Summary – Kehidupan di Pasar Pulau Rintis itu selalu sibuk. Ada Halilintar si penjual daging, Taufan si penjual ikan, Gempa dan Daun si penjual sayur dan buah, Ice si penjual es, Blaze si tukang parkir, Solar yang tukang pulsa dan jual hape dan KaiFang yang ada usaha cuci mobil-motor. Elemental siblings+KaiFang+SaiShielda. Bahasa hancur lebur.

.

.

BoBoiBoy milik Animonsta Studios

Tak ada keuntungan materi apapun yang saya ambil dari sini.

.

Chapter I

Perkenalan Tokoh

.

.

Pagi itu, di Pasar Pulau Rintis sangat sibuk. Terutama karena hari Sabtu. Saling sikut, saling dorong semua pembeli memperebutkan barang-barang yang masih segar untuk makan siang atau makan pagi.

"Mas, saya mau beli ikan tuna dua kilo!" perintah seorang ibu-ibu kepada Taufan, si penjual ikan paling ramah seantero Pasar Pulau Rintis.

"Siap bu!" kata Taufan, bersemangat. Ia segera menimbang dan membungkus beberapa ekor ikan tuna. Di samping si penjual ikan ada kucing kesayangannya, Cattus, yang kenyang setiap hari selalu Taufan beri ikan gratis. Mungkin karena itu jualan Taufan selalu laris karena suka sedekah... di samping murah senyum tentu saja.

Sementara itu...

"Ini sekilo berapa mas?" tanya seorang ibu-ibu sambil pegang brokoli.

"Oh, 8000 ribu bu," jawab Gempa, tak lupa senyum manis sebagai penglaris. Ibu-ibu itu pun terpesona.

"Ya udah, aku beli 10 kg kalau disenyumin semanis itu," kata si ibu-ibu tersebut. Gempa hanya tersenyum kikuk.

"Ahaha..."

"Dek, buruan ini mana mangganya?" tuntut seorang emak-emak lain kepada Daun yang masih sibuk bungkuskan buah naga.

"Eh iya bu, ini mangganya!" kata Daun sambil tersenyum polos-polos menggemaskan. Si ibu-ibu langsung bayar tapi sebelum itu mencubit pipi Daun yang chubby. Daun merinding. Ia adalah adik Gempa yang membantu kakaknya berjualan juga, tapi Daun ini khusus melayani buah meski kadang ikut melayani sayur kalau kakak tersayangnya sibuk. Siapa sih yang bisa bilang "tidak" ke Gempa yang baik hati dan murah senyum? Tukang daging paling masam saja tak bisa.

Omong-omong tukang daging...

"Mas, masa' sekilo sampai 70 ribu?!" amuk emak-emak tersebut. Halilintar paling gak bisa dinyolotin kayak gitu, dia pasti ikut emosi.

"Kalau mau murah, daging tikus aja bu," jawab Halilintar, asal. Si emak-emak pun langsung melempar hati sapi yang dipegangnya ke muka Halilintar—untung saja Halilintar dengan sigap menangkapnya.

"HAHAHAHA!" Daun ketawa puas melihat Halilintar seperti itu, hiburan pagi-pagi. Kebetulan warung daging punya Mas Hali bersebelahan dengan warung sayur dan buah milik Mas Gempa dan Dek Daun.

Daun masih ketawa histeris melihat Halilintar dilempar daging. Gempa hanya geleng-geleng kepala sambil menimbang telur buat emak-emak di depannya. Halilintar menggerutu kesal.

"Daun, kalau kau tak berhenti ketawa, aku jewer telingamu," ancam Halilintar. Daun segera bungkam tapi wajahnya masih geli. Gempa kemudian berkata.

"Sudah jangan usik kakakmu lagi, bantu abang nih!"

"Eh iya, bang," kata Daun, langsung nurut. Mereka bertiga—Halilintar, Gempa dan Daun adalah saudara kandung. Sementara Taufan, Ice, Blaze dan Solar adalah sepupu mereka. Mereka bertiga memiliki usaha masing-masing di Pasar Pulau Rintis. Halilintar penjual daging sapi dan kambing, Gempa dan Daun menjual sayur dan buah. Taufan berjualan ikan—katanya harus banyak-banyak makan ikan bukan daging biar tak kolesterol, sindir Taufan ke Halilintar.

"Kalau daging tak habis, kau apakan Hal," tanya Taufan, pas mereka berdua ngerumpi di kedai es-nya si Ice.

"Aku simpan di freezer," jawab Halilintar.

"Bukan dimakan sendiri?" tanya Taufan.

