Disclaimer: 07-ghost adalah milik Amemiya Yuki dan Ichihara Yukino. Sekedar tambahan bahwa saya mengambil sedikit plot dari novel legendaris berjudul The Lady of the Camellias, karya Alexander Dumas Jr.

Rating: T+

Peringatan: Genderbend (fem!Lab), classical romance, AU (setting di Perancis) dan AT (abad ke-19). Sedikit OOC, diusahakan tidak membalikkan karakter asli yang telah dibuat pengarang. Perhatikan perubahan waktu, karena alur cerita ini sedikit abstrak. Character-death.

Catatan: didedikasikan untuk Fitria—hadiah ulang tahun yang telat. pit, emak baca ficmu yang soal titanic (uhuk kurang lebih fanficmu roman klasik juga… sejak saat itu entah kenapa jadi demen sama fem!lab –puk- ) itu, jadi emak pikir kau nggak keberatan dengan genderbend. sebenarnya, emak mau bikin shonen-ai cuma kayaknya, sih, kurang cocok buat alur roman klasik begini. dan er, semoga fiksi ini diperkenankan untuk tinggal di fandom ini.

~*oO Lembar Awal Oo*~

.

[Bagneres, Perancis. Pertengahan musim semi tahun 1871]

.

Mungkin. Mungkin—ingatannya telah bercampur aduk. Ya, mungkin?

Terakhir kali ia menginjakkan kaki di tempat ini adalah dua puluh lima tahun yang lalu. Tempat ini sudah tidak sama, seperti raganya yang sudah tidak sama. Dulu, bila ingin bermain ke tetangga sebelah atau seberang, perlu menjejakkan kaki dari sepuluh hingga lima belas langkah. Kini, hanya perlu melirikkan mata dan memindahkan kaki sebanyak satu langkah.

Lukislah penggambaran ini dalam sebuah kanvas pikiran. Ketika kedua mata menengadah ke atas, tumpahkanlah cat biru yang beriring jejak dengan putih. Kemudian, bangunlah satu, dua buah rumah mungil yang sejuk dan nyaman, memungkinkan para pelukis bahwa daerah yang sedang mereka lukis adalah sebuah desa. Kemudian, di sekitar rumah, tumbuhkanlah rerumputan segar, pepohonan rindang yang sedang dipeluk angin. Sehingga, semua tahu bahwa sang angin senantiasa menghantui desa tersebut. Ah, benar juga. Jangan lupakan sang raja siang yang tidak pernah lelah menyinari desa tersebut. Lukislah anak-anak kecil yang bermain dengan riang, bermandikan matahari. Desa tersebut memiliki keajaiban alam sampai-sampai para turis—pasien—mengira desa itu adalah desa perawan alias tidak pernah terjamahi oleh siapa pun.

Lonceng gereja mungil itu berdentang. Yang orang tua itu ingat, bila lonceng berdentang maka menandakan waktu-waktu penting. Ia melirik sebuah jam besar yang berada di bawah lonceng gereja. Begitu, rupanya sudah pukul dua belas tepat. Pantas saja perutnya sudah berteriak kelaparan. Ia pun berjalan sedikit, menjejakkan kaki ke sebuah tempat di mana orang-orang biasa menyewa kereta kuda—dengan kusirnya tentu saja. Orang tua itu meminta agar diantar ke pusat pertokoan yang sedikit jauh dari desa.

Pusat pertokoan pada waktu dulu lebih menebar penjual makanan, minuman, serta pakan hewan dibandingkan dengan toko-toko aksesoris, gaun, dan perhiasan. Bila ingin para pelukis jalanan memindahkan potret diri pada sebuah kanvas, mereka tidak rela dibayar franch yang bisa dihitung jari—harga yang tidak sebanding dengan dulu. Jalanan sedikit padat merayap, sudah banyak kendaraan, baik sepeda, kereta kuda, maupun kendaraan lain. Beberapa dari penyewa jasa kereta kuda menyapa orang tua itu, berharap bisa membujuk orang tua itu untuk menyewa kereta kuda mereka. Mereka siap mengantar dengan bibir menyunggingkan senyum serta tidak banyak bicara. Orang tua itu menolak dengan halus dan tersenyum balik, membalas ketulusan yang dilontarkan. Ia tahu, seorang lanjut usia sepertinya memang menjadi incaran para penyewa kereta kuda. Tapi, ia menggelengkan hati. Ia lebih suka menyentuh tanah walau kini sebuah tongkat membantunya berjalan. Kecuali bila ia berjalan dari desa ke pusat pertokoan, mungkin ia akan kehilangan kaki di tengah perjalanan.

