Title : All for You

Author : Ren Choi

Cast : Wu Yifan (Kris) & Kim Jongin (Kai)

Pair : ( ? ? ? ? )

Genre : Family, Brothership, Hurt/Comfort

Rating : T

Length : 1 / -

Warning : Typo bertebaran

"Mommy ..."

Yeoja paruh baya itu mengalihkan pandangannya dari majalah Vogue yang memuat desain-nya ke seorang namja cilik yang memeluk kakinya.

"Waeyo, Yi Fan~ie?" tanya yeoja yang dipanggil mommy itu.

Yi Fan – nama namja cilik itu - mendongakkan wajahnya, menatap sang eomma yang sangat cantik dengan rambut berwarna pirang yang digerai hingga pinggulnya dengan tatapan penuh harap.

"Mommy, Yi Fan ingin punya didi," ujarnya, terdengar hopeless.

"Didi?" tanya Nyonya Wu dengan dahi yang dikerutkan.

Yifan Mengangguk. "Yes, mommy. Semua teman-teman Yi Fan mempunyai didi atau meimei. Bahkan kemalin Lu Han ge membawa didinya yang belnama Sehun ke sekolah," cerita Yifan dengan pengucapan yang lucu, karena Yi Fan masih belum bisa mengucapkan huruf 'r'. "Yi Fan juga ingin punya didi, mommy," pintanya lagi.

Nyonya Wu tersenyum kecil. Putranya ini jarang sekali meminta sesuatu padanya. Biasanya, bocah bersurai pirang itu lebih sering meminta sesuatu pada dadynya. Tapi mengingat apa yang diminta Yi Fan, Nyonya Wu maklum. Yang membuat wanita itu sedih adalah karena dia tidak bisa memberikan didi pada Yi Fan. Sebulan setelah melahirkan Yi Fan, rahim nyonya Wu terpaksa diangkat karena penyakit kista.

"Mommy," panggil Yi Fan lagi. "Mommy mau membelikan Yi Fan didi, kan?" tanyanya.

Nyonya Wu kembali mengulas senyum, lalu mengangguk. "Ne. Mommy akan memberikan Yi Fan didi. Yi Fan senang?" tanya nyonya Wu yang kini mendudukkan Yi Fan di pangkuannya.

Sedangkan Yi Fan, anak berusia 4 tahun itu langsung memeluk sang mommy untuk mengekspresikan kebahagiannya. "I love you, mommy," bisiknya.

"Love you too, Yi Fan~ie," balas nyonya Wu.


Di sebuah ruang tamu di bangunan luas yang sederhana, tampak sekitar 20 anak kecil yang berbaris rapi. Anak kecil itu berusia 2 sampai 3 tahun. Semua anak kecil itu tampak rapi sekali.

"Bagaimana nyonya, tuan?" tanya yeoja paruh baya yang duduk di salah satu sofa kayu yang sederhana.

Nyonya Wu tampak begitu memperhatikan anak-anak kecil yang berdiri di depannya. Hingga dirasakannya Yi Fan menarik ujung dress-nya.

"Wae, Yi Fan~ie?" tanya tuan Wu.

"Yi Fan mau didi yang masih bayi," jawabnya.

"Yang masih bayi? Kenapa Yi Fan mau yang masih bayi?" tanya tuan Wu lagi.

"Karena Yi Fan ingin menjaga didi Yi Fan sejak kecil. Jadi nanti didi Yi Fan akan menyayangi Yi Fan dan nulut sama Yi Fan, gitu kata Lu Han ge," jelasnya.

Nyonya Wu tersenyum mendengar jawaban polos putranya. Manik Hazel yeoja itu pun beralih pada sang yeoja pemilik panti asuhan itu. "Apa anda tidak memiliki anak asuh yang masih bayi? Yang berusia sekitar 3 sampai 9 bulan, mungkin?" tanya nyonya Wu.