"Ada yang di makan sendiri tapi gak setiap hari. Bongkrek aku," jawab Halilintar. "Kau ini 'kan jualan juga masa' tak tahu?"

"Bukan," geleng Taufan. "Kau 'kan marah-marah terus, jadi kukira kau kena darah tinggi akibat makan daging terus tiap hari."

Halilintar hanya melotot saja ke arah Taufan. Taufan cengengesan dan langsung pergi sebelum digantung kayak kambing yang Halilintar sembelih kemarin.

Sementara itu, Ice adalah penjual es krim yang laris, terutama ketika cuaca panas. Tak hanya es krim, tapi juga es serut dan kopi dingin yang di-blender. Saudara kembarnya, Blaze, jadi juru parkir Pasar Pulau Rintis dengan Sai si topi lebar. Adiknya Sai, Shielda seorang penjahit di dekat Pasar Pulau Rintis. Berbeda dengan Shielda yang selalu sibuk dengan jahitan setiap hari, Sai bisa leha-leha sedikit sambil ngegosip sama Blaze di dekat pos parkir. Gosip mereka sama kayak balsem—semakin digosok, semakin hot. Ada saja fitnah yang disebarkan. Contoh:

"Wei, kau tau tak si Solar, yang punya konter pulsa dan hape?" tanya Sai.

"Iya, itu 'kan adik aku."

"Nah, dia jual pulsa 5000 tapi mesti bayar 7000. 'Kan itu namanya riba. Makan duit haram itu," ujar Sai, ngawur kronis. Blaze terbakar emosinya.

"Bodoh betul itu adik aku!"

Karena pos parkir dekat dengan kedai es, Ice yang sedang angkat galon air langsung bisa mendengar percakapan tak pintar dua makhluk itu. Ice geleng-geleng.

"Kak Blaze dan Mas Sai biar sekolah juga tak dipakai ilmunya," ujar Ice sambil terus mengangkat tiga galon air sekaligus. Iya, tiga galon, tak salah baca. Fix yang terkuat kedua setelah Gempa adalah Ice. Gempa bisa mengangkat enam galon air sekaligus. Tak seperti Halilintar, dia cuma bisa angkat sapi satu ekor saja, bukan galon air. Lemah si HaliHali ini.

Coba temukan logika apa yang salah dari pernyataan saya di atas sebelum pembaca tersesat lebih jauh dari nur petunjuk Allah.

Seperti yang sudah disebutkan di atas, ada juga Solar, si pedagang pulsa dan perbaikan hape. Solar ini lumayan populer juga karena gayanya yang selangit. Dia mahir (tipu) perbaiki hape orang lain—tak ada yang tak bisa ia lakukan. Pokoknya, ia sudah master-nya perbaikan hape (dan tipuan).

Suatu ketika, hape Daun kebanting dan mati total. Itu hape bukan smartphone canggih, itu hape cuman bisa sms dan telp saja. Gempa beri Daun hape jadul gak berkamera biar Daun gak narsis selfie-selfie kayak Solar. Atau buka laman aneh-aneh. Atau dihubungin sama orang gak bener. Atau—ah, pokoknya Gempa itu terlalu protektif sama Daun. Kalau bisa, Gempa bakal belikan hape mainan saja ke Daun yang kalau dipencet tombolnya cuman keluar lampu warna-warni sama lagu norak, biar cocok sama imejnya si Daun.

Halilintar jadi kesel pas liat betapa bapernya Gempa ketika Daun punya hape. Padahal hape jadul harga 150-ribu.

"Tapi gimana kalau dia ditelp dan disms orang-orang gak jelas? Pedo misalnya? Atau tante-tante girang?"

"Ya Allah Gem," kata Halilintar, mulai mendidih. "Kalau Daun minta jemput sekolah pas hujan deras gimana, masa' mau dibiarkan dia hujan-hujanan terus sakit? Kayak tempo hari, mau lepas jantungku dia mimisan karena demam. Gak kuat kokoro ini Gem, lihat adik aku tersiksa seperti itu."

Eh, dua-duanya kakak sama aja protektifnya.

Gak papa Daun, buat apa hape canggih tapi malah melenakan dan memalingkan dari Allah, masih lebih baik hape jadul tapi jadi ingat untuk bersyukur dan beribadah, kata Gempa saat ceramah solat berjamaah di kampungnya.

Kembali ke cerita.

Jadi, hape jadul zaman Nabi Musa milik Daun itu jatuh terus mati layarnya. Akhirnya Halilintar antar ke konter perbaikan hape milik Solar. Halilintar tahu kadang Solar suka tipu-tipu pelanggan dia, mengingat Daun itu agak "polos" daripada rata-rata penduduk kebanyakan, makanya Halilintar antar adiknya itu.