Tatkala melewati daerah taman, ia merasa seseorang memanggilnya. Bukan dengan nama tetapi dengan sapaan formal. Orang itu bukanlah saudara pun kenalannya. Orang itu adalah seorang anak kecil yang manis walau berpenampilan kumuh. Anak dengan rambut yang merefleksikan warna wortel. Kedua matanya menawarkan empati. Kedua bibirnya menawarkan harga dan bunga suci. Satu tangannya menawarkan sebuket mungil bunga yang telah dihias dengan cantik. Orang tua itu lagi-lagi tersenyum dan menukarkan bunga mungil tersebut dengan uang. Ia memberikan lebih pada anak itu dan mereka sama-sama tersenyum. Setelah anak itu berlari dengan riang, orang tua tersebut melanjutkan perjalanan.

Orang tua itu memandang bunga tersebut dengan kedua mata sayu. Ah, warna bunga lembayung. Mengingatkannya pada belahan jiwanya yang kini berada di wilayah yang berbeda.

"Selamat datang," sapa seorang pelayan, bersamaan dengan bunyi lonceng kecil di atas pintu masuk. "Hanya seorang dirikah?"

"Ya... meja untuk satu orang."

"Meja untuk satu orang? Mari, ikut saya."

Pelayan itu dengan ramah membantu orang tua tersebut untuk duduk. Pemuda itu memastikan tidak ada satu butir pun debu di atas meja sebelum ia menggeser sebuah kursi. Ia menyerahkan sebuah menu dan dengan segera mengambil catatan kecil beserta pensil. Dengan lihai merekomendasikan apa yang terkenal dari restoran mereka saat makan siang. Orang tua itu mengangguk sedikit mendengar penjelasan tersebut, padahal ia tidak memesan makanan serta minuman yang direkomendasikan.

Pelayan itu membungkukkan badan dan berharap orang tua tersebut mau bersabar menunggu. Jam makan siang adalah jam sibuk, sehingga bukan hal aneh bila pesanan datang terlambat. Orang tua itu mengerti, toh, ia juga sudah terlalu tua untuk marah-marah. Rasanya tidak pantas meledakkan emosi hanya karena pesanannya datang terlambat. Lagi pula, ia mendapat tempat di pojok dengan pemandangan di luar restoran dapat terlihat dengan baik dari jendela. Perasaannya cukup baik, mungkin ia tidak akan merasakan getaran waktu yang berjalan.

Ia senang melihat keramaian yang ada. Sedikit takjub karena wilayah ini berubah tanpa merubah keasrian yang ada. Polusi di Bagneres (1) adalah hal langka. Perlu waktu berbulan-bulan untuk memenuhi daerah ini dengan kandungan zat kimia berbahaya dalam udara. Semua terlindung berkat perisai hijau alami. Lalu, Bagneres juga terkenal akan spa-nya. Para dokter selalu merekomendasikan tempat ini kepada para pasien penderita sakit paru-paru.

"Tuan Castor?" suara seorang pria membuyarkan lamunan. "Ternyata benar Anda, Tuan Castor!"

Ia tidak tahu siapa yang menyebutkan namanya barusan. Castor tidak pernah ingat ia mempunyai kenalan di Bagneres. Bahkan, ketika orang tersebut duduk di hadapannya, ia tetap tidak tahu siapa orang tersebut.

"Maaf, sepertinya saya tidak mengenal Anda."

"Sepertinya hanya saya yang mengingat Anda," suara tawa kecil pria tersebut dapat terdengar. "Hakuren Oak."

"Oak?" kata kunci itu membuat Castor tersadar akan sesuatu. "Bukankah itu nama rumah sakit—"

"—tepat! Saya adalah pemilik rumah sakit itu sekarang, menggantikan Ayah yang pensiun," ucap Hakuren. Senyum tidak meninggalkan wajahnya. "Wajar bila Anda tidak mengenal saya... dulu, ketika Anda di rumah sakit, saya masih berumur delapan tahun! Masih piyik tapi, tentu saja saya tetap tampan."

Hakuren. Hakuren. Hakuren. Memang, tidak ingat sepenuhnya tetapi ia ingat. Ketika di rumah sakit, ada anak pemilik yang sering mengunjunginya. Anak itu sering dimarahi oleh sang Ayah karena mengganggu pasien. Rupanya, anak tersebut berada di depannya sekarang. Sudah dua puluh lima tahun berlalu, tidak aneh bila Castor merasa pangling.

"Saya masih mengingat Anda juga," Hakuren menurunkan kualitas kebahagiaan senyumannya. Sedikit banyak, ia tidak mau mengangkat hal yang menyinggung pria tua di hadapannya. "Nona Labrador."

