadis yang tidak asing bagi kami, Thalia sedang menyapa kita sambil tersenyum, lalu menyadari kalau ada yang tidak beres, "kenapa kalian berteriak-teriak begitu?" tanyanya.

"Bukan urusanmu," jawab Nico dengan dingin dan memalingkan wajahnya dari Thalia.

"Nico!" tegurku marah.

"Hei ayolah kalian berdua, kalian kelihatannya sedang tidak enak hati ya? Bergabung saja dengan yang lain, kami sedang merencanakan lomba tangkap bendera antara pekemah dan pemburu—"

"Oh ya, pasti akan menyenangkan, bersama sekumpulan cewek-cewek bodoh," kata Nico.

Thalia menyipitkan matanya, "Maaf?"

"Kau tidak menyadari bahwa pemburu hanya sekumpulan cewek-cewek bodoh, seperti kau saja," balas Nico.

Aku tahu Thalia bukanlah tipe yang sabar jadi dia langsung mengeluarkan rasa marahnya, "Oh.. jadi begitu ya di Angelo, kalau kami segerombolan cewek-cewek bodoh berarti kakakmu juga cewek bodoh ya? Bukankah begitu Percy?" sindir Thalia yang sama sekali tidak memperbaiki keadaan.

Aku hanya sanggup berkata, "Eh ah," sama seperti saat Nico mengatakan, "Dia berbeda!"

"Oh semua anak Hades itu sama saja, sama-sama menyebalkan dan brengsek," aku tidak tahu apakah Thalia memang beranggapan kalau Bianca brengsek atau hanya ingin memanas-manasi Nico saja.

"Dan anak-anak Zeus itu selalu sombong, hanya karena ayahnya raja dari pada dewa," balas Nico.

Thalia benar-benar kelihatan seperti gunung merapi yang akan meledak dua kali, "Ayahmu itu menjengkelkan!" entah kenapa tiba-tiba topik berubah menjadi soal orang tua.

"Asal kau tahu saja ya, Ayahmulah yang membuat Ibuku mati!" Nico pun bergejolak.

"Dan Ayahmu yang membuatku menjadi pohon pinus!" serang Thalia.

"Ayahmu sendiri yang menyihirmu menjadi pohon pinus!"

"Ayahmu biang kerok dari semuanya! Memangnya kau mengerti rasanya bertahun-tahun menjadi pohon?"

"Memangnya kau mengerti rasanya terkurung di tempat di mana waktu berhenti?"

Mereka berdua saling berdebat, aku tidak tahu kalau akhirnya akan menjadi sebuah pertengkaran adu mulut antara anak tiga besar. Aku berusaha memisahkan mereka berdua.

"Sudahlah kalian berdua, jangan bertengkar," kataku, mencegat saat Thalia ingin menonjok Nico dan Nico yang baru saja ingin menendang Thalia.

Bukannya tenang mereka malah serempak mengatakan, "Memangnya kau mengerti kehilangan seseorang yang berharga bagimu?"

"Asal kau tau saja Percy, diantara kami kaulah yang hidup paling enak," tambah Nico, matanya memerah.

"Kau punya Ibu yang baik, punya keluarga, sedangkan aku?" tuntut Thalia, suaranya pecah.

Kupingku terasa terbakar, kenapa mereka bisa berpikir begitu? Aku mengerti kalau Thalia dan Nico sudah tidak mempunyai keluarga lain, tapi kenapa mereka berpikiran akulah yang hidup paling enak? Kita sama-sama anak dari tiga besar.

"Kenapa kalian berpikiran begitu? Semua hal yang yang kalian bicarakan ini bodoh!" aku pun mengeluarkan emosiku, tiba-tiba suara air bergejolak di telingaku. Tanpa sadar aku sudah mengendalikan air.

Awan pun tiba-tiba menjadi mendung—dan itu adalah pemandangan yang aneh di Perkemahan, guntur berbunyi dengan sangat keras. Aku tahu pasti Thalia juga sudah ada di ambang batas kemarahannya.

Begitu pula Nico, hawa di sini mejadi dingin dan mengerikan. Ada hawa gelap dan menakutkan dari Nico, terdengarlah suara-suara aneh— mungkin hantu yang tiba-tiba saja terdengar.

Keadaan yang aneh ini sepertinya membuat para pekemah, pemburu, satyr, dan banyak orang lain mendekati kita, mereka melihat keadaan ini dengan kaget, ada juga yang takjub, ada pula yang takut. Annabeth yang berlari mendekati tempat kejadian bertanya-tanya, "Apa yang terjadi? Oh Ya ampun."

"Kita harus menghentikan mereka!" seru Katie Gardner khawatir.

"Tapi mereka akan sulit dihentikan! Mereka anak dari tiga besar!" kata Travis Stoll.

"Lagi pula pemandangan seperti ini kan jarang," tambah Connor Stoll dan Travis pun mengangguk setuju lalu Katie memukul kepala mereka.