Yeoja paruh baya itu nampak sedikit terkejut. Lalu dengan agak ragu mengangguk. "Sebenarnya ada. Tetapi, dia bayi itu baru kami temukan hari ini. Kondisinya masih belum membaik, karena sepertinya baru dilahirkan sehari yang lalu. Karena itu, saat ini kami masih belum berani menunjukkan bayi itu. Kami takut jika bayi itu kondisinya kembali memburuk jika dikeluarkan dari inkubator. Tetapi, jika nyonya benar-benar tertarik dengan bayi itu, kami akan mengabari nyonya dan tuan jika kondisi bayi itu sudah membaik. Bagaimana?" tawar sang nyonya pemilik panti asuhan.

"Ahjumma, boleh Yi Fan lihat didi Yi Fan?" tanya Yi Fan.

Nyonya pemilik panti asuhan itu tersenyum karena sudah tahu apa jawaban yang akan diberikan keluarga kecil didepannya ini tentang tawarannya. Yeoja paruh baya itupun tersenyum lembut dan mengangguk.

"Hyo Ri-ah!" panggilnya.

Tidak lama kemudian, seorang sonyeo berambut panjang sepinggang masuk ke ruang tamu itu dan berdiri di dekat yeoja pemilik panti asuhan tersebut.

"Wae, eomma?" tanyanya.

"Bagaimana kondisi bayi yang ditemukan pagi tadi?" tanya yeoja tersebut. Hyo Ri tersenyum. "Membaik, nyonya. Bahkan kondisinya semakin membaik sejak beberapa saat yang lalu," jelas Hyo Ri.

Yeoja paruh baya itu tersenyum. "Nyonya, Tuan, mari saya antar melihat bayi itu," ajaknya.

Nyonya Wu dan Tuan Wu tersenyum dan mengangguk. Sedangkan Yifan sudah menarik – setengah menyeret – Hyo Ri agar menunjukkan tempat calon didinya.

"Ppalli noona. Yi Fan mau lihat didi Yi Fan!" serunya dengan jemarinya yang menarik jemari Hyo Ri.

Ketiga orang dewasa itu tersenyum kecil melihat Hyo Ri yang sedikit kewalahan karena terus ditarik Yi Fan.

"Yi Fan, yang ini kamarnya," peringat Hyo Ri saat Yi Fan masih terus menyeretnya.

Yi Fan pun segera masuk ke dalam kamar yang dimaksud Hyo Ri. Tidak lama kemudian, sonyeon itu keluar lagi dan menarik tangan sang mommy.

"Hully up, mommy! Didi Yi Fan sangat manis. Mommy halus lihat!"

Nyonya Wu tersenyum dan segera mempercepat langkahnya. Sesampainya di ruangan itu, terlihatlah sebuah inkubator sederhana yang didalamnya terdapat seorang bayi yang terbalut dalam kain berwarna hijau muda.

"Kondisinya semakin membaik. Mungkin sekarang sudah bisa dikeluarkan dari inkubator," jelas yeoja pemilik panti asuhan itu. Tangannya mulai membuka inkubator itu.

"Maaf, bolehkah saya saja yang mengeluarkannya?" tanya nyonya Wu.

Yeoja itu tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja. Silahkan, nyonya,"

Nyonya Wu tersenyum dan mulai menggendong bayi mungil itu. Dan tampaklah dengan jelas olehnya sosok bayi mungil itu. Dengan bibir berwarna pink, kulit coklat kemerahan yang berbeda dari bayi Korea pada umumnya, dan kelopak mata yang menutup. Nyonya Wu lalu mendekatkan bayi itu pada wajahnya dan mencium kening dan kelopak bayi itu, membuat bayi itu mulai membuka kedua matanya.

"Mommy, Yi Fan mau lihat adik Yi fan," pinta Yi Fan yang menarik-narik ujung dress nyonya Wu.

Nyonya Wu tersenyum dan menundukkan tubuhnya agar Yi Fan dapat melihat sosok mungil yang akan menjadi calon didinya.

Yi Fan lalu melemparkan sebuah senyuman manis pada bayi mungil yang kini tengah menatapnya dengan mata bulatnya.