"Saya senang Anda mengingat saya dan juga dia."

"Tentu saja. Kalian berdua meninggalkan kesan mendalam bagi saya," Hakuren meneguk air dalam gelas, berharap menghilangkan kekikukkan dalam dirinya. "Baik pihak rumah sakit pun, tidak akan bisa melupakan kalian berdua... pasangan yang begitu abadi sepanjang sejarah rumah sakit! Bila boleh bertanya, di mana tempat tinggal Nona Labrador sekarang?"

"Di Père Lachaise," (2) jawab pria yang kini beruban itu. "Cukup dekat dengan tempat saya tinggal."

"Masih di Paris," Hakuren menaruh gelas yang sudah kosong di atas meja. Memperhatikan tetesan-tetesan air sisa yang perlahan merangkak jatuh ke dasar gelas. "Lalu, mengapa Anda ke Bagneres? Rasanya sedikit aneh melihat Anda di sini. Tempat ini meninggalkan sedikit kenangan buruk bagi Anda, bukan?"

"Tidak juga. Kenangan indah pun ada," koreksi Castor sambil tersenyum lemah. "Saya… hanya ingin melihat Bagneres untuk yang terakhir kali... Anda sudah melihat sendiri raga ini. Rasanya, saya bisa pergi ke alam lain kapan saja..."

"Begitu? Maafkan saya... saya tahu, Bagneres adalah tempat yang penuh kenangan bagi Anda."

"Ya... penuh dengan kenangan," penuh, dengan kenangan. Walau singkat. "Walau begitu singkat. Di sini, adalah tempat tinggal jiwa muda saya dan kekasih saya..."

.

[Paris, Perancis. Awal musim gugur tahun 1843]

.

"Kau menjijikkan! Kuharap kita tidak akan pernah bertemu lagi!"

Untaian jemari-jemari tersebut melonggar dan semakin melonggar. Meninggalkan kesunyian bagi sang pemilik jemari yang ditinggalkan. Sudah berkali-kali ia menjadi yang ditinggalkan namun, rasanya tetap saja aneh. Ia memang kesal ditinggalkan namun, sejak awal ia tidak pernah berharap banyak dalam menjalin suatu hubungan. Wanita baginya sama saja. Mereka akan bersikap baik dan manis seperti protagonis dalam opera-opera. Namun, ketika wanita melihat suatu cacat atau kelemahan orang lain, wanita langsung meninggalkannya. Mengatakan sarkasme yang meruntuhkan hati. Saat seperti inilah, wanita menjadi antagonis dalam kehidupan. Ia tidak pernah tahu ternyata tokoh-tokoh kehidupan bisa memutarkan fakta awal mereka.

Castor muda—saat itu berusia dua puluh sembilan tahun—adalah seorang aktor opera. Hanya opera. Bukan opera sabun. Maka dari itu, tidak sedikit wanita yang mengejarnya. Castor terkenal lewat tulisan-tulisan di surat kabar mengenai dirinya. Yang tentu saja memuji dirinya. Banyak teater-teater besar yang merekrutnya bila sebuah opera akan dimainkan dalam acara-acara besar. Baik pesta pernikahan maupun pertunjukan untuk menyambut kedatangan petinggi-petinggi negara. Ia terkenal akan banyak hal. Bakat alami dalam berakting, suara yang bergema indah—menyusup hingga ke relung hati ketika bernyanyi, ketampanan yang membuat semua terpesona, rambut merah yang elegan, dan kedua mata indah yang berada di balik lensa. Ia pun pandai memperlakukan anak-anak dengan baik.

Hah, padahal dulu ia ingin menjadi seorang dalang boneka.

Castor adalah pria sempurna bila ditelaah dari kacamata orang bijak. Apakah mungkin karena sempurna, sehingga satu cacat saja sudah meninggalkan masalah?

"Cewek dari teater itu membuangmu? Kekeke. Sudah bisa ditebak. Mana ada cewek yang mau dengan maniak boneka sepertimu?"

"Hah, kenapa mereka lebih memilih orang bodoh sepertimu."

"Lihat siapa yang berbicara. Kau bahkan tidak pernah mencintai kekasihmu dengan sungguh-sungguh," Frau menyerahkan satu botol minuman keras—yang berkadar alkohol rendah, berguna untuk menghangatkan tubuh—beserta satu gelas mungil. "Kau sudah dua puluh sembilan tahun, sudah terlalu tua untuk menikah. Lebih baik lupakan saja, kekeke."

Castor tersenyum. Walau kasar, perkataan Frau meninggalkan fakta yang begitu dalam.