"Dan.. dua diantara mereka sudah mengamuk," tambah Will Solace dan semua orang pun termasuk aku baru menyadari kalau Thalia dan Nico sudah saling menyerang.

Thalia menyerang Nico dengan tombaknya, Nico dengan gesit menghindarinya dan menyerang balik Thalia kekuatan kegelapannya. Dia memanggil hantu-hantu dan mereka menyerang Thalia dengan brutal.

"Tidak adil!" teriak Thalia sambil menyerang hantu-hantu itu satu persatu.

"Memang!" seru Nico puas.

Lalu tiba-tiba petir menggelegar di dekat Thalia dan hantu-hantu itu pun menghilang. Thalia pun segera menyerang Nico, mendorongnya dan membuat Nico terjatuh.

"Hei! Kalian berdua hentikan itu!" Annabeth berteriak memperingatkan.

Aku ingin menghentikan mereka berdua juga, tapi tanpa sadar aku menghentikan mereka dengan menyemburkan air kepada mereka berdua.

"Wow," kata Connor Stoll, "Ini pertarungan antar blasteran paling keren yang pernah kulihat."

"Bahkan Clarisse saja mungkin bakal kalah," tambah Travis yang sepertinya membuat Clarisse menatap mereka dengan tatapan membunuhnya.

Thalia dan Nico memandang diri mereka yang basah kuyup, lalu menatap benci kepadaku dan lagi-lagi serempak mengatakan, "Kau ingin mati SEAWEED BRAIN!"

Itu adalah panggilang yang paling kusebalkan—kecuali kalau Annabeth yang mengatakan, aku sudah terbiasa, tapi mendengar panggilang itu disaat seperti ini, "Siapa TAKUT, dasar kalian ANAK-ANAK EMO!"

Thalia mulai menyerangku dengan petirnya tapi aku cepat-cepat mengambil reptide dan mencegahnya, tapi dari belakang tanpa sadar gerombolan hantu menikamku dari belakang dan saat itu Nico menyerangku sampai aku terjatuh. Dikesempatan yang sama Thalia bangkit lagi dan menyerangku, tapi aku tidak semudah itu kalah. Aku segera bangun dan mendorong mereka berdua, kutahan badan Nico dan kujambak rambut Thalia, Thalia yang berteriak karena rambutnya dijambak olehku berusaha mengambil tanganku lalu menggigit tanganku. Nico dengan secara kasar menonjok perutku, lalu dibarengi saat Thalia mencubit pipinya.

Lalu kusadari bukannya berusaha menghentikan, para penonton dibagi menjadi tiga bagian.

"Percy! Percy! Percy!" dukung setengah pekemah dan beberapa satyr.

"Nico! Nico! Nico!" dukung setengah pekemah juga dan beberapa hantu yang entah bagaimana bisa berteriak juga.

"Thalia bunuh merekaaa!" teriak semua pemburu dan beberapa pekemah perempuan.

"Kalian semua! Bukan saatnya untuk mendukung mereka! Kita harus menghentikan mereka!" tegur Annabeth dengan suara marah.

"Bagaimana caranya? Kau sudah melihat kekuatan mereka, mereka tidak bisa dihentikan!"

Pada saat yang sama tiba-tiba gemuruh makin besar, aku tidak tahu apakah Thalia benar-benar sudah sangat marah, lalu suasana pun makin mengerikan dan entah kenapa bumi terasa terguncang.

"Gempa?" tanya Nico.

"Percy, apa yang kau lakukan?" tanya Thalia, wajahnya yang marah berubah cemas.

"Apa? Aku tak melakukan apa-apa, kau sendiri juga sudah membuat petir itu semakin membesar," kataku.

"Kau itu bukan hanya putra dewa laut Percy, kau juga putra dari peguncang bumi! Dan lagi pula aku tidak melakukan apa-apa dengan petir itu!" protes Thalia.

"Yah, tapi getaran ini makin kuat," kata Nico.

Iya memang, ini terasa seperti gempa. Aku sama sekali tidak menyadari kalau aku berbuat seperti ini. Poseidon juga dewa dari gempa bumi, tapi aku belum pernah mau mempraktekannya—kecuali saat berada di gunung St. Helen.

"Gempa Bumi!" seru para pekemah dari belakang dengan heboh dan khawatir.

Aku tidak tahu apa yang terjadi, lalu tiba-tiba terjadi retakan di tanah, dan dengan sangat ketakutan ada beberapa zombie yang bangkit dan retakan tanah itu, menarik kakiku untuk masuk ke dalam.

"Nico! Kau benar-benar ingin membuatku mati?" tuntutku pada Nico.

"Aku.. Aku tidak tahu!" katanya dengan nada yang ketakutan karena tiba-tiba suara guntur makin kuat dan Nico selalu menjadi incaran petir.

"Thalia! Kau benar-benar ingin membunuhku?" tanya Nico dengan nada frustasi.