"Kyeopta!" seru Yi Fan senang. Jemarinya mengelus pelan pipi chubby bayi itu. Namun saking gemasnya, Yi Fan kini malah mencubit pelan pipi chubby didi barunya itu.

"Oek~ Oek~"

Bayi mungil yang memang memiliki kulit sensitif – pasca keluar dari inkubator – itu pun menangis keras karena ulah sang gege. Namun sepertinya Yi Fan malah senang mendengarnya karena bocah cilik itu kini terkekeh pelan.

"Ssssst ...," gumam nyonya Wu yang kini kembali menegakkan tubuhnya dan menimang bayi di dekapannya. Bibir tipisnya lalu mulai melantunkan sebait lulaby yang cukup lembut hingga membuat bayi mungil itu kembali terlelap.

"Jongin, Wu Jongin," gumam nyonya Wu sembari mencium kening putra bungsunya itu.


"Ya! Apa yang kalian lakukan pada didiku!?" seru Yi Fan. Namja yang kini berusia 10 tahun itu kini menerobos lingkaran yang dibuat beberapa namja berusia 8 tahun.

Yi Fan langsung merengkuh tubuh mungil Jongin yang terpojok di bawah pohon rindang itu, melindungi tubuh mungil didinya itu dari lemparan-lemparan batu kerikil. Namja-namja kecil yang membentuk kerumunan kecil itu pun sontak berhenti melemparkan batu kerikil begitu tahu ada seseorang yang melindungi Jongin.

"Siapa yang melakukannya?!" seru Yi Fan saat menyadari tubuh Jongin yang penuh luka memar.

Beberapa namja yang berusia lebih muda darinya itu sedikit memundurkan tubuh mereka saat tahu bahwa YI Fan benar-benar marah.

"Ka...kami hanya bercanda, iya bercanda dengan Jongin, Kris ge," ujar salah satu dari 6 bocah cilik itu.

Yi Fan yang saat itu benar-benar marah merangsak maju dan mencengkram kerah baju salah satu dari mereka. Tangannya hampir saja membelai pipi namja itu dengan tinju jika saja Jongin tidak menahan tangan gegenya itu.

Yi Fan menatap heran Jongin yang hanya menggeleng pelan padanya.

"Huh! Beruntung Jongin menghalangiku memberi pelajaran pada kalian. Pergi!" bentak Yi Fan.

Dan dalam hitungan detik pun kerumunan kecil itu menghilang dari pandangan kedua Wu bersaudara itu.

"Jongin, Gwaenchanha?" tanya Yi Fan cemas.

Jongin menundukkan kepalanya dan mendudukkan dirinya di bawah pohon rindang itu.

"Hiks, appo," isaknya pelan, namun cukup untuk Yi Fan mendengar isakan didi kecilnya itu.

"Sssst, apa yang sakit, Jongie?" tanya Yi Fan lembut.

"Hiks, badan Jongie sakit semua, gege, hiks," isaknya lagi.

Yi Fan mengangkat wajah Jongin dan menghapus air mata yang masih mengalir di mata didinya. "Kalau gitu, Jongie gege gendong sampai rumah, ne," tawar Yi Fan.

"Gwaenchanha, ge. Jongie tidak mau membuat gege repot," ujar Jongie, kembali menundukkan kepalanya.

Yi Fan tersenyum dan mengusuk lembut rambut coklat Jongin. "Gwaenchanha, Jongie kan didi gege."

Yi Fan lalu berjongkok di depan Jongin. Dan karena tak mau membuat gegenya menunggu, Jongin pun segera naik ke punggung Yi Fan. Namun, saat akan berdiri, Yi Fan sedikit terhuyung karena kaki kirinya terkilir.

"Gege, gwaenchanha?" tanya Jongin khawatir.

Yi Fan sedikit meringis saat merasakan nyeri pada kaki kirinya. Namun sonyeon itu tetap tersenyum pada sang didi yang menatapnya khawatir. "It's Ok. Hanya sedikit terkilir tadi," jawabnya.