"Frau! Ada pesanan untuk meja delapan!"

"Yo!" Frau menaruh gelas yang ia bersihkan ke dalam rak. Kemudian melirik sesaat pada Castor. "Kutinggal, ya, Maniak Boneka. Kuharap kau tidak menangis karena cewek."

"Dalam khayalanmu, mungkin iya."

Suasana bar saat cuaca tidak bersahabat memang dapat ditebak. Awal musim gugur—udara sudah mulai dingin—adalah saat tersibuk. Orang-orang berbondong-bondong datang ke bar untuk menukar beberapa franch dengan sedikit alkohol, demi menghangatkan tubuh. Bar tempat Frau bekerja terletak di bagian belakang kota Paris. Daerah yang sedikit tersudut dari pusat kota. Tidak heran bila banyak orang-orang kelas menengah hingga menengah ke bawah yang datang, harga makanan kecil serta minuman di sini cukup terjangkau. Walau suasana berisik membuat Castor sedikit tidak nyaman berada di sini.

Di pojok kanan bar, ada seorang wanita tua—amat tua—yang selalu mengenakan mantel bulu. Kalau tidak salah, mantel itu peninggalan suaminya saat sang suami meninggal di dalam perjuangan terakhir revolusi Perancis—tahun 1799. Wanita tersebut tidak memiliki anak karena sebelum revolusi, wanita itu dan suaminya hidup dalam kesusahan. Waktu itu, yang kaya semakin kaya. Yang miskin semakin miskin. Sebelum pensiun, ia bekerja sebagai guru. Kini, setelah pensiun ia menghabiskan uangnya untuk menunggu kematian. Mengantarkannya menuju tempat sang kekasih tinggal.

Meja enam biasa ditempati tiga gadis yang berisik. Castor pernah berbincang-bincang dengan mereka. Kalau tidak salah namanya Athena, Rosalie, dan Libelle. Mereka adalah perawat di salah satu rumah sakit kecil. Kemudian, di pojok kiri belakang ada pria tua yang bekerja sebagai tukang kayu. Setiap malam ia selalu ke mari bersama teman-temannya. Rata-rata dari mereka adalah tukang listrik, tukang kayu, pembuat aksesoris murah, dan lain-lain.

Orang-orang di sini adalah pencerminan nyata Paris yang tidak gemerlap seluruhnya.

Castor menghela napas. Ia menuangkan alkohol ke dalam gelasnya. Seiring air yang berjalan turun, ia dapat melihat refleksi wanita-wanita yang telah membuangnya. Sudah berapa wanita, ya? Menyebalkan. Ia kira wanita rekan kerjanya di teater benar-benar mencintainya. Namun, wanita itu malah kabur dengan pria lain yang lebih mapan. Wanita-wanitanya yang terdahulu juga sama saja—mereka kabur ketika tahu Castor gemar membuat dan mengoleksi boneka.

Sungguh, walau terdengar seperti lelucon apakah ada—satu orang saja yang dapat menerimanya?

"Dasar wanita."

"Ada apa dengan wanita?"

Biarpun kebisingan mendominasi telinga, Castor tetap mendengar alunan suara tersebut. Lembut, mirip dengan suara sang Ibu ketika masih hidup. Mirip dengan suara pemeran ibu peri dalam drama anak-anak. Sejuk bagai angin. Mengalir bagai air. Ya, memang jebah—Castor akui. Seperti kalimat drama picisan tentang roman picisan yang mengangkat tema picisan.

Ketika melirik ke sampingnya, ia mendapati seorang wanita yang memakai topi serta gaun Castor tidak dapat melihat wajah seperti apa di balik topi lembayung tersebut. Salah satu tangannya memegang tas berukuran kecil, hanya cukup untuk menaruh uang dan peralatan dandan kecil. Sarung tangan yang dipakainya terbuat dari sutra. Gaunnya cantik berwarna lembayung sama seperti topi bulunya. Tidak banyak hiasan dan renda. Mungkin agar tidak menutupi pesona sang wanita. Wanita tersebut terlihat sederhana namun berkelas.

"Oh, sudah lama kau tidak datang ke mari, Labrador!" ucap Frau yang tiba-tiba datang. Ia memberikan satu gelas air murni. "Apa si Tuan Besar Alexis itu membuangmu?"

"Istrinya mengetahui perselingkuhan ini," wanita itu dengan tenang mengambil minuman tersebut. "Daripada repot, lebih baik aku pergi, bukan?"

"Yah, terserah. Bagaimana kalau kau menemani si maniak boneka ini, Lab? Dia baru saja putus dari pacarnya, keke." Frau menunjuk si pemuda berambut merah sebelum pergi melayani pelanggan yang lain.