"Weh, ada abang Hali dan dedek Daun," ujar Solar, ia lagi asyik membenarkan hape di meja kerjanya.

"Dedek Daun? Umur kalian sama," koreksi Halilintar.

"Tapi dia lebih kayak dedek daripada teman sebaya," jawab Solar. "Jadi kenapa datang ke sini?"

Daun lalu menaruh hape-nya yang mati total itu. Matanya berkaca-kaca, menangis. Hati Halilintar remuk rasanya melihat kesedihan saudaranya, lebai lu Hal.

"Tolong hidupkan lagi Doraemi," isak Daun. "Aku gak sengaja nyakitin Doraemi terus dia mati," tangis Daun pun pecah. Hati Halilintar makin gak kuat, dia hampir nangis juga karena baper gak tega liat adiknya sedih—biar Hali tampang security, hati hello kitty.

Mendengar cerita itu, Solar mengangkat alisnya.

"Doraemi ...?"

"Itu nama hapenya, masa gitu saja gak paham," kata Halilintar sambil menyeka air mata. "Sudah betulkan balik Doraemi kalau tidak, toilet kau kuacak-acak."

'Wei, jangan main toilet lah, nanti juga aku betulkan! Sepele ini," kata Solar. "Biaya perbaikannya 300 ribu yah."

"Apaan biaya perbaikan lebih mahal daripada hapenya!" amuk Halilintar.

"Lho, ini susah. Wajar kalau 300, harga standar itu," kata Solar. Daun kemudian menatap Halilintar dengan wajah memohon.

"Kak Hali, demi Doraemi," pinta Daun. Matanya membulat sedih. Halilintar langsung luluh.

"Baiklah, awas kalau tak betul itu hape, aku kurung kau di kandang kambing," ancam Halilintar. Mentang-mentang juragan kambing.

"Iya, iya," kata Solar.

Setelah dua kakak-beradik unyu dan manis itu pergi, Solar kemudian membongkar si Doraemi tersebut, matanya yang jeli menganalisa tiap sudut dan komponen. Tak ada kerusakan sama sekali.

Tiba-tiba dapat ide, Solar kemudian charge hape tersebut. Hapenya langsung nyala, ada indikator baterai sedang diisi. Solar menepuk dahi. Kakak-beradik sama-sama bendul rupanya.

"Gak papa lah, 300 ribu masuk ke kantong," kata Solar.

Ketika pulang, Halilintar cerita ke Gempa kalau biaya perbaikan hape 300 ribu—Gempa yang instingnya tajam langsung mencium bau tak sedap. Ia kemudian hari itu juga mendatangi Solar. Solar yang melihat Gempa langsung dag-dig-dug tak karuan. Ia mending menghadapi Halilintar yang mengamuk bawa golok kesayangannya (nama goloknya Tetakan Halilintar) daripada melawan Gempa dengan senyum manisnya.

"Permisi, katanya hape Daun rusak ya? Rusak apanya?" tanya Gempa, sopan santun. Solar langsung luluh.

"Sebenarnya gak rusak sih... cuman habis baterai..." kata Solar, pelan. Gempa hanya tersenyum manis.

"Terus kenapa dihargain 300-ribu? Charge di tempat kau ini mahal sekali, pakai tenaga nuklir ya?" sindir Gempa. Solar merinding.

"Bukan, itu juga saya baru tau bang, sumpah, ni hapenya saya balikin, gak bayar kok," kata Solar, kicep nyalinya. Gempa kemudian mengambil hape itu.

"Solar, cari rezeki yang halal. Kalau gak halal, itu uang bakal jadi penyakit dan bawa sial. Sekian, abang pergi dulu," pamit Gempa.

Di ceramahi oleh ustadz karismatik Gempa, Solar langsung insyaf dan berjanji takkan ulangi lagi. Taubatan nasuha, bukan tobat sambal.

Sesampainya di rumah, Daun gembira sekali Doraemi sudah hidup lagi. Ia jadi bisa main dengan Doraemi dan boneka-boneka dinosaurus miliknya—ini aneh sekali sebab Daun memperlakukan hapenya itu kayak teman sebaya, efek gak ada yang mau temenan sama Daun di sekolah.

Sementara itu, Halilintar heran sekali saat tahu perbaikan hapenya gak bayar tapi saat Halilintar tanya, Gempa dengan kalem bilang.

"Udah gak papa Kak Hali. Solar gratisin tadi," kata Gempa, santai. Ia tak mau menceritakan kejadian barusan, takut mengadu domba dan malah bertengkar nanti. Yang penting 'kan urusannya sudah selesai.