Jongin yang mendengar jawaban Yi Fan pun sontak membulatkan matanya. "Ka, kalau gitu, biar Jongin jalan aja, gege. Nanti kaki gege tambah sakit," pinta Jongin.

"Ani. Gege ingin menggendong Jongin. Badan Jongin kan luka semua," tolak Yi Fan yang kini melangkahkan kakinya menuju rumah mereka yang tidak terlalu jauh dari sekolah mereka.

"Ta, tapi ge,"

"Sudah, Jongin diam saja. Atau, Jongin mau gege tidak berbicara lagi pada Jongin?"

"A ... ani! Jongie akan diam. Tapi gege tidak boleh mendiamkan Jongin, ne?" pinta namja kecil itu.

"Ne."

"Ng, gege~" panggil Jongin lagi.

"Wae, Jongie?" tanya Yi Fan.

"Gege, mau menyanyikan lagu untuk Jongie?" pinta Jongin.

"Menyanyi? Tapi kan Jongie tahu kalau gege tidak pandai bernyanyi," keluh Yi Fan. "Geunde, kalau Jongie mau menunggu, gege akan mencoba berlatih satu lagu dan menyanyi untuk Jongie. Otte?" tawar Yi Fan.

"Jinja, gege? Arasseo. Jongie akan menunggu sampai gege siap menyanyikan lagu itu untuk Jongie!"

Tanpa terasa keduanya pun telah sampai di kediaman keluarga Wu. Yi Fan pun dengan perlahan menurunkan Jongin dari gendongannya. Tapi ternyata Jongin malah memeluk erat lehernya hingga Yi Fan tidak bisa menurunkan adiknya itu.

"Wae, Jongie?" tanya Yi Fan saat menyadari keanehan Jongin.

"Gege, Jongie takut," bisik Jongin pelan.

Yi Fan pun mengernyitkan keningnya heran. "Takut apa, Jongie?" tanya Yi Fan.

"Jongie takut mommy marah. Ba ... baju Jongie kotor," ujar Jongin lagi.

"Gwaenchanha, gege yang akan bilang pada mommy agar mommy tidak memarahi Jongie. Jigeum, Jongie turun dulu, ne," pinta Yi Fan.

Kali ini Jongin menurut pada perintah gegenya. Namja mungil itu pun turun dari atas punggung Yi Fan.

"Jonginie, Yi Fanie," panggil seorang yeoja paruh baya bersurai blonde.

"Aigoo, Jonginie kenapa menangis?" tanya nyonya Wu.

Jongin yang berpikir bahwa sang ibu marah padanya pun semakin menangis.

"Aigoo, bajumu kenapa Jonginie!?" tanya nyonya Wu lagi.

"Mommy, jangan memarahi, Jongie," ujar Yi fan yang berpikir sama seperti Jongin – sang mommy marah pada Jongin. "Jongie diusili teman-temannya di sekolah," ujar Yi Fan.

Nyonya Wu pun memerhatikan tubuh mungil jongin dan akhirnya menyadari bahwa banyak luka memar di tubuh mungil anka bungsunya itu..

"Yi Fanie, tolong minta pada Park ahjumma kotak obat. Ppalli!"

"Ah, ne," jawab Yi Fan sedikit kikuk karena meliat raut wajah panik sang ibu untuk pertama kalinya.

"Apa yang dilakukan mereka, chagi?" tanya nyonya Wu lembut dan mendudukkan Jongin di pangkuannya.

Jongin menunduk dan sesekali mengusap airmatanya. "Mommy, am I your son?" tanya Jongin pelan.

Tubuh nyonya Wu sukses menegang begitu mendengar ucapan putra sulungnya itu. Pikirannya berkecamuk memikirkan pertanyaan Jongin. Padahal, nyonya Wu tahu pasti jawaban dari pertanyaan putra bungsunya itu. Tetapi Jongin masih terlalu kecil, terlalu muda dan rapuh untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Yeoja cantik itu tak ingin kehilangan putra kecilnya itu. Karena menurutnya, Jongin mirip dengannya, sedangkan Yi fan mirip dengan ayahnya.