Castor meneguk alkohol dengan kesal. Frau, pria berambut pirang itu selalu tahu cara membuatnya kesal. Menyebalkan. Ia ingin sekali menanamkan satu pukulan di perut Frau setelah ini.

"Anda baru putus hubungan?" gadis yang dipanggil Labrador itu memecah keheningan—di antara mereka berdua saja, pastinya.

"Nona, kuharap Anda tidak—"

"—mengungkitnya? Baiklah," Labrador sedikit tertawa. "Saya harap Anda tidak membenci saya. Perkenalkan, saya Labrador. Saya tidak keberatan dengan panggilan apapun."

"Castor," jawab Castor dingin. Ia memandang wanita—yang mungkin lebih muda darinya—di sebelahnya yang kini telah membuka topinya. Ia memang begitu menawan. "Mari buang formalitas yang ada. Namamu sedikit aneh? Seperti nama jenis anjing."

"Oh, ya? Kau orang pertama yang bertanya secara langsung seperti ini," Labrador mengambil botol alkohol yang ada di hadapan Castor. Menuangkannya pada gelas yang Castor pakai untuk minum. "Aku tidak tahu nama asliku. Aku suka mempelajari dan juga membuat teh. Nama Labrador kuambil dari nama teh, maka tanpa sadar aku terus memakai nama itu." (3)

"Bagaimana bisa kau tidak tahu nama aslimu?"

"Yah, karena aku tidak tahu," Labrador tersenyum seraya memberikan segelas alkohol kepada Castor. "Ibuku langsung membuangku di jalanan ketika aku lahir. Kautahu? Anak-anak jalanan tidak pernah mempunyai nama."

"Hah, omong kosong," Castor tersenyum sinis. Meneguk alkohol dengan cepat. Siapa yang akan memercayai kata-kata Labrador? Apalagi bila melihat wanita itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Jangan berbohong padaku."

"Kau pernah dengar bahwa wanita simpanan akan mendapatkan apa yang diinginkan?" Castor tersedak. Apa yang wanita ini bicarakan? "Belum pernah melihat wanita penghibur sepertiku?"

'… pelacur?'

.

[Bagneres, Perancis. Pertengahan musim semi tahun 1871]

.

Pasangkanlah dua buah bola mata—bulat, besar—berwarna keunguan. Yang begitu cantik, pirus indah refleksi nilam suci amethyst. Bunga kecubung yang memabukkan siapa saja yang melihatnya. Bulu mata yang panjang, menempel pada pipi setiap kali mata tertutup. Hubungkanlah garis alis yang lembut untuk membuat batang hidung yang sempurna. Lukislah selengkung senyum yang memesona, mengundang maut bagi hati. Gelombangkan rambutnya yang berwarna sama seperti kedua matanya, biasa terkepang lalu digulung dengan rapi. Rambut indah yang bersembunyi di balik topinya yang elegan. Gaun seperti apapun akan pantas ia pakai, tubuhnya yang kecil membuatnya tidak sulit mencari gaun yang pas. Belum lagi, sarung tangan yang serasi dengan tas. Memadukan semua keluwesan wanita yang ada.

Bahasa tubuh serta bahasa verbal yang ia katakan menyiratkan keeleganan wanita. Labrador adalah boneka porselen hidup. Boneka porselen yang merefleksikan warna bunga lembayung. Ia adalah lembayung senja yang merunduk cantik, selalu diincar oleh para pria walaupun ia bukanlah yang tersuci di dunia.

"Bila bukan Anda langsung yang menceritakan bahwa Nona adalah pelacur, saya tidak akan memercayainya."

"Bukan Anda saja. Saya pun, awalnya tidak percaya bahwa dia seorang pelacur," Castor menyesap sedikit minuman yang ia pesan. "Sejak saat itu, kami sering bertemu. Saling berbincang dan lama-lama menjadi sepasang kekasih. Saya, yang mengetahui bahwa dia wanita penghibur, seakan menyangkal fakta yang ada. Dia wanita pertama yang tidak mengatakan apa-apa mengenai hobi saya dalam membuat dan mengoleksi boneka. Saya tidak peduli dengan pandangan masyarakat. Yang saya pedulikan hanyalah… saya mencintainya dan itu cukup."

