Someone used that nickname I hate again
And I reply without even turning around
This world is so damn simple it's disgusting
Quick like the breeze, I forced a fake smile…
- Hatsune Miku; Don't Put My Name in the Endroll
.
.
Jam makan siang, sungguh sebuah waktu kesukaan dari semua murid yang ada di dunia ini. Hanasaki Mitsuko tersenyum kecil saat memikirkan ini, dan dia melanjutkan membaca novel yang dia bawa untuk mengusir rasa bosan selama dia makan—Girls in the Dark, karya Akiyoshi Rikako—dan mengalihkan pikirannya dari kedua gadis yang mengaku-ngaku sebagai sahabatnya—Mitsuko pikir itu tidak buruk karena keduanya adalah sosok yang berpengaruh di kelas, dan dia mendapatkan banyak keuntungan dengan berteman bersama keduanya. Sekarang, lanjut ke novelnya.
Iya. Tema kali ini adalah kematian Ketua Klub sebelumnya, Shiraishi Itsumi—
"—benar kan, Micchan?"
Mitsuko berkedip, konsentrasinya yang penuh buyar dan pecah saat dia mendengar suara—yang dia pikir terlalu melengking bahkan untuk seorang gadis SMA—dan dia mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari novel di pangkuannya.
"Ah, ya. Terserah saja."
"Hei, Micchan! Jangan hiraukan aku!" protes gadis berambut pirang keriting—jelas-jelas disemir, berbeda dengan rambut pirangnya yang alami—di depan Mitsuko yang tidak dia ingat namanya—nama keluarga saja tidak ingat, apalagi nama panggilan. Dan dia benci dipanggil sebagai Micchan, jadi dia hanya akan menghiraukan mereka untuk sekarang. Ayo kita lanjut ke novel best seller yang dia beli beberapa hari yang lalu…
Saya dan Itsumi adalah teman sejak SD dan kami sahabat baik—
"Ahaha, Micchan memang begitu kan," lanjut gadis berambut cokelat lainnya—cokelat yang mengingatkan Mitsuko akan warna brownies murahan yang dijual di pinggir jalan dan dia beli dengan harapan besar saat dia masih sekolah dasar. Rasanya menjijikan, hanya memberitahu. Dia menghela nafas dalam pikirannya. Benar-benar, kedua gadis tokoh sampingan ini mulai membuatnya kesal karena terus memotong bacaannya padahal dia sedang benar-benar terkubur dalam suasana bukunya—
"Kalian tahu aku," jawab Mitsuko sambil tersenyum—senyum, Mitsuko, karena kalau mereka membencimu maka statusmu di kelas ini akan turun dan kamu akan ditindas dan jelas-jelas kamu tidak mau itu terjadi—dengan lebar dan memainkan helai-helai dari rambut pirangnya yang jatuh tepat di bahunya dengan sempurna, seakan dia salah satu dari mereka. "Tentu saja, aku tetap menyukai kalian walaupun menganggu waktu membacaku, haha."
—ganggu aku lagi dan aku akan melempar meja ini ke wajah kalian yang seperti serangga menyebalkan itu, haha.
"Ahaha! Kamu bisa saja, Micchan!" Berhenti memanggilku seperti itu, bodoh. Apa kamu bahkan tidak bisa mengeja Mitsuko sampai-sampai kamu harus memberiku nama panggilan menjijikan itu? "Oh ya, aku mau membeli kopi susu di vending machine dulu ya. Apa ada yang mau ikut denganku, hm?" tanya gadis yang pertama—Mitsuko akan memanggil dia gadis #1. Dan tentu saja gadis yang kedua adalah gadis #2. Tentu saja, gadis-gadis remaja selalu pergi bersama saat seperti ini.
"Kalau begitu aku ikut saja! Micchan, kamu ingin titip sesuatu?" tanya gadis #2 sambil mengulurkan tangannya, dan Mitsuko merogoh dompet koinnya yang berbentuk Totoro dengan senyuman lebar dan dia menyerahkan beberapa koin ke gadis #2. "Oh, kopi hitam seperti biasa kan? Itu cocok dengan sikapmu, Micchan." Tentu saja, itu hanya candaan anak SMA biasa.
"Tolong ya. Terima kasih," Mitsuko tersenyum dan melambaikan tangan kepada kedua gadis itu—sampai mereka tidak terlihat di pandangannya dan dia langsung mengubur diri ke dalam novelnya yang masih belum selesai.
Untunglah mereka segera pergi, kalau tidak dia tidak akan bisa menahan hasratnya untuk membunuh seseorang dan mengoleskan darah mereka di bagian akhir novel ini, sesuatu yang sesuai dengan dialog-dialog akhir dari novel ini yang mengejutkannya saat dia pertama kali membaca—ya, dia sudah pernah membacanya, dan ini yang kesekian kalinya. Gelar best seller itu tidak berbohong, novel ini benar-benar luar biasa untuk pikirannya yang gelap seperti arang.