"Zombie-zombiemu yang ingin membunuhku!" seru Thalia menyingkarkan tangan-tangan Zombie yang ingin menariknya ke dunia bawah.

Aku tidak tahu kenapa semua ini bisa terjadi, padahal sepertinya kita tidak menggunakan kekuatan sampai semaksimal ini. Mungkin ini adalah hal yang sangat berbahaya bagi anak tiga besar: jika tidak bisa mengendalikan kemarahanmu, kau juga tidak bisa mengendalikan kekuatanmu.

Gempa semakin kencang, air dari danau dan laut tiba-tiba membuat gelombang yang besar. Petir pun menyambar-nyambar dengan sangat kencang di tambah angin yang sangat kencang. Dan yang lebih buruk, hawa kegelapan yang seperti perlahan-lahan menjemput ajal.

Semua orang sepertinya sudah berlindung, kecuali kami bertiga. Aku memegang tangan Thalia, Nico berlindung dipelukan Thalia dan aku pun memeluk mereka berdua untuk menghindari keadaan yang kami buat sendiri. Lalu pada akhirnya terjadilah badai besar dan petir menyambar kami bertiga.

Disitulah saat kami tidak sadarkan diri.

Rasanya semua badanku seperti terbakar. Aku perlahan-lahan membuka mataku. Aku melihat samar-samar bayangan perempuan… Annabeth? Tidak perempuan ini tidak berambut pirang, dan lagi dia tidak sendiri, ada beberapa anak perempuan lain mengerubungiku—dan akhirnya kusadari mereka adalah para pemburu.

"Hei kau sudah sadar?" tanya salah seorang pemburu.

Aku tidak yakin, kenapa para pemburu perhatian denganku, padahal aku ini laki-laki.

Awalnya aku tidak bisa mengeluarkan suara tapi akhirnya keluar sedikit, "Ya.. Te.. Terimaka..sih."

Rasanya suaraku berbeda, agak sedikit melengking dari biasanya. Yah mungkin karena kejadian tadi terlalu dahsyat sehingga suaraku jadi berubah.

"Sudahlah Thalia, jangan memaksakan dirimu," kata pemburu yang lain. Tunggu dulu. Thalia?

Aku segera bangun, lalu kulihat jari-jari tanganku, yang ternyata bukan jari-jari tanganku. Aku memakai baju gaya punk yang biasa dipakai Thalia. Oh, apa yang terjadi?

Kaget, tubuhku berada di tempat lain. Tubuhku masih berbaring belum sadarkan diri. Annabeth memanggil beberapa penyembuh dari pondok Apollo untuk memeriksa tubuhku yang berada disana.

Lalu aku mendengar suara Nico yang berteriak, "Apa yang kau bicarakan Grover? Aku bukan Nico, aku Tha—" dia terhenti saat melihat ke arahku, melihat tubuhnya yang asli sedang memandang dirinya.

"Nico sepertinya kepalamu terbentur cukup keras," kata Grover.

"Tidak, tidak, ini tidak mungkin," gumam Nico—atau Thalia.

"Ehm.. hmm.." lalu badanku yang berada disana akhirnya sadarkan diri.

"Percy syukulah," kata Annabeth dan langsung memeluk tubuhku, hey yang harusnya kau peluk ada disini!

Sepertinya yang berada di tubuhku itu sangat terkejut dengan pelukaan dari Annabeth, "Ke.. Kenapa kau memelukku Annabeth?" tanyanya dengan ragu-ragu.

"Aku khawatir padamu Seaweed Brain!" jawabnya lalu melepaskan pelukannya.

"Tunggu, aku.. aku Nico!" kata tubuhku yang ternyata adalah Nico.

"Sepertinya kepalanya juga terbentur sangat keras," kata Clarisse.

"Tidak! Kalian bercanda ya—" dia terhenti saat dia melihat tubuhnya, yang sekarang dipakai oleh Thalia, lalu dia menatap kearahku, melihat kalau aku memakai tubuh Thalia.

Annabeth bangun dan akhirnya menatap aku, Nico, dan Thalia dengan tatapan menegur, "Kalian berada dalam masalah!"

Kami bertiga sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi. Apakah Ayah-ayah kami ingin memepermainkan kita?

xxx

Maaf kalau GJ, ini fanfic PJ pertama saya, pertarungannya juga apa bangetlah, Nico juga marah-marahnya GJ banget lagi, OOC mungkin ya "( ._.) mungkin cerita ini juga klise, pertukaran kepribadian atau apalah, cuma pingin aja gitu bikin tentang anak-anak dari 3 besar, mereka keren \(ˆ–ˆ)/

Pinginnya sih munculin Jason dkk juga tapi latar waktunya nggak pas kali ya haha

Mohon review, kritik, dan saran (tapi kalau bisa jangan flame ya :D).. saya mohon maaf jika cerita ini kurang memuaskan atau jelek :\