Seperti yang sudah ditekankan sebelumnya. Gemerlap Paris hanyalah kulit luar saja—Castor berpendapat. Tidak ada. Paris yang gemerlap seluruhnya tidaklah pernah ada. Sebagian kecil dari Paris itu menangis. Hanya yang kaya yang dapat bertahan hidup. Hanya yang miskin yang tidak dapat melunakkan kekejian dunia yang akan mati membusuk. Rata-rata manusia tidak ingin mati sebelum mereka melihat kebahagiaan yang ada—walau hanya satu kali. Sehingga, beberapa di antaranya memilih jalan hidup penuh duri. Yang bisa membuat mereka terluka, penuh darah, tidak berdaya, dan sekarat setelah sampai di ujung jalan.

Pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian adalah menghibur bangsawan-bangsawan dengan nafsu indriawi tinggi. Entah siapa yang salah. Paris? Ataukah mereka sendiri? Ataukah para bangsawan yang hanya ingin mendapatkan kesenangan? Atau pemimpin negara yang tidak mau melihat sudut gelap dari Paris?

"Frau dan teman-temannya pernah berkata pada saya… Labrador terlalu suci untuk menjadi wanita penghibur namun, terlalu kotor untuk menjadi wanita yang menemukan cinta sejati."

Labrador adalah salah satu di antara banyak wanita penghibur—wanita simpanan para bangsawan.

"Dulu, dia hidup di jalanan sebagai penjual bunga. Lalu, ada pelacur yang tertarik padanya. Pelacur itu menjadikannya pembantu seraya mengajarkan cara membaca dan menulis pada Labrador. Tidak lama, pelacur tersebut meninggal karena kecelakaan. Kekasih saya itu kembali sendirian dan tidak mempunyai tempat tinggal. Uang yang ditabungnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama beberapa bulan ke depan. Labrador pun, mengikuti jejak pelacur tersebut."

Castor menatap sayu pemandangan di luar jendela. Toko aksesoris tua yang ada di seberang restoran ini, menambah kembali kilasan memori antara dirinya dan Labrador di Bagneres. Toko aksesoris itu pernah ia kunjungi. Ah, apakah jepit rambut bunga yang ia belikan masih ada di rumah?

"Toko aksesoris itu… pemilik awalnya meninggal beberapa tahun lalu," ucap Hakuren ketika mengetahui ke arah mana pandangan Castor tertancap. "Sekarang, toko itu diwarisi anaknya."

"Dulu, saya membelikannya sebuah jepit rambut kecil dari toko tersebut. Kautahu? Tidak seperti wanita lain, dia sedikit marah karena dia rasa percuma membelikan jepit rambut saat keadaan sedang tidak baik."

Labrador adalah wanita yang aneh, menurut Castor. Labrador tidak menyukai alkohol, rokok, dan gosip. Ia menghindari datang ke pesta-pesta besar serta gedung pertunjukan. Biarpun para bangsawan sering menghadiahinya gaun, perhiasan, serta barang mewah lain, ia lebih memilih berpenampilan apa adanya. Penampilan yang tidak memerlukan banyak aksesoris dan hiasan tubuh berlebihan. Ratusan hingga ribuan franch yang ia terima tidak pernah ia hamburkan. Ia menyimpannya dalam laci kamarnya dengan sedikit ceroboh. Seakan-akan tidak peduli bila uang tersebut dicuri. Ia hanya menggunakan beberapa franch untuk membeli peralatan berkebun serta daun teh. Wanita penghibur tersebut hanya menyukai dua hal. Bunga dan teh.

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah Labrador—yang sedikit mewah, pemberian seorang bangsawan—maka hal pertama yang memesona adalah tamannya. Labrador menumbuhkan tanaman-tanaman di taman itu sendirian. Ada tanaman hias serta tanaman obat. Labrador merawatnya, menjaganya, seakan-akan bunga-bunga tersebut adalah nyawa Labrador sendiri. Kemudian, bila memasuki rumahnya, Labrador akan menyuguhkan teh serta kue yang membuat lidah bergoyang.

Wanita itu, menjadi pelacur hanya untuk bertahan hidup.

"Dia menarik, bukankah begitu?"

Castor mengangguk perlahan.

"Sejak mengenalnya lebih jauh, saya rasa saya… mencintainya," Castor tersenyum lemah. "Dimulai sejak awal musim dingin. Gejala-gejala itu datang. Kami yang tidak tahu apa-apa, menganggap seakan-akan gejala yang dialami Lab adalah hal sepele."

.

[Paris, Perancis. Pertengahan musim dingin, tahun 1843]

.

"Mon enfant, ma soeur. Songe à la douceur."