Peralahan, nyonya Wu mengangangkat tangannya dan membelai surai coklat Jongin. "Siapa yang mengatakannya chagi?" tanya nyonya Wu berusaha lembut, walaupun suaranya sendiri bergetar.

Jongin kecil yang menyadari suara bergetar sang eomma pun semakin menundukkan wajahnya. Sungguh, Jongin akan sangat membenci dirinya sendiri jika melukai sang mommy.

"Hiks … hiks …. Mianhae, mommy … hiks," isaknya.

"Sssst, chagi maafkan mommy. Don't cry. Maaf mommy menggunakan nada suara seperti itu. Siapa yang mengatakan pada Jongie kalau Jongie bukan anak mommy, eum?" Tanya nyonya Wu.

"Hiks … hiks … mereka yang … hiks mengatakannya pada … hiks Jongie. Mereka bilang … hiks … Jongie bukan anak Mommy dan Daddy. Hiks … karena mereka bilang … hiks Jongie berbeda dari Mommy, Daddy .. hiks … dan gege. Warna rambut Mommy, Daddy, dan gege … hiks pirang dan kalian … putih. Tidak seperti Jongie … hiks," jelas Jongie diselingi isakan yang terus keluar dari bibirnya.

Nyonya Wu menghela napas panjang begitu mendengar penjelasan Jongin. Dengan lembut, ditariknya tubuh mungil Jongin ke dalam pelukannya. "Sssst, jangan dengarkan apa perkataan mereka. Jongie adalah anak Mommy dan Daddy, didinya Yifan ge. Jongin tidak berbeda. Jongin istimewa. Dan Jongin tahu, warna rambut Mommy sebenarnya seperti Jongie, hanya saja Mommy mengecatnya dulu, agar sama seperti Daddy dan Yifan ge," ujar nyonya Wu yang sebenarnya adalah kebohongan – mengenai rambutnya. "Jongie itu mirip dengan Daddy dan Mommy, kok. Lihat, mata Jongie seperti Mommy, dan hidung Jongie seperti Daddy. Jadi, tidak mungkin, kan, kalau Jongie bukan anak Mommy dan Daddy,"

Jongin mengerjapkan matanya sambil menatap nyonya Wu. "Jeo … jeongmalyo, Mommy?"

"Ne. Jongie adalah anak Mommy dan Daddy sampai kapanpun. Jongie adalah anugrah terbesar yang diberikan Tuhan pada keluarga kita ini," ujar nyonya Wu.

"Nyonya, ini kotak obat untuk mengobati luka Tuan Muda," ujar seorang butler. Butler itu menyerahkan sebuah kotak dengan tanda plus berwarna merah itu kepada nyonya Wu.

"Eo? Dimana Yifan?" Tanya nyonya Wu.

"Tuan Muda Yifan sedang ada di kamarnya. Tuan Muda tadi memberikan saya kotak ini dan menyuruh agar saya memberikan kotak ini pada nyonya," jelas butler itu.

Nyonya Wu mengangguk, lalu memperbolehkan butler itu untuk kembali ke dalam. Nyonya Wu lalu membawa Jongin untuk duduk di ayunan yang ada di halaman belakang dan mendudukkannya di sana. Dengan amat hati-hati dan telaten, nyonya Wu membersihkan luka-luka di tubuh Jongie dan membalutnya dengan plester bergambar kartun pororo kesukaan Jongin.

Tanpa menyadari ada seseorang yang memandang kejadian itu dengan sorot mata marah, kecewa, cemburu, dan iri.

TBC / END

Anyeong haseyo . . . .

Ada yang merindukan Ren? Nggak ada? Nggak papa sih.

Mian, ya bukannya ngelanjutin It's Because Love, Ren malan nge-post ff baru. FF ini udah lama ketumpuk di file Ren. Sekarang jarang ada ff Kriskai, sih. Jadi Ren post aja. Dilanjut atau enggak, itu semua tergantung readers. Dan disini, nggak pure romance. Karena Ren lebih mengutamakan brothership antara Kris n Kai.

Review?

Ren_Choi