Halilintar bingung tapi ia diam sajalah.

Di Pasar Pulau Rintis juga ada tokoh lainnya. Bagi penggemar kakak-beradik kece badai setingkat boyband Korea, ada Kaizo dan Fang. Mereka berdua ada usaha cuci mobil dan cuci motor. Yang datang cukup banyak sebab tempat cucinya lumayan besar seperti gudang. Tak hanya yang mau cuci kendaraan, gadis-gadis juga banyak yang datang hendak melihat otot-otot Kaizo yang berbentuk itu, apalagi kalau basah kena air dan sabun.

Istighfar sajalah.

Pagi menjelang siang itu ada lima orang mbak-mbak datang ke tempat cuci kendaraan sekaligus tempat cuci mata itu. Wajah Kaizo jadi masam.

"Mbak sekalian mau cuci apa?" tanya Kaizo, ketus. Dia lagi cuci mobil, ia pakai kaus agak press warna biru malam. Badan dan rambutnya basah, posenya "menantang"—seperti model majalah. Padahal Kaizo cuman lagi jongkok sambil cuci ban mobil, tapi entah kenapa tetap kelihatan kayak supermodel lagi jongkok.

"Mau cuci apa ya, haha, cuci pikiran mungkin," balas si mbak #1.

"Eh, kalau saya cuma mau cuci mata aja," kata mbak #2. "Biar tambah pinter."

"Kalau abang cucinya begini malah malas cuci motor sendiri," kata seorang siswi SMA dengan wajah pengen. Pengen ngerasain gimana diangkat bridal style oleh tangan kekar Kaizo.

"Aku rela aja revisi berkali-kali sama dosen aku biar ketemu abang," ujar mahasiswi tingkat akhir. Apa hubungannya?

"Nikahi aku, Kaizo, aku mohon," pinta mbak #3.

"Gua mau –piiiiiiiip- sama Kaizo," kata seorang pria mesum. Semua mata memandangnya karena kata-kata jorok barusan. Kaizo langsung emosi.

Dia menonjok itu pria laknatullah itu pakai motor. Pria itu pingsan dengan kepala bocor. Fang yang sedang mencuci motor di sebelahnya hanya menjerit marah.

"ABANG! Itu sudah motor keenam yang Abang banting minggu ini!"

"Bodo amat!"

Sabar ya Kaizo, pantesan aja otot-otot kamu berbentuk. Gak hanya karena rajin olahraga, tapi juga asyik nonjokin orang mesum dan melempar benda-benda berat ke arah setan. Kaizo 'kan seperti Mas Kulin. Terlalu tampan dan menjauhi zinah. Biar amanah diberi Allah fisik sempurna tapi gak diselewengkan buat menipu perempuan-perempuan kesepian.

Begitulah keseharian para pedagang dan pengusaha mikro di Pasar Pulau Rintis. Tanpa mereka sadari, mereka akan menghadapi cerita agak runyam dalam waktu dekat, serunyam sinetron Indonesia. Masalah ini akan menghubungkan mereka semua dan mereka semua harus bertarung mati-matian melawan seorang musuh besar.

Siapakah musuh besar itu?

Apakah si juragan kambing Halilintar bisa melindungi dua adik-adiknya?

Apakah Gempa akan membuka pondok pesantren?

Nantikan chapter selanjutnya.

.

.

Bersambung

.

.

Ya, bagi pembaca yang kenal dengan gaya menulis saya dan genre apa yang biasa saya tulis, mungkin akan menepuk dahi sambil berkata "plis Dee ini bukan suspense, ga usah aneh-aneh". Sayang sekali saya tidak akan mengindahkan permintaan itu *dijepretkaret*

Yak ini singkat banget karena baru pengenalan tokohnya saja ya. Ini sebenarnya prompt saya kasih di facebook dan saya gak pakai RP ide milik siapapun ^_^

Kalau merasa terganggu dengan banyaknya bahasa non-baku dan berantakan di sini, silakan baca ff saya yang lain yah, seperti Lintang Horizon, Soaring Dragons, The Orphanage, dan sebagainya. Di sana tulisan saya (rada) rapih hehe. Ff ini memang hanya untuk lucu-lucuan saja dan saya gak edit. Chapter depan juga gak menjamin kualitas tulisan ff ini.

Untuk pembaca Melayu, maaf ya, saya tak pilih perkataan yang senang difahami. Banyak lawak khas Indonesia kat sini, patut la awak tak reti.

Silakan review dan tanggapi yah! Sampai jumpa di chap selanjutnya!