Labrador merapatkan kimono tebal yang baru ia kenakan. Udara pagi ini begitu dingin. Embun-embun tipis dapat terlihat begitu ia mengeluarkan napas. Bila membuka tirai, baik di lantai satu maupun lantai dua, maka buram kaca yang terlihat. Labrador menyeka embun tersebut utntuk dapat melihat angkasa yang menurunkan salju. Ah, pantas saja begitu dingin. Mungkin akan lebih baik bila ia menyalakan perapian. Ia bukanlah manusia dengan tingkat toleransi tinggi terhadap dingin. Apalagi akhir-akhir ini, kondisi tubuhnya sedang tidak bagus. Ingin sekali ia duduk dekat perapian, dengan selimut di sekeliling tubuh sambil meminum segelas cokelat panas.

"D'aller là-bas, vivre ensemble!"

Wanita itu mengambil beberapa potongan kayu bakar dari lantai bawah. Dengan segera, ia membawa kayu-kayu tersebut ke lantai atas. Ia melangkah dengan hati-hati, supaya tidak membangunkan kekasihnya yang masih tertidur. Ia berusaha tenang seperti boneka-boneka yang menghiasi rumah Castor ini.

"Aimer à loisir, aimer et mourir,"

Ia menaruh beberapa kayu di perapian dengan hati-hati. Kemudian, ia menyalakannya. Wanita itu sedikit mengatur kayu-kayu panas tersebut, memastikan agar percikan atau bagian kayu tidak membakar batu bata di sekelilingnya.

"Au pays qui te ressemble!" (4) Labrador menyentuh kedua pipi kekasihnya sebelum mengecup ringan bibir Castor. "Selamat pagi, Castor."

"Selamat pagi," pemuda itu tersenyum. Tangan kanannya mencari kacamata di atas laci kecil. "Darjeeling?"

"Darjeeling," Labrador menyerahkan secangkir teh. "Untuk membangunkanmu sepenuhnya dari alam mimpi. Teh untuk menyambut pagi."

"Kautahu? Aku bermimpi seseorang menggumamkan sebuah penggalan puisi," Castor menyesap teh tersebut dengan perlahan dan memandang pantulan dirinya di atas air. "L'Invitation au Voyage."

"Kau pasti bermimpi." Labrador mengambil cangkir teh tersebut setelah Castor menghabiskan setengah isinya.

"Mimpi indah? Ya," tangan Castor bergerak menyentuh wajah Labrador. "Oh, ya… apa kata dokter, Lab?"

"Akan kita ketahui hari ini."

"Kuharap bukan pertanda apa-apa," Castor menyeka sedikit rambut yang menutupi wajah Labrador. Memberikan jalan bagi wanita itu untuk menciumnya. Dahi, hidung, mata, alis—hampir seluruh wajah telah merasakan bibir sang wanita. "Maksudku, kau terlihat sangat kurus. Padahal sejak awal kau sudah kurus. Kau juga demam dan sering mengeluarkan banyak keringat ketika malam hari datang. Apa kau kesakitan? Wajahmu… sungguh pucat..."

"Menurutmu?"

"Oh, baiklah. Aku akan berhenti bertanya," Castor menghela napas dan mendorong tubuh Labrador agar menjauh. Ia mengambil sebuah handuk dan beberapa lembar pakaian. "Aku akan pergi bekerja. Kuharap kau beristirahat, Lab."

Castor merapatkan syal serta mantelnya. Astaga, ia tidak menyangka udara pagi ini begitu menusuk kulit. Bahkan, mantel tebal yang ia kenakan seakan-akan tidak berfungsi apa-apa. Berkat Labrador yang menyalakan perapian, ia jadi tidak tahu suhu udara yang sesungguhnya. Jalanan sepi pejalan kaki maupun kereta kuda, mungkin tidak kuat dengan udara yang mencekat. Ia merasa secepat dan seberusaha apapun ia berjalan, gedung teater tetap tidak terlihat. Kali ini, ia merasa gedung teater jauh sekali dari rumah.

Sialnya lagi, ketika sampai di gedung teater, para pemain langsung dibubarkan. Hari ini tidak ada latihan—jelas salah satu pengurus gedung. Coba ada Frau di hadapan Castor, pemuda pirang itu pasti akan menjadi korban kekesalan.

Castor menggerutu dalam hati dan ternyata bukan hanya dirinya yang seperti ini. Para pemain lain pun hanya bisa mengeluh. Mereka lelah melewati salju yang tebal untuk sampai ke gedung teater, nyatanya tidak mendapat hasil apa-apa. Para pengurus meminta maaf karena tidak bisa memberitahu para pemain.

"Hah, menyebalkan," seorang gadis berambut panjang mendekati Castor. "Hei, Cast. Sebelum kaupulang, lebih baik kita minum-minum. Bagaimana?"

"Lebih baik kaupulang, Eve. Tidak minum pun kau sudah mabuk."