Saya masih belum bisa percaya bahwa dia sudah tiada karena kami selalu berdua setiap hari—
"Ne, ne, Hanasaki-san!" Mitsuko kembali berkedip saat dia melihat wajah seorang laki-laki dengan rambut pirang dan telinga yang ditindik, senyuman cerah mekar di wajahnya yang menjadi barang pujaan bagi gadis-gadis remaja di seluruh Tokyo—atau bahkan seluruh Jepang, membuat Mitsuko berpikir mereka adalah kaum pemuja yang tersembunyi.
Gadis berambut pirang itu tidak ingat siapa nama laki-laki ini, tapi dia mengingat jelas saat gadis #1 dan #2 yang dekat dengannya—hah, dekat—pernah membahas laki-laki yang ada di depannya sekarang—yang entah kenapa punya wajah yang Mitsuko pikir akan memuaskan kalau dipukul—seakan dia adalah dewa mereka. Salah satu alasan Mitsuko berpikir kalau dia punya kultus pemuja tersembunyi di Jepang. Yang lainnya adalah fakta kalau wajahnya lebih mulus dari wajahnya sendiri—serius, memangnya apa yang laki-laki itu pakai setiap malam?
"Apa ada sesuatu yang salah?" tanya Mitsuko dengan nada sopan, berusaha menahan senyum di wajahnya yang mulai bergetar mengancam akan runtuh dan digantikan oleh wajah muram dan geraman karena semua orang sialan yang statusnya ada di bawahnya ini terus memotong bacaannya. "Tidak biasanya kamu mendatangiku—"
"Apa kamu tahu? Aku seorang model, Hanasaki-san!" Oh, untunglah laki-laki ini memotong kata-katanya sebelum dia harus mengatakan namanya, karena jujur saja Mitsuko sama sekali tidak mengingat namanya—atau lebih tepatnya dari awal, dia memang tidak tahu. Dia tidak suka mengingat nama yang tidak penting, dan dia tidak peduli apakah laki-laki di depannya ini model atau bukan. "Aku tahu kalau seseorang berbohong, ssu."
Mitsuko tersenyum dan mengangguk seakan dia mengerti, dengan tatapan matanya yang masih mengarah ke novelnya. Ya, Mitsuko, teruslah mengangguk dan semua orang bodoh ini pasti akan berpikir kalau kamu mendengarkan mereka dengan serius dan penuh perhatian dan semuanya yang baik—tunggu apa.
"Tunggu—apa?" Hebat, rekfleksnya untuk mengatakan apa yang ada dalam pikirannya muncul sekarang, kebiasaan itu tidak pernah bisa dia hilangkan sampai ke akarnya walau dia sudah berusaha sekeras mungkin—tidak tidak tidak, pikirkan hal yang penting sekarang, Mitsuko. Kembali ke banana-kun-dengan-wajah-tampan. "Maaf, tapi apa yang kamu katakan tadi? Bisa kamu ulangi? Aku tidak mendengarnya dengan jelas."
Mitsuko bisa melihat senyum yang menyilaukan dari laki-laki pirang itu, tapi apa yang ada di pikirannya hanyalah bullshit-aku-bisa-melihat-senyum-palsumu-itu-bodoh, dan berhenti-membuat-wajah-seperti-itu-atau-aku-akan-menghajarmu. Senyuman yang seakan tahu suatu hal yang tidak diketahui oleh Mitsuko, dan gadis berambut pirang itu paling tidak suka kalau ada orang yang tahu sesuatu yang tidak dia ketahui.
—tentu saja, semua pikiran itu tidak penting lagi setelah Mitsuko mendengar apa yang keluar dari mulut laki-laki itu selanjutnya, yang nantinya dia tahu sebagai Kise Ryouta, dan yang dia panggil dalam hati sebagai banana-kun-sialan.
"Aku tahu kalau seseorang sedang berbohong, ssu. Dan kamu, Hanasaki Mitsuko-san, adalah pembohong yang buruk."
—well shit.
.
A/N: Halo halo semuanya, kembali bersama Author di cerita baru yang semoga saja bisa berlanjut (selama otak sang Author belum kehilangan imajinasinya, ya)! Semoga kalian menikmati karakter baru ini, Hanasaki Mitsuko, yang entah bagaimana setelah cerita ini selesai berubah dari anak SMA yang tidak peduli akan sekitarnya menjadi anak SMA yang berpikir kalau dia adalah pembohong ahli yang lebih baik dari semuanya wwww.
Tolong tinggalkan review kalian tentang cerita ini! Jangan lupa fav n follow, dan seperti biasa Author mohon bantuannya dalam memeriksa typo atau kejanggalan yang ada di cerita ini! Terima kasih semuanya, semoga hari kalian indah! Di tengah-tengah boyxboy yang merajalela dalam fandom Kurobas akhir-akhir ini, semoga cerita ini bisa mencerahkan hari kalian, yay. Sampai jumpa di chapter selanjutnya (kalau ada yang membacanya ini, haha).