"Ayolah! Kutraktir!" Eve memukul pundak Castor. Gadis lawan main Castor ini memang berkemauan keras.

Bar tempat biasa Castor minum—dan juga tempat pertama kali ia bertemu Labrador—berjarak dekat dengan gedung teater. Hanya tinggal berjalan sekitar dua blok dari gedung, lebih dekat daripada jarak rumahnya ke gedung. Saat menjejakkan kaki di bar, masih banyak tempat yang kosong. Bar itu serasa milik sendiri. Frau juga tidak akan datang. Pemuda—yang menurut Castor sedikit idiot—itu selalu mengambil shift malam.

Eve, gadis itu memesan alkohol berkadar sedang, bersama dengan cemilan kecil yang cocok disajikan bersama alkohol. Castor hanya memesan yang biasa, ia tidak mau dimarahi Labrador karena minum alkohol pada pagi hari. Tidak enak rasanya bila menolak Eve, yang sudah menjadi kawannya selama kurang lebih dua tahun. Biasanya, gadis itu terlihat ceria dan bersemangat. Kini, walaupun masih tersenyum lebar, Castor merasakan ada sesuatu yang tidak baik. Benar, Eve tersenyum namun, kedua matanya tidak tersenyum. Tidak ada aura yang keluar dari gadis itu.

"Adikku meninggal," ucap Eve, memecah keheningan juga rasa penasaran Castor. "Dia mengidap tuberkulosis." (5)

"Sejak kapan?"

"Seminggu yang lalu… dia meninggal di Bagneres," Eve menuangkan alkohol lagi dan lagi. "Kurasa, hanya kau yang dapat mengerti perasaanku. Kau kehilangan ibumu karena TBC, kan?"

Castor mengulang pekerjaannya tadi pagi. Memandang pantulan diri di atas air. Ia mulai meneguk alkohol perlahan sambil mengingat sesuatu yang membuat hatinya berdenyut. Ibu. Ibunya. Ibunya yang meninggal ketika ia masih kecil karena penyakit parah yang dideritanya. Saat itu, Castor belum mengerti apa-apa. Namun, ia ingat bahwa sang Ayah pernah mengatakan bahwa sang Ibu meninggal karena TBC.

Air mata sang Ayah yang tumpah di atas bahu kecil Castor. Castor kecil merasakan kedua mata serta pundaknya panas. Air mata itu membakar tubuhnya, dari dalam juga dari luar.

"Ya. Aku menangis sampai pingsan. Setelah sadar, pemakaman Ibu sudah selesai," ucap Castor, sedikit tersenyum. Ia melirik Eve yang berusaha menahan air matanya. "Aku turut bersedih. Jangan terus larut dalam kesedihan, Eve. Adikmu pasti tidak menginginkan itu."

Eve menundukkan kepala dan tenggelam dalam ritme hatinya sendiri. Gadis itu tidak tahu, apakah ia masih mempunyai sisa air mata? Ia sudah terlalu banyak menangis seminggu ini. Memori tentang pemakaman sang adik yang menyakitkan. Ia membiarkan tubuh sang adik dibalut pakaian yang cantik, di atas peti mati yang ditaburi bunga lili. Adiknya berpakaian putih, begitu kontras dengan pakaian serta suasana para pelayat. Saat itu, ia sempat memercayai bahwa sang adik hanya tertidur. Sang adik akan terbangun nanti.

"Adikku… dia sudah berjuang selama lima tahun. Anoreksia, demam, batuk-batuk..."

Namun, ketika peti mati ditutup, barulah ia menyadari ketidakberadaan nyawa sang adik. Eve yang semula terkenal periang, meledakkan tangis penuh kepiluan. Tangisan yang tersirat ketidakrelaan perpisahan antara dirinya dengan sang adik. Ia bergetar mengingat itu semua namun, tiada air mata yang keluar. Benar. Rupanya kelenjar air mata sudah lelah memproduksi air mata.

Castor tidak tahu kata-kata apa lagi yang dapat menghibur. Ia bukanlah pria dengan kata-kata manis. Kecuali, bila Eve mau dihibur dengan kalimat-kalimat palsu dari drama. Ia yakin, Eve akan marah kepadanya. Satu-satunya cara adalah mengusap punggung Eve pelan. Tanpa kata-kata manis. Tanpa senyum miris. Hanya sedikit sentuhan untuk menyemangati hati.

Dalam hati, Castor berharap tidak akan ada lagi yang harus mengalami kepedihan seperti ini. Ia berharap medis dapat menemukan obat untuk penyakit ini secepatnya.

Ya, secepatnya.